Elian Silvercrest adalah seorang tuan muda dari keluarga bangsawan ternama yang terlahir dengan tubuh yang lemah. Meski berasal dari garis keturunan pelindung Kerajaan, ia tampak seperti seorang yang bahkan berdiri saja terkesan akan terjatuh. Mata merah yang tajam dan rambut hitamnya menciptakan kesan misterius, namun tubuh kurus dan sering sakit membatasi potensi yang dimilikinya. Meski tubuhnya rapuh, ia membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya dan memiliki pengetahuan tentang masa depan yang akan datang. Terjebak di tubuh yang tidak mampu mengikuti keinginannya, Elian berusaha menggunakan kecerdasan dan pengetahuannya untuk merencanakan langkah-langkah yang dapat mencegah kehancuran yang akan datang. Namun, perjalanan Elian tidaklah mudah. Dunia sekitar penuh dengan intrik politik, konflik antar kerajaan, dan ancaman dari kekuatan yang tidak ia duga. Meskipun tubuhnya membatasi gerakannya, Elian bertekad untuk berjuang melawan takdir, menghadapi tantangan demi melindungi orang-orang yang ia cintai. Dalam perjuangannya, Elian harus memutuskan siapa yang bisa dipercaya, serta bagaimana ia dapat bertahan hidup di tengah dunia yang penuh bahaya dan ketidakpastian.
もっと見るLangit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na
Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se
Malam telah datang. Cahaya bulan menyelinap redup di balik tirai tebal. Di luar, angin berembus pelan, mengayun pucuk-pucuk pohon dan menyapu rerumputan yang terdiam dalam dingin. Kediaman Pangeran Caelium terasa tenang, terlalu tenang. Elian berdiri di balik jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Malam ini tidak hanya gelap di luar. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, menggelayut seperti kabut. “Kau akan menginap di sini,” kata Caelium tiba-tiba, memecah keheningan. Elian tidak menoleh. “Aku tahu. Tak aman untuk keluar malam ini.” “Kau juga merasa ada yang tidak beres?” Elian mengangguk pelan. “Seolah… sesuatu sedang menunggu,” gumamnya. Caelium berjalan santai ke meja dan menuang dua cangkir teh hangat. Diberikannya satu pada Elian yang masih berdiri di depan jendela. “Duduklah,” ucapnya lembut. “Tak ada gunanya kau menyiksa dirimu sendiri malam ini.” Elian akhirnya berpaling dan d
Setengah roti di piring itu hampir habis ketika percakapan mereka perlahan memasuki arah yang lebih serius. Awalnya hanya obrolan ringan tentang angin musim semi yang mulai membawa harum bunga, lalu beralih pada keadaan dapur istana yang anehnya kini selalu ramai saat malam. Tapi semua berubah saat Elian meletakkan cangkirnya di atas meja, perlahan, dengan tatapan yang mulai berubah tajam. “Saya dengar dari Pangeran Kaelian,” katanya tenang namun penuh maksud, “Bahwa Anda telah turun langsung ke lapangan, mencari beberapa pendukung, termasuk dari rakyat?” Caelium yang duduk bersandar pada sandaran kursinya ikut menurunkan cangkirnya. Suara cangkir beradu pelan dengan piring kecil porselen di bawahnya. “Benar sekali,” jawabnya tanpa ragu, lalu melirik Elian dengan pandangan yang kini jauh lebih dalam. “Beberapa bangsawan telah menyatakan kesediaan untuk mendukungku. Di antaranya Marquis Hestell, Lady Vierra dari Timur, dan tentu saja Lord Alland dari sel
Senja menggantung indah di langit Eldoria, mewarnai ruangan pertemuan dengan semburat keemasan yang temaram. Jendela-jendela tinggi berbingkai kaca patri membiaskan cahaya lembut yang menari di lantai marmer, menciptakan bayangan seperti lukisan yang bergerak perlahan. Aroma teh dan kudapan manis memenuhi udara, menghadirkan kenyamanan langka di tempat yang biasanya penuh tekanan politik. Caelium duduk dengan santai di kursi utama, menyilangkan kaki dan memandang keluar jendela sejenak sebelum menoleh ke Elian, yang duduk di sampingnya. Elian tampak ragu, tangan di pangkuannya diam, tatapannya masih canggung pasca pelukan mendadak tadi. Sementara itu, Ethan dan Caine berdiri di dekat sisi ruangan, namun atas permintaan Caelium sendiri, mereka ikut bergabung duduk di kursi kecil. Teko teh telah disiapkan di atas meja bundar, lengkap dengan berbagai kudapan yang tampaknya terlalu mewah untuk hanya empat orang. “Silakan, Ethan, Caine. Tidak perlu terlalu k
Langkah-langkah mereka bergema lembut di koridor marmer yang panjang. Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi kiri dan kanan, dihiasi ukiran rumit khas kerajaan Eldoria garis-garis lengkung berkilau, seolah memantulkan kenangan yang tersembunyi di balik tiap lekuknya. Cahaya mentari sore menembus jendela kaca patri, menciptakan bayangan warna-warni di lantai, seakan mengantar mereka menuju takdir yang telah lama menunggu di ujung lorong. Elian menggenggam sisi jubahnya erat-erat. Bukan karena gugup setidaknya, bukan hanya karena itu. Detak jantungnya terasa terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu nyata. Seolah tubuhnya tahu, jauh sebelum pikirannya sempat menyadari, bahwa ini bukan pertemuan biasa. Ethan berjalan setengah langkah di belakangnya, seperti biasa menjaga jarak namun tetap waspada. Caine ada di sisi lain, matanya awas, tapi sesekali melirik ke arah Elian. Ia tahu betul, bukan bahaya dari luar yang sedang dihadapi Elian kali ini melainkan badai yang ber
Langit mulai berubah jingga saat Elian, Ronan, dan Kaelian melangkah keluar dari bangunan kayu tua itu. Dinding-dinding yang retak dan aroma lembap bercampur darah masih terasa menggantung di udara, meskipun mereka sudah menjauh. Angin sore menyapu pelan, membawa bau dedaunan kering dan sedikit aroma tanah yang baru disiram hujan. Elian menghela napas panjang. Kepalanya sedikit tertunduk, dan matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang bergoyang pelan tertiup angin. Senja menurunkan ketegangan di tubuh mereka, tapi tidak dengan beban di pikirannya. Sebenarnya, Elian bisa saja menghapus kutukan itu. Energinya cukup lebih dari cukup jika ia ingin memaksakan diri. Namun ia tahu, tubuhnya tidak akan kuat menanggung konsekuensinya. Kekuatan yang mengalir dalam dirinya tidak seperti sihir biasa. Terlalu dalam, terlalu luas, dan terlalu tak terkendali. Dan ia tahu, kakak-kakaknya pasti tak akan mengizinkannya. Diam-diam ia menoleh ke arah Kaelian dan Ronan
Suasana di dalam ruang bawah tanah itu berubah menjadi mencekam setelah tubuh makhluk itu terjatuh, terbelah antara tubuh dan kepala yang kini terpisah, kedua bagian tersebut tergeletak terpisah di lantai dengan darah hitam yang mengalir deras, berkilau di bawah cahaya redup obor. Darah itu memercik, bercampur dengan kotoran dan sisa-sisa kotoran lainnya yang membuat ruangan itu semakin bau. Namun yang lebih menakutkan adalah keheningan yang langsung menyelimuti tempat itu. Seakan-akan seluruh dunia terdiam, hanya menyisakan suara tetesan darah yang jatuh perlahan dari kepala makhluk itu yang terperangkap di antara jeruji besi. Setiap tetes darah yang jatuh itu terdengar nyaring di telinga mereka, seolah menggema di seluruh ruangan yang gelap dan kotor itu. Masing-masing dari mereka berdiri terdiam, merasakan beratnya suasana yang mencekam. Semua terhanyut dalam keterkejutannya, menatap bagian tubuh yang telah terpisah itu dengan rasa ngeri yang sulit dijelaskan.
Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat. Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント