Suaranya datar, tanpa emosi. Namun, tiap katanya memuat amarah lama yang belum padam. Ia melemparkan kemeja ke atas koper terbuka dan mengibaskan tangan, seolah enggan melanjutkan topik yang selalu membuatnya kesal.“Bukan cuma nggak bisa diatur, Pa. Dia itu keras kepala, egois, sok tahu. Dia nuduh Markus macem-macem, padahal Markus itu yang paling peduli sama keluarga ini.” sahut Nyonya Abigail, nadanya meninggi sedikit. Pipinya memerah karena emosi, dan napasnya terasa lebih berat dari biasanya.Ia masih belum lupa malam ketika Alex datang membawa tuduhan soal Markus—tuduhan yang ia anggap tak masuk akal. Menurutnya, Alex hanya iri, hanya ingin menjatuhkan orang yang lebih ia percaya, seseorang yang selama ini setia menemani dan membantu keluarga mereka.Tuan Maximus merebahkan diri di tempat tidur. Matanya memandang ke langit-langit, seperti menghitung bekas luka batin yang selama ini ia simpan. Tak ada yang boleh menyakiti Amelia, mereka akan sangat marah meskipun orang itu adalah
“Dokter... doook!” teriak Alex memanggil petugas medis.Otak cerdasnya seolah tidak berfungsi dengan baik karena terlalu senang mendengar suara Olivia yang memanggilnya dengan sebutan Papa. Padahal, ada tombol di dekat ranjang pasien ruang ICU yang bisa ia tekan untuk memanggil petugas medis, namun hal itu tak ia lakukan.Sebaliknya, ia justru membuka pintu ruang ICU dan berteriak sekencang-kencangnya hingga dokter akhirnya masuk ke dalam karena terkejut oleh teriakan tersebut.Sementara itu, Angelica menangis sambil menggenggam tangan putrinya yang kini terbebas dari jarum infus.Pintu ruang ICU kembali terbuka. Seorang dokter bersama dua perawat masuk dengan langkah tergesa setelah mendengar teriakan Alex yang menggema di lorong rumah sakit. Napas sang dokter masih tersengal, tapi matanya segera menyapu ke arah Olivia yang terbaring lemah di ranjang.Monitor detak jantung menunjukkan grafik yang masih stabil, namun tak ada tanda-tanda Olivia membuka mata atau kembali bersuara. Ange
Olivia benar-benar membuka matanya. Pelan. Perlahan. Bola matanya yang basah tampak bergerak, seperti mencari sesuatu di ruang itu. Napasnya masih berat, naik turun dengan ritme yang belum stabil, namun wajah pucatnya kini menunjukkan tanda-tanda kehidupan.Angelica tak mampu menahan luapan emosinya. Ia menjatuhkan diri di kursi di sisi ranjang, menggenggam dan mencium tangan kecil itu berulang kali. Air matanya jatuh deras tanpa bisa dihentikan. “Nak… Mama di sini… Mama di sini, Sayang… Terima kasih sudah kembali,” isaknya lirih, penuh syukur dan rasa tak percaya.Tangisnya bukan hanya karena haru, tapi juga karena rasa bersalah, cemas, dan sayang yang menumpuk begitu lama. Tubuh kecil itu telah berjuang keras, dan kini, membuka matanya seperti mukjizat nyata.Alex berdiri di samping ranjang, terdiam. Tubuhnya kaku, seperti tak mampu bergerak. Matanya menatap lekat pada Olivia yang kini menoleh pelan ke arahnya. Tatapan gadis kecil itu menembus pertahanannya, membuat dadanya sesak.
“Kami hanya izinkan satu orang yang menemani pasien di ruangan ini. Keluarga bisa bergantian menjaga pasien, tapi kami akan memberikan obat penenang dengan dosis rendah agar pasien bisa beristirahat,” ucap dokter Andreas sebelum meninggalkan ruang ICU.Sang dokter tampan sudah memastikan kalau Olivia benar-benar melewati masa kritisnya dan kesehatannya sudah mulai stabil. “Baik dok. Biarkan Mamanya dulu yang di sini menemani Olivia,” jawab Alex.Dokter Andreas mengangguk, lalu menatap ke arah Olivia untuk menanyakan keadaan gadis itu. “Nak, kalau Om Dokter tanya jawab dengan anggukan dan gelengan ya?” pintanya. Olivia yang cerdas sejak lahir pun mengangguk. Sebetulnya Angelica sudah menyadari kalau sang anak mewarisi kejenius sang papa. Namun rasa sabar dan kebaikan Olivia, Angelica merasa itu diwarisi dari dirinya. Sementara wajah 90% mirip dengan Alex dan Mamanya. Karena memang wajah Alex sangat mirip dengan mamanya.“Ini sakit tidak?” tanya dokter menyentuh bekas operasi di dada
Alex tak bisa berkutik ketika Angelica menolak untuk membahas mengenai hubungan mereka ke depan. Wajah wanita itu terlihat tenang, namun sorot matanya jelas memendam banyak luka yang belum sembuh. Dalam diamnya, Angelica sedang merasakan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apapun—sebuah perasaan yang tak tergantikan ketika akhirnya ia bisa memeluk kembali anak yang selama hidup dalam bantuan alat jantung. Semua yang telah ia lalui—rasa sakit, kehilangan, hingga ketidakberdayaan—seolah luruh saat Olivia kembali ke pelukannya, dan berhasil melewati masa kritisnya.Alex hanya menarik napas panjang, menahan ribuan kalimat yang ingin ia sampaikan, lalu berkata pelan, “Ya sudah, nanti kita bahas. Sebaiknya kamu makan dulu. Habiskan makanan ini.” Suaranya terdengar seperti perintah, tetapi nada di baliknya menyimpan ketulusan yang tak bisa disembunyikan.Angelica hanya menatapnya sejenak, lalu menunduk. Keheningan itu nyaris utuh, hingga suara lembut bertanya, “Kenapa Anda tidak makan?
Setelah membuka pintu ruang rawat inap Olivia, ternyata suster yang ada di balik pintu itu."Ada apa, Suster?" tanya Alex."Saya ingin menyampaikan pesan dari Dokter Andreas agar Ibu Angelica menemui beliau di ruang kerjanya yang ada dua lantai di bawah ruangan ini," ucap suster."Baik, Suster. Sebentar lagi Angelica akan ke sana. Terima kasih atas informasinya," ucapnya sopan."Sama-sama, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu."Alex pun menjawab dengan anggukan.***"Silakan masuk, Ibu Angelica, Tuan Alex. Dokter sudah menunggu," ucap suster sambil tersenyum lalu meninggalkan mereka.Dokter Andreas yang masih mengenakan jas putihnya tampak sedang membaca berkas medis. Saat mendengar pintu terbuka, ia segera berdiri dan menyambut keduanya."Silakan duduk," ucapnya ramah, lalu mempersilakan mereka duduk di sofa kecil yang tersedia di ruangannya.Keduanya duduk berdampingan."Saya minta maaf memanggil kalian malam-malam begini," ucap dokter Andreas membuka pembicaraan. "Tapi saya pikir
Esok harinya, tepat pukul 08.30, Alex tiba di restoran sebagaimana diminta oleh kedua orang tuanya. Matanya menyapu seluruh sudut ruangan. Tempat itu tampak terlalu mewah untuk sebuah pertemuan yang ia tahu hanya akan berujung menyakitkan. Langkahnya mantap, namun batinnya sudah bersiap untuk ditikam oleh darah dagingnya sendiri.Ia duduk di meja yang sudah dipesan atas nama keluarga Maximus. Ketika seorang pelayan datang membawakan daftar menu, Alex hanya menggeleng pelan. “Nanti,” jawabnya singkat.Hatinya sekeras batu saat ini. Ia tahu, tidak akan ada yang bisa meluluhkan rasa perih di dadanya. Hubungan keluarga mereka sudah retak. Bukan karena harta, tapi karena ketidakpercayaan dan pengkhianatan. Semua ini berakar dari satu hal: mereka lebih memilih Markus—seorang pria asing—daripada dirinya sendiri, putra bungsu yang telah berjuang mati-matian menjaga martabat keluarga ini.Tak berselang lama, keempat orang itu tiba. Papa, Mama, Amelia, dan… Markus. Semua datang dalam satu romb
Dua minggu telah berlalu. Olivia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang menggembirakan. Bahkan, dokter sudah memutuskan bahwa besok gadis kecil itu boleh pulang. Infus di tangannya pun sudah dilepas sejak pagi tadi, meninggalkan bekas merah kecil yang tak seberapa dibanding penderitaan yang telah ia lalui. Angelica tersenyum penuh syukur, sementara Alex—meski tak pernah mengakuinya secara langsung—merasa dadanya sedikit lebih lapang setiap kali melihat Olivia tersenyum.Selama dua minggu terakhir, hidup Alex seperti berjalan di dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, hubungannya dengan Angelica membaik. Wanita itu tak lagi kaku dan menjaga jarak seperti sebelumnya. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, Alex selalu menyempatkan diri mampir ke rumah sakit. Hanya sekadar menatap Olivia yang tengah tertidur, atau menyerahkan sekotak makanan ringan untuk Angelica yang selalu menolak bila diberi uang. Tanpa sadar, rutinitas itu menjadi pelepas lelahnya. Dan setiap kali ia
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi