Semesta, seorang wanita muda, harus menerima kenyataan pahit menjadi janda di usia 23 tahun. Pernikahannya dengan Jagad, yang diputuskan terburu-buru demi menghindari dosa, hancur karena tekanan keluarga, ketidaksiapan mental, dan perbedaan ekspektasi. Lebih parahnya lagi, dia diceraikan saat hamil dan dituduh berselingkuh—tuduhan yang tak pernah bisa ia terima. Tiga tahun berlalu, Esta berusaha menata hidup sambil membesarkan anaknya seorang diri. Namun, takdir kembali mempertemukannya dengan Jagad. Kali ini, sebagai atasannya di kantor baru. Perasaan yang selama ini ia pendam muncul kembali, bercampur dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Di tengah bayang-bayang masa lalu, Esta harus menghadapi kenyataan pahit yang terus menghantuinya. Mampukah ia berdamai dengan masa lalu, atau justru terjebak kembali dalam lingkaran rasa yang menyakitkan?
Lihat lebih banyakAku baru saja sampai rumah ketika kulihat Mas Buana berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak tegang, dan aku langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hatiku berdebar, perasaanku tidak enak.Sudah pasti dia mau membahas tentang pesan yang dia kirim tadi padaku. Dari sorot matanya, aku bisa menebak ini bukan kunjungan yang menyenangkan.“Matanya biasa aja, Mas. Marah gara-gara aku nggak bales pesan?” Aku mencoba setenang mungkin, meski jantungku berdebar kencang.Mas Buana tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap tajam ke arahku. "Kamu ada urusan apalagi sama Jagad?" tanyanya dingin penuh tuduhan."Jagad itu atasan aku di kantor. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia selain urusan kerja," jawabku sembari melepas sepatu pantofel lalu meletakkan di rak sepatu. "Atasan? Apa itu alasan yang cukup untuk kamu kembali dekat sama dia?" Mas Buana bertanya dengan nada semakin tajam. "Aku tahu gimana Jagad. Aku tahu apa yang sudah dia lakuin ke kamu dulu. Kamu lupa
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, hanya berharap dia datang secepat mungkin. Aku tidak tahan lagi berada di sini, apalagi bersama Jagad. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman, dan untuk saat ini, hanya Mas Auriga yang terlintas di pikiranku.Mobil Jagad rusak parah. Bagian depannya penyok, dan sekarang mogok di tengah jalan tol. Jagad menghela napas panjang, lalu segera menghubungi kantor pusat untuk memberitahu bahwa kami tidak bisa datang, sambil menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menelepon bengkel, berusaha mencari solusi untuk masalah mobilnya."Astaghfirullah." Aku bergumam sendiri sembari memegang dada yang masih berdebar kencang. Aku tidak bisa lagi duduk di dalam mobil. Rasanya terlalu sempit, terlalu sesak. Jadi, aku keluar, menuju ke bahu jalan. Dengan lutut lemas, aku jongkok di sana, membiarkan tubuhku bergetar karena ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang. Udara siang ini terasa dingin, menusuk, tapi
“Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti
“Jadi benar dugaan aku selama ini?”Aku melirik Mas Auriga, lelaki itu juga tampak tak paham dengan ucapan Jagad. Dia berdiri di depan gerbang menatap kami dengan tajam. “Dugaan apa yang kamu maksud, Jagad?” tanyaku penasaran.Lelaki itu malah melirik pada Raya yang berdiri takut-takut seolah paham tengah terjadi sesuatu. Raya berada di sisi Mas Auriga, memeluk kaki laki-laki itu erat. Lihatlah, bahkan baru beberapa hari lalu mereka bertemu, tapi Raya sudah cukup dekat dengannya.Jagad memerhatikan setiap gerak-gerik kami, memicingkan matanya seolah sedang mengulitiku dan Mas Auriga. Aku tak paham kenapa bisa sampai repot sekali mengikutiku seperti ini. Bukannya dia mau menikah dengan Aesha? BIsa-bisanya dia ingin tahu dengan kehidupanku seperti ini.“Malam itu, aku liat kamu sama dia di halte," ucap Jagad pelan dengan mata masih menghunus padaku.Keningku berkerut. “Malam itu?”Kepalanya mengangguk pelan. “Malam di mana kita bertengkar dan kamu pergi dari rumah. Aku nyusulin kamu ka
‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.
[Gad, ada yang mau aku bicarakan.]Dua puluh empat jam aku menunggu balasan pesan dari Jagad, tapi lelaki itu tak kunjung membalasnya. Besoknya, ketika aku bangun tidur, sebuah pesan dari Jagad membuat duniaku runtuh.[Aku akan mengabulkan permintaan kamu, Ta. Ayo kita bercerai kalau itu bisa bikin kamu bahagia. Itu 'kan, yang kamu mau?]Tanganku bergetar, ponsel dalam genggaman tangan meluncur jatuh ke ranjang. Gejolak di dalam perut tak bisa kutahan hingga akhirnya kukeluarkan isi perut di samping tempat tidur. Tak hanya itu, dadaku sesak sekali menahan rasa sakit yang kesekian kalinya dibuat oleh Jagad.Padahal, aku ingin menunjukkan hasil tes pack padanya, mengabarkan kalau kami akan segera diberi momongan. Tanganku bergerak meremas perut yang masih rata. Bisakah aku membesarkan bayi ini tanpa adanya Jagad?Aku menangis, sampai Mbak Mentari mendatangiku dan memelukku. ‘Jagad mau ceraikan aku, Mbak.’Bisa kurasakan t
flashback.‘Makanya kamu doain suami kamu biar rezekinya lancar, Ta. Jangan bisanya minta-minta terus.’Aku yang sedang melipat baju sontak menoleh pada Jagad. ‘Minta-minta terus? Bukannya salah satu biar rezeki suami lancar bisa nyenengin istrinya? Kok, bisa kamu bilang gitu sama aku, Gad? Emangnya kalo nggak minta kamu, aku minta ke siapa? Suami orang?'‘Ya, emang. Tadi nggak gitu juga, Ta.'‘Terus, selama ini kamu udah nyenengin aku belum, Gad?’Jagad langsung menoleh cepat padaku. Tatapan mata tajam yang tersirat luka terpatri di bola matanya. ‘Jadi selama ini kamu nggak bahagia sama aku, Ta? Emangnya kehadiran aku di sini nggak bikin kamu seneng ya, Ta? Aku pulang dengan selamat dan kita bisa kumpul bareng begini di rumah nggak bikin kamu seneng, Ta?’‘Bukan gitu, Gad, yang aku maksud. Kamu pulang juga selalu langsung tidur, pagi berangkat lagi. Kayak gitu terus. Setiap weekend tidur sampai siang. Waktu buat aku kapan? Kamu
'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersa
“Apa yang bikin kamu menyesal menikah?” Aku menatap ketiga sahabatku. Di antara mereka, hanya aku yang berstatus janda. Mirisnya, aku menyandang gelar itu di usia yang cukup muda. Dua puluh tiga tahun saat itu. “Mungkin ekspektasi aku ketinggian soal pernikahan. Semua yang terjadi di dalamnya nggak kayak yang aku bayangin selama ini,” jawabku kemudian menarik gelas yang berisi jus alpukat tanpa gula, meminumnya, lalu kembali mendorong menjauh. “Emang gimana ekspektasi kamu, Ta?” tanya Raisa---sahabatku sejak zaman kuliah. Aku mengedikkan bahu. “Nikah itu memang butuh ilmu, Ta. Kamu nikah pas kuliah dan masih sangat labil lagi itu. Kayaknya kamu fomo doang, sih, gara-gara banyak selebgram yang nikah muda dan kehidupannya adem ayem dan keliatan romantis di sosial media. Bener, ‘kan?” tebak Aesha. Dia sahabatku yang paling alim. Maklum, anak kyai dan lulusan pondok pesantren yang kemudian bertemu denganku di kampus. Hampir semua yang diucapkan Aesha ada benarnya. Selain itu jug...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen