Raka menatap nanar ketiga istrinya dengan penuh keterkejutan karena ia baru siuman dari mati surinya. dan ia tersadarkan diri di zaman kuno dan bukan di zaman saat ia kecelakaan yaitu di zaman modern. alih-alih bangun di rumah sakit. malah kini ia tersandra oleh zaman kuno dengan beban tiga istri yang cantik dengan tubuh sempurna sehingga hal ini seperti mimpi bagi raka. namun sialnya ia siuman pada keadaan yang memprihatinkan dibuang oleh ayahnya dan di coret dari daftar keluarga Wiroguno. sehingga menjadi pekerja di desa terpencil dan jauh dari kedua saudaranya. dan juga ia menjadi anak terlemah dari tiga bersaudara hingga ia sering di tindas oleh keluarganya sendiri.
view moreDi Kali Bening, bangunan-bangunan baru terus berdiri. Sebuah lumbung besar tengah dibangun tak jauh dari pelabuhan. Tak jauh dari sana, dermaga tambahan melengkapi Pelabuhan Sungai yang sudah ada disiapkan untuk kapal-kapal berukuran besar dari Sungai Manganti.Dari pendopo balai desa yang berdiri megah di atas batu tebing, Raka memandang ke arah pasar dan pelabuhan. Bersamanya, dua kepala dusun dan seorang saudagar dari Kadipaten.âKegiatan bongkar muat sudah dua kali lipat dari bulan lalu,â lapor Kepala Dusun Tumo. âDan para saudagar kini meminta agar pasar malam diadakan dua kali seminggu.âRaka mengangguk. âBagus. Tapi pastikan keamanan dijaga. Jangan biarkan pedagang dari luar membawa kelicikan ke dalam desa ini.âSaudagar tua dari Kadipaten pun berkomentar, âWahai Kades Raka, belum pernah hamba melihat desa semaju ini... bahkan di tengah kadipaten pun belum tentu ada jalan semen selurus ini.âRaka hanya tersenyum.âSemua karena rakyat percaya dan mau bergerak bersama. Tanpa mere
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati pasar rakyat dengan lapak-lapak dari kayu dan atap genting merah yang tersusun simetris. Di seberangnya, berdiri balai desa di atas tebing batu pinggir Kali Bening. Megah namun tetap menyatu dengan alam. Dindingnya dari batu andesit bebaur dengan bata merah yang dipahat tangan-tangan muda desa, dengan ukiran matahari dan aliran air.âIni seperti bangunan kadipatenâŚâ gumam salah satu pejabat. âTapi dibangun oleh desa baru berdiriâŚââBukan istana, Tuan,â ujar Raka dengan tenang. âIni rumah tempat rakyat menaruh harap. Karena itulah kami buat yang kuat, tegak, dan tak gampang roboh.âDi kejauhan, rumah besar Raka tampak menjulang dari balik pohon beringin tua. Bertiang batu alam membentuk pilar, beratap genting merah berdinding bata merah pula, halaman luas menghadap lembah dan sungai.Aryo yang turut berjalan dalam rombongan itu tertegun. Matanya melebar, dadanya mendadak sesak.âRumah siapa itu?â bisiknya pada seorang pamong dari Kali Bening.âRu
Malam menuruni Desa Petir perlahan. Angin membawa aroma padi matang dan tanah lembap. Di balai desa, suasana perlahan mereda. Namun mata Raka masih waspada.Ia memutuskan meninggalkan balai desa lebih awal. Bukan karena lelah, tapi karena firasatnya menguat. Ia mengenakan kain biasa dan berjalan menunduk, menyusuri gang-gang kecil yang tidak dikenali oleh orang luar. Seperti bayangan, ia menyelinap di balik warung tua, menjauh dari keramaian.Dari kejauhan, matanya menangkap siluet Aryo yang melangkah cepat, sendirian. Raka mengikutinya dalam diam. Langkah Aryo menuju sebuah bangunan kayu besar di ujung desaâgudang tua milik keluarga Wironegoro.Raka menahan napas, menyelip di balik gang sempit yang langsung menghadap ke gudang. Dari celah papan bambu yang renggang, ia melihat Aryo membuka pintu dan masuk, membawa sebuah lentera kecil.Di dalam gudang yang remang-remang, Andini duduk terikat di sudut ruangan. Tatapannya tegas meski tubuhnya lemah. Aryo mendekatinya lagi dengan gaya me
Ruangan gelap itu hanya diterangi cahaya minyak dari lentera kecil yang tergantung di langit-langit. Bau lembap dan debu memenuhi udara. Di sudut ruangan, Andini terbaring lemah dengan tangan terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, tapi matanya masih menyala dengan semangat yang belum padam.Pintu kayu berderit pelan. Aryo masuk perlahan sambil membawa kendi berisi air. Ia tersenyum, senyum yang lebih mirip kepalsuan daripada ketulusan.âAndini... kau sudah siuman,â katanya lirih, seolah-olah tak pernah melakukan dosa. Ia mendekat, menuang air ke dalam cawan tanah liat. âMinumlah, kau pasti haus.âAndini mengalihkan wajahnya. âApa yang kau inginkan, Aryo?âDengan lembut yang dipaksakan, Aryo menyentuhkan kain basah ke pipi Andini, membersihkan sisa debu. âAku hanya ingin kau tenang. Tak ada yang akan menyakitimu... selama kau tak membuatku marah.âAndini bersiap berteriak, namun Aryo buru-buru mencengkeram dagunya, matanya berubah buas. âSekali saja kau berteriak... l
Beberapa saat kemudian, Raka kembali ke rumah. Begitu ia melihat lentera padam dan dayang tua pingsan di tanah, ia segera menarik pedangnya.âAndini!â serunya, berlari ke dalam rumah.Namun rumah itu kosong.Hatinya bergemuruh. Raka berjongkok, menemukan bekas telapak kaki di tanah yang belum kering. Ia menyentuhnya. Masih hangat. âBaru saja...âDalam waktu singkat, alarm darurat dipukul. Para prajurit Kali Bening berkuda ke segala arah, menyalakan obor dan menyisir hutan serta jalan-jalan gelap.Di Balai Agung, Roni dan Riko segera berkumpul bersama Raka.âSiapa yang berani menyentuh istrimu paman di wilayah kita sendiri?â geram Riko.Raka menatap ke arah baratâke arah Desa Petir. Matanya menyipit. âYang merasa tersingkir... dan menyimpan dendam.ââBeri aku waktu satu malam,â kata Roni sambil menggenggam gagang pedangnya. âJika mereka membawa bibi Andini keluar dari wilayah Kali Bening, kita akan kejar mereka... sampai ke ujung negeri.âRaka mengepalkan tangan.âAndini... tunggulah.
Langit sore itu menggantungkan awan kelabu di atas Desa Petir, seolah ikut merasakan kegundahan yang menyelimuti hati para gadis di sana. Di balai desa, para tetua telah berkumpul, berharap kabar baik dari dua pemuda terhormat yang baru saja tiba dari perjalanan panjang: Roni dan Riko, keponakan dari Kades Zeno, serta keponakan dari Panglima Raka, sang pahlawan dari Kali Bening.Kepala Desa Wiroguno berdiri di tengah balai, berwajah sumringah namun sedikit tegang. Di sampingnya, Aryo, tangan kanannya, menunduk dengan tenang, sembari sesekali melirik ke arah para gadis desa yang berdandan lebih rapi dari biasanya."Roni, Riko," ucap Wiroguno membuka pertemuan. "Kami, mewakili Desa Petir, dengan tulus menyampaikan lamaran dari keluarga-keluarga terbaik di sini. Anak-anak gadis kami telah memendam harapan besar atas kedatangan kalian."Namun, Riko menatap lurus ke depan. Ia menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, lalu berkata pelan namun tegas, âKami menghargai niat baik ini, namun kami
Pagi itu, mentari baru setengah naik di langit timur ketika dentang lonceng kayu terdengar dari pelabuhan Kali Bening. Setelah kerja siang dan malam tanpa henti, pelabuhan baru akhirnya rampung. Kini, dua kapal besar bisa bersandar dengan leluasa, dan tiga kapal kecil lainnya berjejer di sisi selatan dermaga.Dari atas balai pengawas, Raka tersenyum puas, berdiri dengan tangan bersilang di dada. Di sampingnya, Naka bendahara desa kali bening mengangguk kagum.âTak kusangka dermaga ini bisa selesai dalam dua malam saja,â ujar Naka.âJika kita terus menunggu restu dari langit, maka kaki kita takkan pernah menginjak tanah yang kita tuju,â jawab Raka ringan. âDesa ini tak boleh diam. Harus tumbuh seperti anak-anak muda kita yang makin gagah.âNaka menoleh ke arah dua sahabatya yang sedang membantu nelayan menurunkan muatan dari kapalâRoni dan Riko.Roni dan Riko telah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Tubuh mereka tegap, wajah mereka jernih seperti air sungai Kali Bening. Mereka telah membang
Angin berhembus lembut dari arah barat, namun di dalam dada Raka, badai belum jua reda. Ia berdiri di depan pendopo rumahnya, memandangi bulan yang menggantung setengah penuh di langit. Pikirannya kembali pada kejadian malam ituâkejadian yang hanya ia ketahui dan sengaja ia sembunyikan dari ketiga istrinya.âTak perlu mereka tahu,â gumam Raka lirih, âBila hati mereka tenang, maka rumah tangga pun tak goyah.âIa menatap jauh, ke arah penjuru desa. Bayangan hitam yang melintas diam-diam malam itu belum bisa ia lupakan. Sesuatu sedang bergerak dari luar, dan Raka tahu... angin kedamaian bisa saja berbalik menjadi angin pembawa bencana.Keesokan harinya, dua pemuda, Roni dan Riko, memikul keranjang besar berisi makanan hangat dari rumah makan Sekar Kedaton. Beberapa pekerja membantu mereka menyiapkan makanan untuk para penjaga di gerbang dan benteng desa.âCepat, Riko, nasi jangan sampai dingin. Penjaga di barat sudah berjaga sejak fajar!â seru Roni sambil menyeimbangkan beban di pundakny
Sunyi di ruang belakang rumah dinas pejabat kecamatan Kemusuk. Lampu minyak bergoyang tertiup angin, dan di dalamnya, dua bayangan sedang berembuk dalam nada pelan tapi penuh niat buruk.Galih, dengan jubah gelapnya, duduk membelakangi jendela. Sementara Aryo, pejabat muda anak kades desa petir yang terbakar iri hati sejak Kali Bening dikenal, mencoret-coret peta desa dengan arang di atas kulit kayu.âJika ia tidak bisa dijatuhkan dari atas,â gumam Galih, âmaka biarkan rakyatnya sendiri yang mengguncang dari bawah.âAryo mengangguk. âAku sudah kirim orang ke pasar sisi timur. Beberapa orang bayaran, bekas perampok, dan penghasut. Mereka akan menyusup sebagai pedagang, buruh, dan bahkan pengemis. Satu bulan cukup untuk menyalakan api dari dalam.âGalih menyeringai. âDesa itu terlalu damai. Sedikit kerusuhan, sedikit kelangkaan makanan, satu-dua bentrok kecil⌠dan semua mata akan kembali melihat Raka bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pemicu kekacauan.âDi sisi lain, para pejabat
âBaginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.â âSegenting apa Patih.â âDari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.â âBagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. âSetiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.â Per bulannya. ââ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.â Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.â âSehingga merug...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments