Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai.
Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adiknya yang kelaparan. Ethan ingat hari itu dengan jelas, ia masih berusia 10 tahun, mengenakan pakaian lusuh, berdiri di luar gerbang besar keluarga Silvercrest dengan ragu. Ia memegang surat kecil yang ditulis oleh ibunya, berisi sebuah permohonan yang ditujukkan kepada siapa saja yang bersedia membantunya. “Kepala keluarga Silvercrest ingin bertemu!” ujar seorang pelayan setelah membaca surat itu. Ethan hampir tidak percaya. Apa mungkin seorang bangsawan ternama mau meluangkan waktu untuk mendengarkan permohonan keluarga kecil seperti mereka? Namun, ia mengikuti pelayan itu dengan penuh harapan. Saat Ethan akhirnya memasuki ruangan besar keluarga Silvercrest, Ethan mendapati seorang pria tinggi dengan aura tegas tengah duduk di kursi besar, didepannya sebuah meja dengan tumpukan kertas dokumen. Dia adalah Lucien Silvercrest, pemimpin keluarga, ia menoleh menatap Ethan lantas kembali menatap dokumen diatas mejanya. Tangannya sibuk membolak-balikkan dokumen itu. Di pangkuannya duduk seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun. Tubuhnya kecil dan terlihat rapuh, dengan rambut hitam yang rapi dan mata merah yang memancarkan rasa ingin tahu. “Siapa dia?” tanya Elian sambil menoleh kearah ayahnya. Lucien hanya melirik Elian, lantas mengusap rambut hitamnya. “Apa yang membawamu kesini?” tanya Lucien dengan suara dalam dan berwibawa. Ethan merasa gugup di bawah tatapan pria besar itu, tetapi ia menjelaskan keadaan keluarganya. Ia berbicara dengan jujur, dengan suara yang bergetar menahan rasa takut. Lucien mendengarkan tanpa ekspresi, sementara Elian menatap Ethan dengan penuh perhatian, kedua tangannya memegang erat lengan ayahnya. “Keluarga kita bukan lembaga amal,” kata Lucien setelah Ethan selesai berbicara. “Banyak orang yang mengalami kesulitan serupa. Mengapa kami harus membantu keluargamu?” Tangan Ethan menggenggam kain lusuhnya dengan erat, jantungnya berdebar kencang saat Lucien melontarkan pertanyaan itu. Ethan menunduk tidak mampu menjawab. Namun, sebelum keheningan berlangsung lama, Elian menoleh memiringkan kepalanya, menatap ayahnya. “Ayah…” panggil Elian dengan suara kecilnya, “Kita harus membantunya!” katanya pelan namun pasti, matanya menatap Ayahnya penuh harap. “Elian…” balas Lucien tegas “Ini bukan urusanmu.” Elian mengubah posisi duduknya menghadap ayahnya, “Ayah, dia butuh bantuan. Ibunya menangis, Adik-adiknya kelaparan. Bukankah ayah selalu bilang kita harus selalu berbuat baik?” Lucien mendesah panjang. “Elian, kebaikan juga memerlukan kehati-hatian. Kita tidak bisa menolong semua orang.” “Tapi, dia butuh bantuan!” Elian merengek, sambil menunjuk Ethan yang diam terkejut memperhatikan tingkahnya. “Bukankah kita punya banyak uang?” Lucien memijat dahinya, merasa pusing melihat tingkah anak bungsunya. “Elian sayang, kita tidak bisa selalu membantu orang.” Elian mengerucutkan bibirnya, menatap ayahnya dengan mata besar yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam lengan Lucien lebih erat, seperti memohon. Lucien menatapnya, dengan menahan tawa. “Tidak Elian!” jawabnya tegas. Elian menghelan napasnya lantas menoleh menatap Ethan. Tiba-tiba dia tersenyum, “Kalau begitu, aku bisa memberikan uang saku milikku saja.” Lucien terkejut mendengar ucapan itu. “Uang saku?” tanyanya, menatap anak itu dengan alis terangkat. Elian mengangguk dengan penuh semangat. “Aku punya cukup banyak uang, dan aku tidak perlu membeli apa-apa sekarang. Jadi, aku bisa memakainya untuk membantu dia.” Hening memenuhi ruangan, Elian menatap ayahnya dengan penuh semangat, sedangkan Lucien menghelan napasnya. “Baiklah” jawaban itu membuat Ethan mengangkat wajahnya. “Lunasi hutang keluargamu, dan belilah bahan makanan serta benih tanaman. Biaya ini akan diambil dari dana alokasi Cadangan, bukan uang saku Elian. Manfaatkanlah dengan baik.” Ujarnya dengan nada tegas, meski matanya melembut saat menatap putranya. Elian tersenyum lebar, memeluk leher ayahnya. “Terimakasih Ayah.” Lucien hanya menggelengkan kepalanya, bibirnya tersenyum tipis. Elian melompat dari pangkuan ayahnya, mengabil sekantung cemilan miliknya yang berisi roti-rotian. “Ini untukmu, berikan juga untuk adik-adikmu.” Ethan menatap Elian dengan lembut meraih sekantung cemilan itu. Elian berlari kembali ke pangkuan ayahnya. Air mata Ethan mengalir. Ia sangat bersyukur atas bantuan yang diberikan, tanpa sadar hatinya tersentuh oleh ketulusan seorang bocah kecil itu. “Terimakasih.” Ucap Ethan seraya membungkukan badannya, berpamit undur diri. Ethan tersenyum menatap Elian yang akhirnya tertidur. Wajah tuannya terlihat lebih tenang, ia berdiri dari tempat duduknya, merapikan selimut Elian agar menutupi tubuhnya. Ethan menatap lekat wajah Elian, seakan menatap adiknya sendiri, Ethan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. “Tuan muda, apapun yang akan kau hadapi, saya akan selalu berada di sisi anda. Bahkan jika dunia berbalik melawan anda, saya akan menjadi perisai dan tombak untuk anda. Anda menyelamatkan saya sekali, dan sekarang mohon izinkan saya membalasnya.” Ucap Ethan dalam hati. Dibawah bayang-bayang cahaya lilin yang redup, Ethan menatap wajah Elian yang tertidur. Ia tahu apapun yang akan terjadi di masa depan nanti, ia akan melindungi anak ini dengan segenap jiwa dan raganya.Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel
Langkah ringan Elian dan Ronan terdengar di sepanjang jalan yang mengarah ke ruang makan. Lorong-lorong tinggi menghiasi perjalanan mereka. Ukiran-ukiran mahal terpampang di sepanjang jawal, seolah menyapa mereka. Ronan berjalan di samping adiknya, sesekali meliriknya dengan penuh perhatian memastikan bahwa dia baik-baik saja, namun tetap membiarkannya menikmati ketenangan yang ada.Setibanya di ruang makan, mereka melihat Damien yang duduk di meja besar, pandanganya tidak lepas dari tumpukan dokumen di depannya. Begitu melihat Elian dan Ronan datang, Damien segera menoleh, senyuman tulus langsung terukir di wajahnya. Ia berdiri dan mendekat kea rah Elian.“Kak Ronan, Elian! Kalian akhirnya datang,” kata Damien dengan suara ceria. Namun, begitu ia melihat wajah Elian kecemasannya terlihat jelas. “Bagaimana keadaanmu Elian? Aku minta maaf dalam beberapa hari ini tidak bisa mengunjungimu. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan.”Elian tersenyum kecil,
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar di kamar Elian, menyinari ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Elian sudah bangun lebih awal, tidak seperti biasanya hari ini dia sangat bersemangat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya mengenakan pakaian sederhana namun tetap terlihat elegan, dengan warna lembut yang mempertegas auranya. Ethan berdiri di sampingnya, membantu Elian berpakaian dan memeriksa tas kecil yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka ini.“Tuan muda, apa anda yakin akan melakukan perjalanan ini? Anda terlihat lebih lemah dari biasanya.” Tanya Ethan lembut dengan nada cemas, pandangannya penuh perhatian ke arah Elian.Elian tersenyum kecil, berusaha menenangkan pelayannya yang setia. “Aku baik-baik saja Ethan. Hari ini sangat penting, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”Ethan menghelan napas, dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan tuannya ini ketika dia sudah memutuskan sesuatu. “Baiklah, Tuan muda. Saya ak
Kedai kecil itu di penuhi dengan aroma manis yang begitu menggoda. Elian duduk di kursi kayu sederhana, memperhatikan sepasang suami istri yang sibuk menyiapkan hidangan di dapur kecil mereka. Meskipun suasana riuh di luar, kedai ini menawarkan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Suasana di dalam kedai ini tersa begitu harmonis, dan membuat siapapun merasa nyaman untuk berlama-lama di sini.Tak lama kemudian, sebuah nampan diletakkan di atas meja. Di atasnya, terlihat beberapa potongan kue kecil berbentuk bunga, dengan warna pastel yang lembut dan taburan gula halus di atasnya. Aroma madu dan bunga mawar menyapa indra penciuman Elian, membawa kenangan masa lalunya kembali.“Kue ini disebut dengan Kue bunga, ini adalah hidangan manis yang paling di gemari di kedai ini.” Ujar wanita pemilik kedai dengan senyum ramah, “Padahal tidak ada yang Istimewa dari hidangan ini, awalnya saya hanya mencoba menghidangkannya karena ini makanan favorit anak saya, ternya
Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?
Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata
Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya. Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah. Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na
Rumah itu sunyi, seperti napas terakhir yang tertahan di kerongkongan. Berdiri di tengah hutan yang lembap dan berkabut, bangunannya dari kayu tua yang mulai menghitam, seolah menyerap semua penderitaan yang pernah terjadi di dalamnya. Setiap ruangan dipagari besi, menjadikannya bukan sekadar rumah, tapi penjara bagi mereka yang menjadi korban manusia yang tubuhnya belum sepenuhnya berubah menjadi monster. Jeruji besi terpasang di setiap sisi, dengan simbol pengunci sihir tertulis di atasnya. Di balik masing-masing pagar, sosok-sosok duduk termenung, menggigil dalam diam. Mata mereka masih menyala dengan kesadaran, meski tubuh mereka telah diliputi tanda-tanda kutukan. Sebagian tubuhnya bersisik, yang lain berurat hitam, namun semua masih bernafas sebagai manusia. Kaelian berjalan melewati lorong kayu itu, langkahnya pelan tapi penuh ketegangan. Ia membawa gulungan-gulungan kertas dan buku catatan yang lusuh, berisi puluhan formula sihir yang telah ia uji coba se
Malam telah datang. Cahaya bulan menyelinap redup di balik tirai tebal. Di luar, angin berembus pelan, mengayun pucuk-pucuk pohon dan menyapu rerumputan yang terdiam dalam dingin. Kediaman Pangeran Caelium terasa tenang, terlalu tenang. Elian berdiri di balik jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Malam ini tidak hanya gelap di luar. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, menggelayut seperti kabut. “Kau akan menginap di sini,” kata Caelium tiba-tiba, memecah keheningan. Elian tidak menoleh. “Aku tahu. Tak aman untuk keluar malam ini.” “Kau juga merasa ada yang tidak beres?” Elian mengangguk pelan. “Seolah… sesuatu sedang menunggu,” gumamnya. Caelium berjalan santai ke meja dan menuang dua cangkir teh hangat. Diberikannya satu pada Elian yang masih berdiri di depan jendela. “Duduklah,” ucapnya lembut. “Tak ada gunanya kau menyiksa dirimu sendiri malam ini.” Elian akhirnya berpaling dan d
Setengah roti di piring itu hampir habis ketika percakapan mereka perlahan memasuki arah yang lebih serius. Awalnya hanya obrolan ringan tentang angin musim semi yang mulai membawa harum bunga, lalu beralih pada keadaan dapur istana yang anehnya kini selalu ramai saat malam. Tapi semua berubah saat Elian meletakkan cangkirnya di atas meja, perlahan, dengan tatapan yang mulai berubah tajam. “Saya dengar dari Pangeran Kaelian,” katanya tenang namun penuh maksud, “Bahwa Anda telah turun langsung ke lapangan, mencari beberapa pendukung, termasuk dari rakyat?” Caelium yang duduk bersandar pada sandaran kursinya ikut menurunkan cangkirnya. Suara cangkir beradu pelan dengan piring kecil porselen di bawahnya. “Benar sekali,” jawabnya tanpa ragu, lalu melirik Elian dengan pandangan yang kini jauh lebih dalam. “Beberapa bangsawan telah menyatakan kesediaan untuk mendukungku. Di antaranya Marquis Hestell, Lady Vierra dari Timur, dan tentu saja Lord Alland dari sel
Senja menggantung indah di langit Eldoria, mewarnai ruangan pertemuan dengan semburat keemasan yang temaram. Jendela-jendela tinggi berbingkai kaca patri membiaskan cahaya lembut yang menari di lantai marmer, menciptakan bayangan seperti lukisan yang bergerak perlahan. Aroma teh dan kudapan manis memenuhi udara, menghadirkan kenyamanan langka di tempat yang biasanya penuh tekanan politik. Caelium duduk dengan santai di kursi utama, menyilangkan kaki dan memandang keluar jendela sejenak sebelum menoleh ke Elian, yang duduk di sampingnya. Elian tampak ragu, tangan di pangkuannya diam, tatapannya masih canggung pasca pelukan mendadak tadi. Sementara itu, Ethan dan Caine berdiri di dekat sisi ruangan, namun atas permintaan Caelium sendiri, mereka ikut bergabung duduk di kursi kecil. Teko teh telah disiapkan di atas meja bundar, lengkap dengan berbagai kudapan yang tampaknya terlalu mewah untuk hanya empat orang. “Silakan, Ethan, Caine. Tidak perlu terlalu k
Langkah-langkah mereka bergema lembut di koridor marmer yang panjang. Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi kiri dan kanan, dihiasi ukiran rumit khas kerajaan Eldoria garis-garis lengkung berkilau, seolah memantulkan kenangan yang tersembunyi di balik tiap lekuknya. Cahaya mentari sore menembus jendela kaca patri, menciptakan bayangan warna-warni di lantai, seakan mengantar mereka menuju takdir yang telah lama menunggu di ujung lorong. Elian menggenggam sisi jubahnya erat-erat. Bukan karena gugup setidaknya, bukan hanya karena itu. Detak jantungnya terasa terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu nyata. Seolah tubuhnya tahu, jauh sebelum pikirannya sempat menyadari, bahwa ini bukan pertemuan biasa. Ethan berjalan setengah langkah di belakangnya, seperti biasa menjaga jarak namun tetap waspada. Caine ada di sisi lain, matanya awas, tapi sesekali melirik ke arah Elian. Ia tahu betul, bukan bahaya dari luar yang sedang dihadapi Elian kali ini melainkan badai yang ber