Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.
Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun. Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan. Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir. Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangunkanmu.” Katanya dengan suara lemah. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat ke sisi ranjang, “Jangan khawatirkan saya, Tuan muda. Apakah anda merasa lebih baik sekarang?” Elian mengangguk kecil, “Aku merasa lebih baik.” Ethan merasa lega mendengarnya. Ia segera marapikan bantal dibelakang Elian, membantu tuannya duduk lebih nyaman. “Syukurlah. Saya akan mengambilkan air untuk anda.” Ethan akan beranjak pergi dari sisi ranjang Elian, tetapi tangan Elian menghentikannya. “Tidak perlu, tetaplah disini Ethan,” pinta Elian, memikirkan akan ditinggal sendirian diruang gelap ini membuatnya teringat ruangan gelap tempat Dimana Azrael membunuhnya. Ethan menatap Elian, melihat tangannya bergetar berusaha menahannya untuk tidak pergi. “Ada yang ingin anda bicarakan, Tuan muda?” tanyanya seraya duduk kembali di kursinya. Elian menghelan napas lega, dia diam seribu bahasa tidak tau harus berbicara apa. Elian diam memperhatian Ethan yang setia menunggunya berbicara. Dalam benaknya terlintas rasa syukur bercampur dengan kebingungan. Mengapa Ethan begitu baik padanya? Apa yang telah ia lakukan hingga pantas mendapatkan perhatian seperti ini. Setelah beberapa saat keheningan mendampingi mereka, Elian memberanikan diri membuka mulutnya. “Ethan…” panggilnya lembut membuat Ethan menoleh kearahnya, “Kenapa kau begitu baik padaku? Bukankah sangat merepotkan mempunyai tuan yang sakit-sakitan sepertiku?” Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam sejenak. Ia menatap Elian lembut, “Karena anda adalah orang yang sangat berharga tuan. Kesetiaan saya adalah cara saya untuk menunjukkan rasa terimakasih atas apa yang telah anda lakukan.” Elian mengerutkan kening, nampak bingung. “Apa maksudmu?” Ethan menunduk, mengingat masa lalu. “Anda mungkin tidak ingat Tuan muda, tapi anda menyelamatkan hidup saya dan keluarga saya. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan itu.” Elian memiringkan kepalanya, berusaha untuk mengingat, “Aku…. Tidak mengingatnya” entah karena tertumpuk ingatan kehidupannya yang lalu, kenangan itu seakan lenyap dari ingatan Elian. Ethan tersenyum tipis, “Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, saat saya dan keluarga saya hampir kehilangan segalanya. Anda, Tuan muda memberikan bantuan tanpa pamrih kepada kami. Anda tidak memandang rendah saya meskipun saya hanyalah anak dari keluarga yang tidak memiliki apa-apa. Saya tidak tahu apa yang anda pikirkan saat itu, tetapi bagi saya anda adalah penyelamat.”Elian menunduk, merasa bersalah tidak dapat mengingat kejadian itu. Keheningan kembali mendatangi mereka. “Ethan…?” suaranya pelan, “Boleh kah aku bertanya?” “Ya, Tuan muda, silahkan” Ethan menoleh dengan penuh perhatian. “Jika…” Elian berhenti sejenak, menelan rasa gugupnya. “Jika suatu saat aku melakukan sesuatu… sesuatu yang mungkin tampak salah dimata orang lain, apakah kau masih akan mempecayaiku?” Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, hanya ekspresi tenang yang ia gambarkan. “Tuan muda…” Ethan akhirnya berbicara, suaranya lembut namun tegas. “Saya tidak melayani anda karena tugas, tetapi karena keyakinan saya pada hati anda. Saya tahu anda seseorang yang selalu memiliki alasan untuk setiap tindakan anda, bahkan jika itu tidak mudah dipahami oleh orang lain.” Elian mengerutkan keningnya, merasakan beban yang berat di dadanya. “Lalu, jika aku memintamu untuk melakukan sesuatu yang mungkin sulit, atau bahkan tidak masuk akal, apakah kau akan melakukannya?” Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam kembali, “Tuan muda, hidup saya telah menjadi milik anda sejak lama. Jika anda meminta saya melakukan sesuatu, apapun itu, saya akan melakukannya tanpa ragu.” Elian merasa dadanya mengencang mendengar jawaban itu, “Tapi bagaimana jika permintaanku berbahaya untukmu? Atau bahkan untuk orang lain?” Ethan menjawab tanpa ragu, “ Saya tidak akan mengikuti anda karena itu benar atau salah di mata dunia. Saya mengikuti anda karena saya percaya pada hati anda, Tuan muda. Jika suatu hari anda merasa bahwa apa yang anda minta adalah salah, maka saya aka nada di samping anda, untuk membantu anda memperbaikinya.” Mata Elian melembut, hatinya terhimpit oleh emosi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa Ethan berbicara dari lubuk hatinya, tanpa sedikitpun keraguan. Namun, kata-kata itu juga menimbulkan rasa takut dalam dirinya, takut mengecewakan orang-orang yang telah begitu mempercayainya. “Ethan…” katanya akhirnya, dengan suara hampir berbisik. “Aku tidak tahu, apa yang menungguku di masa depan. Tapi, jika aku membuatmu menyesal karena mengikuti permintaanku, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.” Ethan tersenyum hangat menyentuh punggung tangan Elian yang putih dan kurus, menatapnya dengan penuh rasa syukur, “Anda tidak akan pernah membuat saya menyesal, Tuan muda.” Elian menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecambuk dalam dirinya. “Aku… merasa beruntung memiliki seseorang seperti kau disisku.” Ethan tersenyum lembut, “Dan saya merasa terhormat bisa berada di sisi anda, Tuan muda. Tolong jangan ragu untuk mengandalkan saya.” Malam itu, dalam keheningan kamar yang hanya diterangi cahaya lilin, Elian merasakan sesuatu yang langka, ketenangan. Meski beban masa lalu dan ketakutan akan masa depan masih ada, kehadiran Ethan menjadi pengingat bahwa ia tidak berjalan sendiri.Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn
Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Elian masih duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya hanyut dalam ketenangan yang rapuh. Semilir angin membawakan aroma bunga yang manis, menyelimuti dirinya dalam suasana yang menenangkan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ketenangan itu hanyalah sebuah ilusi yang dapat menghilang kapan saja. Ia menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada rerumputan yang bergoyang lembut. Tapi pikirannya melayang jauh.Langkah kaki berat terdengar mendekat, memacah keheningan. Elian menoleh perlahan, melihat sosok tinggi dengan pedang di sampingnya, sosok yang sangat familiar di mata Elian. Senyum tipis berkembang di wajah Elian, ia adalah kakak pertama Elian Ronan Silvercrest. Tubuh Ronan masih dibasahi keringat, rambut hitamnya berantakan, menunjukan bahwa dia baru saja selesai berlatih pedang. Tubuhnya tinggi kekar, dengan pedang panjang yang dia bawa dia tampak keren cukup untuk membuat siapapun jatuh cinta jika melihatnya. Jika saat ini ada seorang wanita mungkin dia akan pingsan mel
Langkah ringan Elian dan Ronan terdengar di sepanjang jalan yang mengarah ke ruang makan. Lorong-lorong tinggi menghiasi perjalanan mereka. Ukiran-ukiran mahal terpampang di sepanjang jawal, seolah menyapa mereka. Ronan berjalan di samping adiknya, sesekali meliriknya dengan penuh perhatian memastikan bahwa dia baik-baik saja, namun tetap membiarkannya menikmati ketenangan yang ada.Setibanya di ruang makan, mereka melihat Damien yang duduk di meja besar, pandanganya tidak lepas dari tumpukan dokumen di depannya. Begitu melihat Elian dan Ronan datang, Damien segera menoleh, senyuman tulus langsung terukir di wajahnya. Ia berdiri dan mendekat kea rah Elian.“Kak Ronan, Elian! Kalian akhirnya datang,” kata Damien dengan suara ceria. Namun, begitu ia melihat wajah Elian kecemasannya terlihat jelas. “Bagaimana keadaanmu Elian? Aku minta maaf dalam beberapa hari ini tidak bisa mengunjungimu. Banyak sekali tugas yang harus aku selesaikan.”Elian tersenyum kecil,
Pagi itu, sinar matahari lembut menembus jendela besar di kamar Elian, menyinari ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Elian sudah bangun lebih awal, tidak seperti biasanya hari ini dia sangat bersemangat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya mengenakan pakaian sederhana namun tetap terlihat elegan, dengan warna lembut yang mempertegas auranya. Ethan berdiri di sampingnya, membantu Elian berpakaian dan memeriksa tas kecil yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka ini.“Tuan muda, apa anda yakin akan melakukan perjalanan ini? Anda terlihat lebih lemah dari biasanya.” Tanya Ethan lembut dengan nada cemas, pandangannya penuh perhatian ke arah Elian.Elian tersenyum kecil, berusaha menenangkan pelayannya yang setia. “Aku baik-baik saja Ethan. Hari ini sangat penting, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”Ethan menghelan napas, dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan tuannya ini ketika dia sudah memutuskan sesuatu. “Baiklah, Tuan muda. Saya ak
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari kristal sihir yang melayang di sudut, memancarkan cahaya kebiruan yang dingin. Dinding batu yang lembap menambah kesan suram, membuat udara di dalamnya terasa berat dan mencekam. Bau apek dan samar-samar aroma darah menguar di udara, seolah ruangan ini sudah sering menjadi saksi bisu penderitaan mereka yang dikurung di dalamnya. Lantai batu dingin terasa kasar dan licin, mungkin karena kelembapan atau sesuatu yang lebih mengerikan. Di tengah ruangan, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak, wajahnya tersembunyi oleh bayangan tudung yang menutupi kepalanya. Ia menggenggam lengan seorang pelayan yang tampak gemetar, tubuhnya bergetar ketakutan saat ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat pria itu. Di depannya, sosok lain berdiri dengan aura yang lebih menakutkan. Azrael. Mata merahnya menyala seperti bara api di dalam kegelapan, mengamati pelayan yang dipaksa berlutut di hadapannya. Deng
"Aku ingin mengunjungi Elian," ucap Caine pelan, suaranya masih serak setelah berjam-jam beristirahat. Ethan, yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap, menatapnya tajam. "Makanlah dulu," katanya tegas. "Kau bahkan berdiri saja tidak punya tenaga sama sekali." Caine ingin membantah, tetapi kenyataan berbicara lain. Kakinya terasa lemas, seolah baru pertama kali digunakan setelah sekian lama. Tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri setelah kejadian itu. Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan sedikit saja bergerak terlalu cepat, dadanya terasa sesak. Ia akhirnya memilih menurut. Ethan membantunya duduk lebih tegak di atas ranjang, lalu meletakkan semangkuk bubur hangat di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Caine mulai makan. Suapan pertama terasa hambar, tapi ia tidak peduli. Ia tahu tubuhnya butuh energi agar bisa segera menemui Elian. Setelah beberapa menit, mangkuk di depannya sudah kosong. Caine menyandarkan kepalanya sebentar, merasa
Caelum masih duduk di tempatnya setelah percakapannya dengan Kaelian berakhir. Meski makan siang mereka telah selesai, pikirannya tetap berputar-putar, memproses setiap kata yang dikatakan oleh kakaknya. "Jika kau ingin mendapatkan tahta, carilah pendukung dari berbagai lapisan masyarakat." Sebelumnya, Caelum memang telah mempertimbangkan untuk memperkuat aliansinya dengan keluarga Silvercrest dan beberapa bangsawan kunci. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk meraih dukungan rakyat jelata. Di benaknya, mereka hanyalah bayangan yang bergerak di sela-sela kekuasaan, bukan sesuatu yang dapat mempengaruhi takdir seorang calon pewaris. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal saran Kaelian. Jika ia berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat, maka para bangsawan yang ragu mungkin akan melihatnya sebagai ancaman yang nyata atau sebagai sekutu yang berharga. Kaelian sudah bangkit dari tempat duduknya, hendak meninggalkan paviliun, tetapi sebe
Caelum berjalan menyusuri koridor istana yang cukup ramai dengan para pelayan yang berlalu lalang. Beberapa dari mereka menundukkan kepala dengan hormat saat melewatinya, tetapi ia tak terlalu memperhatikannya. Langkahnya tetap stabil, meskipun pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan. Beberapa waktu lalu, Gavier telah mengirim pesan kepada Pangeran Pertama untuk menyampaikan permintaan pertemuan. Tak butuh waktu lama bagi Kaelian untuk memberikan jawaban, ia setuju untuk makan siang bersama. Oleh karena itu, kini Caelum berjalan menuju taman pribadi milik kakaknya, tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Ketika Caelum tiba, ia melihat sosok Kaelian duduk dengan tenang di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat. Sikapnya tetap seperti biasa tenang, penuh wibawa, tetapi memiliki aura yang tidak bisa diremehkan. "Apakah Kakak sudah menunggu lama?" tanya Caelum sambil mendekat. Kaelian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis sebel
Caine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya sedikit menyipit. Napasnya masih terasa berat, tetapi tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk tubuhnya seperti sebelumnya. Saat pikirannya mulai jernih, ingatan tentang pertempuran di perbatasan langsung menghantamnya. Serangan mendadak, pasukan Azrael dan Pangeran Kedua, penyelidikan tentang praktik sihir terlarang di desa terpencil… dan— Matanya melebar. Elian. Jantungnya berdegup cepat. Seingatnya, dia seharusnya sudah mati. Tubuhnya hampir hancur karena serangan mereka, tetapi… “Elian…” gumamnya pelan. Pintu tiba-tiba terbuka. Caine refleks menoleh dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu. Lucien Silvercrest. Tatapan pria itu tajam, seolah mampu menembus pikirannya. Tidak ada emosi berlebihan di wajahnya, tetapi auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sesak. Caine langsung berusaha bangkit,
Damien dengan hati-hati memindahkan tubuh Caine ke ranjang di sebelah Elian. Gerakannya perlahan, seolah takut melukai pemuda itu lebih jauh. Setelah memastikan posisi Caine nyaman, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajah Caine yang sebelumnya pucat seperti mayat kini tampak lebih baik seperti seseorang yang sedang tertidur, bukan lagi raga tanpa nyawa. Napasnya mulai stabil, dada tipisnya naik turun dalam ritme yang tenang. Damien menghela napas lega. "Dia pasti akan segera sadar," ucapnya pelan, seakan lebih meyakinkan dirinya sendiri. Setelah memastikan kondisi Caine, ia beralih ke Elian. Tubuh pemuda itu masih dingin, napasnya nyaris tak terdengar. Luka-luka di tubuhnya telah ditangani, tetapi wajahnya tetap pucat. Damien duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, seakan mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan sekecil apa pun. "Kau terlalu keras kepala untuk menyerah, bukan?" gumamnya lirih. Namun, Elian tetap diam. Ethan yang sejak
Tidak. Tidak. Tidak. Suara Elian bergetar, memantul di ruangan yang hening. Tangannya mengguncang tubuh Caine yang semakin dingin, seolah berharap itu bisa membangunkannya. Tapi Caine tetap diam. Napasnya tak ada. Dadanya tak lagi naik-turun. “Ah… tidak… tolong… Caine…” Tangisnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tangan Elian berusaha mencari denyut nadi di leher Caine, namun ia tak merasakan apa pun. Kepanikan merayapi seluruh tubuhnya, membuatnya gemetar hebat. Ethan, yang berdiri di dekatnya, perlahan meraih pergelangan tangan Caine, mencari denyut nadinya. Wajahnya menegang saat ia menyadari kebenarannya, Caine sudah tidak bernyawa. “Ethan, panggil Damien! Dia… dia pasti bisa menyembuhkannya! Sekarang juga!” Namun, Ethan tidak bergerak. Ia hanya berdiri di tempatnya, tatapannya redup dan penuh kesedihan. “Kenapa kau diam saja? Hei, ETHAN!” Elian berteriak, matanya membelalak dengan emosi yang meled
Caine bersama beberapa prajurit yang selamat berhasil menjauh dari desa itu dengan napas yang terengah-engah. Kakinya terasa begitu berat seolah seluruh energinya telah terserap habis. Tubuhnya nyaris tidak mampu lagi menapak tanah, dan pikirannya berkabut antara kenyataan dan ilusi. Sesekali, dia merasa darahnya tersedot perlahan dari tubuhnya, meninggalkannya dalam kehampaan yang semakin pekat. Beberapa prajurit di belakangnya tertatih-tatih, luka mereka menganga dan darah mengalir tanpa henti. Nafas mereka tersendat, tetapi mereka tetap berjalan, bertahan demi mencapai tempat yang aman. Seorang prajurit meminta izin untuk beristirahat. Awalnya, Caine menolak. Dia tahu mereka tidak memiliki banyak waktu. Jika mereka berhenti, mereka mungkin tidak akan sampai di tempat Elian dengan selamat. Tapi ketika melihat kondisi para prajurit yang semakin parah, dia tidak punya pilihan lain. "Baiklah," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Mereka memilih sebua
Caine berlari dengan napas terengah-engah, setiap tarikan udara terasa seperti pisau yang menyayat paru-parunya. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, membasahi pakaiannya yang robek, meninggalkan jejak samar di tanah. Tapi dia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tidak ketika maut terasa begitu dekat di belakangnya. Prajurit yang tersisa di sisinya juga dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka berhasil kabur dari tempat itu, tapi entah sihir apa yang terakhir kali mengenainya, tubuhnya terasa berat, seakan-akan ada rantai tak kasat mata yang mengekangnya. Kepalanya dipenuhi suara-suara aneh bisikan samar yang tidak bisa dia pahami, kadang terdengar seperti tawa sinis, kadang seperti jeritan putus asa. Pandangannya berbayang sesekali, membuatnya hampir tersandung beberapa kali. Sebuah kutukan, mungkin. Dan jika dia tidak segera menemui Elian, kutukan ini bisa membunuhnya sebelum musuh berhasil menangkapnya. Langit semakin gelap, dan bayangan malam seakan menga