Share

Empat

Penulis: Mumtaza wafa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 20:46:57

‘Kamu kb ’kan, Ta? Jangan hamil dulu. Kasihan nanti Jagad.'

‘Iya, Ma. Nanti Esta bilang sama Jagad.’

‘Ini buat kamu juga. Kalian masih pada kuliah, nanti kerepotan sendiri. Memangnya siapa yang mau ngurus anak kalian kalau pada sibuk? Mama udah tua, pengennya fokus ibadah.’

‘Kami bisa pakai babysitter, Ma.’

‘Siapa yang mau bayar, Esta? Jagad aja kerjanya masih begitu. Lagian kalian kalau dikasih tau ngeyel. Padahal Mama udah bilang sabar sampai kalian lulus kuliah, kalau begini kamu dan Jagad yang ribet.’

Aku masih ingat percakapanku dengan mertuaku beberapa tahun silam. Keberadaan Jagad di daycare sepertinya menepis semua anggapan teman kantorku yang mengatakan kalau Jagad belum menikah. Rasanya tidak mungkin lelaki itu datang ke sini tanpa tujuan yang jelas.

Yang pasti menjemput anak dari istri barunya, atau keponakannya?

Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha menepis nama Jagad dari pikiranku. Sejak kami bertemu lagi, otakku jadi korslet, hatiku tak tenang dan jantungku jedug-jedug tak karuan. Mungkin ini karena aku teringat kembali dengan masa lalu kami yang berakhir tak baik.

Setelah memastikan Jagad meninggalkan daycare dengan mobilnya, aku bergegas masuk ke dalam untuk segera menemui Aesha. Rupanya gadis itu sedang bercanda dengan teman-temannya. Aku mengetuk pintu, Aesha dan beberapa temannya menoleh.

Gadis itu tersenyum simpul. Seperti biasa, wajah dan senyum yang dimiliki Aesha sangat meneduhkan. Terkadang aku iri dengan kepribadiannya yang dewasa dan santun. Ucapannya selalu menangkan dan suaranya selembut sutra.

Sungguh, aku berharap Aesha berjodoh dengan lelaki yang tepat dan tidak akan mengalami hal yang sama sepertiku.

“Kamu baru datang, Ta? Raya udah nanyain kamu dari tadi,” kata Aesha menarik tanganku masuk ke dalam.

Kusodorkan paper bag berisi kue yang kubawa untuk gadis itu. Aesha tampak terkejut lalu menatapku sendu dengan senyum tipis. “Apa ini? Kamu repot-repot banget.”

“Nggak apa-apa. Anggap aja ini tanda terima kasih karena udah mau jagain Raya.”

“Bukan Raya aja yang aku jagain, Ta. Banyak anak lainnya, kok. Tapi, makasih, ya. Temen-temenku pasti senang dapat oleh-oleh dari kamu.”

Aku mengangguk, lalu menoleh mencari sosok Raya. Seolah paham dengan gerak-gerikku, Aesha menarik tanganku membawa ke sebuah ruangan seperti kamar tidur untuk anak-anak. Di sana, Raya sedang bermain sendiri karena beberapa temanya sudah dijemput oleh orang tua masing-masing.

“Raya pinter banget, Ta. Di antara anak-anak lainnya, dia yang paling anteng, nggak rewel," ucap Aesha takjub.

Aku tersenyum kecut. Raya mudah dicintai semua orang, tapi tidak denganku.

“Raya!” Aesha berseru memanggil gadis kecil itu.

Rayaa mengangkat kepalanya lalu loncat dari kursi begitu melihat.

“Tante!” seru Raya sembari memeluk kedua kaki jenjangku.

Aku tak membalas, malah menjauhkan tubuh kecil Raya dari sana. Hal itu menimbulkan tanya di wajah Aesha yang melihat interaksi kami. Aku tersenyum masam, lalu berjalan menjauhi Raya dan Aesha untuk membereskan barang-barang milik Raya.

“Ta, kenapa sikap kamu kayak gitu sama Raya?”

'Kan?

Aku sudah menduga sebelumnya, Aku pura-pura menulikan pendengaran. Aku juga punya banyak pertanyaan pada sahabatku itu tentang kedatangan Jagad ke tempat ini. Barang kali Aesha tahu alasannya. Tetapi, aku mengurungkan niat dan menelan kembali pertanyaan untuk disimpan sendiri.

Aku tak perlu se-kepo itu untuk mengetahui kehidupan pribadi mantan suamiku. Itu sama saja membuka luka lama yang sampai sekarang berusaha ku sembuhkan.

“Nggak apa-apa, Sha. Aku buru-buru mau pulang, jadi harus cepat beresin mainan dia. Besok aku titip Raya di sini lagi nggak apa-apa, 'kan?”

Aesha mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Kayaknya Raya juga harus sering-sering datang ke sini, Ta. Dia butuh sosialisasi dengan teman-temannya." Ucapan Aesha membuatku melirik Raya dengan ekor mata.

Raya memang terlalu pendiam untuk batita seusianya. Harusnya dia masih senang menangis, merajuk dan tantrum. Tetapi Raya tidak, dia lebih senang bermain di luar. Tak pernah minta jajan dan mainan ketika diajak keluar oleh Mba Mentari.

Kupikir itu bagus karena banyak orang tua yang pusing dengan tingkah anak balitanya.

"Emang nggak boleh?"

"Takutnya sampai besar dia jadi anak introvert, Ta. Kasihan nggak bisa berbaur dengan lingkungan."

Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk. Akan lebih baik seperti itu. Jangan sampai Raya cepat dekat dengan orang asing, apalagi dengan lelaki itu.

Setelah mengobrol, aku berpamitan. Raya juga terlibat lelah dengan menguap beberapa kali. Samar-samar aku mendengar beberapa teman Aesha mengobrol.

Bukan maksudku menguping, tapi suara mereka memang mirip dengan toa masjid yang terdengar ke segala penjuru.

"Masyaallah, ya. Calon suaminya Mbak Aesha ganteng banget. Cocok sama-sama cakep, pasti anak mereka nanti good looking."

'Calon suami Aesha tadi ke aini?' Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Itu namanya sepadan. Cari jodoh memang harus dengan 4 aspek. Agamanya, nasabnya, hartanya dan keturunannya. Mereka udah pas, insyaallah jodoh dunia akhirat."

Kuputuskan segera pergi karena Aesha datang menegur mereka. Sejujurnya, aku juga penasaran siapa sosok lelaki yang beruntung itu. Aku iri dengan Aesha yang nasibnya lebih beruntung dariku.

Menikah di usia yang matang dan juga ilmu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Tidak sepertiku yang menikah terburu-buru karena nafsu dunia.

Kutatap Raya yang menarik tanganku memberi kode kalau dia ingin segera pulang. Aku menggandeng Raya ke luar daycare menuju tempat parkir.

"Kamu lapar, Ray? Beli makan dulu, ya?"

Anak itu hanya mengangguk patuh seperti biasa. Kuangkat tubuh Raya naik ke atas motor, tak lupa aku memakai sabuk pengaman untuk Raya agar ketika dia mengantuk nanti tidak oleng dan terjatuh.

Baru saja aku hendak memutar motor, seorang mendekat ke arahku. Saat jarak kami tinggal dua meter, dia juga cukup terkejut melihatku. Tubuhku menegang, tanganku panas dingin, perutku mules.

"Esta? Kamu ngapain di sini?" tanyanya lalu memiringkan tubuh melirik Raya yang duduk di belakangku. "Dia ... siapa?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pernah Menyesal Menikah   Lima

    'Kalau udah nikah jangan baperan, Ta. Udah nikah itu pikirannya harus lebih dewasa.Lagian kalian menikah atas keinginan sendiri. Jangan berantem dikit minta cerai.''Tapi Esta capek, Ma. Jagad nggak mau bantuin Esta di rumah.''Dia 'kan kuliah, Ta. Kerja juga. Maklumin aja, dia pulang juga pengen istirahat.'Malam lainnya. 'Kamu ngadu apa sama Mama, Ta?''Apaan?''Mama bilang aku nggak pernah bantuin kamu. Mama bilang aku nggak pernah ajak ngobrol kamu di rumah. Jangan kayak anak kecil yang dikit-dikit ngadu sama Mama, Ta. Kita udah rumah tangga, emang nggak bisa kamu ngomong langsung sama aku aja?''Kamu lupa berapa kali aku ajak kamu bicara tapi kamu bilang capek? Pulang-pulang kamu langsung tidur. Masakan aku bahkan nggak pernah kamu sentuh, terus aku mesti ngomong sama siapa? Tembok?''Nggak gitu, Ta.'Aku tersadar dari lamunan. Semalaman tak bisa tidur memikirkan kejadian akhir-akhir ini. Kemarin, aku pikir Jagad sudah pergi dari daycare. Ternyata lelaki itu kembali lagi dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Pernah Menyesal Menikah   Enam

    ‘Kita cerai aja.’‘Maksud kamu apa, Ta? Jangan karena masalah sepele kayak gini kamu jadi baper terus minta cerai. Dulu kamu yang pengen aku nikahin, malah jadi begini. Jangan kayak anak kecil, deh!'‘Tapi kamu berubah. Semuanya nggak seperti yang aku bayangin Jagad. Aku pikir nikah sama kamu bakal bikin kita makin deket, bikin hubungan kita makin intim. Nyatanya kita malah kayak orang ngekos yang hidup sendiri dalam satu atap. Kamu sadar nggak, kalau selama kita nikah hubungan kita nggak kayak dulu?'‘Aku kuliah, juga kerja, Ta. Aku udah capek banget kalau udah sampe rumah. Kamu ngertiin aku dikit bisa nggak?’‘Kalau aku terus yang kamu suruh ngertiin, kapan kamu ngertiin aku juga Jagad?’“Esta?”Aku mengedip beberapa kali setelah panggilan Jagad membawaku kembali dari lamunan. Alih-alih curiga dengan keberadaan Raya denganku saat itu, malah dia bertanya soal Aesha.“Apa?”“Kamu nggak denger pertanyaanku tadi?”“Pertanyaan apa?” Tentu saja aku hanya berpura-pura. Sangat jelas terdeng

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Pernah Menyesal Menikah   Tujuh

    “Mbak, kayaknya aku mau resign aja.”Mbak Tari menatapku terkejut. Dua hari yang lalu Mbak Tari dan suaminya pulang dari luar kota dan baru hari ini datang ke rumah untuk menjemput Raya. Itu juga aku yang memintanya karena tak mau berlama-lama dengan gadis kecil itu.Aku juga tak enak hati karena hampir setiap hari menitip Raya di tempat Aesha. Bukan apa, tapi karena aku masih merasa enggan bertemu dengan Aesha sebelum semuanya jelas. Aku tak salah dengar kalau Jagad bertanya tentang sahabatku itu, tapi bagaimana bisa Aesha mengatakan tak kenal dengan mantan suamiku?“Kenapa sih, Ta? Ada masalah?” tanya Mbak Tari seolah tak suka dengan keputusan yang akan kubuat.Aku mengangguk pelan. “Karena Jagad atasanku.”Mbak Tari tak terlihat terkejut, sejak sebelum dia pergi ke luar kota, aku sudah curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakakku. Padahal, yang kutahu sejak kami bercerai, hubungan Mbak Tari dan Jagad tidak terlalu baik.“Mbak nggak kaget?”Mbak Tari menggeleng pelan. “N

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Pernah Menyesal Menikah   Delapan

    ‘Alasan kalian bercerai apa?’‘Kita udah nggak saling cocok lagi, Ma.’ Aku menjawab dengan kepala menunduk. Jagad lepas tangan karena merasa perceraian ini adalah atas keinginanku.‘Nggak cocok? Tapi kalian menikah udah hampir tiga tahun. Kalian mau main-main dengan pernikahan? Lupa sama nasehat Mama sama Papa dulu? Kalian yang minta nikah cepat, dan lihat sekarang? Segampang itu kamu bilang udah nggak cocok lagi, Ta? Kalian menikah atas dasar apa? Karena penasaran aja, iya?’Aku dan Jagad sama-sama menunduk. Sejujurnya hatiku sakit sekali karena Jagad tidak mau buka suara sama sekali untuk bicara dengan mamanya. Padahal, ini masalah kami berdua dan seharusnya dia juga turut andil untuk mengatakan pada Mama. Nyatanya, hanya aku yang berusaha menjelaskan sampai Mama mendiamkanku.‘Jagad? Kamu nggak mau menjelaskan apa pun sama Mama? Kenapa dari tadi kamu diam aja?’Jagad menghela napas berat, lalu menatap Mama. Masih jelas dalam ingatanku

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Pernah Menyesal Menikah   Sembilan

    'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Pernah Menyesal Menikah   Sepuluh

    flashback.‘Makanya kamu doain suami kamu biar rezekinya lancar, Ta. Jangan bisanya minta-minta terus.’Aku yang sedang melipat baju sontak menoleh pada Jagad. ‘Minta-minta terus? Bukannya salah satu biar rezeki suami lancar bisa nyenengin istrinya? Kok, bisa kamu bilang gitu sama aku, Gad? Emangnya kalo nggak minta kamu, aku minta ke siapa? Suami orang?'‘Ya, emang. Tadi nggak gitu juga, Ta.'‘Terus, selama ini kamu udah nyenengin aku belum, Gad?’Jagad langsung menoleh cepat padaku. Tatapan mata tajam yang tersirat luka terpatri di bola matanya. ‘Jadi selama ini kamu nggak bahagia sama aku, Ta? Emangnya kehadiran aku di sini nggak bikin kamu seneng ya, Ta? Aku pulang dengan selamat dan kita bisa kumpul bareng begini di rumah nggak bikin kamu seneng, Ta?’‘Bukan gitu, Gad, yang aku maksud. Kamu pulang juga selalu langsung tidur, pagi berangkat lagi. Kayak gitu terus. Setiap weekend tidur sampai siang. Waktu buat aku kapan? Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-23
  • Pernah Menyesal Menikah   Sebelas

    [Gad, ada yang mau aku bicarakan.]Dua puluh empat jam aku menunggu balasan pesan dari Jagad, tapi lelaki itu tak kunjung membalasnya. Besoknya, ketika aku bangun tidur, sebuah pesan dari Jagad membuat duniaku runtuh.[Aku akan mengabulkan permintaan kamu, Ta. Ayo kita bercerai kalau itu bisa bikin kamu bahagia. Itu 'kan, yang kamu mau?]Tanganku bergetar, ponsel dalam genggaman tangan meluncur jatuh ke ranjang. Gejolak di dalam perut tak bisa kutahan hingga akhirnya kukeluarkan isi perut di samping tempat tidur. Tak hanya itu, dadaku sesak sekali menahan rasa sakit yang kesekian kalinya dibuat oleh Jagad.Padahal, aku ingin menunjukkan hasil tes pack padanya, mengabarkan kalau kami akan segera diberi momongan. Tanganku bergerak meremas perut yang masih rata. Bisakah aku membesarkan bayi ini tanpa adanya Jagad?Aku menangis, sampai Mbak Mentari mendatangiku dan memelukku. ‘Jagad mau ceraikan aku, Mbak.’Bisa kurasakan t

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Pernah Menyesal Menikah   Duabelas

    ‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25

Bab terbaru

  • Pernah Menyesal Menikah   Tujuhbelas

    Aku baru saja sampai rumah ketika kulihat Mas Buana berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak tegang, dan aku langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hatiku berdebar, perasaanku tidak enak.Sudah pasti dia mau membahas tentang pesan yang dia kirim tadi padaku. Dari sorot matanya, aku bisa menebak ini bukan kunjungan yang menyenangkan.“Matanya biasa aja, Mas. Marah gara-gara aku nggak bales pesan?” Aku mencoba setenang mungkin, meski jantungku berdebar kencang.Mas Buana tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap tajam ke arahku. "Kamu ada urusan apalagi sama Jagad?" tanyanya dingin penuh tuduhan."Jagad itu atasan aku di kantor. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia selain urusan kerja," jawabku sembari melepas sepatu pantofel lalu meletakkan di rak sepatu. "Atasan? Apa itu alasan yang cukup untuk kamu kembali dekat sama dia?" Mas Buana bertanya dengan nada semakin tajam. "Aku tahu gimana Jagad. Aku tahu apa yang sudah dia lakuin ke kamu dulu. Kamu lupa

  • Pernah Menyesal Menikah   Enambelas

    Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi

  • Pernah Menyesal Menikah   Limabelas

    Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, hanya berharap dia datang secepat mungkin. Aku tidak tahan lagi berada di sini, apalagi bersama Jagad. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman, dan untuk saat ini, hanya Mas Auriga yang terlintas di pikiranku.Mobil Jagad rusak parah. Bagian depannya penyok, dan sekarang mogok di tengah jalan tol. Jagad menghela napas panjang, lalu segera menghubungi kantor pusat untuk memberitahu bahwa kami tidak bisa datang, sambil menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menelepon bengkel, berusaha mencari solusi untuk masalah mobilnya."Astaghfirullah." Aku bergumam sendiri sembari memegang dada yang masih berdebar kencang. Aku tidak bisa lagi duduk di dalam mobil. Rasanya terlalu sempit, terlalu sesak. Jadi, aku keluar, menuju ke bahu jalan. Dengan lutut lemas, aku jongkok di sana, membiarkan tubuhku bergetar karena ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang. Udara siang ini terasa dingin, menusuk, tapi

  • Pernah Menyesal Menikah   Empatbelas

    “Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti

  • Pernah Menyesal Menikah   Tigabelas

    “Jadi benar dugaan aku selama ini?”Aku melirik Mas Auriga, lelaki itu juga tampak tak paham dengan ucapan Jagad. Dia berdiri di depan gerbang menatap kami dengan tajam. “Dugaan apa yang kamu maksud, Jagad?” tanyaku penasaran.Lelaki itu malah melirik pada Raya yang berdiri takut-takut seolah paham tengah terjadi sesuatu. Raya berada di sisi Mas Auriga, memeluk kaki laki-laki itu erat. Lihatlah, bahkan baru beberapa hari lalu mereka bertemu, tapi Raya sudah cukup dekat dengannya.Jagad memerhatikan setiap gerak-gerik kami, memicingkan matanya seolah sedang mengulitiku dan Mas Auriga. Aku tak paham kenapa bisa sampai repot sekali mengikutiku seperti ini. Bukannya dia mau menikah dengan Aesha? BIsa-bisanya dia ingin tahu dengan kehidupanku seperti ini.“Malam itu, aku liat kamu sama dia di halte," ucap Jagad pelan dengan mata masih menghunus padaku.Keningku berkerut. “Malam itu?”Kepalanya mengangguk pelan. “Malam di mana kita bertengkar dan kamu pergi dari rumah. Aku nyusulin kamu ka

  • Pernah Menyesal Menikah   Duabelas

    ‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.

  • Pernah Menyesal Menikah   Sebelas

    [Gad, ada yang mau aku bicarakan.]Dua puluh empat jam aku menunggu balasan pesan dari Jagad, tapi lelaki itu tak kunjung membalasnya. Besoknya, ketika aku bangun tidur, sebuah pesan dari Jagad membuat duniaku runtuh.[Aku akan mengabulkan permintaan kamu, Ta. Ayo kita bercerai kalau itu bisa bikin kamu bahagia. Itu 'kan, yang kamu mau?]Tanganku bergetar, ponsel dalam genggaman tangan meluncur jatuh ke ranjang. Gejolak di dalam perut tak bisa kutahan hingga akhirnya kukeluarkan isi perut di samping tempat tidur. Tak hanya itu, dadaku sesak sekali menahan rasa sakit yang kesekian kalinya dibuat oleh Jagad.Padahal, aku ingin menunjukkan hasil tes pack padanya, mengabarkan kalau kami akan segera diberi momongan. Tanganku bergerak meremas perut yang masih rata. Bisakah aku membesarkan bayi ini tanpa adanya Jagad?Aku menangis, sampai Mbak Mentari mendatangiku dan memelukku. ‘Jagad mau ceraikan aku, Mbak.’Bisa kurasakan t

  • Pernah Menyesal Menikah   Sepuluh

    flashback.‘Makanya kamu doain suami kamu biar rezekinya lancar, Ta. Jangan bisanya minta-minta terus.’Aku yang sedang melipat baju sontak menoleh pada Jagad. ‘Minta-minta terus? Bukannya salah satu biar rezeki suami lancar bisa nyenengin istrinya? Kok, bisa kamu bilang gitu sama aku, Gad? Emangnya kalo nggak minta kamu, aku minta ke siapa? Suami orang?'‘Ya, emang. Tadi nggak gitu juga, Ta.'‘Terus, selama ini kamu udah nyenengin aku belum, Gad?’Jagad langsung menoleh cepat padaku. Tatapan mata tajam yang tersirat luka terpatri di bola matanya. ‘Jadi selama ini kamu nggak bahagia sama aku, Ta? Emangnya kehadiran aku di sini nggak bikin kamu seneng ya, Ta? Aku pulang dengan selamat dan kita bisa kumpul bareng begini di rumah nggak bikin kamu seneng, Ta?’‘Bukan gitu, Gad, yang aku maksud. Kamu pulang juga selalu langsung tidur, pagi berangkat lagi. Kayak gitu terus. Setiap weekend tidur sampai siang. Waktu buat aku kapan? Kamu

  • Pernah Menyesal Menikah   Sembilan

    'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status