Sementara itu, Angelica sama sekali tidak tahu kalau sang majikan mengirimnya pesan karena ponsel Angelica sengaja dimatikan saat wanita itu ada di rumah sakit menemani putrinya. Sejak sore, ia memang tak ingin diganggu siapa pun. Tidak oleh panggilan kerja, tidak oleh urusan lain. Fokusnya hanya satu: Olivia. Sudah sejak pukul pulang dari rumah Alex, Angelica duduk di kursi di sebelah ranjang Olivia. Tangannya tak lepas menggenggam tangan mungil putrinya yang semakin dingin. Matanya terus memandangi wajah pucat itu, mengingat-ingat senyuman ceria yang dulu selalu menyapanya setiap hari. Tapi sekarang, anak itu hanya diam. Bernapas lewat selang, dengan tubuh lemas tak bergerak. Baru lima belas menit yang lalu, seorang dokter datang memeriksa kondisi Olivia. Tapi Angelica tahu, ada yang tidak beres dari cara dokter itu menatap layar monitor. Dan kekhawatirannya terbukti saat perawat tiba-tiba memintanya datang ke ruang dokter. Angelica bangkit cepat, tapi langkahnya terasa berat. J
âSakit, Ma... hiks, hiksâĶâ suara lirih itu nyaris tak terdengar, hanya seperti bisikan yang patah di tengah malam sunyi. Tapi bagi Angelica, itu lebih tajam dari sembilu. Ia merasakan tubuhnya lemas seketika, seakan seluruh kekuatan yang ia kumpulkan untuk tetap tegar runtuh hanya karena satu kalimat lemah dari putri kecilnya.Angelica langsung merengkuh Olivia dalam pelukan, membiarkan tangannya membungkus tubuh mungil yang terasa begitu rapuh. Tapi Olivia menggeliat pelan, seolah tak sanggup lagi menahan rasa perih yang menjalari sekujur tubuhnya.Angelica segera mengurai pelukannya, menatap wajah sang putri dengan mata nanar."Apanya yang sakit, Sayang?" tanyanya dengan suara serak, penuh gentar. Tangannya terulur mengusap sudut mata Olivia yang basah oleh air mata. Ia tak kuasa menahan perih di dadanya melihat raut kesakitan anak yang paling ia cintai."Semua sakit, Ma... hiks... semuanya..."Jawaban Olivia membuat dada Angelica terasa seperti dihantam palu. Kalimat sederhana itu
Ting. Ting. Ting.Tiga notifikasi masuk bersamaan saat Angelica menyalakan ponselnya. Ia reflek menoleh ke dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 03.30. Dia menghela napas pelan.Belum satu menit pun ia sempat memejamkan mata. Ia memilih tetap terjaga, duduk di sisi ranjang Olivia, karena ketakutan kalau sesuatu terjadi saat ia tertidur. Pemeriksaan dokter baru dijadwalkan pukul lima, masih satu setengah jam lagi.Mata Angelica kembali ke layar ponsel. Tiga pesan dari Alex. Semuanya bernada marah. Ia tak perlu membuka satu per satu untuk tahu isinya."Astaga... dia pasti marah besar," gumamnya pelan.Tangannya gemetar saat membuka pesan pertama. Kata-kata kasar, perintah, dan kalimat umpatan penuh emosi. Angelica tidak membalasnya langsung. Dia diam. Tatapannya kosong. Kepalanya berat, pikirannya lelah."Aku minta maaf kalau aku tidak bisa setiap saat mengabulkan permintaanmu," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku bukan robot. Aku sedang berjuang untuk kesembuhan anakku."M
Alex menutup pintu kamar perlahan. Tak ada suara. Tak ada langkah kaki dari arah tangga. Sophia masih di bawah dan tak menyadari permainan panas suaminya.Begitu pintu terkunci rapat, pria itu berbalik cepat dan kembali menghampiri Angelica. Tatapannya sulit dijelaskan. Marah, rindu, kesal, semuanya bercampur.âTuan, ini gak benar,â bisik Angel. Sebagai seorang perempuan jika dia memiliki suami pasti juga akan merasa sakit bila suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Dan rasanya Angel ingin menghentikan niat Alex untuk menyentuhnya. âKau hanya boleh patuh pada perintahku,â bisiknya tepat di wajah Angelica. âApa kau sudah tak butuh uang lagi, hmmmm?â tanya Alex. Angel terdiam. Dia tentu saja sangat membutuhkan upah dari pria ini. Meski Angel tahu ini salah, tapi dia tak punya pilihan lain.Tanpa berkata apa pun, Alex kembali mencium Angelica. Tapi kali ini tidak lagi terburu-buru. Tidak sekasar tadi. Ciumannya melambat, dalam, dan panas. Angelica tak menolak. Bibir mereka saling
âDi mana pelayanmu?â tanya Sophia pada Alex begitu ia berdiri di ambang pintu kamar suaminya.Untung saja Angelica tubuhnya mungil jadi saat dia mendengar langkah kaki semakin mendekat segera bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Dan berhasil hanya Alex yang dilihat ada di dekat ranjangnya oleh sang istri.âLagi bersihin kamar mandi,â jawab Alex sambil membenarkan kerah kemejanya yang sedikit kusut. Menatap wajah wanita ini saja dia enggan. Sampai kapanpun dia masih sangat yakin belum pernah menyentuh Sophia, tapi perempuan itu punya bukti kalau mereka pernah menghabiskan malam di sebuah hotel. Alex bingung kenapa bisa berhubungan dengan Sophia sementara dengan perempuan lain dia sama sekali tidak pernah berhasrat selain dengan Angelica.Sophia menyipitkan mata. Tatapannya curiga. âNgapain pintu pakai ditutup segala? Bikin curiga,â gumamnya.Alex berdecak, malas menanggapi nada bicara istrinya yang dari tadi sudah membuat pagi itu makin tak enak. âKarena aku lagi ganti baju, dan s
Pinggulnya bergerak maju mundur, sementara bibirnya terus mengeluarkan desahan penuh kenikmatan. Kedua tangan besarnya meremas dada sang mantan. âApa kau menyukainya?â tanya Alex lagi.âIya, Tuan,â jawab Angel.Tanpa diminta oleh Alex, Angelica memberikan goyangan terbaik karena jujur saja dia menikmati permainan panas mereka ini. Suara desahan di dalam kamar itu semakin membuat keduanya hangat dalam permainan yang tak pernah bosan mereka lakukan. Keringat mulai membanjiri tubuh Alex, dan itu artinya dia harus kembali membersihkan diri sebelum berangkat ke kantor. Badannya sedikit membungkuk agar bibirnya bisa menjangkau puncak dada Angel. Dia melahap dada besar itu dan menyusu seperti seorang bayi yang kehausan. Angel terus menggelinjang karena rasa nikmat yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.âTuan, saya mau keluar,â ucapnya.Bukannya berhenti Alex justru merubah posisi. Pria itu menghentak Angelica dari arah belakang, sementara Angelica berdiri dengan posisi membungkuk di
âKamu nguping, ya?!â bentak Sophia lagi pada Angelica.Tangannya menarik kasar rambut panjang Angelica hingga wanita itu terhuyung ke belakang beberapa langkah.âDemi Tuhan, saya tidak nguping! Demi Tuhan, Nyonya, saya hanya membersihkan peralatan di sini, dan suara Anda tidak kedengaran sampai keluar. Demi Tuhan, tolong lepaskan tangan Anda dari rambut saya,â ucap Angelica penuh permohonan.Namun siapa sangka, suara ponsel Sophia berdering. Ia melihat nama Alex di layar ponselnya.Sebelum Sophia membuka suara, saat dia sudah menekan ikon hijau di ponselnya, suara Alex sudah membentaknya.âLepaskan dia! Jangan seenaknya kau berbuat macam-macam pada pelayanku! Apa kau lupa, tiga orang pelayan sudah keluar dari pekerjaannya hanya karena kau selalu berbuat seenaknya pada mereka?! Kau pikir gampang cari pelayan di sini?! Lepaskan! Sebaiknya kau pergi dari rumahku!â usir Alex tanpa perasaan, membuat cengkeraman tangan Sophia di rambut Angelica mengendor.Alex mematikan ponsel sepihak.âAwa
Suster masuk ke dalam ruang rawat inap Olivia, lalu menjelaskan pada Angelica mengenai cokelat berukuran satu meter yang diterima oleh Olivia."Maaf, Bu. Cokelat itu diberikan oleh salah satu dokter yang ada di sini. Beliau dokter anak yang kebetulan baru ditugaskan mulai hari ini. Jadi, semua pasien yang masih usia anak-anak mendapatkan cokelat berukuran satu meter ini," jawab suster itu menjelaskan."Oh, begitu. Saya kira siapa yang memberi anak saya hadiah. Terima kasih penjelasannya, Suster," jawab Angelica."Sama-sama, Bu," jawab suster itu lalu pamit untuk makan siang. Sementara itu, Angelica mulai menyuapi makan siang untuk anaknya."Mama janji ya, kalau Via sudah sembuh, kita cari Papa bareng-bareng," ucap Olivia.Jujur, tadi Olivia melihat dokter yang memberikan hadiah cokelat ini begitu menyayangi anaknya. Olivia ingin sekali dipeluk Papanya seperti ituâpelukan yang kini belum pernah ia rasakan.Angelica menatap putrinya lalu menyelipkan anak rambut yang menutupi dahi sang a
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.âSini mendekat,â kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
âApa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?â tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. âLokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,â ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. âTapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,â pintanya penuh godaan.âTentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,â jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.âApa itu, Pak?â tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. âIni, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.âNapas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
âKamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,â ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.âAku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,â ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakanâĶ bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjangâyang akan menjadi kursi favorit Alexâdengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.âLoh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!âJeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.âKok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,â ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napasâbohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatuâmarah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyumâsenyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyaratâia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.âAku merindukan sentuhanmu, AlexâĶâ bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi