Angelica duduk di kursi berhadapan dengan dokter Aurora, spesialis jantung yang menangani kasus Olivia, sejak pindah ke kota. Tangannya saling meremas di atas paha, berusaha menenangkan diri, tetapi detak jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan serius dokter Aurora membuat napasnya terasa semakin berat.
“Bu Angelica, kondisi Olivia semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi transplantasi jantung. Untungnya, Olivia sudah masuk dalam daftar penerima donor.” Angelica menahan napas. Ada secercah harapan di sana. Tetapi… kenapa wajah dokter Aurora masih tampak berat? “Tapi, Bu Angelica… Anda harus segera menyiapkan biayanya, minimal setengahnya sudah harus segera dibayar.” Seakan ada batu besar yang menghantam dadanya. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. “Be–berapa biayanya, dok?” Angelica terbata. Dokter menyebutkan perkiraan biaya yang harus disiapkan Angelica. Dokter Aurora kembali menjelaskan. “Untuk prosedur ini, Anda harus membayar sebagian biayanya terlebih dahulu agar antrian Olivia tidak dialihkan ke pasien lain. Rumah sakit juga membutuhkan konfirmasi pembayaran untuk memastikan kesiapan operasi. Mengenai nominalnya bisa anda tanyakan nanti di bagian administrasi.” Dunia Angelica seolah hancur berkeping-keping. Sialnya dia tidak punya uang. Tidak ada tabungan. Tidak ada orang yang bisa dia mintai tolong. Satu-satunya harapannya adalah Alex, dan bahkan pria itu hanya mau menerimanya sebagai pelayan di rumahnya. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa saya bisa membayar setelah operasinya? Atau… bisakah saya mengajukan bantuan di rumah sakit ini?” tanya Angelica. Dokter Aurora menghela napas. “Kami bisa membantu dalam beberapa aspek, tapi biaya utama tetap harus dibayarkan, Bu Angelica. Jika tidak, ada kemungkinan jantung donor yang seharusnya untuk Olivia akan diberikan kepada pasien lain yang sudah lebih siap secara administrasi.” Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Tangannya gemetar, menutupi mulutnya yang bergetar hebat. Dia akan kehilangan Olivia jika dia tidak segera mencari uang. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh begitu saja. Angelica terisak pelan memenuhi ruangan itu. Dia benar-benar sendiri menanggung beban seberat ini. “Apa benar-benar tidak ada cara lain, dok?” suaranya terdengar parau, putus asa. “Tolong, Dok… saya akan melakukan apa pun. Saya tidak bisa kehilangan anak saya…” Angelica menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar membuat dokter Aurora sangat kasihan melihatnya. Sang dokter tahu pasien ini dirujuk dari rumah sakit yang ada di desa, rumah sakit yang tak memiliki peralatan khusus bagi penderitanya. Dokter Aurora menatapnya dengan empati, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak. “Saya tahu ini sulit, Bu Angelica… Tapi, operasi ini sangat mendesak. Tak ada cara lain lagi, selain membayar setengahnya. Tolong, segerakan pencarian dananya. Kita tidak punya banyak waktu.” Angelica mengangguk lemah. Dia berdiri dengan langkah gontai, seakan tubuhnya kehilangan tenaga. Saat tangannya hendak meraih gagang pintu, dokter Aurora kembali bersuara. “Bu Angelica… Olivia anak yang kuat. Saya yakin dia ingin mamanya juga tetap kuat.” Ucapan itu membuat Angelica menangis lebih keras. Dia harus berjuang. Apapun caranya, dia harus menyelamatkan Olivia. Angelica kembali menuju ke ruang perawatan Olivia. *****Rumah Alex "Apa? Satu miliar? Untuk apa uang sebanyak itu?" Alex bertanya dengan suara menggelegar. Ia tak habis pikir dengan wanita di hadapannya. Baru pertama kali bekerja, Angelica sudah berani meminta pinjaman sebesar itu tanpa alasan yang jelas. Kalau saja bukan karena niatnya membalaskan sakit hati masa lalu, mungkin Alex sudah mengusirnya dari rumah ini. "A-ada yang harus aku bayar, Alex. Aku janji akan mengembalikannya. Kau boleh memotong gajiku, setiap bulan," jawab Angelica, suaranya bergetar. Angelica mengabaikan rasa malunya. Hanya Alex satu-satunya orang yang bisa memberinya uang dalam jumlah besar. Meski harus menerima amarah pria itu, dia tidak punya pilihan lain. Nyawa Olivia bergantung padanya. "Mau balikin pakai apa uang sebanyak itu? Batu? Pasir? Berapa lama akan lunas kalau dibayar pakai gajimu?" hina Alex dengan tawa sinis. Tapi Angelica tak marah. Ia hanya menunduk, menahan luka di hatinya. "A-aku janji... Aku pasti mengembalikannya, Alex. Aku janji," ulangnya, mencoba meyakinkan. Alex memperhatikan wajah mantan kekasihnya itu. Dari sorot mata wanita ini, ia bisa melihat betapa putus asanya Angelica. Tapi untuk apa uang sebesar itu? Hening beberapa detik sebelum Alex akhirnya berbicara. "Baik, aku akan memberikannya." Ia berhenti sejenak, menatap Angelica dengan seringai dingin. "Tapi, sebagai kompensasi, sebelum uang itu kau kembalikan... setiap malam, kau harus menjadi pemuas hasratku dan bermain dengan liar setiap malam. Artinya kau harus bekerja di rumah ini lebih dari 16 jam tanpa protes." Mata Angelica membulat. Tidak! Dia tidak bisa meninggalkan Olivia di rumah sakit sendirian. Tapi dia juga tahu, Alex tidak akan menerima negosiasi. Satu hari sebelumnya, Angelica sudah menandatangani kontrak kerja yang dibuat Alex. Isinya jelas: dia hanya boleh berhenti jika Alex yang memecatnya. Ia juga wajib bekerja 16 jam setiap hari dengan gaji yang tidak seberapa. Kontrak yang jelas-jelas dibuat untuk memanfaatkan keadaannya yang sedang terpuruk. Seharusnya, malam ini Angelica sudah pulang. Tapi dia terpaksa bertahan di rumah ini hanya untuk bertemu Alex. Pukul 23.00, Alex akhirnya tiba di rumah. Tak ada pilihan lain. Angelica menutup mata sejenak, menahan isak, sebelum akhirnya berkata, "Baik... Aku mau." Senyum kemenangan muncul di wajah Alex. Setiap gerakannya penuh dendam. Angelica harus merasakan sakit yang pernah ia rasakan. "Sekarang, ikut aku ke kamar," ujarnya dingin. Jantung Angelica seakan berhenti berdetak.Sesaat, Angelica kembali membeku. Suasana di dalam kamar ini masih sama seperti terakhir kali dia masuk ke dalamnya, empat tahun lalu. Alex tinggal seorang diri di kota besar ini, sementara mama, papa, dan kakak perempuannya menetap di West Country . Mereka tidak pernah menyukai hubungannya dengan Alex, hanya karena Angelica berasal dari kelas bawah. Mereka menuduhnya mengincar harta Alex semata. Sementara itu, Alex sibuk menghubungi seseorang melalui pesan singkat, memastikan apakah kamera yang dipasang sudah bekerja dengan baik atau belum. Setelah mendapatkan kepastian bahwa semuanya sesuai permintaannya, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya jatuh pada Angelica, yang berdiri mematung di ujung tempat tidur. Wanita itu meremas ujung seragam kerjanya sebelum menoleh ke arah Alex. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat. "Kenapa? Kau pikir aku akan memberi uang cuma-cuma lagi untukmu?" tanyanya dingin. Angelica menggeleng. "Aku bekerja seumur hidup juga ti
Desahan demi desahan memenuhi kamar mewah itu. Alex hanyut dalam permainannya sendiri. Sudah lama rasanya dia tidak menyalurkan hasratnya, dan kini, dia kembali bisa merasakannya. “Tubuhmu masih sangat nikmat, Angel,” ucapnya, merancau sambil bergerak maju mundur di atas tubuh wanita itu. Angelica awalnya hanya ingin memberikan pelayanan terbaik kepada sang majikan, agar saat dia pulang nanti bisa mendapatkan uang satu miliar. Tapi kenapa dirinya justru ikut hanyut dalam permainan panas ini? “Kau harus selalu ada setiap kali aku menginginkanmu, Angel,” ujar Alex lagi. Angelica tidak menjawab. Hingga akhirnya, erangan panjang terdengar, menandakan keduanya sudah mencapai puncak. Setelahnya, mereka membersihkan diri. Begitu kembali rapi, Alex mengambil sebuah cek dan menyerahkannya pada Angelica, jumlahnya sesuai dengan yang diminta wanita itu. “Tanda tangani dulu surat perjanjian ini. Kalau kau berani kabur, aku akan memproses masalah ini ke jalur hukum,” ucapnya tegas, tid
Angelica berdiri di depan pintu ruang ICU, matanya terpaku pada tanda larangan masuk yang tertempel di sana. Di balik pintu itu, Olivia sedang bertarung dengan rasa sakitnya, tetapi Angelica tidak bisa berbuat apa-apa. “Maafin Mama, sayang. Maafin Mama, hiks hiks.” Angelica menangis di depan ruang ICU. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan sang anak dia tidak akan pernah memaafkan dirinya selama-lamanya. “Jangan pernah berani ninggalin Mama, Via,” tangisannya semakin menyayat hati. Tangannya gemetar, napasnya tersengal, dan tubuhnya serasa kehilangan tenaga. Dia ingin masuk, ingin berada di samping anaknya, ingin menggenggam tangannya yang mungil. Tapi dua petugas medis keluar dan menghadangnya. "Maaf, Ibu tidak boleh masuk sekarang. Dokter masih berusaha menstabilkan kondisi pasien." Angelica menggeleng dengan panik. "Tolong, saya harus melihat anak saya! Saya tidak ada di sini saat dia butuh saya! Tolong izinkan saya masuk!" Salah satu perawat menyentuh lengannya, mencob
Angelica tentu mengenali suara itu. Dengan perlahan, dia menoleh untuk memastikan bahwa orang yang memanggilnya adalah William.Dan ternyata benar, dugaan Angelica tepat. Orang itu memang William. Hanya dua orang yang biasa memanggilnya dengan sebutan "Angel": William dan Alex.“Kamu ngapain di sini tengah malam begini?” tanya William sambil berjalan mendekat. “Bukankah besok pagi kamu harus bekerja?” tambahnya lagi penasaran.Angelica menatap William sejenak. Kepalanya berputar mencari jawaban yang paling masuk akal agar pria ini tidak mencurigainya. Tidak mungkin dia bilang kalau dia punya anak yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Angelica tidak tahu apakah William tahu tentang masa lalunya dengan Alex. Tapi yang pasti, dia tidak bisa membiarkan siapa pun tahu soal Olivia.“A–aku… baru saja selesai bekerja dari rumah Tuan Alex, dan aku langsung mampir ke sini untuk-” jawab Angelica dengan suara pelan, tapi belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, William sudah menyela.“Kamu di
“Kau benar-benar menjaga tubuhmu dengan baik, Angel. Sekarang puaskan aku dengan caramu,” ucapnya sambil memejamkan mata.Alex mengambil posisi di bawah tubuh Angel. Wanita itu mulai menyentuh titik sensitif di tubuh Alex, hingga membuat Alex terus mendesah karena kenikmatan. Lidah Angel menari-nari di atas puncak dada pria itu.Empat tahun lamanya Alex tidak menyentuh perempuan, membuatnya sangat merindukan kegiatan ini.Sial, aku pikir aku sudah tidak normal lagi. Ternyata aku masih bisa melakukannya, gumam pria itu di dalam hati.Angelica benar-benar pasrah. Dia membiarkan tubuhnya dijamah oleh sang majikan sesuka hati pria itu. Meski remasan tangan besar Alex di dadanya terkadang terasa nyeri, namun dia mencoba untuk tidak mengeluh hanya karena tidak ingin mengubah mood Alex yang sedang baik setiap kali menyentuhnya.“Kamu sadar nggak sih kalau dadamu semakin besar, Angel?” tanya Alex dengan mata terpejam. Tangannya terus meremas dada sang mantan.Angelica tidak menjawab. Dia mem
“Angeeeeeel!” teriak Alex dari lantai bawah dengan suara yang sangat keras dan terdengar penuh amarah.“Ya, Tuan,” jawab Angel sambil berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Napasnya sedikit terengah karena ia benar-benar tidak ingin membuat pria itu semakin marah.Tadi saat Alex buru-buru berjalan melewati ruang tamu menuju arah halaman depan, kakinya tak sengaja menyenggol guci besar yang berada di pojokan ruangan dekat pintu utama. Guci itu pun goyah lalu jatuh ke lantai dan langsung pecah berantakan. Suara pecahannya terdengar sangat keras sampai menggema ke seluruh penjuru rumah.“Bersihkan ini,” ucap Alex datar namun tajam, saat sudah berdiri tidak jauh darinya. “Baik, Tuan,” jawab Angel lirih sambil buru-buru membungkuk dan mulai memunguti pecahan guci satu per satu.“Besok kau tidak boleh datang terlambat. Kalau sampai itu terjadi, maka aku akan memecatmu, dan meminta uang satu miliar itu kembali... saat itu juga,” ucapnya dengan suara dingin, tak butuh jawaban, lal
Angelica berlutut di depan Alex, memuaskan pria itu dengan mulutnya. Beruntung ruang kerja Alex dilengkapi dengan alat kedap suara sehingga desahan keras pria itu tidak akan terdengar sampai keluar. Alex juga sudah memberitahu William untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam ruang kerjanya. “Lebih dalam lagi, Angel. Please, ini enak banget,” ucapnya. Tangan Alex menyentuh kepala Angel, untuk membuat miliknya masuk lebih dalam lagi ke dalam mulut sang wanita. “Ooooh yesss,” rancau Alex. Alex merasakan getaran yang berbeda setiap kali bersentuhan dengan Angelica. Mungkin ini karena selama 4 tahun lebih miliknya tak bisa bangun seperti orang normal. Dan sekarang seakan sudah menemukan pawangnya. “Berdiri,” ucapnya. Angel segera berdiri persis di depan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya. “Buka bajumu,” ucapnya lagi. Tak ingin membantah, Angel pun segera melepaskan pakaiannya hingga tubuh bagian atasnya saat ini sudah polos tanpa satu helai benang pun sebagai penutup.
Sebelum pergi menemui seseorang, Alex menghubungi Angelica melalui pesan singkat. Dia mengizinkan wanita itu untuk pulang lebih awal, sebab hari ini dia akan pulang larut malam karena ada urusan bisnis.Suasana malam di pusat kota New Capitol memang tidak pernah sepi. Lampu-lampu gedung pencakar langit berkelap-kelip seperti tak pernah lelah menyala, seakan jadi saksi bisu berbagai kesepakatan besar yang terjadi di kota ini. Salah satunya malam ini.Alex, CEO Golden Gate Corporation, melangkah masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam kelas atas yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pebisnis dan investor papan atas. Setelan jasnya rapi. Rambut disisir ke belakang. Dia tidak banyak bicara, tapi sorot matanya tajam. Dia tahu betul apa yang dia lakukan dan apa yang dia incar malam ini.Di salah satu area VIP, seorang pria paruh baya dan asistennya sudah menunggu. Namanya Mr. Henry Whitmore, investor asing yang tertarik membuka bisnis perhotelan di beberapa kota besar di New Cap
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi