Elian Silvercrest adalah seorang tuan muda dari keluarga bangsawan ternama yang terlahir dengan tubuh yang lemah. Meski berasal dari garis keturunan pelindung Kerajaan, ia tampak seperti seorang yang bahkan berdiri saja terkesan akan terjatuh. Mata merah yang tajam dan rambut hitamnya menciptakan kesan misterius, namun tubuh kurus dan sering sakit membatasi potensi yang dimilikinya. Meski tubuhnya rapuh, ia membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya dan memiliki pengetahuan tentang masa depan yang akan datang. Terjebak di tubuh yang tidak mampu mengikuti keinginannya, Elian berusaha menggunakan kecerdasan dan pengetahuannya untuk merencanakan langkah-langkah yang dapat mencegah kehancuran yang akan datang. Namun, perjalanan Elian tidaklah mudah. Dunia sekitar penuh dengan intrik politik, konflik antar kerajaan, dan ancaman dari kekuatan yang tidak ia duga. Meskipun tubuhnya membatasi gerakannya, Elian bertekad untuk berjuang melawan takdir, menghadapi tantangan demi melindungi orang-orang yang ia cintai. Dalam perjuangannya, Elian harus memutuskan siapa yang bisa dipercaya, serta bagaimana ia dapat bertahan hidup di tengah dunia yang penuh bahaya dan ketidakpastian.
Lihat lebih banyakKedai kecil itu di penuhi dengan aroma manis yang begitu menggoda. Elian duduk di kursi kayu sederhana, memperhatikan sepasang suami istri yang sibuk menyiapkan hidangan di dapur kecil mereka. Meskipun suasana riuh di luar, kedai ini menawarkan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Suasana di dalam kedai ini tersa begitu harmonis, dan membuat siapapun merasa nyaman untuk berlama-lama di sini.Tak lama kemudian, sebuah nampan diletakkan di atas meja. Di atasnya, terlihat beberapa potongan kue kecil berbentuk bunga, dengan warna pastel yang lembut dan taburan gula halus di atasnya. Aroma madu dan bunga mawar menyapa indra penciuman Elian, membawa kenangan masa lalunya kembali.“Kue ini disebut dengan Kue bunga, ini adalah hidangan manis yang paling di gemari di kedai ini.” Ujar wanita pemilik kedai dengan senyum ramah, “Padahal tidak ada yang Istimewa dari hidangan ini, awalnya saya hanya mencoba menghidangkannya karena ini makanan favorit anak saya, ternya
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar di kamar Elian, menyinari ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Elian sudah bangun lebih awal, tidak seperti biasanya hari ini dia sangat bersemangat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya mengenakan pakaian sederhana namun tetap terlihat elegan, dengan warna lembut yang mempertegas auranya. Ethan berdiri di sampingnya, membantu Elian berpakaian dan memeriksa tas kecil yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka ini.“Tuan muda, apa anda yakin akan melakukan perjalanan ini? Anda terlihat lebih lemah dari biasanya.” Tanya Ethan lembut dengan nada cemas, pandangannya penuh perhatian ke arah Elian.Elian tersenyum kecil, berusaha menenangkan pelayannya yang setia. “Aku baik-baik saja Ethan. Hari ini sangat penting, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”Ethan menghelan napas, dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan tuannya ini ketika dia sudah memutuskan sesuatu. “Baiklah, Tuan muda. Saya ak
Langkah ringan Elian dan Ronan terdengar di sepanjang jalan yang mengarah ke ruang makan. Lorong-lorong tinggi menghiasi perjalanan mereka. Ukiran-ukiran mahal terpampang di sepanjang jawal, seolah menyapa mereka. Ronan berjalan di samping adiknya, sesekali meliriknya dengan penuh perhatian memastikan bahwa dia baik-baik saja, namun tetap membiarkannya menikmati ketenangan yang ada.Setibanya di ruang makan, mereka melihat Damien yang duduk di meja besar, pandanganya tidak lepas dari tumpukan dokumen di depannya. Begitu melihat Elian dan Ronan datang, Damien segera menoleh, senyuman tulus langsung terukir di wajahnya. Ia berdiri dan mendekat kea rah Elian.“Kak Ronan, Elian! Kalian akhirnya datang,” kata Damien dengan suara ceria. Namun, begitu ia melihat wajah Elian kecemasannya terlihat jelas. “Bagaimana keadaanmu Elian? Aku minta maaf dalam beberapa hari ini tidak bisa mengunjungimu. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan.”Elian tersenyum kecil,
Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk dengan
Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn
Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat. Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen