Enam tahun menikah dengan Erik, Lavanya hidup dalam tekanan. Ia bukan hanya istri tapi juga tulang punggung keluarga suaminya. Mertua dan iparnya terus membandingkannya dengan wanita lain. Sementara Erik lebih sibuk bermain game daripada mencari nafkah. Lavanya bertahan hanya demi Belia, putri kecilnya yang sangat menyayangi ayahnya. Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan Danish, mantan kekasihnya dulu. Berbeda dengan Erik, Danish memberinya perhatian dan kasih sayang serta materi. Lavanya dihadapkan pada pilihan sulit. Tetap bertahan demi putrinya atau mengikuti kata hatinya untuk bersama Danish?
View More"Papa ke mana, Ma? Kenapa Papa pergi?" Belia merengek melihat Erik meninggalkannya. "Papa ke luar sebentar. Ada perlu katanya." Lavanya terpaksa berbohong pada anaknya. Ia sama sekali tidak tahu Erik pergi ke mana. Lelaki itu pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa memberi tahu. Tidak juga meminta izin. Belia menatap pintu kamar yang tertutup rapat dengan harapan ayahnya akan segera kembali. "Papa perginya lama ya, Ma?" "Nggak... Papa hanya sebentar." "Tadi Papa marah sama Mama ya? Papa marah sama aku juga ya?" "Papa nggak marah sama siapa-siapa, Sayang." Lavanya menyangkal sembari tangannya membelai lembut kepala Belia. Hatinya begitu sedih saat mengatakan itu. Tapi apa lagi yang bisa ia ucapkan? Belia tidak akan mengerti kalau cinta bisa melukai dan perasaan akan sama selamanya. "Tapi tadi aku dengar Papa bentak-bentak Mama." Lavanya ingin mengatakan bahwa Belia hanya sedang bermimpi. Bahwa sikap Erik padanya baik-baik saja. Namun rasanya sudah terlalu sering ia membohong
"Aku belum selesai!" seru Erik ketika Lavanya membalikkan badannya dan berniat untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada Belia.Lavanya memejamkan mata sembari menahan napas. Benar dugaannya. Erik masih berniat melanjutkan pertengkaran. Padahal Lavanya sudah lelah dan tidak ingin bertengkar lagi."Apa lagi, Mas?" tanya Lavanya tanpa melihat lelaki itu.Erik merengkuh tubuh Lavanya hingga menghadap padanya. "Sebenarnya ada hubungan apa di antara kalian?" tatapnya dengan sorot menusuk tajam."Maksud Mas?""Jangan bilang kalau hubungan kamu dan dia hanya sebatas atasan dan bawahan.""Tapi memang begitu faktanya, Mas. Hubungan aku dan Pak Danish hanya sebatas atasan dan bawahan di kantor. Nggak lebih!" kata Lavanya menegaskan."Nggak lebih kamu bilang? Aku ngeliat sendiri gimana caranya memandang kamu, caranya bicara, semua gestur tubuhnya menunjukkan lebih dari itu.""Itu hanya perasaan Mas saja," sangkal Lavanya. "Itu bukan hanya perasaanku, tapi fakta. Dia punya rasa sama kamu. Apa k
Danish terhenti di sisi pintu. Matanya memandang Lavanya dan Erik yang berdiri saling berhadapan penuh ketegangan. Walaupun ia tidak mendengar percakapan di antara keduanya, namun atmosfer panas yang melingkupi ruangan cukup memberinya gambaran. Telah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di sini. Ingin berbalik pergi, namun ia sudah terlanjur membuka pintu dan terlihat oleh keduanya."Maaf, saya nggak tahu kalau Mas Erik sudah datang," kata Danish dengan sopan. Ia melangkahkan kakinya pelan masuk ke dalam kamar. Diletakkannya kantong berisi makanan di atas meja di samping tempat tidur Belia. "Ini saya belikan nasi untuk makan siang Lavanya dan Mas Erik. Silakan dimakan kalau Mas Erik berkenan," sambungnya. Sebenarnya satu bungkus nasi lagi adalah untuknya. Namun karena melihat Erik sudah ada di sana Danish menjadi sungkan.Erik mengirim tatapan tajam pada Danish. Dadanya naik turun menahan emosi yang memuncak. Lavanya yang menyadari situasi semakin genting melangkah menghampiri Da
Lavanya salah jika mengira Erik akan langsung meledak. Lelaki itu justru terdiam menatap Lavanya dalam keheningan yang mencekam. Namun Lavanya tahu dari rahangnya yang mengeras dan wajahnya yang menggelap sebentar lagi Erik akan memuntahkan kemarahan. "Lagi-lagi dia!" Erik akhirnya bersuara. Nadanya rendah tapi begitu tajam. "Kenapa selalu ada dia di setiap urusan kamu?""Mas, kamu jangan langsung emosi. Ini bukan tentang aku, bukan tentang dia dan bukan tentang kamu. Tapi tentang anak kita," ucap Lavanya mencoba memberi pengertian sebelum bara dalam amarah Erik membesar."Tapi kamu selalu melibatkan dia. Kamu biarin dia membawa kamu dan membawa anakku ke rumah sakit mahal, di kamar VIP pula. Jangan-jangan dia yang bayar. Iya?"Lavanya menundukkan wajahnya. Tak perlu repot-repot menjawab karena keheningannya sudah cukup sebagai jawaban.Erik tertawa pelan. Tawa yang begitu penuh dengan amarah. Harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang suami terasa dilukai oleh sikap Danish. "Hebat
Alih-alih menelepon atau mengirimi Lavanya pesan, Erik menanyakan keberadaan kamar Belia ke bagian informasi rumah sakit. Petugas di sana menjawab bahwa Belia dirawat di kamar VIP 01. Erik terkejut mengetahuinya. "Di kamar VIP?" "Benar sekali, Pak," jawab petugas setelah mengecek sekali lagi datanya di komputer. Lalu tanpa berterima kasih Erik pergi begitu saja. Langkahnya tertuju ke kamar yang disebutkan petugas tadi. Lelaki itu menggeram di dalam hati. Lavanya selalu bilang kekurangan uang, tapi bisa-bisanya menempatkan Belia di kamar VIP yang tentunya tidak murah. Bagaimana dia membayarnya? Erik benar-benar tidak habis pikir atas sikap Lavanya yang bertentangan dengan ucapannya. Ketika tiba di kamar VIP 01 Erik tidak langsung masuk ke kamar tersebut. Ia berdiri di depan pintu sambil menghela napasnya. Lalu tanpa mengetuk ia membuka pintu dan menerobos begitu saja. Lavanya yang sedang menggenggam tangan Belia yang sedang tidur terkejut atas kedatangan lelaki itu. Pikirn
Sudah berjam-jam berlalu. Belia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap karena harus menjalani perawatan sampai beberapa hari ke depan. Namun Erik masih belum muncul juga.Hanya Danish yang setia menemani Lavanya sejak tadi. Mulai dari mengantar ke rumah sakit, mendampingi Lavanya yang bergumul dengan kekhawatiran, hingga membujuk Belia yang menangis karena ingin membuka jarum infus di tangannya.Lavanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tersentak seolah baru tersadar.'Ini kan kamar VIP, biayanya pasti mahal,' lirihnya di dalam hati.Tadi karena panik jadi Lavanya tidak terlalu memerhatikan ketika Danish mengurus kamar untuk Belia. Lavanya pikir Danish akan menempatkan Belia di kamar biasa. Nyatanya ia salah.Lavanya menggigit bibirnya. Buana hospital adalah rumah sakit swasta ternama di kota A. Dan masalahnya adalah asuransi karyawan di kantornya tidak meng-cover perawatan jenis apa pun di rumah sakit tersebut. Kantornya hanya bekerja sama dengan rumah sakit yang lain.Perasaan
Setelah tiba di rumah sakit mereka berjalan tergesa-gesa menuju IGD dengan Belia yang berada di dalam gendongan Danish."Maaf, permisi," kata Danish ketika melewati kerumunan orang-orang di ruang tunggu.Lavanya langsung mendatangi bagian administrasi. "Sus, anak saya tadi pingsan. Badannya panas," lapornya cemas.Dengan sigap seorang perawat mengarahkan mereka. Ia membuka tirai salah satu bilik perawatan.Danish menurunkan Belia dari gendongannya lalu membaringkan anak itu dengan hati-hati di atas ranjang rumah sakit.Belia menggeliat pelan, membuka matanya sebentar lalu memejamkan kembali.Lavanya mengusap-usap kepala Belia yang basah oleh keringat. Sampai detik ini ia tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya."Belia, ini Mama. Bertahan ya, Sayang.""Pusing, Ma ...," rintih Belia dengan suara lirih."Iya, Nak. Sebentar lagi dokter datang. Belia akan segera sehat."Dengan sorotnya yang redup Belia menatap Lavanya dan sekitarnya dengan lemah. "Papa mana, Ma?" tanyanya lantaran ti
Setelah menyerahkan formulir pengajuan kredit di kantor, Lavanya merasa lega. Perlahan ia mulai membuka pintu masa depan yang selama ini tertutup rapat.Ia akan kembali ke ruangan dan melanjutkan pekerjaannya. Namun baru beberapa langkah kakinya terayun, ponsel di saku Lavanya berbunyi. Lavanya mengambilnya lalu melihat nama 'Winda' di layar. Winda adalah guru di sekolah Belia.Jantung Lavanya mendadak menghentak dengan cepat. Tidak biasanya guru Belia menghubunginya.Apa ini mengenai uang SPP?Lavanya rasa tidak karena ia sudah membayarnya.Menjawab rasa penasaran, Lavanya menggeser ikon telepon berwarna hijau di layar."Halo, Bu Winda," sapa Lavanya cepat. "Halo, Bu Lavanya, maaf mengganggu. Saya ingin mengabarkan Belia pingsan di sekolah, Bu."Dunia Lavanya seakan berhenti berputar kala mendengarnya. "Kenapa bisa, Bu?" tanyanya panik."Tadi badan Belia panas, Bu. Tiba-tiba saat pelajaran olahraga dia pingsan. Sekarang Belia ada di UKS.""Saya akan ke sana sekarang," putus Lavanya
Danish masuk ke ruangannya setelah briefing selesai. Ia baru saja mengumumkan kebijakan baru. Tentang kredit rumah murah bagi karyawannya adalah cara Danish untuk membantu Lavanya secara tidak langsung.'Semoga kamu ambil kredit itu, Nya,' bisiknya di dalam hati. Untuk saat ini dengan cara begitulah ia bisa membantu Lavanya.Setelah duduk di kursinya Danish mengeluarkan handphone. Ia melihat pesannya kemarin yang sampai saat ini tidak mendapat balasan dari Lavanya. Ia tahu, Lavanya sengaja menjaga jarak dengannya. Dan Danish pun harus hati-hati dalam hal ini. Ingatan Danish melayang pada saat briefing tadi. Di antara para karyawan ia menemukan wajah Lavanya yang muram. Danish tidak tahu apa yang terjadi pada Lavanya. Mungkin di rumah ia bertengkar lagi dengan suaminya. Mungkin suaminya berbuat kasar lagi dan menjadi lebih leluasa karena itu di rumahnya. Namun kalau sampai Danish tahu bahwa Erik bertindak lebih jauh, Danish tidak akan tinggal diam.Setelah menutup aplikasi pesan, Dan
"Hanya segini? Uang segini dapat apa? Sekarang apa-apa mahal. Harga sembako naik. Token listrik baru lima hari udah bunyi, belum lagi gas dan pulsa." Lavanya menatap nanar ke arah Neli, ibu mertuanya yang marah-marah padanya. Lavanya baru saja memberikan uang sebanyak satu juta padanya. Tadi ia baru menerima gaji, dan seperti biasa setiap kali habis gajian Lavanya selalu menyetorkan jatah untuk sang mertua. Lavanya cukup tahu diri. Ia masih tinggal menumpang di rumah mertuanya. "Maaf, Bu, adanya cuma segitu," ujar Lavanya. Ia tidak mungkin memberikan semua uang yang dimilikinya pada Neli. Sedangkan Lavanya juga punya kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi. "Bohong kamu. Kamu kira ibu tidak tahu?" Neli membelalak padanya. "Sini!" Wanita paruh baya itu merebut tas Lavanya yang tersampir di bahu kemudian membuka tas tersebut. Begitu menemukan dompet Lavanya, Neli mengambil sejumlah uang di sana hingga hanya menyisakan tiga helai uang kertas berwarna merah. "Bu, jangan, Bu....
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments