"Alexa Veronica menjalani pernikahan yang tenang namun mulai kehilangan warna bersama Gavin Abinaya, suaminya yang semakin berubah dan bersikap dingin karena keinginan memiliki anak belum terwujud setelah setahun menikah. Kehadiran Liam Harisan, kakak ipar yang penuh pesona, perlahan mengguncang dunianya. Ketika rahasia dari masa lalu muncul, hubungan mereka diuji dengan pilihan yang berisiko menghancurkan segalanya. Akankah Alexa bertahan dengan pernikahannya atau mengikuti suara hatinya yang tak seharusnya?"
Lihat lebih banyakSebelum memutuskan untuk pulang, Liam mengajak Alexa untuk makan malam di restoran kecil dekat pantai. Restoran itu memiliki suasana yang hangat, dengan lampu-lampu kuning redup yang menggantung di sekitar, menciptakan nuansa romantis yang sempurna."Tempatnya bagus," kata Alexa sambil tersenyum, matanya menyapu dekorasi sederhana namun menenangkan di sekitar mereka.Liam tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu suka. Kita makan dulu sebelum pulang, ya."Mereka makan dengan tenang, menikmati hidangan laut segar yang disajikan hangat. Percakapan ringan di antara mereka membuat suasana semakin santai. Tawa Alexa dan candaan Liam menjadi penutup yang manis setelah seharian di pantai.Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, Alexa menyandarkan kepalanya di jendela mobil, menatap jalanan malam yang lengang. Ketika mereka sampai di rumah, keadaan rumah tampak gelap."Kayaknya Gavin belum pulang, ya," ujar Alexa sambil melirik jam di tangannya yang menunjukkan pu
Alexa dan Liam duduk di sebuah meja kafe kecil, menikmati sarapan bersama di pagi yang cerah. Suasana ringan mengalir di antara mereka, diselingi canda tawa yang membuat suasana menjadi lebih hangat. Alexa, yang biasanya terlihat murung dan penuh beban, kini tampak lebih santai. Senyum yang jarang terlihat akhirnya muncul di wajahnya."Jadi, Kak Liam," ujar Alexa sambil menusuk potongan pancake di piringnya, "Kakak serius mau masak buat aku tadi pagi? Aku nggak kebayang dapur bakal berantakan seperti apa kalau itu benar-benar terjadi."Liam tertawa kecil. "Hah, kamu nggak percaya banget sama kemampuan masak Kakak, ya? Aku kan pernah bikin omelet yang nggak gosong waktu itu!"Alexa terkekeh. "Iya, tapi jangan lupa waktu itu Kakak hampir bakar wajan juga."Percakapan mereka terus mengalir ringan. Candaan Liam berhasil membuat Alexa tertawa lepas, melupakan sejenak rasa sakit yang selama ini menghantuinya karena Gavin. Ia merasa lebih nyaman, seperti menemukan kembali bagian dari dirinya
Pagi telah tiba, namun Alexa masih merasa lelah. Matanya sembab, menunjukkan betapa sedikit tidur yang berhasil ia dapatkan. Kejadian semalam terus menghantui pikirannya, membuatnya gelisah sepanjang malam. Ia menggeliat pelan di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong."Kenapa aku bisa sampai seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Perasaan bersalah dan bimbang bercampur menjadi satu di dadanya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya.Namun, di balik semua itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan nyaman dan hangat yang muncul ketika bersama Liam. "Tapi... entah kenapa, bersama Kak Liam, aku merasa nyaman," bisiknya pelan, seolah mencoba mencari pembenaran untuk apa yang telah terjadi.Alexa mengingat senyum lembut Liam, cara pria itu memperlakukannya dengan penuh perhatian, berbeda dari Gavin yang akhir-akhir ini semakin jauh darinya. "Aku merasakan sesuatu yang nggak pernah a
Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit ketika Liam masih terus mencari keberadaan Gavin. Ia sudah menghubungi beberapa teman dekat Gavin, bahkan mendatangi tempat-tempat yang biasanya sering dikunjungi Gavin, tetapi hasilnya nihil. Gavin seolah menghilang tanpa jejak.Liam menghela napas panjang, rasa lelah mulai terasa di tubuhnya. Setelah sekian lama berkeliling tanpa hasil, ia memutuskan untuk menyerah untuk sementara waktu. "Mungkin dia butuh waktu sendiri," gumam Liam pelan pada dirinya sendiri.Dalam perjalanan pulang, pikiran Liam dipenuhi berbagai kemungkinan. Kekhawatiran mulai merayap di hatinya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Setibanya di rumah, Liam melihat lampu di ruang tamu masih menyala. Ia menduga Alexa masih menunggunya.Liam masuk dengan langkah perlahan, berusaha tidak membuat suara. Namun, Alexa ternyata masih terjaga, duduk di sofa dengan pandangan lelah."Kamu belum tidur?" tanya Liam sambil menatapnya."Aku nunggu Kakak," jawab Alexa pelan.Liam
Alexa terbangun dengan kepala yang terasa berat, bekas tangis semalam masih membekas di wajahnya. Matanya terasa bengkak dan perih, sementara pikirannya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai. Ia mengerjap beberapa kali, mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.Pandangan Alexa tertuju pada jam dinding kamar. Pukul tujuh pagi. Ia menghela napas panjang. "Apa Gavin nggak pulang semalam? Kemana dia?" pikirnya dengan gelisah. Hati kecilnya menolak untuk menebak apa yang mungkin dilakukan Gavin di luar sana.Namun, tiba-tiba ingatan semalam muncul dengan jelas di benaknya. Tangisan yang tak terbendung. Pelukan yang terasa menenangkan. Alexa menahan napas sejenak, wajahnya memerah seketika."Aku... aku menangis di pelukan Kak Liam?" gumamnya pelan, menunduk sambil memegang wajahnya sendiri. Malu menyeruak dalam dadanya, membuatnya merasa canggung hanya dengan memikirkannya. "Astaga, kenapa aku bisa kayak gitu? Aku nggak tahu harus ngomong apa ka
Alexa berlari menaiki tangga dengan napas terengah-engah, air mata membasahi wajahnya. Sesampainya di kamar, ia langsung menutup pintu dan memutarnya hingga terkunci. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit yang masih terasa di pipinya, tetapi juga karena hatinya yang remuk.Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Suaranya tercekat saat mencoba menenangkan diri. Di dalam pikirannya, berputar berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin Gavin, pria yang selama ini ia percayai sepenuhnya, bisa melukai dirinya seperti ini?Di lantai bawah, Gavin masih berdiri kaku. Tangannya yang baru saja melayangkan tamparan kini terasa dingin dan kosong. Napasnya berat, matanya menatap lantai tanpa fokus. Rasa bersalah menyelimuti dirinya, tetapi ia tak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan ini.Setelah beberapa menit, Gavin memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Alexa, mengetuk pelan sambil berkata dengan suara serak
Malam telah tiba, dan keheningan menyelimuti rumah. Alexa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, sesekali melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Gavin belum juga pulang.Liam sudah tiba di rumah sejak dua jam lalu. Namun, Gavin masih saja belum terlihat batang hidungnya. Alexa mencoba mengusir kecemasan dengan membuka ponselnya, tetapi pikirannya tetap tak bisa lepas dari rasa gelisah yang menghantuinya."Mungkin dia lembur lagi," gumam Alexa pelan, mencoba memberi alasan pada dirinya sendiri.Namun, di sudut hatinya, Alexa tahu ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Gavin. Masalah-masalah yang akhir-akhir ini terus mengendap di antara mereka tak lagi bisa dibiarkan begitu saja.Alexa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa perlu melakukannya demi hubungan mereka. Sambil menunggu, ia merapikan selimut dan memastikan kamar dalam keadaan rapi, seolah itu bisa mengu
Setelah mereka pergi bekerja, Alexa mulai membereskan meja makan yang masih penuh dengan sisa sarapan. Piring-piring bekas digunakan Gavin dan Liam ia kumpulkan dengan hati-hati, lalu dibawa ke wastafel.Ia melirik ke jam dinding di dapur, memastikan masih ada waktu sebelum ia pergi ke gym bersama sahabatnya, Naomi. Rutinitas ke gym setiap pagi Rabu adalah hal yang selalu dinantikannya.Setelah selesai mencuci piring dan memastikan dapur dalam keadaan rapi, Alexa melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Ia memilih setelan olahraga favoritnya—kaus longgar berwarna pastel dan legging hitam—kemudian mengambil botol minum dan handuk kecil dari rak di sudut kamar.Saat Alexa hendak masuk ke mobil, ponselnya yang diletakkan di atas dashboard berdering. Nama Naomi muncul di layar, membuat Alexa segera mengangkatnya."Udah berangkat belum, Lex?" suara ceria Naomi terdengar dari seberang."Baru mau berangkat," jawab Alexa sambil membuka pintu mobil."Jemput aku di rumah, ya? Mobil aku lagi d
Pagi mulai menyinari rumah, cahaya lembut menembus tirai jendela, dan Alexa terbangun dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak. Mata yang masih mengantuk, ia menghela napas panjang sebelum bergegas bangkit dari sofa ruang tamu. Ia merasa sedikit canggung, mengingat malam sebelumnya, tetapi mencoba menepis perasaan itu. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Setelah selesai mandi, Alexa mulai menyiapkan sarapan. Sebagai istri Gavin dan tuan rumah yang baik, ia ingin memastikan hari pertama Liam bekerja bersama Gavin di rumah ini berjalan lancar. Ia membuatkan dua cangkir kopi panas, roti panggang, dan telur dadar yang sederhana namun lezat. Sambil mempersiapkan makanan, ia melirik ke jam dinding, memastikan semuanya siap sebelum mereka turun untuk sarapan.Ketika sarapan sudah siap, Alexa meletakkan piring-piring di meja makan, memastikan semuanya tertata rapi. Ia mendengar suara langkah kaki dari lantai atas, tanda bahwa Gavin dan Liam sudah bangu
Gavin menuruni anak tangga dengan dasi biru langit yang sudah terikat rapi di lehernya. Ia menatap layar ponselnya tanpa sedikit pun melirik Alexa yang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan."Pagi," katanya singkat, tanpa usaha untuk terlihat ramah.Alexa tersenyum tipis meski hatinya terasa perih. "Pagi juga, Gavin," balasnya sambil menata pancake hangat, telur orak-arik, dan secangkir kopi hitam favorit suaminya di meja makan.Gavin duduk di kursi, langsung melanjutkan mengetik pesan di ponselnya tanpa melihat sarapan yang telah tersaji. Alexa mencoba mencairkan suasana. "Kamu pulang larut lagi malam ini?" tanyanya pelan, berharap setidaknya mendapat sedikit perhatian.Tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, Gavin hanya mengangguk. "Ya, ada kerjaan." Jawabannya terdengar datar, seolah itu hal yang tidak perlu didiskusikan.Alexa terdiam, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Jawaban itu sudah terlalu sering ia dengar. Keheningan mengisi ruang makan, hanya diiringi suara sendo...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen