Peringatan Novel Memiliki Unsur Dewasa 18+ Udin, seorang pemuda sederhana dengan kehidupan biasa, mendapati dunianya runtuh saat dikhianati oleh pacar yang selama ini ia cintai sepenuh hati. Dalam keterpurukan, ia tanpa sengaja menemukan sebuah peninggalan misterius—warisan dari seorang kultivator kuno. Sejak saat itu, hidup Udin berubah drastis. Ia mendapatkan kekuatan luar biasa, kemampuan penyembuhan, serta ilmu bela diri langka yang membawanya ke dunia tersembunyi penuh konflik, rahasia, dan kekuatan spiritual. Kini, Udin tidak hanya berjuang untuk balas dendam, tapi juga menemukan jati dirinya yang sesungguhnya sebagai pewaris kekuatan kuno yang akan mengguncang dunia.
View MoreNgeeeeng!Namun di perjalanan, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya—dan membuat dadanya sesak.Juragan Somat dan anak buahnya!Mereka tampak sedang mencari seseorang.Udin langsung paham.(Risma tidak berbohong,) batinnya tegang. (Dia memang sedang diburu… dan Juragan Somat benar-benar berniat menjualnya ke tempat prostitusi.)“Mereka masih mencari Risma,” ucapnya pelan dengan rahang mengeras.Melihat situasi ini, Udin pun memantapkan hati.“Aku akan bantu Risma sampai tuntas. Meski keluarganya sendiri berada di pihak Juragan Somat, aku nggak akan tinggal diam,” tekadnya dalam hati.“Untuk sekarang aku harus menghindari mereka. Jangan sampai keberadaan Risma ketahuan,” bisiknya pada diri sendiri, lalu memutar arah dengan hati-hati.Setelah mengambil uang di ATM, ia mampir ke warung nasi Padang dan kemudian pulang ke kos. ***Sementara itu, di tempat lain, Juragan Somat terlihat gusar.Wajahnya gelap penuh amarah. Ia berdiri di tengah anak buahnya, tampak seperti gunung yang
Risma yang semula tampak tenang mendadak bungkam, bibirnya sedikit terbuka. Ia tampak ingin bicara, namun akhirnya hanya menunduk.“Maaf… aku nggak tahu. Aku doain semoga beliau cepat sembuh,” ujar Risma, suaranya penuh empati.“Nggak apa-apa… nggak perlu minta maaf,” sahut Udin, berusaha tersenyum meski hatinya berat.Hening mengisi ruangan. Keduanya terdiam cukup lama. Udin memilih tak membahas lebih jauh soal ibunya.Clinck!Tiba-tiba ponsel miliknya menyala terang. Ia terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya merekah. Sepertinya trik menanam ponsel dalam beras benar-benar berhasil.“Risma, aku keluar sebentar, ya. Tetap di sini dulu,” ucap Udin sambil menggenggam ponsel.“Baik, Mas. Hati-hati,” jawab Risma pelan.Udin segera melangkah keluar, mencari tempat yang cukup tenang di ujung gang sempit. Ia memeriksa layar ponsel dengan penuh harap.Semuanya normal. Dengan cepat, ia mengetik nomor Miranda dan menekan tombol panggil.“Nona Miranda, ini aku, Udin.”(Eh, ini nomormu? Baik, aku
“Baiklah, kau bisa tinggal di sini. Tapi ingat, jaga sikapmu. Kau bukan anak kecil lagi. Mengerti?” ucap Udin dengan nada setengah pasrah.Ia tidak punya banyak pilihan.Meski hatinya berat, Udin membiarkan Risma tinggal bersamanya di kamar kost.Lagipula, mana mungkin ia tega menendang gadis itu keluar begitu saja?Setidaknya sampai situasi dengan Juragan Somat mereda, keberadaan Risma seharusnya tak jadi masalah besar.Namun ada satu masalah lain yang belum ia pecahkan: ibu kost.Ia belum memberitahunya soal keberadaan Risma, dan itu menjadi beban tersendiri yang menghantui pikirannya.“Benarkah? Terima kasih, Mas Udin! Kau benar-benar bisa diandalkan!” seru Risma girang.Wajahnya berseri-seri, senyum lebarnya penuh rasa syukur karena telah menemukan tempat berlindung.Saking senangnya, Risma sempat ingin memeluk Udin, tapi niat itu batal saat Udin buru-buru mendorongnya dengan canggung.“Hah? Kenapa mendorongku?” tanya Risma heran.“Maaf... aku hanya—” jawab Udin tergagap, wajahnya
“Tempat ini nggak buruk kok! Malah Mas Udin beruntung bisa punya tempat tinggal. Nggak semua orang seberuntung itu di kota,” ujar Risma sambil menatap sekeliling.Matanya tampak jernih, seolah menilai tempat itu dengan tulus, bukan sekadar basa-basi.Risma terlihat seperti bidadari yang turun dari langit untuk menghibur Udin.Namun tentu saja, tak ada asap tanpa api. Kedatangannya pasti punya alasan kuat.“Risma, sejak kapan kamu ke kota? Kenapa cari aku? Apa orang tuamu tahu kamu ada di sini?” tanya Udin beruntun, rasa ingin tahunya semakin membuncah.Risma tampak sedikit bingung, namun kemudian menarik napas dalam. Wajahnya berubah menjadi serius.“Tapi sebelumnya... janji dulu ya, jangan bilang siapa pun kalau aku di sini. Termasuk ke orang tuaku...” ucapnya lirih, namun tajam.Ketakutan terlihat jelas dari ekspresinya, menyiratkan trauma yang mendalam.Udin langsung menangkap bahwa ini bukan persoalan sepele.Risma pasti mengalami sesuatu yang berat, dan memilih mencari seseorang y
Keesokan harinya…BRAAAKKK!Suara benturan keras menggema dari luar kamar kost.Udin langsung terbangun, tubuhnya tegak. Ia menyipitkan mata, mencoba memahami apa yang terjadi.“Udin! Cepat keluar! Jangan buat aku dobrak pintumu!” teriak suara lantang dari luar.Dari cahaya yang menyelinap lewat jendela, Udin sadar bahwa hari sudah siang. Ia tidur terlalu lama.“Suara itu…,” gumamnya sambil bangkit. “Ibu kost lagi.”Ia tahu benar maksud kedatangan wanita paruh baya itu. Sudah tiga bulan ia menunggak biaya sewa. Tak punya pilihan, ia pun membuka pintu.Dan benar saja, di depannya berdiri sosok wanita gemuk dengan wajah merah padam karena amarah.“Ya, ada apa Bu?” tanya Udin, berusaha terlihat polos, walau sudah tahu jawabannya.Tatapan sang ibu kost seolah ingin melahapnya hidup-hidup.“Jangan pura-pura bego, Din! Kamu pikir aku ini patung? Sudah tiga bulan kamu nggak bayar, terus enak-enakan tidur siang?” sahutnya dengan nada tinggi.Udin hanya bisa menelan ludah.Masalah baru… lagi.
“Maksudmu, kau ingin membunuhnya?” tanya Kepala Penadol dengan nada serius, memastikan agar tak salah memahami maksud putranya.Ia tahu betul bahwa Erik Penadol tak pernah memberi ampun pada siapa pun yang menentangnya.Sebagai ayah, Kepala Penadol enggan ikut campur dalam urusan pribadi putranya.Namun jika itu memang keputusan Erik, ia hanya bisa mendukung sebagai kepala keluarga.“Aku ingin membuatnya menderita karena berani mendekati Nona Miranda. Kalau dia sampai mati nanti, itu hanya karena nasibnya sial,” ujar Erik dengan nada dingin, matanya menyipit penuh kebencian.Sebagai anak konglomerat generasi kedua, Erik Penadol terbiasa mengandalkan kekuatan uang.Ia tidak suka turun tangan langsung, melainkan lebih suka menyuruh orang lain untuk menyelesaikan urusannya.Erik pun berusaha meyakinkan ayahnya agar tak menentang rencana balas dendamnya terhadap Udin.“Ayah mengerti apa yang kau maksud. Tapi kalau kau benar-benar ingin menghabisinya, pastikan semuanya bersih. Jangan sampa
“Betul, Pak. Orang ini tidak punya hak berada di sini. Dia orang miskin, mana mungkin mampu membayar bangsal VIP di rumah sakit ini,” sahutnya yakin, dengan ekspresi meremehkan.Ucapannya yang kasar dan justru mengundang amarah. Ia bahkan tak sadar tengah menghina seseorang di hadapan atasannya sendiri.Pak Tukul menatapnya tajam, ekspresinya berubah dingin.“Dia miskin, lalu kau merasa berhak mengusirnya?” ucapnya pelan, namun setiap kata mengandung tekanan.Sowel masih belum menangkap maksud dari nada suara itu. Ia terus saja bicara, makin menjadi-jadi.“Betul, Pak. Saya ingin segera mengusirnya, agar suasana rumah sakit kita tak tercemar oleh orang seperti dia,” jawabnya tanpa rasa bersalah, malah terdengar semakin keterlaluan.Langkahnya hendak maju, namun tiba-tiba Pak Tukul berdiri di hadapan Udin, membentengi tubuh pemuda itu dengan sikap penuh hormat.Ia menoleh ke Udin, lalu berkata dengan nada hormat, “Nak Udin, saya akan mengurusnya.”Dia kemudian berbalik dan menatap Sowel
Sepertinya ada sesuatu yang terjadi dengan ayahnya.“Bibi? Kau di sana?” tanyanya cepat, berharap jawaban segera.Tak ada jawaban. Miranda mencoba tetap tenang, tapi keresahannya tak bisa ditutupi.“Bibi, atau siapa pun di sana! Cepat jawab!” sahutnya gugup.Tidak lama setelah itu suara wanita paruh baya kembali terdengar.(...Nona Miranda, maafkan saya karena menggunakan ponsel Tuan Kuncoro. Beliau baru saja meminum obat dan kini sedang beristirahat di kamar...)Mendengar penjelasan tersebut, Miranda sedikit lega. Ia tahu, pembantunya itu tidak berniat lancang, hanya berusaha menenangkan situasi.“Tidak apa-apa, Bibi. Aku tahu Ayah terlalu memaksakan diri dengan urusan perusahaan. Aku akan segera pulang untuk memeriksa keadaannya,” ucapnya pelan, mencoba tetap tenang.(...Baik, Nona Miranda...)Pembantu itu terdengar lega karena tidak dimarahi. Ia memang menjawab panggilan demi menenangkan Miranda, dan bersyukur keputusannya tepat.Miranda pun segera mengakhiri panggilan dengan wajah
Walau sebelumnya menyetujui perjodohan itu, ia tetap menghargai keputusan Miranda.Ia bukan tipe ayah yang memaksakan kehendaknya, apalagi jika putrinya merasa tak nyaman.(...Tuan Kuncoro, mohon pertimbangkan kembali. Kegagalan ini terjadi karena ada seorang pemuda miskin yang mengaku sebagai pacar Putri Miranda. Bukankah ini mencoreng nama baik keluarga Anda?...)Kepala Penadol yakin, kalimat itu akan menyentuh harga diri lawan bicaranya.“Apa?!” seru Kepala Kuncoro, terkejut dan tak percaya.“Pemuda miskin menjadi pacar putriku?” ulangnya, nada suaranya meninggi.Ia jelas tak bisa menerima kenyataan itu. Keluarga mereka berada di puncak kelas atas, dan ia tak akan membiarkan anaknya menjalin hubungan dengan pria yang bahkan tak diketahui asal-usulnya.“Kepala Penadol, kau yakin dengan yang kau katakan?” tanyanya, penuh penekanan.(Tak bisa kubiarkan ini terjadi. Miranda harus sadar tempatnya dari keluarga tak sederhana.) batinnya, kini mulai diliputi amarah.(...Aku telah mengataka
Sekilas, Udin melihat sosok yang begitu ia kenal.Lastri. Wanita yang selama ini mengisi hatinya, yang ia kagumi dan jaga seakan porselen rapuh.Tapi apa yang dilihatnya kini?Langkahnya terhenti. Matanya tak berkedip. Napasnya tercekat.Di balik kaca, Lastri sedang dalam pelukan pria lain.Keduanya… telanjang. Saling merengkuh, saling membelai, begitu intim, begitu mesra… seolah dunia milik mereka berdua.Udin tak percaya.Dunia seakan berhenti berputar. Suara-suara malam mendadak hilang. Hanya ada detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga.“L–Lastri...?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, suaranya pecah oleh guncangan emosi.Tubuhnya bergetar hebat. Ia mundur satu langkah, tapi kakinya lemas. Ia tak sanggup berdiri tegak.Selama ini, ia menjaga hubungan mereka dengan kesabaran dan cinta. Ia tak pernah meminta lebih.Lastri bahkan belum pernah memberinya ciuman, hanya sekadar genggaman tangan yang ia simpan sebagai kenangan berharga.Namun kini, semua pengorbanan dan keperc...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments