Elian Silvercrest adalah seorang tuan muda dari keluarga bangsawan ternama yang terlahir dengan tubuh yang lemah. Meski berasal dari garis keturunan pelindung Kerajaan, ia tampak seperti seorang yang bahkan berdiri saja terkesan akan terjatuh. Mata merah yang tajam dan rambut hitamnya menciptakan kesan misterius, namun tubuh kurus dan sering sakit membatasi potensi yang dimilikinya. Meski tubuhnya rapuh, ia membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya dan memiliki pengetahuan tentang masa depan yang akan datang. Terjebak di tubuh yang tidak mampu mengikuti keinginannya, Elian berusaha menggunakan kecerdasan dan pengetahuannya untuk merencanakan langkah-langkah yang dapat mencegah kehancuran yang akan datang. Namun, perjalanan Elian tidaklah mudah. Dunia sekitar penuh dengan intrik politik, konflik antar kerajaan, dan ancaman dari kekuatan yang tidak ia duga. Meskipun tubuhnya membatasi gerakannya, Elian bertekad untuk berjuang melawan takdir, menghadapi tantangan demi melindungi orang-orang yang ia cintai. Dalam perjuangannya, Elian harus memutuskan siapa yang bisa dipercaya, serta bagaimana ia dapat bertahan hidup di tengah dunia yang penuh bahaya dan ketidakpastian.
View More"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya. "Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe
Caelum berjalan menyusuri koridor istana yang cukup ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka menundukkan kepala dengan hormat saat melewatinya, tetapi ia tak terlalu memperhatikannya. Langkahnya tetap stabil, meskipun pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan. Beberapa waktu lalu, Gavier telah mengirim pesan kepada Pangeran Pertama untuk menyampaikan permintaan pertemuan. Tak butuh waktu lama bagi Kaelian untuk memberikan jawaban, ia setuju untuk makan siang bersama. Oleh karena itu, kini Caelum berjalan menuju taman pribadi milik kakaknya, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Ketika Caelum tiba, ia melihat sosok Kaelian duduk dengan tenang di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat. Sikapnya tetap seperti biasa tenang, penuh wibawa, tetapi memiliki aura yang tidak bisa diremehkan. "Apakah Kakak sudah menunggu lama?" tanya Caelum sambil mendekat. Kaelian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis sebel
Caine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya sedikit menyipit. Napasnya masih terasa berat, tetapi tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk tubuhnya seperti sebelumnya. Saat pikirannya mulai jernih, ingatan tentang pertempuran di perbatasan langsung menghantamnya. Serangan mendadak, pasukan Azrael dan Pangeran Kedua, penyelidikan tentang praktik sihir terlarang di desa terpencil… dan— Matanya melebar. Elian. Jantungnya berdegup cepat. Seingatnya, dia seharusnya sudah mati. Tubuhnya hampir hancur karena serangan mereka, tetapi… “Elian…” gumamnya pelan. Pintu tiba-tiba terbuka. Caine refleks menoleh dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu. Lucien Silvercrest. Tatapan pria itu tajam, seolah mampu menembus pikirannya. Tidak ada emosi berlebihan di wajahnya, tetapi auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sesak. Caine langsung berusaha bangkit,
Damien dengan hati-hati memindahkan tubuh Caine ke ranjang di sebelah Elian. Gerakannya perlahan, seolah takut melukai pemuda itu lebih jauh. Setelah memastikan posisi Caine nyaman, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajah Caine yang sebelumnya pucat seperti mayat kini tampak lebih baik seperti seseorang yang sedang tertidur, bukan lagi raga tanpa nyawa. Napasnya mulai stabil, dada tipisnya naik turun dalam ritme yang tenang. Damien menghela napas lega. "Dia pasti akan segera sadar," ucapnya pelan, seakan lebih meyakinkan dirinya sendiri. Setelah memastikan kondisi Caine, ia beralih ke Elian. Tubuh pemuda itu masih dingin, napasnya nyaris tak terdengar. Luka-luka di tubuhnya telah ditangani, tetapi wajahnya tetap pucat. Damien duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, seakan mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan sekecil apa pun. "Kau terlalu keras kepala untuk menyerah, bukan?" gumamnya lirih. Namun, Elian tetap diam. Ethan yang sejak
Tidak. Tidak. Tidak. Suara Elian bergetar, memantul di ruangan yang hening. Tangannya mengguncang tubuh Caine yang semakin dingin, seolah berharap itu bisa membangunkannya. Tapi Caine tetap diam. Napasnya tak ada. Dadanya tak lagi naik-turun. “Ah… tidak… tolong… Caine…” Tangisnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tangan Elian berusaha mencari denyut nadi di leher Caine, namun ia tak merasakan apa pun. Kepanikan merayapi seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat. Ethan, yang berdiri di dekatnya, perlahan meraih pergelangan tangan Caine, mencari denyut nadinya. Wajahnya menegang saat ia menyadari kebenarannya, Caine sudah tidak bernyawa. “Ethan, panggil Damien! Dia… dia pasti bisa menyembuhkannya! Sekarang juga!” Namun, Ethan tidak bergerak. Ia hanya berdiri di tempatnya, tatapannya redup dan penuh kesedihan. “Kenapa kau diam saja? Hei, ETHAN!” Elian berteriak, matanya membelalak dengan emosi yang meled
Caine bersama beberapa prajurit yang selamat berhasil menjauh dari desa itu dengan napas yang terengah-engah. Kakinya terasa begitu berat seolah seluruh energinya telah terserap habis. Tubuhnya nyaris tidak mampu lagi menapak tanah, dan pikirannya berkabut antara kenyataan dan ilusi. Sesekali, dia merasa darahnya tersedot perlahan dari tubuhnya, meninggalkannya dalam kehampaan yang semakin pekat. Beberapa prajurit di belakangnya tertatih-tatih, luka mereka menganga dan darah mengalir tanpa henti. Nafas mereka tersendat, tetapi mereka tetap berjalan, bertahan demi mencapai tempat yang aman. Seorang prajurit meminta izin untuk beristirahat. Awalnya, Caine menolak. Dia tahu mereka tidak memiliki banyak waktu. Jika mereka berhenti, mereka mungkin tidak akan sampai di tempat Elian dengan selamat. Tapi ketika melihat kondisi para prajurit yang semakin parah, dia tidak punya pilihan lain. "Baiklah," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Mereka memilih sebua
Caine berlari dengan napas terengah-engah, setiap tarikan udara terasa seperti pisau yang menyayat paru-parunya. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, membasahi pakaiannya yang robek, meninggalkan jejak samar di tanah. Tapi dia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tidak ketika maut terasa begitu dekat di belakangnya. Prajurit yang tersisa di sisinya juga dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka berhasil kabur dari tempat itu, tapi entah sihir apa yang terakhir kali mengenainya, tubuhnya terasa berat, seakan-akan ada rantai tak kasat mata yang mengekangnya. Kepalanya dipenuhi suara-suara aneh bisikan samar yang tidak bisa dia pahami, kadang terdengar seperti tawa sinis, kadang seperti jeritan putus asa. Pandangannya berbayang sesekali, membuatnya hampir tersandung beberapa kali. Sebuah kutukan, mungkin. Dan jika dia tidak segera menemui Elian, kutukan ini bisa membunuhnya sebelum musuh berhasil menangkapnya. Langit semakin gelap, dan bayangan malam seakan menga
Caine berdiri tegak, jari-jarinya mencengkeram gagang pedang di pinggangnya. Tatapannya terkunci pada Azrael yang berdiri di ambang pintu batu, senyum sinisnya tak berubah sedikit pun. Udara di dalam ruangan itu semakin menyesakkan, dipenuhi tekanan sihir yang hampir menekan napas para prajurit Silvercrest. "Kau seharusnya tidak berada di sini, Caine," suara Azrael terdengar pelan, tetapi mengandung ancaman yang jelas. "Menggali rahasia yang bukan milikmu... sungguh kebiasaan buruk." Caine tidak menjawab. Ia tahu tak ada gunanya berbasa-basi dengan pria itu. Tangannya sedikit mengendur dari gagang pedangnya, seolah menunjukkan ketenangan, padahal pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar. Beberapa prajurit di belakangnya tampak tegang, sebagian bahkan mundur selangkah, tetapi mereka tetap memegang senjata mereka erat-erat. Azrael melangkah masuk, menelusuri ruangan dengan tatapan puas. "Jadi, kau sudah melihat semuanya," gumamnya, matanya menyapu t
Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat. Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments