Suster masuk ke dalam ruang rawat inap Olivia, lalu menjelaskan pada Angelica mengenai cokelat berukuran satu meter yang diterima oleh Olivia."Maaf, Bu. Cokelat itu diberikan oleh salah satu dokter yang ada di sini. Beliau dokter anak yang kebetulan baru ditugaskan mulai hari ini. Jadi, semua pasien yang masih usia anak-anak mendapatkan cokelat berukuran satu meter ini," jawab suster itu menjelaskan."Oh, begitu. Saya kira siapa yang memberi anak saya hadiah. Terima kasih penjelasannya, Suster," jawab Angelica."Sama-sama, Bu," jawab suster itu lalu pamit untuk makan siang. Sementara itu, Angelica mulai menyuapi makan siang untuk anaknya."Mama janji ya, kalau Via sudah sembuh, kita cari Papa bareng-bareng," ucap Olivia.Jujur, tadi Olivia melihat dokter yang memberikan hadiah cokelat ini begitu menyayangi anaknya. Olivia ingin sekali dipeluk Papanya seperti itu—pelukan yang kini belum pernah ia rasakan.Angelica menatap putrinya lalu menyelipkan anak rambut yang menutupi dahi sang a
Alex sampai tak berkedip menatap anak kecil yang masih tersenyum ke arahnya, hingga beberapa detik berikutnya ia berjalan menghampiri gadis kecil itu yang kebetulan ditemani oleh suster.Alex duduk di kursi panjang, persis di depan anak kecil yang sedang duduk di atas kursi roda. Senyum ini seperti tak asing bagi Alex.“Tapi, siapa yang memiliki senyum seperti gadis kecil ini?” tanyanya pada diri sendiri, namun ia tak mengingat apa pun."Hai," sapa Alex."Hai, Paman," sapanya sambil tersenyum, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Alex, sementara tangan kirinya tertusuk jarum infus yang juga digantungkan pada tiang di kursi roda."Siapa namamu, Nak?" tanya Alex."Namaku Via, Paman," ucapnya lagi.Alex menyambut tangan mungil itu. Sentuhan hangatnya membuatnya terdiam sesaat. Ada sesuatu yang terasa aneh yang ia rasakan sekarang ketika bersentuhan dengan gadis kecil ini.Lalu Alex menatap suster yang berdiri di sampingnya dan bertanya, "Anak ini sakit apa, Suster?""Dia menderita ke
Saat Alex sedang bercengkerama dengan Olivia, sesekali terdengar tawa kecil di antara keduanya. Di tengah momen itu, William mendekat dengan langkah hati-hati.“Maaf mengganggu, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya,” ucap William sopan.Pandangan William sempat tertahan pada gadis kecil yang duduk di pangkuan atasannya. Ada sesuatu yang aneh—wajah anak itu terlihat begitu mirip dengan Alex. Namun ia cepat-cepat menepis pikiran itu. Terkadang, orang yang tak punya hubungan darah banyak yang tampak mirip.“Princessa. Paman pamit dulu, ya. Besok kita ketemu lagi di sini. Paman bawakan cokelat untukmu,” kata Alex sambil mencubit ujung hidung Olivia pelan, membuat gadis kecil itu terkekeh.“Tapi Via nggak boleh makan cokelat sama Mama, Paman,” jawab Olivia polos. “Paman datang aja ke sini, nggak usah bawa apa-apa. Cukup peluk Via aja,” lanjutnya.Alex terdiam sesaat. Jawaban polos itu justru membuat dadanya terasa sesak.Olivia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang
Alex langsung melepaskan pegangannya dari tangan Angelica. Gerakan itu begitu tiba-tiba, membuat Angelica nyaris kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh untuk kedua kalinya. Ia buru-buru menahan tubuhnya sendiri, tanpa bantuan siapa pun."Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Alex terdengar tajam, nyaris seperti tuduhan.Angelica menarik napas perlahan, berusaha mengontrol ekspresi wajahnya. "Di waktu istirahat siang, saya ke sini untuk menemani majikan saya yang lain," jawabnya datar, suaranya jauh dari kata gugup tapi tidak hangat. Ia sengaja menyusun kalimat seformal mungkin, agar tidak ada celah yang membuat Alex mencurigai hal lain.Alex menyipitkan mata. "Jadi kamu bekerja lagi di tempat lain?" suaranya mulai naik. "Uang yang kuberikan sudah nggak cukup buat kamu hidup, ya?"Angelica menahan diri untuk tidak menatap pria itu terlalu lama. Ia tahu tatapannya bisa membocorkan isi hatinya. "Saya butuh uang banyak, Tuan. Saya akan bekerja di mana pun saya bisa, selama tidak meng
Mobil melaju cepat membelah jalanan siang itu. William sudah memutar balik sesuai perintah, tetapi setelah beberapa tikungan dan perempatan, mobil yang membawa Markus sudah tak tampak lagi.“Ke mana sih mobil itu? Apa mungkin dia sadar mobil anda membuntuti?” gumam William, matanya terus menyapu jalanan.Namun tak ada tanda-tanda kelihatan mobil yang barusan ditumpangi oleh Markus ada di depannya.Alex mendengus kesal. “Sial! Buaya darat satu itu! Pantas aja kelakuannya dari dulu mencurigakan. Ternyata benar-benar gatel,” umpatnya sambil membanting tubuh ke sandaran kursi.Alex sudah tahu betul bagaimana kelakuan kakak iparnya selama ini. Tapi dia jarang sekali melihat dengan mata kepalanya langsung kalau Markus bersama perempuan lain. Sejak awal dia memang sudah tidak suka dengan Markus, orang itu seperti memanfaatkan Amelia dan hanya mengincar harta keluarga Maximus. Apalagi Markus berhasil memegang kendali atas perusahaan kedua orang tua Alex di kota West Country.William melirik s
“Tuan, takut ada yang masuk,” ucap Angelica.Jangan sampai ada orang yang melihat perbuatan mereka di rumah ini. “Aku sudah mengunci pintu utama. Dan tidak akan ada yang berani masuk ke rumah ini.” Alex memutar balik tubuh Angelica saat tangannya sudah dikeluarkan dari milik perempuan itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan, Angelica mendongak menatap pria yang dulu sering memperlakukannya dengan baik. Bahkan banyak orang begitu iri terhadap nasib Angelica yang kala itu menjadi kekasih sang CEO.Tapi tatapan mata Alex sudah tidak sehangat dulu. Angelica tahu pria ini sangat terluka akibat dirinya yang pergi begitu saja tanpa pamit atau tanpa pesan apapun. Ibu jari Alex mengusap bibir ranum sang mantan kekasih. Lihat awal memang benar-benar untuk balas dendam pada Angelica. Tapi entah kenapa dia justru semakin tenggelam dalam belaian hangat wanita ini.Alex memiringkan kepalanya, lalu mencium bibir Angelica penuh gairah. Ciuman itu mendapatkan balasan yang sama seperti yang Alex lakuka
“Mama…” Olivia mencebik, nyaris menangis saat melihat sang mama tiba-tiba menghilang.“Yang mana mamamu, sayang?” tanya Alex pelan.Olivia menatap ke sekeliling dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya berhenti pada seorang suster, seolah ingin memastikan dirinya tidak salah lihat. Dia yakin tadi melihat mamanya. Tapi... ke mana mamanya?Suster yang sudah hafal betul reaksi Olivia langsung menjawab dengan suara lembut, “Itu bukan mama Olivia, sayang. Itu orang lain. Mama kan lagi bekerja. Tadi pagi mama sudah bilang ke suster, kalau siang ini tidak bisa datang. Doain mama selalu sehat ya, biar bisa cari uang yang banyak untuk Olivia.”Dalam benak suster yang selama ini merawat Olivia, kemungkinan besar Angelica merasa tidak nyaman bertemu dengan orang lain. Dia bukan tipe wanita yang suka memelas atau mengharapkan bantuan dari siapa pun. Sangat mungkin Angelica tak ingin terlihat seperti memanfaatkan kondisi anaknya untuk menarik simpati dari orang asing. Apalagi jika orang itu tidak d
“Biaya satu miliar ini belum lunas sepenuhnya, Tuan. Orang tua pasien juga meminta suster untuk menjaga pasien, agar saat ditinggal bekerja, tetap ada yang menemani di ruang perawatan. Mengingat pasien masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian jadi ada biaya tambahan untuk jasa suster,” jelas petugas administrasi dengan nada hati-hati.Alex terdiam sejenak. Bukan karena angka satu miliar yang disebutkan, tapi karena nominal itu sama persis dengan jumlah uang yang diminta Angelica darinya. Tapi Alex mencoba menepis kemungkinan itu. Setahu dia, berdasarkan data yang ada di kartu identitasnya, Angelica belum pernah menikah. Tak mungkin wanita itu memiliki anak.Petugas administrasi melanjutkan penjelasan tentang rincian biaya yang masih harus ditanggung hingga Olivia dinyatakan sembuh total. Alex menyimak dengan serius, lalu mengangguk.“Baik. Saya yang akan menanggung semua biaya pengobatannya. Tapi saya minta tolong... jangan pernah sebutkan kepada siapa pun kalau bantuan ini datang
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi