Demi biaya pengobatan putri semata wayangnya, Angelica rela direndahkan dan dijadikan pelampiasan hasrat oleh Alex--mantannya. Lantas, bagaimana nasib Angelica? Belum lagi, Alex tampak ingin membalaskan dendam tanpa tahu alasan Angelica pergi sesungguhnya....
Lihat lebih banyakSuaranya datar, tanpa emosi. Namun, tiap katanya memuat amarah lama yang belum padam. Ia melemparkan kemeja ke atas koper terbuka dan mengibaskan tangan, seolah enggan melanjutkan topik yang selalu membuatnya kesal.“Bukan cuma nggak bisa diatur, Pa. Dia itu keras kepala, egois, sok tahu. Dia nuduh Markus macem-macem, padahal Markus itu yang paling peduli sama keluarga ini.” sahut Nyonya Abigail, nadanya meninggi sedikit. Pipinya memerah karena emosi, dan napasnya terasa lebih berat dari biasanya.Ia masih belum lupa malam ketika Alex datang membawa tuduhan soal Markus—tuduhan yang ia anggap tak masuk akal. Menurutnya, Alex hanya iri, hanya ingin menjatuhkan orang yang lebih ia percaya, seseorang yang selama ini setia menemani dan membantu keluarga mereka.Tuan Maximus merebahkan diri di tempat tidur. Matanya memandang ke langit-langit, seperti menghitung bekas luka batin yang selama ini ia simpan. Tak ada yang boleh menyakiti Amelia, mereka akan sangat marah meskipun orang itu adalah
“Permisi. Saya mau cek kondisi, nyonya,” ucap perawat itu. Jantung Markus masih berdetak kencang, dia takut kalau perawat ini melihat kegiatan panas yang mereka lakukan barusan. Andaikan dirinya mengunci ruang rawat inap itu, dia tak punya alasan untuk melakukannya. Sebab Sophia bukanlah istrinya.“Silahkan suster,” jawab Sophia.Markus memilih duduk di sofa, kursus di samping box bayi. Dia menatap putrinya dengan penuh kebahagiaan. Tak menyangka dirinya sudah memiliki anak dari perempuan yang bukan istrinya. “Kapan saya boleh pulang, sus?” tanya Sophia.Suster yang mengecek tekanan darah Sophia pun menjawab, “kemungkinan besok setelah kunjungan dokter sudah boleh pulang, nyonya,” jawabnya.Sophia hanya mengangguk.Setelah selesai lakukan pemeriksaan, suster tersebut mohon izin untuk keluar dan melanjutkan tugasnya memeriksa pasien yang lain. Markus menarik napas lega.“Untung saja tidak ketahuan,” ucapnya.“CK! Kamu sih, rakus amat,” kata Sophia.Markus kembali duduk di samping ran
PraaaankSaking terburu-burunya ingin mengejar Alex, Markus tanpa sengaja menabrak petugas gizi yang sedang membawa satu gelas teh di atas nampan untuk salah satu pasien yang barusan menelepon mereka. “Kau punya mata gak sih!” Seru Markus marah.“Ma–maaf, Tuan,” jawabnya terbata. Padahal jelas Markus yang salah bukan petugas gizi itu. Tapi justru Markus yang marah-marah. “Sial, hilang kemana dia?” tanyanya pada diri sendiri.Dia mencoba berjalan lurus di lorong itu, mengabaikan pakaiannya yang basah karena tumpahan teh hangat. Markus sedikit heran pada Alex, sebab pria itu sama sekali tidak ada mengunjungi Sophia. Tapi ngapain saja dia di rumah sakit sampai jam segini? pikirnya.Tak ingin berlama-lama ada di sana, karena sudah tak menemukan Alex. Markus pun memilih untuk kembali ke ruangan Sophia. Sebab kedua mertua dan istrinya baru sampai di rumah sakit.Sementara itu, Alex sudah berada di dalam ruang kerja dokter Aurora. Wajah dokter perempuan itu tampak lelah, matanya sedikit se
Alex membuka matanya perlahan. Ia tidak tahu sudah berapa lama tertidur di sisi ranjang itu. Pandangannya masih buram, tapi begitu fokusnya kembali, yang pertama kali ia lihat adalah wajah Angelica—pucat, tenang, dan sangat lemah. Napas wanita itu teratur, meski tetap terdengar lirih. Infus masih terpasang di punggung tangannya, dan alat pemantau detak jantung masih berdetak pelan namun stabil di samping ranjang.Ia mengusap wajahnya sendiri, mengembus napas panjang. Tadi, saat Angelica kembali kehilangan kesadaran karena terlalu terpukul, Alex sendiri yang meminta tim medis untuk memberinya obat penenang ringan. Angelica butuh istirahat. Dia tak akan mampu berdiri lagi jika terus seperti tadi.Sekarang, wanita itu benar-benar terlelap. Tak ada air mata. Tak ada rintihan. Tapi justru itulah yang membuat dada Alex makin sesak. Karena ketenangan itu bukan hasil dari kedamaian, tapi hasil dari tubuh yang sudah terlalu lelah menangis dan hati yang nyaris kehilangan harapan.Perlahan, Alex
Tubuh Angelica yang tak sadarkan diri langsung diangkat dari kursi roda oleh dua petugas medis wanita yang datang membawa brankar. Dengan cekatan, mereka memindahkannya ke ranjang dorong, sementara salah satu perawat memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya yang melemah. Wajah Angelica pucat, dingin, dan basah oleh keringat dingin serta air mata yang belum sempat mengering.“Bawa saja ke ruang perawatan anaknya dulu biar bisa istirahat di sana. Cepat,” perintah salah satu dokter yang hendak masuk ke ruang ICU.“Baik dok,” jawab mereka.Alex mengejar mereka beberapa langkah, tapi kemudian menoleh ke arah William yang masih berdiri tegang di dekat kaca ICU, tatapannya kosong.“William…” suara Alex serak, nyaris tak terdengar. Ia mendekat dan menggenggam bahu pria itu, keras. “Kamu tetap di sini. Apa pun yang terjadi sama Olivia… sekecil apa pun perubahannya, langsung kabari aku.”William mengangguk cepat. “Baik, Tuan…”Alex tak menjawab. Ia hanya menatap sekali lagi ke arah ruang ICU,
“Viaaaaa, Mama mohon berjuanglah, nak. Mama bisa kehilangan apapun kecuali kamu, sayang. Mama mohon kembali, hiks hiks.” Tubuh Angelica kembali bergetar hebat karena tak kuasa menahan sakit melihat putrinya kritis di saat operasi sudah dilaksanakan.“Maafkan Mama telah menyembunyikan tentang keberadaan Papamu, sayang. Mama hanya ingin kita hidup tenang, nak. Maaf kalau Mama belum sempat buat kamu bahagia. Kembalilah, nak. Mama mohon.”Alex memeluk erat Angelica, mengecup puncak kepala wanita itu. Demi apapun jika ada yang harus disalahkan soal penderitaan Angelica dan Olivia, orang itu adalah dirinya.Alex sampai menyentuh ulu hatinya karena terasa sakit dan sesak. Dia sampai meremasnya untuk menghilangkan rasa sakit itu.Alex tak sanggup berdiri lagi. Lututnya goyah, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ia berlutut di depan kursi roda Angelica, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam emosi yang sudah tak terbendung. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan kepalanya ke pangkuan Angelica, meng
Tubuh kecil Olivia masih terbaring tak bergerak. Selang oksigen terpasang di hidung mungilnya, alat bantu napas bekerja terus-menerus, mengatur napasnya yang tidak lagi bisa dikendalikan sendiri.Pintu kaca terbuka perlahan. Dokter Aurora masuk bersama seorang rekan sejawat—dokter muda laki-laki berseragam putih lengkap, serta dua perawat yang membawa tray berisi perlengkapan pemeriksaan.Dokter Aurora berjalan paling depan. Wajahnya tegas namun mata lelahnya tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang terus menggelayuti. Ia berdiri di sisi kanan tempat tidur Olivia, lalu memberi isyarat pada perawat untuk mulai.“Cek tekanan darah dan saturasi oksigennya dulu,” ucap Aurora singkat.“Baik, Dok,” jawab salah satu suster.Sementara perawat bekerja, dokter pria yang ikut bersamanya membuka catatan rekam medis dan membandingkan data terbaru dari alat monitor.“Masih di bawah 90, saturasinya belum stabil juga,” lapor dokter itu dengan suara rendah.Aurora hanya mengangguk. Tatapannya jatuh
William segera berlari ke arah meja perawat. “Tolong! Pasien di UGD pingsan lagi. Cepat panggil dokter!” teriaknya.Tak butuh waktu lama, dua orang dokter bersama satu perawat masuk ke dalam ruang UGD tempat Angelica dirawat. Mereka langsung memeriksa kondisinya. Salah satu dokter memerintahkan pemasangan oksigen sambil memantau tekanan darah dan denyut jantung Angelica.Alex berdiri di samping ranjang, tak berpaling sedikit pun. Wajahnya tegang, penuh kecemasan. Tangannya menggenggam jemari Angelica yang terasa sangat dingin.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Alex, suara seraknya nyaris tak terdengar.Dokter wanita yang memimpin pemeriksaan menoleh cepat. “Tekanan darahnya turun drastis. Tubuhnya sangat lelah dan dehidrasi. Suster tadi juga mengatakan kalau pasien belum tidur sama sekali sejak dua hari lalu, sejak sebelum operasi putrinya. Itu membuat daya tahan tubuhnya sangat drop, ditambah dengan keadaan putrinya yang dalam keadaan kritis.”Alex menatap wajah Angelica yang tampak
“Kamarnya kosong. Di mana mereka?” tanya Alex dengan nada panik, matanya langsung menyapu sekeliling ruangan.Langkahnya makin cepat memasuki ruang rawat inap yang tampak sepi. Di depan pintu masih tertempel jelas tulisan larangan masuk selain orang tua pasien. Tapi Alex dan William tak mengindahkannya. Bagi Alex, saat ini tidak ada aturan yang lebih penting dari mencari tahu keberadaan Olivia.Begitu memasuki ruangan, William langsung melihat ke sekeliling. Matanya berhenti pada tumpukan barang di pojok ruangan.“Tuan, ini tas dan sepatunya Angel. Ini juga seragam kerja dari anda,” ujarnya sambil menunjuk. “Berarti dugaan kita benar. Olivia memang anaknya.”Deg.Jantung Alex serasa berhenti berdetak sesaat. Alex tak bisa diam. Ia melangkah cepat menuju tas yang ditunjuk William, lalu meraihnya dan membuka tanpa ragu. Tangannya sedikit gemetar saat membuka resleting. Di dalam tas itu, ia menemukan dompet kecil, beberapa perlengkapan wanita, dan satu ponsel tua dengan layar retak di b
“Aku menginginkanmu, Angel.” Tubuh Angelica yang berdiri membelakangi pria itu sontak meremang saat sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya, menariknya dengan perlahan ke pelukan yang erat. Terlebih suara berat Alex yang penuh godaan berbisik di telinganya. Belum sempat memproses segalanya, tangan kekasihnya itu mulai bergerak penuh gairah di atas tubuh Angelica.Angelica terkesiap.Seharusnya, dia menolak dan coba menghentikannya. Ada yang harus dia bicarakan terkait pertemuannya dengan ibu Alex.Namun, pria itu tahu benar titik-titik kelemahan Angelica, hingga dia pun tak kuasa menahan diri. “Tunggu saja, akan kujadikan Kau Nyonya Alexander, Sayang,” bisik Alex penuh penekanan. Pria itu pun mendorong tubuh wanita itu pelan ke dalam ruang pribadi di dalam ruang kerjanya dan melakukannya seolah tak ada hari esok..... “Bu, Angel?!”Deg!Panggilan sang dokter membuat Angelica tersentak dan kembali dari lamunannya. Bisa-bisanya dia teringat akan masa lalunya di saat seper...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen