Karena anak yang kulahirkan menderita suatu penyakit, maka aku dipaksa untuk hamil lagi. Setelah lima tahun aku diasingkan, pria itu datang lagi dan meminta mengandung kembali. "Aku tak perlu kesiapanmu. Kamu hanya perlu mengandung seperti dulu. Bukannya dulu juga begitu." "Orang gila pun bisa hamil jika diper kosa." Ucapan-ucapan kasar terlontar dari mulutnya, memang dia bukan manusia. Aku benci padanya, benci setengah mati. Bagaimanapun caranya, aku ingin kabur dan lepas dari pria yang hanya butuh rahimku saja. subscribe untuk mendapatkan notifikasi update setiap hari
View MorePapa menatap padaku, entah apa makna tatapan itu. Meminta jawaban dari pertanyaan Bian? "Kamu serius ingin menikah lagi dengan Nala, apa alasannya?" tanya Papa pada Bian setelah mengalihkan pandangannya dariku."Sepertinya Bian jatuh cinta pada Nala, Pa. Jadi Bian yakin dan serius," balas mantan suamiku itu.Eh, kenapa dia bilang begitu. Jatuh cinta di usia setua ini. Maksudnya, sudah punya dua anak, tentu saja sudah tua. Lalu kenapa dia bilang jatuh cinta, bikin malu saja."Papa tak bisa menjawabnya, meskipun Papa adalah papamu, tapi tidak akan memihak pada siapapun. Semua papa serahkan pada Nala karena ini menyangkut kehidupannya. Bukan begitu, Ma?" Papa bertanya kepada Mama di ujung kalimatnya."Mama setuju dengan Papa. Selama ini, Nala selalu melakukan apa yang kami minta dan katakan. Kali ini biar dia melakukan dan memilih apa yang dia inginkan," sahut Mama sambil menatap padaku."Tapi sebelum menjawab, kamu perlu tahu sesuatu, Na," ucap Papa sambil menatap padaku. Aku merasa j
"Bi, apa-apaan sih kamu ini," seruku tak suka. Bagaimana bisa dia melakukan ini, pria ini semakin sesuka hatinya saja padaku."Papa bilang apa?" tanyanya sambil menatap padaku. "Tanya begitu doang haruskah seperti ini, memasukkanku ke dalam kamar. Kamu bisa tanya nanti, dimana kek, bukan masuk ke ruangan tertutup begini," sungutku.Aku jadi ingat perkataan Papa, bagaimana jika kami lupa diri kalau keseringan masuk ke ruangan hanya berdua saja. "Aku penasaran, katakan sekarang," pinta Bian. "Papa gak bilang apa-apa, cuma bilang selamat datang," balasku singkat."Lama sekali." Bian terlihat tidak percaya."Memangnya harus secepat apa? Udah ah, aku mau keluar, mau makan. Lapar!" Aku berlalu menuju ke arah pintu."Aaaaa, satu lagi. Papa bilang, aku harus hati-hati padaku," ucapku saat aku sudah membuka pintu. "Apa maksudnya?" tanya Bian. Aku tak menjawab, memilih langsung pergi dengan setengah berlari, meninggalkan pria yang kurasa makin hari makin aneh saja. ***"Mbak, dipanggil I
"Santai aja, ngapain harus takut. Papa hanya ingin bicara denganmu karena kangen," ucap Bian saat melihat kegelisahanku."Ngawur kamu, Bi.""BTW, kayaknya lebih enak di panggil Mas deh," sela Bian. "Tau ah, sana aku mau pergi. Keburu papa kelamaan nungguin." Aku kembali berusaha keluar kolam Bian kembali meraih pergelangan tanganku. "Bi ....""Na, untuk sekarang ini jangan takut apapun. Ada aku, jika Papa mengatakan hal yang menyakiti hatimu, kita bisa pergi dari sini. Kita bawa anak-anak bersama kita. Ayo kita bangun keluarga baru yang sesungguhnya." Bian berkata sambil membingkai wajahku.Untuk beberapa saat, aku kembali tengelam dalam tatapan dan kata-katanya. "Aku tak mau kabur dari siapapun lagi, aku akan hadapi semuanya," ucapku sambil mengurai tangannya dari wajahku. "Jika kamu ingin membangun keluarga denganku, minta ijinlah pada Papa. Mungkin Papa bukan orang tua kandungku, mungkin Papa tak pernah menuntun dan memegang tanganku, tapi lewat kerja keras tangannya aku bisa
Aku segera pergi ke kolam renang saat sudah selesai dengan beres-beres kamar. Dari kejauhan kulihat ada Mama sedang duduk memperhatikan Bian dan dua anaknya. Aku bisa melihat Hafizah begitu senang dan menikmati bermain air bersama kakak dan juga daddynya. Aku memang tak pernah mengajaknya berenang, hanya pernah sekali waktu pergi ke baby spa saja. "Sudah sarapan?" tanya Mama."Belum, Ma, belum ingin," balasku. "Lihatlah mereka begitu bahagia. Mama akan lebih bahagia jika kamu mau menikah lagi dengan Bian. Jika kamu menikah dengannya, kamu bisa merawat anak-anak tanpa ada batasan. Apakah menikah dengan Bian bukan menjadi salah satu hal yang akan membuatmu bahagia?" Mama berkata panjang lebar diakhiri dengan pertanyaan. "Maaf, Ma. Nala masih belum bisa menjawab pertanyaan Mama. Saat ini, Nala belum yakin dengan perasaan Bian maupun perasaan Nala sendiri," balasku apa adanya. Apakah Bian ingin menikah denganku hanya karena anak-anak atau karena ingin dan ada perasaan padaku. Aku tak
"Berhentilah meracau dan tidurlah," kataku sembari menarik tanganku dari genggamannya."Aku tidak meracau, Na. Aku serius dengan semua perkataanku," tutur Bian sambil menatap padaku. Aku langsung membuang pandangan, tak mau jatuh dalam pesona matanya yang selalu menghujam jantungku."Tidurlah, Bi. Biar Hafizah juga tidur, aku tak mau terlalu lama di sini. Takut dikira kita ngapa-ngapain. Aku pasti yang salah kalau keluar dari kamarmu malam-malam begini.""Makanya, ayo menikah. Tidak akan ada yang peduli kita mau ngapain juga di dalam kamar kalau suami istri. Nikah, nikah, apa isi kepalanya cuma pernikahan. "Kamu pikir semudah itu kembali menikah?""Apa susahnya?""Kamu bilang apa susahnya. Apa yang kamu lakukan padaku, kau anggap tidak berdampak apa-apa padaku?" tanyaku dengan emosi tertahan. Bisa-bisa Hafizah tidak tidur-tidur jika kami terus berdebat."Tapi aku sudah berusaha membayarnya dengan berbuat baik padamu. Mengikuti semua maumu, termasuk bercerai. Aku sebenarnya tak ingi
"Papa kemana, Ma?" tanyaku pada Mama.Setelah kami selesai makan malam, aku dan Mama berbincang di ruang santai. Hafizah, Cenna, dan Bian pergi ke kamar Bian dan mungkin bermain bersama. Sejak tadi kami datang, mereka bertiga terus menghabiskan waktu bersama. "Pergi ke luar kota, ada urusan pekerjaan. Hari ini harusnya pulang, mungkin agak malam. Tadi katanya kena macet di jalan," terang Mama. "Tapi Papa sudah tahu kalau kamu akan pulang hari ini," sambungnya. "Papa masih gak suka sama Nala, Ma?" tanyaku ragu-ragu."Papa bukan gak suka, Sayang. Papa memang begitu, kaku dan tak bisa mengungkapkan perasaan dan perhatiannya. Kamu lihat Bian, apa pernah Papa terlihat sayang padanya?" Mama benar, Bian pun tak pernah terlihat dekat dengan Papa. Papa memang dingin, kaku, dan serius, bagiku terlihat menyeramkan. Apalagi aku bukan anak kandungannya, rasanya semakin takut saja padanya. Kupikir dulu aku anaknya karena aku memanggil istrinya Mama. Namun, saat kecil aku berlarian ingin memeluk
"Semua ini gara-gara kamu," keluhku pada Bian. Kami berjalan menaiki tangga satu persatu dengan Bian berada di sampingku. Setelah kepergian Cenna, aku dan Bian berencana untuk membujuknya berdua. Hafizah langsung nyaman bersama dengan omanya. Mungkin karena biasa hanya ada aku dan Mia saja, sekarang dia begitu senang saat ada banyak orang. "Aku suka kalau kamu marah padaku, teruslah marah," balas Bian."Hah?" Aku menghentikan langkahku sesaat saat mendengar perkataannya. Dasar aneh."Katanya, wanita semakin perhatian semakin sering marah. Begitupula kalau cinta, makin sayang makin posesif. Kalau kamu marah padaku, artinya kamu perhatian dan sebentar lagi sayang," tutur Bian. Seakan menjawab keherananku.Teori sesat darimana yang Bian katakan itu. Tak mau menggubris perkataannya, aku kembali melangkah. Daripada berdebat dengan dia lebih baik aku segera membujuk Cenna. Dia terlihat sangat terluka dengan semua ini."Mana kamarnya?" Aku bertanya pada Bian setelah sampai di lantai atas.
Dia sudah bercerai jauh sebelum kami bercerai. Tapi kenapa dia tetap saja menceraikanku. Ah, sudahlah. Waktu itu aku yang mau. Kenapa sekarang aku harus bertanya. "Pulanglah, anak-anak butuh kita berdua. Cenna butuh kamu, dia pernah sakit karena sangat ingin bertemu denganmu. Aku sampai mencarimu ke yayasan segala," papar Bian."Kamu ke yayasan?" Aku bertanya sambil menatapnya. Mencari kebenaran dari perkataannya. "Iya, tapi hanya bertemu dengan Saga. Saga sudah menikah dengan Fatimah."Akhirnya pria itu menikah juga dengan wanita yang pantas. Aku merasa lega. "Kamu tahu ucapan Cenna yang paling membuatku sedih. Apakah aku ini anak yang merepotkan, selalu sakit-sakitan, hingga ibuku tak mau mengakuiku. Bahkan Mommy yang kukira mommyku, juga membuangku." Bian menirukan ucapan putranya."Bukan aku yang tidak mengakuinya. Tapi kalian semua yang membuatku melakukan semua ini," protesku, membela diri."Iya, iya. Aku tahu. Aku yang salah."Sakit sekali rasanya membayangkan hal itu, kupik
"Maaf, Nyonya, sepertinya anda salah." Aku berkata lirih sambil mengurai pelukannya. "Kok Nyonya, sih. Tante, atau mama juga boleh," tegas wanita itu, mengoreksi panggilanku. "Iya, Tante salah. Saya hanya tukang bunga, tadi ke sini mau mengantarkan bunga ini." Aku berkata sembari memberikan bunga padanya. "Ah, jangan merendah begitu. Hanya tukang bunga tapi lihat ini auranya." Beliau menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ayolah, Mam. Jangan bikin Shaynala tidak nyaman," sela Pak Ardi."Benar kan, Bi. Lihat ini, wanita yang mempesona. Tertutup dan terjaga, siapa yang gak mau punya mantu dan istri seperti ini." Mama Pak Ardi berbicara pada Bian. "Ah, iya Tante," balas Bian, tergagap. Pandangan matanya masih menatap tajam padaku tadi, langsung berubah saat menjawab pertanyaan mama Pak Ardi "Maaf, Tante. Tapi saya sudah punya anak. Bagaimana jadi calon istrinya Pak Ardi, Tante benar-benar salah orang."Mendengar perkataanku barusan, wanita itu seperti terkejut dan tak ber
"Ayo bikin anak. Aku mau anak darimu lagi. Cepat dan segera!"Suaranya dingin, menusuk, sama persis seperti lima tahun lalu. Bian duduk santai di sofa ruang tamuku, seolah-olah apa yang baru saja ia katakan hanyalah hal sepele.Aku tercekat. Kata-katanya seperti pukulan telak yang menyesakkan dada. Bagaimana bisa ia muncul begitu saja, seperti badai yang tak diundang, lalu meminta sesuatu yang bahkan dulu menghancurkan hidupku?“Kamu pikir bikin anak itu kayak bikin adonan kue?” Aku menahan tangis yang sudah di ujung tenggorokan. “Lagipula kita bukan suami istri lagi! Jangan pernah sentuh aku!”Dia menatapku tajam, tapi tetap tenang. “Siapa bilang? Aku tak pernah mengucap cerai. Kamu masih istriku." Ia menyeringai dingin. "Dulu, kita cuma butuh sekali dan langsung jadi. Apa susahnya ulangi lagi?"Aku bergidik, menjauhkan tubuhku dari sofa. “Kita sudah terpisah selama lima tahun, Bian.”Dia bangkit dan mendekat, tubuh tingginya membuatku merasa semakin kecil. Wajahnya keras dan garang,...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments