Dia adalah istri yang setia, mencintai suaminya sepenuh hati, tanpa pernah berpikir untuk melangkah keluar dari batas kesetiaan. Namun, ketika pengkhianatan menghancurkan hatinya, sesuatu dalam dirinya ikut mati—dan sesuatu yang lain terbangun. Dendam mengalir dalam darahnya, mengubah kelembutan menjadi keberanian, mengikis batasan yang dulu dijunjung tinggi. Luka yang ia pendam kini membawanya ke jalan yang tak pernah ia bayangkan—menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang berani menuntut balas dengan cara yang tak terduga. Saat sisi liar dalam dirinya bangkit, akankah ia menemukan kepuasan, atau justru kehilangan dirinya sendiri? "Sisi Liar Istri Setia"—sebuah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan transformasi yang mengguncang batas moral.
View MoreMalam turun perlahan, menyelimuti kota dengan lampu-lampu temaram dan udara yang mulai menggidikkan.Gilang baru saja selesai mengantar orderan sore itu saat aplikasi gojek-nya kembali berbunyi. Nama pemesan muncul: Radit. Lokasi penjemputan tidak jauh dari tempat Gilang biasa mangkal, dan tujuan yang tertera hanyalah sebuah titik bernama “Cafe Tujuh Langit”.Tak butuh waktu lama, Gilang sudah tiba di lokasi penjemputan. Seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah letih dan sorot mata gelisah berdiri di tepi jalan, mengenakan jaket hitam dan masker. Gilang menghampiri sambil memastikan nama.“Mas Radit ya?”Pria itu mengangguk. “Iya, Bang. Cafe Tujuh Langit, ya.”Gilang mengangguk ramah, memberikan helm cadangannya. Setelah Radit naik ke jok belakang dan mengenakan helm, motor pun melaju membelah jalanan kota yang mulai basah karena gerimis tipis.Selama perjalanan, Radit lebih banyak diam. Gilang tak bertanya apa-apa, sudah terbiasa dengan penumpang tipe seperti ini. Tapi sesampain
Langit mulai meremang. Jingga tua berbaur dengan awan kelabu, menumpahkan cahaya sendu ke sepanjang jalan berkelok yang mereka lalui. Motor yang dikendarai Kelvin melaju pelan, menembus jalanan sempit yang mulai sunyi. Di kiri-kanan, pepohonan pinus menjulang rapat, menyisakan bayangan panjang yang menari-nari di aspal berdebu.Suara mesin motor seperti satu-satunya bunyi yang tersisa, selain desir angin yang menggugurkan daun-daun kering.Kelvin menggenggam erat setang motornya. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya berkecamuk. Bukan hanya karena mereka masih harus menempuh perjalanan lebih dari satu jam, tapi karena kehadiran Bu Maria yang duduk di belakangnya, terasa berbeda.Pelukan ibu mertuanya di pinggangnya tak sekadar erat. Namun seolah ingin mendekat lebih dari sekadar menumpang. Dada Kelvin menghangat, bukan karena nyaman, tapi karena bingung dan canggung. Ia tak bisa mengabaikan detak jantung Bu Maria dan dua gumpalan hangat dan kenyal empuk
Entah berapa lama Bu Maria tenggelam dalam keadaan trans yang tak terkendali. Tubuhnya bergerak tanpa arah, dibimbing oleh naluri yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Sesekali tangan Gus Bokis memaju mundurkna kepalanya.Lalu tiba-tiba, sesuatu meledak dalam mulutnya juga dari dalam dirinya. Hangat, tajam, kental dan menggetarkan. Bagian bawahnya basah dan mulutnya pun penuh dengan cairan. Saat itu juga dia meraskan seolah seluruh isi jiwanya terlepas dan melayang, cairan itu pun tanpa tersisa masuk dalam kerongkongannya.Jiwanya semakin naik, tinggi, menuju langit ketujuh.Sesaat dunia terasa diam. Tak ada waktu, tak ada suara. Hanya euforia yang membungkusnya rapat, membuatnya lupa siapa dirinya, di mana ia berada, dan mengapa ini bisa terjadi. Bu Maria melepasakan benda dalam mulutnya, lidahnya menjilati sisa-sisa cairan di sudut-susdut bibirnya, seakan tak mau terlewatkan rasa nikmat itu walau setetes.“Kamu berhasil melakukannya, Bu,” ucap Gus Bokis, tanpa membuka matanya, wajahn
Di saat bersamaan pula, setelah kurang lebih dua jam perjalana, Bu Maria dan Kelvin tiba di rumah Gus Bokis.Kelvin terkagum-kagum, "Ini rumah siapa, Bu? Besar banget.""Ini tempat yang bisa membantu Mas Radit dan Mbak Melia, Vin." jawab Bu Maria, lalu masuk sendirian.Di dalam, Gus Bokis yang berpakaian laksana ulama besar dan duduk di singgasana itu, menyambutnya dengan senyuman khasnya.“Sudah dibawa persyaratannya?”“Sudah Gus.”“Yu ikuti saya, ritualnya kita di kamar khsusus,” ajak Gus Bokis.Bu Maria mengikuti Gus Bokis melewati lorong rumah yang cukup panjang. Dinding-dinding lorong dihiasi lukisan kaligrafi dan aroma minyak zaitun samar tercium sejak langkah pertama memasuki ambang kamar yang disebutnya kamar khusus.Kelvin tidak diizinkan masuk. Ia menunggu di ruang tamu atau di luar dengan gelisah, sesekali memerhatikan jam dan mendengarkan samar suara burung jalak di sangkar besar dekat jendela.Sementara itu, di dalam kamar khusus, suasananya temaram. Hanya cahaya lampu mi
Melia duduk kembali di meja kerjanya. Tangannya sibuk mengetik laporan, namun pikirannya masih tertinggal di warung kopi tadi. Wajah Gilang, suaranya, bahkan caranya menatap. Semua membekas di kepalanya.Ia mengusap perutnya yang masih datar. Bayi yang belum kunjung hadir, pertanyaan dari ibu-ibu kompleks, tatapan sinis mertua, dan suaminya yang seolah tak peduli dengan segala deritanya. Semua itu membuatnya semakin goyah. Dan kini, hadirnya Gilang seperti pintu kecil yang terbuka. Bukan untuk cinta, tapi untuk pelarian.Melia memejamkan mata sejenak. Bukan, dia tidak ingin kembali ke masa lalu. Tapi ia rindu akan ketulusan. Rindu seseorang yang melihatnya sebagai perempuan yang cukup, bukan hanya istri yang dituntut melahirkan keturunan oleh keluarga suaminya, tanpa mau tahu apa permasalahan yang sebenarnya."Mas Gilang..." lirihnya pelan, nyaris tak terdengar.Ia tahu pertemuan tadi tidak akan berhenti di situ. Bukan karena dia menginginkannya, tapi karena hatinya diam-diam berharap
Bersamaan dengan Bu Maria dan Kelvin melaju di jalan pedesaan, Melia memutuskan untuk singgah di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Tempat ini selalu memberi ketenangan, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat di sini.Dengan secangkir teh hangat di tangannya, Melia duduk di salah satu bangku kayu yang menghadap ke jalan. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berat, terutama soal kehamilannya yang terus dipertanyakan oleh ibu-ibu di sekitar rumah.Apa aku mending tinggal di rumah ibu aja? Biarin aja Mas Radit mau ikut sukur, gak juga gak apa-apa, pikirnya.Melia menggulir layar ponselnya, mencoba mencari hiburan sejenak di media sosial, Melia mendesah panjang. Sepertinya, tak ada jalan mudah untuk lari dari kenyataan. Pandangannya masih tertuju pada layar ketika tiba-tiba, suara yang sangat familiar memecah keheningan siang itu."Melia ya?"Melia mengangkat kepala. Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jaket ojek online dan helm di tangan. Sosok yang begitu dikenal, tap
Pagi itu, Bu Maria bangun dengan semangat yang jarang ia rasakan. Hatinya gembira, bahkan ada senyum yang tersungging di bibirnya. Suaminya akan pergi dinas luar selama tiga hari, memberikan kesempatan untuk melaksanakan rencana yang sudah lama ia simpan.Sambil menyiapkan sarapan, Bu Maria terus bersenandung, seakan kegembiraan ini tidak bisa ia sembunyikan. Namun, sesekali ada kekhawatiran yang muncul. “Bener gak ya, jalan ini? Apa gak dosa ya minta bantuan begituan?” batinnya ragu.Ia menghela napas panjang, melirik ke arah jam dinding yang berdetak pelan. Ia tahu, di balik senandungnya itu ada rasa was-was yang terus mengintai.“Tapi... ini demi kebaikan Radit dan Melia,” bisiknya, berusaha meyakinkan diri.Setelah Pak Darma pergi, Bude Yati menjemput Bu Maria dengan mobil Tony, menantunya. Tony sudah beberapa kali mengantar Bude Yati, mertuanya ke tempat Gus Bokis.Setelah berada dalam mobil, Bu Maria masih merasa tegang.“Tenang, Mar. Kita cuma mau cari solusi buat Radit dan Mel
Di ruangan kantor yang relatif besar dan terang, Jordy duduk di balik meja kerjanya, menatap kosong pada buku laporan kinerja yang terbuka di depannya. Lembar-lembar itu seolah hanya hiasan, karena pikirannya melayang jauh dari tanggung jawab pekerjaannya. Wajah Melia istri keponakannya, justru memenuhi pikirannya dalam beberapa hari terakhir ini.Percakapan di rumah Bu Maris, kakaknya dengan keluarganya, juga obrolan empat mata dirinya dengan Melia saat di mobil, terus menghantuinya. Bukan karena kecantikan dan pesona Melia, tapi perasaan kasih dan tidak nyaman dengan keadaan Melia yang sepertinya selalu terpojok. Dia semakin yakin jika sebenarnya Radit-lah yang bermasalah.Jordy terus berusaha menepiskan pikiran kotornya. Bagaimana mungkin dirinya, yang selalu menjaga moral dan tanggung jawab, tiba-tiba terjerumus dalam pikiran-pikiran absurd untuk memberikan benih suburnya pada istri keponakannya."Kenapa aku bisa sampai memikirkan hal ini?" gumam Jordy sambil menggelengkan kepalan
Pagi berikutnya, saat sarapan, Bu Maria masih tak bisa berhenti memikirkan kehamilan yang tak kunjung datang."Sudah berapa kali aku bilang, Yah? Melia sepertinya masalahnya besar," katanya pada suaminya.Pak Darma mencoba tetap tenang, berkata, "Bu, kita nggak bisa menyalahkan siapa pun. Radit dan Melia sudah berusaha."Bu Maria pun kembali mengusulkan untuk pergi ke Gus Bokis, saran dari Bude Yati. "Mungkin ada yang bisa membantu mereka.""Tidak, Bu," tegas Pak Darma. "Kita nggak boleh menggantungkan harapan pada hal-hal seperti itu. Serahkan semuanya pada Allah."Bu Maria mendesah kesal, tapi akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kalau dalam beberapa minggu nggak ada perubahan, ibu akan mencoba cara lain."Sarapan berakhir dalam keheningan, namun ketegangan masih terasa di antara mereka.Setelah Pak Darma berangkat ke kantor, Bu Maria masih duduk termenung di meja makan. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Keinginan agar Radit dan Melia segera memiliki anak membuatnya resah.Meski
"Ibu dengar dari orang-orang, kalian masih belum dapat kabar baik, ya. Padahal sudah lima tahun loh." Suara Bu Maria, ibu mertua Melia, terdengar ringan, tapi langsung menusuk tepat ke hati.Melia menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumnya. "Iya, Bu. Kami masih berusaha..."Tiba-tiba Anin, adik ipar perempuan Melia, menimpali dengan nada geli, "Lho, di keluarga kita nggak ada yang susah punya anak, kok. Aku aja, begitu nikah, langsung hamil."Melia meremas jemarinya di pangkuan. Napasnya terasa berat, tapi ia tetap berusaha tenang. Di ruang tamu keluarga Jordy yang seharusnya hangat, udara di sekeliling Melia terasa berbeda, penuh tekanan yang tidak diucapkan."Iya, mungkin Melia perlu periksa lebih lanjut," Bu Maria menambahkan sambil tertawa kecil. "Siapa tahu ada sesuatu yang perlu diperbaiki."Melia menoleh sejenak ke arah suaminya, Radit, berharap dia akan membela dirinya. Namun, Radit tetap sibuk berbincang dengan Pak Darma, ayahnya, juga Jordy, pamannya, seolah tidak pedul...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments