Begitu Angelica keluar dari ruangan Alex, ia meninggalkan nomor ponselnya di meja William. Angelica segera pergi dari sana, namun tatapan penuh sindiran langsung menyambutnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya dulu menoleh dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Sebagian hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi tak sedikit yang sengaja memperlambat langkah, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar Angelica, wanita yang dulu begitu beruntung, dan kini kembali dalam keadaan berbeda. "Dia balik lagi ke sini?" bisik salah satu dari mereka dengan nada geli. "Berani juga dia datang setelah apa yang terjadi dulu," sahut yang lain. "Jangan-jangan dia mau kerja di sini lagi?" "Mana mungkin. Tuan Alex nggak sebodoh itu untuk nerima dia lagi." Ema sangat yakin kalau atasannya tidak mungkin menerima Angelica kembali. Dia salah satu saksi hidup bagaimana Alex hancur dan kini membenci Angelica. Ema, adalah rekan kerja Angelica dulu di bagian marketing, wanita itu selalu punya alasan untuk iri dan benci terhadap Angelica. Kalau sampai Angelica benar-benar kembali ke kantor ini, maka dirinyalah yang akan membuat Angelica keluar dengan sendirinya. Angelica mendengar semuanya, tapi dia memilih tidak menanggapi. Kepalanya tetap tertunduk, langkahnya tetap terarah ke luar. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan omongan mereka. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Olivia, anaknya yang sedang berjuang di rumah sakit. Suasana kantor ini masih sama seperti dulu, tapi kini rasanya begitu asing. Dulu, dia sering melangkah dengan percaya diri di lorong ini, disambut dengan senyuman rekan kerja yang mengaguminya. Tapi sekarang? Ia hanya jadi bahan cibiran, obyek rasa puas bagi mereka yang dulu mungkin iri pada keberuntungannya. Angelica segera menuju ke rumah sakit. Saat tiba, Angelica duduk di kursi kecil di samping ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa kaku, tangannya lemas, tapi matanya tak lepas dari Olivia. Anak itu masih tertidur, wajahnya pucat dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Dadanya naik turun dengan napas yang berat, seolah setiap tarikan udara adalah perjuangan. Jantung Angelica terasa nyeri. Sudah tiga tahun Olivia hidup dalam ketidakpastian. Dari bayi, anaknya itu sudah harus bertarung dengan sakitnya sendiri, menahan nyeri yang mungkin bahkan tak bisa ia pahami. Setiap kali demam tinggi, setiap kali tubuhnya membiru karena kekurangan oksigen, Angelica hanya bisa memeluknya, menangis diam-diam, berharap semua penderitaan itu bisa dipindahkan padanya. Tapi kenyataan tak pernah sebaik itu. Olivia tetap harus berjuang sendiri. Angelica meremas jemarinya yang dingin. Dulu, saat pertama kali dokter memberi tahu bahwa bayinya memiliki kelainan jantung, ia hampir kehilangan akal sehat. Ia masih ingat malam-malam tanpa tidur, menangis di sudut kamar rumah sakit, berdoa agar Tuhan tidak mengambil satu-satunya alasan ia bertahan hidup. Tapi Olivia bertahan. Dari bayi hingga sekarang, anak itu selalu bertahan. Bahkan ketika tubuhnya semakin melemah, bahkan ketika dokter mulai berbicara dengan suara lebih pelan, seolah tak ingin memberi harapan palsu, Olivia tetap berusaha tersenyum. Angelica mengusap wajahnya, menahan sesak yang sudah memenuhi dadanya. Ia tidak boleh menyerah. Tidak sekarang. Tidak ketika Olivia masih berjuang. Matanya terpaku pada mesin medis yang terus berbunyi pelan, memberi tanda bahwa jantung kecil itu masih berdetak. Tapi sampai kapan? Sampai kapan Olivia bisa bertahan tanpa operasi yang selama ini ia tunda karena tak punya biaya? Air mata jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Ia tak berani menangis terlalu keras, takut Olivia terbangun dan melihat betapa rapuhnya ia saat ini. Tapi Tuhan, rasanya ia ingin menjerit. Ia ingin marah, ia ingin menuntut keadilan. Kenapa Olivia harus menanggung semua ini? Kenapa bukan dia saja? Angelica menunduk, menggenggam tangan kecil itu dengan hati-hati. Kulit Olivia terasa dingin, begitu berbeda dari anak-anak sehat yang seharusnya berlari dan tertawa. "Maafkan Mama, Nak..." bisiknya dalam hati. "Mama akan berusaha lebih keras lagi agar Via bisa segera mendapatkan donor jantung. Mama janji..." Olivia mengerjapkan matanya perlahan, berusaha untuk tetap terjaga. "Mama..." panggilnya dengan suara serak. Angelica tersenyum, meski air mata sudah membanjiri wajahnya. "Iya, Sayang. Mama ada di sini." "Mama jangan nangis..." Olivia mengangkat tangannya yang kecil dan kurus untuk menghapus air mata Angelica, tapi gerakannya begitu lemah, membuat Angelica semakin sesak. "Iya, Mama enggak nangis, Sayang. Mama kuat, Olivia juga harus kuat, ya?" Olivia tersenyum kecil, tapi di balik senyuman itu, ada kepedihan yang begitu dalam. Tubuhnya mungkin kecil, tapi perjuangannya begitu besar. "Mama, Via capek..." suara kecil itu kembali terdengar, membuat dada Angelica terasa dihantam sesuatu yang berat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan. "Olivia jangan bilang gitu, Sayang. Olivia harus kuat... Olivia harus sembuh..." Gadis kecil itu tersenyum samar. "Mama... kalau Olivia tidur... Mama tetap di sini, kan?" Angelica menggigit bibirnya, berusaha keras menahan isak tangis yang hampir pecah. "Iya, Sayang. Mama enggak akan ke mana-mana. Mama janji." "Olivia sayang Mama..." Angelica menggenggam tangan kecil itu erat. "Mama juga sayang Olivia, lebih dari apa pun di dunia ini." Olivia mengangguk kecil, lalu perlahan memejamkan matanya. Napasnya masih tersengal, tapi ia berusaha untuk tertidur. Angelica menatap wajah mungil itu dengan hati yang hancur. Tangannya gemetar saat mengelus pipi putrinya yang semakin tirus. "Tuhan... tolong jangan ambil anakku... Aku mohon..." isaknya tanpa suara. Pintu ruang rawat inap terbuka, seorang perawat datang mendekati Angelica, “Bu, dokter ingin bertemu dengan, anda,” ucapnya. Angelica mengangguk, dia yakin ini pasti tentang kondisi anaknya yang semakin memburuk, “Ya Tuhan, jangan kau ambil satu-satunya harta paling berharga dalam hidupku,” Angelica membatin.Angelica duduk di kursi berhadapan dengan dokter Aurora, spesialis jantung yang menangani kasus Olivia, sejak pindah ke kota. Tangannya saling meremas di atas paha, berusaha menenangkan diri, tetapi detak jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan serius dokter Aurora membuat napasnya terasa semakin berat. “Bu Angelica, kondisi Olivia semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi transplantasi jantung. Untungnya, Olivia sudah masuk dalam daftar penerima donor.” Angelica menahan napas. Ada secercah harapan di sana. Tetapi… kenapa wajah dokter Aurora masih tampak berat? “Tapi, Bu Angelica… Anda harus segera menyiapkan biayanya, minimal setengahnya sudah harus segera dibayar.” Seakan ada batu besar yang menghantam dadanya. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. “Be–berapa biayanya, dok?” Angelica terbata. Dokter menyebutkan perkiraan biaya yang harus disiapkan Angelica. Dokter Aurora kembali menjelaskan. “Untuk prosedur ini, Anda harus membayar sebagian biayanya
Sesaat, Angelica kembali membeku. Suasana di dalam kamar ini masih sama seperti terakhir kali dia masuk ke dalamnya, empat tahun lalu. Alex tinggal seorang diri di kota besar ini, sementara mama, papa, dan kakak perempuannya menetap di West Country . Mereka tidak pernah menyukai hubungannya dengan Alex, hanya karena Angelica berasal dari kelas bawah. Mereka menuduhnya mengincar harta Alex semata. Sementara itu, Alex sibuk menghubungi seseorang melalui pesan singkat, memastikan apakah kamera yang dipasang sudah bekerja dengan baik atau belum. Setelah mendapatkan kepastian bahwa semuanya sesuai permintaannya, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya jatuh pada Angelica, yang berdiri mematung di ujung tempat tidur. Wanita itu meremas ujung seragam kerjanya sebelum menoleh ke arah Alex. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat. "Kenapa? Kau pikir aku akan memberi uang cuma-cuma lagi untukmu?" tanyanya dingin. Angelica menggeleng. "Aku bekerja seumur hidup juga ti
Desahan demi desahan memenuhi kamar mewah itu. Alex hanyut dalam permainannya sendiri. Sudah lama rasanya dia tidak menyalurkan hasratnya, dan kini, dia kembali bisa merasakannya. “Tubuhmu masih sangat nikmat, Angel,” ucapnya, merancau sambil bergerak maju mundur di atas tubuh wanita itu. Angelica awalnya hanya ingin memberikan pelayanan terbaik kepada sang majikan, agar saat dia pulang nanti bisa mendapatkan uang satu miliar. Tapi kenapa dirinya justru ikut hanyut dalam permainan panas ini? “Kau harus selalu ada setiap kali aku menginginkanmu, Angel,” ujar Alex lagi. Angelica tidak menjawab. Hingga akhirnya, erangan panjang terdengar, menandakan keduanya sudah mencapai puncak. Setelahnya, mereka membersihkan diri. Begitu kembali rapi, Alex mengambil sebuah cek dan menyerahkannya pada Angelica, jumlahnya sesuai dengan yang diminta wanita itu. “Tanda tangani dulu surat perjanjian ini. Kalau kau berani kabur, aku akan memproses masalah ini ke jalur hukum,” ucapnya tegas, tid
Angelica berdiri di depan pintu ruang ICU, matanya terpaku pada tanda larangan masuk yang tertempel di sana. Di balik pintu itu, Olivia sedang bertarung dengan rasa sakitnya, tetapi Angelica tidak bisa berbuat apa-apa. “Maafin Mama, sayang. Maafin Mama, hiks hiks.” Angelica menangis di depan ruang ICU. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan sang anak dia tidak akan pernah memaafkan dirinya selama-lamanya. “Jangan pernah berani ninggalin Mama, Via,” tangisannya semakin menyayat hati. Tangannya gemetar, napasnya tersengal, dan tubuhnya serasa kehilangan tenaga. Dia ingin masuk, ingin berada di samping anaknya, ingin menggenggam tangannya yang mungil. Tapi dua petugas medis keluar dan menghadangnya. "Maaf, Ibu tidak boleh masuk sekarang. Dokter masih berusaha menstabilkan kondisi pasien." Angelica menggeleng dengan panik. "Tolong, saya harus melihat anak saya! Saya tidak ada di sini saat dia butuh saya! Tolong izinkan saya masuk!" Salah satu perawat menyentuh lengannya, mencob
Angelica tentu mengenali suara itu. Dengan perlahan, dia menoleh untuk memastikan bahwa orang yang memanggilnya adalah William.Dan ternyata benar, dugaan Angelica tepat. Orang itu memang William. Hanya dua orang yang biasa memanggilnya dengan sebutan "Angel": William dan Alex.“Kamu ngapain di sini tengah malam begini?” tanya William sambil berjalan mendekat. “Bukankah besok pagi kamu harus bekerja?” tambahnya lagi penasaran.Angelica menatap William sejenak. Kepalanya berputar mencari jawaban yang paling masuk akal agar pria ini tidak mencurigainya. Tidak mungkin dia bilang kalau dia punya anak yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Angelica tidak tahu apakah William tahu tentang masa lalunya dengan Alex. Tapi yang pasti, dia tidak bisa membiarkan siapa pun tahu soal Olivia.“A–aku… baru saja selesai bekerja dari rumah Tuan Alex, dan aku langsung mampir ke sini untuk-” jawab Angelica dengan suara pelan, tapi belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, William sudah menyela.“Kamu di
“Kau benar-benar menjaga tubuhmu dengan baik, Angel. Sekarang puaskan aku dengan caramu,” ucapnya sambil memejamkan mata.Alex mengambil posisi di bawah tubuh Angel. Wanita itu mulai menyentuh titik sensitif di tubuh Alex, hingga membuat Alex terus mendesah karena kenikmatan. Lidah Angel menari-nari di atas puncak dada pria itu.Empat tahun lamanya Alex tidak menyentuh perempuan, membuatnya sangat merindukan kegiatan ini.Sial, aku pikir aku sudah tidak normal lagi. Ternyata aku masih bisa melakukannya, gumam pria itu di dalam hati.Angelica benar-benar pasrah. Dia membiarkan tubuhnya dijamah oleh sang majikan sesuka hati pria itu. Meski remasan tangan besar Alex di dadanya terkadang terasa nyeri, namun dia mencoba untuk tidak mengeluh hanya karena tidak ingin mengubah mood Alex yang sedang baik setiap kali menyentuhnya.“Kamu sadar nggak sih kalau dadamu semakin besar, Angel?” tanya Alex dengan mata terpejam. Tangannya terus meremas dada sang mantan.Angelica tidak menjawab. Dia mem
“Angeeeeeel!” teriak Alex dari lantai bawah dengan suara yang sangat keras dan terdengar penuh amarah.“Ya, Tuan,” jawab Angel sambil berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Napasnya sedikit terengah karena ia benar-benar tidak ingin membuat pria itu semakin marah.Tadi saat Alex buru-buru berjalan melewati ruang tamu menuju arah halaman depan, kakinya tak sengaja menyenggol guci besar yang berada di pojokan ruangan dekat pintu utama. Guci itu pun goyah lalu jatuh ke lantai dan langsung pecah berantakan. Suara pecahannya terdengar sangat keras sampai menggema ke seluruh penjuru rumah.“Bersihkan ini,” ucap Alex datar namun tajam, saat sudah berdiri tidak jauh darinya. “Baik, Tuan,” jawab Angel lirih sambil buru-buru membungkuk dan mulai memunguti pecahan guci satu per satu.“Besok kau tidak boleh datang terlambat. Kalau sampai itu terjadi, maka aku akan memecatmu, dan meminta uang satu miliar itu kembali... saat itu juga,” ucapnya dengan suara dingin, tak butuh jawaban, lal
Angelica berlutut di depan Alex, memuaskan pria itu dengan mulutnya. Beruntung ruang kerja Alex dilengkapi dengan alat kedap suara sehingga desahan keras pria itu tidak akan terdengar sampai keluar. Alex juga sudah memberitahu William untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam ruang kerjanya. “Lebih dalam lagi, Angel. Please, ini enak banget,” ucapnya. Tangan Alex menyentuh kepala Angel, untuk membuat miliknya masuk lebih dalam lagi ke dalam mulut sang wanita. “Ooooh yesss,” rancau Alex. Alex merasakan getaran yang berbeda setiap kali bersentuhan dengan Angelica. Mungkin ini karena selama 4 tahun lebih miliknya tak bisa bangun seperti orang normal. Dan sekarang seakan sudah menemukan pawangnya. “Berdiri,” ucapnya. Angel segera berdiri persis di depan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya. “Buka bajumu,” ucapnya lagi. Tak ingin membantah, Angel pun segera melepaskan pakaiannya hingga tubuh bagian atasnya saat ini sudah polos tanpa satu helai benang pun sebagai penutup.
Napasnya tersengal karena hasrat tak terbendung juga gerakan dengan tempo cepat di atas tubuh wanita itu.Wanita berambut pirang itu hanya tersenyum. Matanya merem melek menikmati sentuhan Markus. Lalu tatapan tajam Markus tertuju pada wanita berambut pendek.“Sini mendekat,” kata Markus pada wanita berambut pendek itu. Wanita itu segera mendekat ke arah Markus. Pria itu langsung dengan rakus melahap bibir merah dan tipis sang wanita. Menghisap begitu dalam lidah wanita itu, juga sesekali menggigit bibir bawahnya yang sangat seksi.Suara desahan mereka menggema di ruangan itu. Pria itu mencabut miliknya dari milik wanita berambut pirang itu. Lalu meminta perempuan yang satunya berlutut membelakanginya. Markus mulai melakukan penyatuan dari arah belakang. Jeritan kesakitan terdengar jelas dari wanita itu, saat Markus beberapa kali mencoba menusuk bagian belakang sang wanita. Tentu saja sangat sakit, bahkan bisa dipastikan akan meninggalkan luka di area belakang miliknya. Namun demi
“Apa anda tidak ingin menjadikan kami sebagai langganan anda, tuan?” tanya Wanita berambut pirang itu. Sementara wanita yang berambut pendek itu masih memanjakan Markus dengan mengulum milik pria tersebut. “Lokasi kita terlalu jauh. Andai saja kalian tinggal dekat denganku, mungkin aku akan lebih sering memanggil kalian. Tapi jujur aku suka bosan, aku lebih suka main gonta-ganti dengan wanita yang berbeda. Biar tahu rasanya,” ucap Markus.Wanita berambut pirang itu sedang duduk di samping Markus dengan bersandar manja di bahu pria tersebut. Sementara tangannya bergerilya di atas dada pria itu. “Tapi berjanjilah kalau anda datang ke kota ini, kami dapat bagian memuaskan anda, Tuan,” pintanya penuh godaan.“Tentu saja. Aku akan meminta pihak hotel untuk menghubungi kalian, bila aku datang lagi ke kota ini dan menginginkan kalian,” jawabnya. Markus mencium bibir wanita berambut pirang itu. Melahapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Dia sudah terbiasa dimanjakan 2 perempuan penghibur se
Alex dan Angelica segera memakai pakaian lengkap lalu keluar dari kamar. Suara pecahan kaca yang mereka dengar barusan terlalu keras untuk diabaikan. Alex sempat berhenti sejenak di depan pintu, memastikan suara itu tidak berlanjut. Setelah yakin tidak ada teriakan atau suara lain yang mencurigakan, mereka bergegas menuruni tangga.Di lantai satu, suasananya cukup gaduh, tapi jelas terlihat ada pecahan kaca berserakan di lantai dekat dapur bersih. Meja kecil di sudut dapur itu sudah tidak utuh lagi. Permukaannya pecah, menyisakan kerangka logam yang masih berdiri tapi tidak lagi kokoh.“Apa itu, Pak?” tanya Alex pada salah satu penjaga rumah yang berdiri di dekat dapur dengan wajah cemas.Penjaga itu, yang juga merangkap sebagai pengawal pribadi Alex, langsung menunjuk ke atas meja. “Ini, Tuan. peralatan dapur yang ada di atas rak jatuh. Mungkin Bibi naruhnya kurang pas, jadi kena meja kaca ini. Pecah, Tuan.”Napas Alex sedikit tertahan. Wajahnya masih terlihat waspada. Ia sempat ber
“Kamu tenang saja, sayang. Pokoknya aku akan mencari tahu ke mana dia pergi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar itu. Dia mungkin hanya pergi untuk sesaat,” ucap Markus dari seberang telepon. Suaranya terdengar pelan namun penuh keyakinan, seolah semuanya sudah dalam kendalinya.Sophia tidak bisa menyembunyikan ekspresi gelisahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gagang telepon, sementara matanya menatap kosong ke arah depan. Meski Markus tidak bisa melihatnya, kegelisahan itu terasa dalam getaran napasnya yang teratur tapi berat.“Aku hanya ingin tahu saja ke mana perginya dia. Bahkan tadi dia bilang kalau aku yakin itu anaknya, maka aku harus ikut dia ke luar negeri untuk melakukan tes DNA kedua,” ucap Sophia lirih, tapi cukup jelas terdengar.Kalimatnya sengaja dipoles. Ia tahu betul cara memanipulasi emosi pria di seberang telepon itu. Dengan suara lembut, seolah dirinya adalah wanita yang paling tersakiti, ia memainkan perannya dengan sempurna. Di balik kalimatnya
Tiba-tiba Alex berlutut di hadapan Angelica yang masih duduk di kursi panjang. Tubuh keduanya masih bergetar hebat. Isak tangis belum juga reda, seolah dada mereka terlalu penuh dengan luka yang selama ini tertahan.Alex menunduk dalam-dalam, tangannya menggenggam kaki Angelica seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya pegangan hidup. Tatapannya nanar, rahangnya mengeras karena menahan luapan emosi. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk bicara, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan. Air mata kembali menetes deras, jatuh ke lantai balkon yang dingin.Malam itu tak ada suara selain gemerisik angin dan deru napas mereka yang berat. Bahkan nyanyian jangkrik pun seakan bungkam, memberi ruang bagi luka mereka untuk bicara.Alex bisa merasakan… bisa membayangkan betapa beratnya menjadi Angelica saat itu. Ia berusaha keras membayangkan bagaimana perempuan yang ia cintai begitu dalam, harus menanggung semuanya sendiri. Diusir. Diculik. Dibuang ke tempat asing. Dipaksa bertahan han
Malam harinya, setelah Olivia tertidur lelap di kamarnya, Alex dan Angelica berjalan pelan ke balkon kamar mereka. Angin malam dari kota New Capitol bertiup sejuk, menyapu lembut wajah keduanya. Di balkon, mereka duduk di kursi panjang—yang akan menjadi kursi favorit Alex—dengan punggung bersandar santai dan kaki terangkat di atas meja kayu kecil di hadapan mereka. Red wine di gelas kaca di tangan Alex berkilau tertimpa lampu. Suasana tenang, namun hati mereka tak tenang."Ceritakan sekarang, sayang," ujar Alex lirih. Tatapannya menerawang ke arah langit gelap di kejauhan, tapi sesekali ia melirik Angelica. "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang waktu itu? Kenapa kamu nggak pernah berniat kembali untuk menenangkan aku?"Angelica menarik napas panjang. Ia memandangi tangan sendiri yang gemetar halus, lalu menatap mata Alex yang kini penuh kesedihan dan penyesalan. "Sebelum aku cerita, kamu harus janji. Apapun yang kamu dengar nanti... kamu nggak boleh ceritakan ke siapa pun, kamu juga gak
Braaaak!Karena tubuhnya yang pendek dan harus jinjit saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga saat pintu terbuka suaranya seperti pintu sedang dibanting dan dibuka paksa. Olivia plonga plongo karena kamar itu kosong.“Loh kok hilang Mama dan Papa? Mamaaaaaaa, Papaaaaaa! Huaaaaaa huaaaaaaa!”Jeritan Olivia langsung menggema di seluruh kamar, tangisnya pecah seketika. Napas kecilnya tersengal-sengal di sela tangisan yang mengguncang dadanya.Suster Lila yang mendengar tangisan itu langsung panik, buru-buru memeluk dan mengajak Olivia keluar kamar. Tapi sebelum sempat keluar dari pintu sepenuhnya, kepala Alex menyembul dari balik sandaran sofa.“Kok nangis sih? Papa dan Mama hanya bercanda,” ucap Alex cepat, mencoba menenangkan sambil menahan napas—bohong yang harus ia ucapkan demi menyelamatkan situasi.Angelica, yang masih terduduk di bawah sofa, buru-buru mengenakan kembali pakaian dalamnya dengan jari gemetar. Pipinya merah padam. Bukan hanya karena malu, tapi juga kare
"Kenapa diam?" suara Alex terdengar dingin dan penuh tekanan. Ia berdiri tegak, menatap Sophia dengan sorot mata tajam. "Aku bertanya loh, seperti apa hebatnya aku malam itu? Kamu nggak lupa kan?"Sophia masih membisu. Wajahnya kaku, tapi matanya berkedip cepat. Seolah-olah sedang menahan sesuatu—marah, kecewa, atau mungkin takut. Tapi ia memilih tidak menjawab.Alex mendekat satu langkah, suaranya menurun tapi nadanya tetap menusuk. "Kau mau aku baik padamu? Menyentuhmu setiap hari? Memberikan kepuasan lahir dan batin sebagai suamimu?"Mendengar itu, mata Sophia langsung berbinar. Kilatan harapan muncul sejenak di sana. "Tentu saja aku mau," ucapnya cepat, nyaris terburu-buru.Namun, Alex justru tersenyum—senyum yang tidak membawa kehangatan. Senyum dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sedang mengatur permainan. "Kalau begitu, ikut aku ke luar negeri. Kita lakukan tes DNA untuk anak yang kau lahirkan dan kau akui sebagai anakku."Wajah Sophia langsung berubah. Kilat amarah muncul begi
Sophia berusaha menahan gejolak emosinya yang nyaris tak bisa dibendung. Matanya tajam menatap punggung Alex yang mulai menjauh, melangkah menuju ruang ganti dengan diam, tanpa sepatah kata pun. Dalam sekejap, ia mengejar pria itu, langkahnya cepat dan mantap. Begitu berada di ambang pintu, ia menarik napas panjang, lalu langsung memeluk tubuh suaminya dari belakang. Tangannya melingkar kuat di pinggang pria itu, wajahnya menempel pelan di punggung sang suami. Dadanya yang besar sengaja digesek-gesek kan berharap agar Alex tergoda.Alex tidak menolak. Ia tak menggeliat, tak menyentak, tak juga bicara. Tubuhnya mematung, berdiri tegap seolah menahan sesuatu dalam diam. Tapi bagi Sophia, ketidakmenolakan itu sudah lebih dari cukup. Ia mengartikan sikap itu sebagai isyarat—ia tahu, masih ada celah untuk masuk, masih ada bagian dalam diri Alex yang bisa disentuh dan dibangkitkan.“Aku merindukan sentuhanmu, Alex…” bisik Sophia pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya lembut, tetapi berisi