“Kau benar-benar menjaga tubuhmu dengan baik, Angel. Sekarang puaskan aku dengan caramu,” ucapnya sambil memejamkan mata.Alex mengambil posisi di bawah tubuh Angel. Wanita itu mulai menyentuh titik sensitif di tubuh Alex, hingga membuat Alex terus mendesah karena kenikmatan. Lidah Angel menari-nari di atas puncak dada pria itu.Empat tahun lamanya Alex tidak menyentuh perempuan, membuatnya sangat merindukan kegiatan ini.Sial, aku pikir aku sudah tidak normal lagi. Ternyata aku masih bisa melakukannya, gumam pria itu di dalam hati.Angelica benar-benar pasrah. Dia membiarkan tubuhnya dijamah oleh sang majikan sesuka hati pria itu. Meski remasan tangan besar Alex di dadanya terkadang terasa nyeri, namun dia mencoba untuk tidak mengeluh hanya karena tidak ingin mengubah mood Alex yang sedang baik setiap kali menyentuhnya.“Kamu sadar nggak sih kalau dadamu semakin besar, Angel?” tanya Alex dengan mata terpejam. Tangannya terus meremas dada sang mantan.Angelica tidak menjawab. Dia mem
“Angeeeeeel!” teriak Alex dari lantai bawah dengan suara yang sangat keras dan terdengar penuh amarah.“Ya, Tuan,” jawab Angel sambil berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Napasnya sedikit terengah karena ia benar-benar tidak ingin membuat pria itu semakin marah.Tadi saat Alex buru-buru berjalan melewati ruang tamu menuju arah halaman depan, kakinya tak sengaja menyenggol guci besar yang berada di pojokan ruangan dekat pintu utama. Guci itu pun goyah lalu jatuh ke lantai dan langsung pecah berantakan. Suara pecahannya terdengar sangat keras sampai menggema ke seluruh penjuru rumah.“Bersihkan ini,” ucap Alex datar namun tajam, saat sudah berdiri tidak jauh darinya. “Baik, Tuan,” jawab Angel lirih sambil buru-buru membungkuk dan mulai memunguti pecahan guci satu per satu.“Besok kau tidak boleh datang terlambat. Kalau sampai itu terjadi, maka aku akan memecatmu, dan meminta uang satu miliar itu kembali... saat itu juga,” ucapnya dengan suara dingin, tak butuh jawaban, lal
Angelica berlutut di depan Alex, memuaskan pria itu dengan mulutnya. Beruntung ruang kerja Alex dilengkapi dengan alat kedap suara sehingga desahan keras pria itu tidak akan terdengar sampai keluar. Alex juga sudah memberitahu William untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam ruang kerjanya. “Lebih dalam lagi, Angel. Please, ini enak banget,” ucapnya. Tangan Alex menyentuh kepala Angel, untuk membuat miliknya masuk lebih dalam lagi ke dalam mulut sang wanita. “Ooooh yesss,” rancau Alex. Alex merasakan getaran yang berbeda setiap kali bersentuhan dengan Angelica. Mungkin ini karena selama 4 tahun lebih miliknya tak bisa bangun seperti orang normal. Dan sekarang seakan sudah menemukan pawangnya. “Berdiri,” ucapnya. Angel segera berdiri persis di depan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya. “Buka bajumu,” ucapnya lagi. Tak ingin membantah, Angel pun segera melepaskan pakaiannya hingga tubuh bagian atasnya saat ini sudah polos tanpa satu helai benang pun sebagai penutup.
Sebelum pergi menemui seseorang, Alex menghubungi Angelica melalui pesan singkat. Dia mengizinkan wanita itu untuk pulang lebih awal, sebab hari ini dia akan pulang larut malam karena ada urusan bisnis.Suasana malam di pusat kota New Capitol memang tidak pernah sepi. Lampu-lampu gedung pencakar langit berkelap-kelip seperti tak pernah lelah menyala, seakan jadi saksi bisu berbagai kesepakatan besar yang terjadi di kota ini. Salah satunya malam ini.Alex, CEO Golden Gate Corporation, melangkah masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam kelas atas yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pebisnis dan investor papan atas. Setelan jasnya rapi. Rambut disisir ke belakang. Dia tidak banyak bicara, tapi sorot matanya tajam. Dia tahu betul apa yang dia lakukan dan apa yang dia incar malam ini.Di salah satu area VIP, seorang pria paruh baya dan asistennya sudah menunggu. Namanya Mr. Henry Whitmore, investor asing yang tertarik membuka bisnis perhotelan di beberapa kota besar di New Cap
Sementara itu, Angelica sama sekali tidak tahu kalau sang majikan mengirimnya pesan karena ponsel Angelica sengaja dimatikan saat wanita itu ada di rumah sakit menemani putrinya. Sejak sore, ia memang tak ingin diganggu siapa pun. Tidak oleh panggilan kerja, tidak oleh urusan lain. Fokusnya hanya satu: Olivia. Sudah sejak pukul pulang dari rumah Alex, Angelica duduk di kursi di sebelah ranjang Olivia. Tangannya tak lepas menggenggam tangan mungil putrinya yang semakin dingin. Matanya terus memandangi wajah pucat itu, mengingat-ingat senyuman ceria yang dulu selalu menyapanya setiap hari. Tapi sekarang, anak itu hanya diam. Bernapas lewat selang, dengan tubuh lemas tak bergerak. Baru lima belas menit yang lalu, seorang dokter datang memeriksa kondisi Olivia. Tapi Angelica tahu, ada yang tidak beres dari cara dokter itu menatap layar monitor. Dan kekhawatirannya terbukti saat perawat tiba-tiba memintanya datang ke ruang dokter. Angelica bangkit cepat, tapi langkahnya terasa berat. J
“Sakit, Ma... hiks, hiks…” suara lirih itu nyaris tak terdengar, hanya seperti bisikan yang patah di tengah malam sunyi. Tapi bagi Angelica, itu lebih tajam dari sembilu. Ia merasakan tubuhnya lemas seketika, seakan seluruh kekuatan yang ia kumpulkan untuk tetap tegar runtuh hanya karena satu kalimat lemah dari putri kecilnya.Angelica langsung merengkuh Olivia dalam pelukan, membiarkan tangannya membungkus tubuh mungil yang terasa begitu rapuh. Tapi Olivia menggeliat pelan, seolah tak sanggup lagi menahan rasa perih yang menjalari sekujur tubuhnya.Angelica segera mengurai pelukannya, menatap wajah sang putri dengan mata nanar."Apanya yang sakit, Sayang?" tanyanya dengan suara serak, penuh gentar. Tangannya terulur mengusap sudut mata Olivia yang basah oleh air mata. Ia tak kuasa menahan perih di dadanya melihat raut kesakitan anak yang paling ia cintai."Semua sakit, Ma... hiks... semuanya..."Jawaban Olivia membuat dada Angelica terasa seperti dihantam palu. Kalimat sederhana itu
Ting. Ting. Ting.Tiga notifikasi masuk bersamaan saat Angelica menyalakan ponselnya. Ia reflek menoleh ke dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 03.30. Dia menghela napas pelan.Belum satu menit pun ia sempat memejamkan mata. Ia memilih tetap terjaga, duduk di sisi ranjang Olivia, karena ketakutan kalau sesuatu terjadi saat ia tertidur. Pemeriksaan dokter baru dijadwalkan pukul lima, masih satu setengah jam lagi.Mata Angelica kembali ke layar ponsel. Tiga pesan dari Alex. Semuanya bernada marah. Ia tak perlu membuka satu per satu untuk tahu isinya."Astaga... dia pasti marah besar," gumamnya pelan.Tangannya gemetar saat membuka pesan pertama. Kata-kata kasar, perintah, dan kalimat umpatan penuh emosi. Angelica tidak membalasnya langsung. Dia diam. Tatapannya kosong. Kepalanya berat, pikirannya lelah."Aku minta maaf kalau aku tidak bisa setiap saat mengabulkan permintaanmu," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku bukan robot. Aku sedang berjuang untuk kesembuhan anakku."M
Alex menutup pintu kamar perlahan. Tak ada suara. Tak ada langkah kaki dari arah tangga. Sophia masih di bawah dan tak menyadari permainan panas suaminya.Begitu pintu terkunci rapat, pria itu berbalik cepat dan kembali menghampiri Angelica. Tatapannya sulit dijelaskan. Marah, rindu, kesal, semuanya bercampur.“Tuan, ini gak benar,” bisik Angel. Sebagai seorang perempuan jika dia memiliki suami pasti juga akan merasa sakit bila suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Dan rasanya Angel ingin menghentikan niat Alex untuk menyentuhnya. “Kau hanya boleh patuh pada perintahku,” bisiknya tepat di wajah Angelica. “Apa kau sudah tak butuh uang lagi, hmmmm?” tanya Alex. Angel terdiam. Dia tentu saja sangat membutuhkan upah dari pria ini. Meski Angel tahu ini salah, tapi dia tak punya pilihan lain.Tanpa berkata apa pun, Alex kembali mencium Angelica. Tapi kali ini tidak lagi terburu-buru. Tidak sekasar tadi. Ciumannya melambat, dalam, dan panas. Angelica tak menolak. Bibir mereka saling
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi