Beranda / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 6 CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

Share

BAB 6 CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 16:40:27

Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai.

Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam.

Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adiknya yang kelaparan.

Ethan ingat hari itu dengan jelas, ia masih berusia 10 tahun, mengenakan pakaian lusuh, berdiri di luar gerbang besar keluarga Silvercrest dengan ragu. Ia memegang surat kecil yang ditulis oleh ibunya, berisi sebuah permohonan yang ditujukkan kepada siapa saja yang bersedia membantunya.

“Kepala keluarga Silvercrest ingin bertemu!” ujar seorang pelayan setelah membaca surat itu.

Ethan hampir tidak percaya. Apa mungkin seorang bangsawan ternama mau meluangkan waktu untuk mendengarkan permohonan keluarga kecil seperti mereka? Namun, ia mengikuti pelayan itu dengan penuh harapan.

Saat Ethan akhirnya memasuki ruangan besar keluarga Silvercrest, Ethan mendapati seorang pria tinggi dengan aura tegas tengah duduk di kursi besar, didepannya sebuah meja dengan tumpukan kertas dokumen. Dia adalah Lucien Silvercrest, pemimpin keluarga, ia menoleh menatap Ethan lantas kembali menatap dokumen diatas mejanya. Tangannya sibuk membolak-balikkan dokumen itu. Di pangkuannya duduk seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun. Tubuhnya kecil dan terlihat rapuh, dengan rambut hitam yang rapi dan mata merah yang memancarkan rasa ingin tahu.

“Siapa dia?” tanya Elian sambil menoleh kearah ayahnya.

Lucien hanya melirik Elian, lantas mengusap rambut hitamnya. “Apa yang membawamu kesini?” tanya Lucien dengan suara dalam dan berwibawa.

Ethan merasa gugup di bawah tatapan pria besar itu, tetapi ia menjelaskan keadaan keluarganya. Ia berbicara dengan jujur, dengan suara yang bergetar menahan rasa takut. Lucien mendengarkan tanpa ekspresi, sementara Elian menatap Ethan dengan penuh perhatian, kedua tangannya memegang erat lengan ayahnya.

“Keluarga kita bukan lembaga amal,” kata Lucien setelah Ethan selesai berbicara. “Banyak orang yang mengalami kesulitan serupa. Mengapa kami harus membantu keluargamu?”

Tangan Ethan menggenggam kain lusuhnya dengan erat, jantungnya berdebar kencang saat Lucien melontarkan pertanyaan itu. Ethan menunduk tidak mampu menjawab. Namun, sebelum keheningan berlangsung lama, Elian menoleh memiringkan kepalanya, menatap ayahnya.

“Ayah…” panggil Elian dengan suara kecilnya, “Kita harus membantunya!” katanya pelan namun pasti, matanya menatap Ayahnya penuh harap.

“Elian…” balas Lucien tegas “Ini bukan urusanmu.”

Elian mengubah posisi duduknya menghadap ayahnya, “Ayah, dia butuh bantuan. Ibunya menangis, Adik-adiknya kelaparan. Bukankah ayah selalu bilang kita harus selalu berbuat baik?”

Lucien mendesah panjang. “Elian, kebaikan juga memerlukan kehati-hatian. Kita tidak bisa menolong semua orang.”

“Tapi, dia butuh bantuan!” Elian merengek, sambil menunjuk Ethan yang diam terkejut memperhatikan tingkahnya. “Bukankah kita punya banyak uang?”

Lucien memijat dahinya, merasa pusing melihat tingkah anak bungsunya. “Elian sayang, kita tidak bisa selalu membantu orang.”

Elian mengerucutkan bibirnya, menatap ayahnya dengan mata besar yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam lengan Lucien lebih erat, seperti memohon. Lucien menatapnya, dengan menahan tawa. “Tidak Elian!” jawabnya tegas.

Elian menghelan napasnya lantas menoleh menatap Ethan. Tiba-tiba dia tersenyum, “Kalau begitu, aku bisa memberikan uang saku milikku saja.”

Lucien terkejut mendengar ucapan itu. “Uang saku?” tanyanya, menatap anak itu dengan alis terangkat.

Elian mengangguk dengan penuh semangat. “Aku punya cukup banyak uang, dan aku tidak perlu membeli apa-apa sekarang. Jadi, aku bisa memakainya untuk membantu dia.”

Hening memenuhi ruangan, Elian menatap ayahnya dengan penuh semangat, sedangkan Lucien menghelan napasnya. “Baiklah” jawaban itu membuat Ethan mengangkat wajahnya.

“Lunasi hutang keluargamu, dan belilah bahan makanan serta benih tanaman. Biaya ini akan diambil dari dana alokasi Cadangan, bukan uang saku Elian. Manfaatkanlah dengan baik.” Ujarnya dengan nada tegas, meski matanya melembut saat menatap putranya.

Elian tersenyum lebar, memeluk leher ayahnya. “Terimakasih Ayah.”

Lucien hanya menggelengkan kepalanya, bibirnya tersenyum tipis. Elian melompat dari pangkuan ayahnya, mengabil sekantung cemilan miliknya yang berisi roti-rotian. “Ini untukmu, berikan juga untuk adik-adikmu.”

Ethan menatap Elian dengan lembut meraih sekantung cemilan itu. Elian berlari kembali ke pangkuan ayahnya. Air mata Ethan mengalir. Ia sangat bersyukur atas bantuan yang diberikan, tanpa sadar hatinya tersentuh oleh ketulusan seorang bocah kecil itu. “Terimakasih.” Ucap Ethan seraya membungkukan badannya, berpamit undur diri.

Ethan tersenyum menatap Elian yang akhirnya tertidur. Wajah tuannya terlihat lebih tenang, ia berdiri dari tempat duduknya, merapikan selimut Elian agar menutupi tubuhnya. Ethan menatap lekat wajah Elian, seakan menatap adiknya sendiri, Ethan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

“Tuan muda, apapun yang akan kau hadapi, saya akan selalu berada di sisi anda. Bahkan jika dunia berbalik melawan anda, saya akan menjadi perisai dan tombak untuk anda. Anda menyelamatkan saya sekali, dan sekarang mohon izinkan saya membalasnya.” Ucap Ethan dalam hati.

Dibawah bayang-bayang cahaya lilin yang redup, Ethan menatap wajah Elian yang tertidur. Ia tahu apapun yang akan terjadi di masa depan nanti, ia akan melindungi anak ini dengan segenap jiwa dan raganya.

Bab terkait

  • Sisa Takdir   BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

    Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Sisa Takdir   BAB 8 LANGKAH AWAL

    Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 9 JEJAK MASA LALU

    Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Sisa Takdir   BAB 10 PENYELIDIKAN ETHAN

    Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Sisa Takdir   BAB 11 DIBAWAH NAUNGAN POHON BESAR

    Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Sisa Takdir   BAB 12 PERCAKAPAN DI MEJA MAKAN

    Langkah ringan Elian dan Ronan terdengar di sepanjang jalan yang mengarah ke ruang makan. Lorong-lorong tinggi menghiasi perjalanan mereka. Ukiran-ukiran mahal terpampang di sepanjang jawal, seolah menyapa mereka. Ronan berjalan di samping adiknya, sesekali meliriknya dengan penuh perhatian memastikan bahwa dia baik-baik saja, namun tetap membiarkannya menikmati ketenangan yang ada.Setibanya di ruang makan, mereka melihat Damien yang duduk di meja besar, pandanganya tidak lepas dari tumpukan dokumen di depannya. Begitu melihat Elian dan Ronan datang, Damien segera menoleh, senyuman tulus langsung terukir di wajahnya. Ia berdiri dan mendekat kea rah Elian.“Kak Ronan, Elian! Kalian akhirnya datang,” kata Damien dengan suara ceria. Namun, begitu ia melihat wajah Elian kecemasannya terlihat jelas. “Bagaimana keadaanmu Elian? Aku minta maaf dalam beberapa hari ini tidak bisa mengunjungimu. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan.”Elian tersenyum kecil,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Sisa Takdir   BAB 13 PERJALANAN KE PASAR

    Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar di kamar Elian, menyinari ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Elian sudah bangun lebih awal, tidak seperti biasanya hari ini dia sangat bersemangat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya mengenakan pakaian sederhana namun tetap terlihat elegan, dengan warna lembut yang mempertegas auranya. Ethan berdiri di sampingnya, membantu Elian berpakaian dan memeriksa tas kecil yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka ini.“Tuan muda, apa anda yakin akan melakukan perjalanan ini? Anda terlihat lebih lemah dari biasanya.” Tanya Ethan lembut dengan nada cemas, pandangannya penuh perhatian ke arah Elian.Elian tersenyum kecil, berusaha menenangkan pelayannya yang setia. “Aku baik-baik saja Ethan. Hari ini sangat penting, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”Ethan menghelan napas, dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan tuannya ini ketika dia sudah memutuskan sesuatu. “Baiklah, Tuan muda. Saya ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Sisa Takdir   BAB 14 KEHANGATAN DI BALIK KUE BUNGA

    Kedai kecil itu di penuhi dengan aroma manis yang begitu menggoda. Elian duduk di kursi kayu sederhana, memperhatikan sepasang suami istri yang sibuk menyiapkan hidangan di dapur kecil mereka. Meskipun suasana riuh di luar, kedai ini menawarkan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Suasana di dalam kedai ini tersa begitu harmonis, dan membuat siapapun merasa nyaman untuk berlama-lama di sini.Tak lama kemudian, sebuah nampan diletakkan di atas meja. Di atasnya, terlihat beberapa potongan kue kecil berbentuk bunga, dengan warna pastel yang lembut dan taburan gula halus di atasnya. Aroma madu dan bunga mawar menyapa indra penciuman Elian, membawa kenangan masa lalunya kembali.“Kue ini disebut dengan Kue bunga, ini adalah hidangan manis yang paling di gemari di kedai ini.” Ujar wanita pemilik kedai dengan senyum ramah, “Padahal tidak ada yang Istimewa dari hidangan ini, awalnya saya hanya mencoba menghidangkannya karena ini makanan favorit anak saya, ternya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 77

    Rotherham menatap terkejut, matanya tertuju pada tangan Caelum yang tampak normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, keterkejutan itu segera tergantikan oleh seringai licik yang perlahan muncul di wajahnya. "Menarik," gumamnya, sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis, tetapi di baliknya ada jejak ketegangan halus seperti binatang yang sadar dirinya sedang diawasi oleh pemangsa lain. Rotherham melangkah mendekat, seolah ingin memastikan sesuatu, tetapi Caelum tidak bergerak mundur sedikit pun. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, ada ketegangan yang tak kasat mata, seperti dua binatang buas yang saling menilai lawan. Caelum menurunkan tangannya, ekspresinya tetap dingin, tetapi matanya berkilat tajam. Ia tidak suka permainan ini, tetapi jika Rotherham ingin bermain, maka ia akan memastikan permainan itu berakhir dengan kekalahan lawannya. "Mari kita lihat sampai kapan Anda bisa menyembunyikannya, P

  • Sisa Takdir   BAB 76

    Ruang pesta yang sebelumnya dipenuhi oleh kemewahan kini telah berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Permadani merah tua yang biasanya membentang dengan megah di lantai kini terkoyak, seperti luka menganga di tubuh yang tak bisa dijahit kembali. Noda anggur yang mengering menciptakan semburat gelap, bercampur dengan pecahan kaca dari gelas-gelas kristal yang terlempar dalam kekacauan. Bau alkohol menyengat, bercampur dengan aroma darah samar yang entah berasal dari siapa. Meja-meja besar yang seharusnya dipenuhi dengan hidangan lezat kini berserakan, beberapa terbalik dengan makanan yang berceceran, menciptakan aroma yang bercampur antara harum daging panggang dan bau anyir dari sesuatu yang tidak seharusnya ada di perjamuan kerajaan. Lilin-lilin yang seharusnya menerangi ruangan dengan cahaya temaram, kini bergoyang-goyang, beberapa di antaranya telah padam akibat hantaman atau angin yang masuk dari jendela yang pecah. Tirai sutra yang tergantung di pilar

  • Sisa Takdir   BAB 75

    Gavier melompat ke samping, menghindari cakar tajam monster itu yang menghantam lantai hingga retak. Serangan makhluk itu brutal dan tak terduga, setiap gerakannya dipenuhi dengan kekuatan liar yang mengerikan. Dengan kecepatan luar biasa, ia kembali menerjang, tetapi Gavier sudah lebih dulu bergerak, menghindar ke belakang sembari menebaskan pedangnya ke sisi tubuh makhluk itu. Namun, seperti sebelumnya, luka yang ia buat segera menutup. Monster itu hanya menggeram marah dan berbalik dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang seharusnya bisa dilakukan makhluk sebesar itu. "Tidak ada gunanya menyerang secara biasa!" seru Gavier sambil melompat mundur. Ronan mengangguk, tangannya menggenggam pedang erat-erat. Cahaya merah semakin terang di bilah pedangnya, energi sihir mengalir dengan intensitas yang terus meningkat. Api mulai merambat dari gagang ke ujung bilahnya, berkobar dengan ganas, seolah merespons niat membunuh yang mulai tumbuh dalam dirinya

  • Sisa Takdir   BAB 74

    Gavier dengan sigap meraih pedang Caelum yang terselip di sarungnya, lalu melemparkannya ke arah sang pangeran. Caelum menangkapnya dengan mudah, menggenggam gagang pedang dengan mantap, seolah sudah siap menghadapi apa pun yang akan datang. Di sisi lain, Ronan mengamati seorang prajurit yang tergeletak dengan luka di bahunya. Ia menunduk, meraih pedang prajurit itu, lalu berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tetapi sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. "Kau jangan jauh-jauh dariku," ujar Ronan kepada Elian. Suaranya tegas, tak terbantahkan. Elian hanya bisa mengangguk. Ia tahu betapa serius situasinya. Namun sebelum ada yang sempat bergerak lebih jauh, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat mengacungkan belati di udara. Mata Elian membelalak. Itu pelayan yang ia lihat sebelumnya! Yang membawa belati di antara kerumunan. "Ma… maafkan saya…" suara pelayan itu terdengar bergetar, pe

  • Sisa Takdir   BAB 73

    Elian masih berada di dekat Caelum, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Perlahan, Gavier mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Caelum. Senyum menyeringai muncul di wajahnya, seolah menyimpan sesuatu yang hanya ia dan Gavier ketahui. Caelum mendekatkan wajahnya ke arah Elian, menatapnya dengan intens. Matanya yang tajam seolah menyelami pikirannya, mencoba membaca ekspresi Elian yang tetap tenang di permukaan. "Nampaknya pesta akan segera dimulai, Tuan Elian. Saya harap Anda berkenan tetap berada di sisi saya," ucapnya dengan senyum yang sulit diartikan. Nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan sekadar undangan biasa, melainkan peringatan terselubung. Elian merasakan bulu kuduknya meremang. Elian menoleh, hendak bertanya maksud perkataan itu, tetapi ekspresi marah di wajah Caelum membuatnya terkejut. Sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan melihat Pangeran Kedua yang juga tengah menyeringai menata

  • Sisa Takdir   BAB 72

    Elian menukar gelas anggurnya dengan jus jeruk, mengangkatnya perlahan sebelum meneguknya. Rasa asam manis menyegarkan tenggorokannya, berbeda dengan rasa anggur yang sering kali membuat kepalanya sedikit pening. Ia melangkah menjauh dari Ronan dan Damien yang masih sibuk bercakap-cakap dengan para bangsawan lain. Pembicaraan mereka terdengar penuh pujian di permukaan, namun Elian tahu betul bahwa di balik senyuman itu, masing-masing dari mereka menyimpan pisau tajam yang siap ditusukkan ke punggung satu sama lain. Ia berjalan ke meja hidangan, mengambil sepotong kue dan menggigitnya perlahan. Matanya menyapu ruangan dengan penuh kehati-hatian, mengamati setiap orang yang hadir. Pesta ini adalah tempat yang tepat bagi para bangsawan untuk mempertontonkan kepalsuan mereka, mempererat aliansi sementara, dan menyusun strategi baru untuk menjatuhkan lawan. Elian mengganti gelas kosongnya dengan gelas jus jeruk yang baru sebelum melangkah ke arah balkon. Angin malam yang berhem

  • Sisa Takdir   BAB 71

    Elian berdiri di depan cermin besar di kamarnya, merapikan stelan putih yang ia kenakan malam ini. Warna cerah itu semakin menonjolkan kontras dengan rambut hitam pekatnya dan mata merahnya yang seperti bara api. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Malam ini adalah malam penting. Bukan hanya karena pesta ini akan dihadiri oleh para bangsawan dari berbagai kerajaan, tetapi juga karena keluarga kerajaan Eldoria akan hadir lengkap. Di belakangnya, Ronan dan Damien sudah siap dengan pakaian resmi mereka. Kakak-kakaknya tidak menanyakan apa pun tentang pembicaraannya dengan Pangeran Ketiga tadi siang. Mungkin karena mereka tahu Elian tidak akan memberikan jawaban yang jelas, atau mungkin mereka hanya memilih untuk tidak membahasnya. "Ayo pergi," kata Ronan, menyeringai kecil sebelum berjalan lebih dulu. Damien mengikuti di belakangnya, sementara Elian mengambil langkah terakhir untuk meninggalkan kamarnya. Saat mereka tiba di aula pest

  • Sisa Takdir   BAB 70

    Elian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Pertemuan singkat dengan Azrael meninggalkan ketegangan yang sulit diabaikan, tetapi ia tetap harus bersikap wajar. Dengan sedikit membungkuk kepada Caelum, ia berbicara dengan nada tenang. "Mohon maaf, Yang Mulia. Saya mohon undur diri terlebih dahulu, saya harus bersiap untuk pesta malam ini. Terima kasih atas waktunya." Caelum menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Tentu. Aku akan melihatmu di pesta nanti." Elian memberikan senyum tipis sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Saat sosoknya menghilang di balik lorong, Caelum menghela napas pelan dan melirik ke arah Gavier yang berdiri di sisinya. Dengan suara rendah, ia bertanya, "Bagaimana?" Gavier melangkah lebih dekat dan berbicara pelan agar hanya Caelum yang mendengarnya. "Saya tidak merasakan mana dalam tubuh Tuan Elian." Caelum menyeringai, matanya berkilat dengan minat yang lebih dalam. "Benarkah? Apa

  • Sisa Takdir   BAB 69

    Elian masih duduk di tempatnya, memperhatikan Pangeran Caelum yang berbicara dengannya. Elian menangkap gerakan canggung itu lagi. Tangan kiri Caelum sedikit berkedut sebelum ia buru-buru meremasnya, seolah menahan sesuatu. Apakah itu rasa sakit? Atau ada hal lain yang ia sembunyikan? Tapi Caelum tidak menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, jadi Elian hanya bisa menyimpan rasa ingin tahunya untuk nanti. Tangan itu tertutup sarung tangan, jadi jika ada yang salah, Elian tidak bisa melihatnya secara langsung. "Jadi, kau tidak terlalu menyukai keramaian?" tanya Caelum, membelokkan percakapan mereka ke arah yang lebih ringan. Elian mengangkat bahunya sedikit. "Aku tidak keberatan dengan keramaian, hanya saja aku lebih suka tempat yang tenang." Caelum tertawa kecil, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip di dalamnya. "Kurasa kita mirip dalam hal itu. Terkadang aku juga ingin menjauh dari tuntutan istana. Tapi, sayangnya, aku tidak memiliki kemewahan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status