Suara dering ponsel Gavin memecah keheningan kamar, membuatnya langsung menghentikan aktivitasnya. Gavin menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di meja.
Alexa yang sedang berbaring menatapnya sekilas, merasa jengkel. "Ponselmu lagi?" tanyanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan rasa kesalnya. "Ya," jawab Gavin singkat tanpa menoleh. Ia melihat layar ponsel dan wajahnya berubah serius. "Siapa?" tanya Alexa lagi, suaranya sedikit menuntut. "Klien," jawab Gavin dingin sambil mengangkat telepon. Ia berjalan menjauh tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Alexa menatap punggung Gavin dengan perasaan campur aduk. Dari tempat tidur, ia bisa mendengar potongan percakapan Gavin yang terdengar formal dan penuh perhatian, seperti biasa saat berbicara dengan klien. Setelah beberapa menit, Gavin kembali ke kamar dengan ekspresi datar. Ia meletakkan ponselnya di atas meja tanpa berkata apa-apa. "Serius, Gav? Bahkan di rumah, kamu masih sibuk dengan ponselmu?" ucap Alexa akhirnya, tidak mampu lagi menahan rasa kesalnya. Gavin menghela napas, tampak lelah. "Lex, ini pekerjaan. Kamu tahu aku nggak bisa mengabaikan klien," jawabnya dengan nada dingin. Alexa bangkit dari tempat tidur, menatap Gavin dengan tajam. "Aku tahu kamu sibuk, tapi kapan kamu punya waktu buat aku? Buat kita?" tanyanya, suaranya mulai bergetar. "Aku kerja buat kita, Alexa," Gavin membalas dengan nada sedikit tinggi. "Kamu pikir aku suka begini? Aku juga capek." "Capek? Gavin, aku yang selalu nunggu kamu pulang, yang selalu merasa diabaikan, itu bukan capek menurutmu?" balas Alexa, emosinya mulai memuncak. Gavin mengusap wajahnya, mencoba menahan amarah. "Kamu nggak ngerti. Pekerjaan ini butuh fokus. Aku nggak punya waktu untuk drama." Alexa terdiam sejenak, terkejut dengan kata-kata Gavin. Matanya mulai berkaca-kaca. "Drama? Jadi, perasaan aku cuma drama buat kamu?" tanyanya pelan, suaranya terdengar terluka. Gavin menatap Alexa dengan frustrasi. "Aku nggak bilang begitu. Aku cuma nggak mau ribut soal hal yang sebenarnya nggak perlu." "Nggak perlu? Gavin, aku cuma mau kita punya waktu bersama. Apa itu terlalu banyak?" Alexa berkata dengan nada penuh emosi, air matanya mulai mengalir. Gavin terdiam, tampak bingung harus merespons bagaimana. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang. "Aku nggak mau berdebat, Lex. Aku mau istirahat," katanya sambil berbaring di ranjang dan membelakangi Alexa. Alexa memandangi Gavin dengan perasaan campur aduk. Ia merasa marah, kecewa, dan tak berdaya sekaligus. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil bantal tambahan dan selimut, lalu melangkah keluar kamar, meninggalkan Gavin sendirian di dalam. Di ruang tamu, Alexa duduk di sofa sambil memeluk lututnya. Air matanya terus mengalir, dan di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah pernikahannya masih bisa diselamatkan. Alexa memainkan ponselnya sebentar, mencoba mengusir rasa jenuh dan kecewa yang terus mengganggu pikirannya. Namun, bayangan Gavin yang kembali tenggelam dalam pekerjaannya membuat kegelisahan itu tak kunjung reda. Ia melirik ke arah nakas di samping sofa ruang tamu, tempat biasanya gelas air minum berada. Gelasnya kosong. Alexa menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. "Ambil air sekalian cari udara segar," gumamnya pelan, mencoba mencari alasan untuk bergerak. Saat melangkah ke dapur, pikirannya melayang, memutar kembali momen-momen di mana Gavin lebih memilih pekerjaan daripada dirinya. "Kenapa selalu pekerjaan?" gumam Alexa, nyaris seperti bisikan di tengah sunyinya malam. Rasa kecewa yang tadi sempat ia tekan kini mulai menyeruak lagi, memenuhi hatinya. Ia melangkah pelan menuruni tangga. Dalam perjalanan, matanya tanpa sadar tertuju ke lorong tempat kamar Liam berada. Lampu di kamar itu terlihat redup, menandakan penghuni di dalamnya mungkin sudah terlelap. Alexa tidak berniat mengganggu. Ia hanya menundukkan pandangan dan melanjutkan langkah. Udara dingin menyapa kulitnya saat ia sampai di dapur. Dress satin tidur yang ia kenakan terasa tipis di tengah malam yang sunyi. Namun, Alexa mengabaikan itu semua. Ia mengambil gelas dan mengisinya di bawah dispenser. Suara air yang mengalir menjadi satu-satunya bunyi yang memecah kesunyian. Alexa menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gelisah yang terus menghantuinya. Namun, rasa kecewa itu tetap ada, seperti bayangan yang enggan pergi. Sambil meminum seteguk air, ia menyadari sesuatu yang perlahan-lahan semakin jelas. Perasaan itu... seolah Gavin sedang menjauh darinya, sedikit demi sedikit. Suara langkah kaki pelan terdengar dari belakang. Alexa menoleh dengan cepat, sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?" Suara itu familiar—Liam. Alexa meneguk ludah, merasa sedikit salah tingkah. Liam berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, rambutnya sedikit berantakan seperti baru bangun tidur. Tatapannya santai, tetapi Alexa merasa seperti dia memperhatikannya lebih lama dari biasanya. "Ah, aku cuma mau ambil air," jawab Alexa, suaranya agak bergetar. Ia merapikan rambutnya dengan gugup, menyadari betapa terbukanya dress tidurnya malam itu. Liam mengangguk pelan, sorot matanya tetap tertuju pada Alexa. Suasana terasa sedikit canggung. "Malam ini dingin, ya?" kata Liam akhirnya, mencoba memecah keheningan. Ia melangkah lebih dekat, lalu menambahkan, "Sepertinya kamu perlu sesuatu yang lebih hangat." Sekilas matanya melirik ke arah dress satin tipis yang dikenakan Alexa, namun ia segera mengalihkan pandangan. Alexa merasakan pipinya memanas. Ia segera membalas dengan suara rendah, berusaha tetap tenang, "Aku baik-baik saja. Terima kasih." Liam memanggilnya lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih pelan. "Alexa, kamu nggak biasanya tidur di ruang tamu. Kalian bertengkar?" Alexa berhenti sejenak, punggungnya membelakangi Liam. Ia menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Tidak apa-apa," ujarnya akhirnya, mencoba terdengar santai. Liam maju beberapa langkah, kini berdiri lebih dekat. Tatapannya serius namun lembut, seperti seseorang yang benar-benar peduli. "Apa Gavin bilang sesuatu? Atau... ada yang mengganggu kamu?" tanyanya lagi, tak menyerah begitu saja. Alexa menahan napas. Terkadang Liam memang terlalu perhatian, dan itu membuatnya merasa canggung sekaligus terhibur. "Hanya... sedikit lelah," katanya dengan nada datar. "Dan mungkin... kesal." Liam mengangguk pelan, tidak memaksa Alexa untuk menjelaskan lebih jauh. Namun, ia tetap berdiri di tempatnya, tatapannya seperti mencoba memahami lebih banyak dari kata-kata yang tak terucap. "Kamu tahu," kata Liam akhirnya, dengan nada yang lebih lembut, "Kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri. Kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada." Alexa mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari tatapan Liam yang membuatnya merasa terlalu rentan. "Terima kasih, Kak Liam," jawabnya pelan. "Aku hargai itu." Liam mengangguk, memberikan senyum kecil. "Baiklah. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk bilang," ujarnya sebelum melangkah mundur, memberinya ruang. Alexa menghela napas panjang setelah Liam pergi. Percakapan tadi membuatnya sadar bahwa ia memang menyimpan banyak emosi yang terpendam. Namun, ia tahu bahwa membicarakan semuanya, terutama dengan Liam, hanya akan memperumit keadaan. Ia kembali ke sofa ruang tamu, berusaha mengatur pikirannya yang terasa semakin kacau. Meskipun Gavin yang seharusnya berada di sisinya, justru perhatian dari Liam-lah yang membuatnya merasa dilihat dan didengar. Dan itu membuat perasaannya semakin sulit untuk dijelaskan. Alexa menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang terus bergelayut di benaknya. "Sudahlah, lebih baik aku tidur," gumamnya pelan, meskipun rasa sesak masih menggantung di dadanya. Dengan gerakan lesu, ia menarik selimut tebal, membungkus tubuhnya hingga kepala, seolah mencoba berlindung dari dunia yang terasa terlalu berat. Kesunyian malam hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan, membuat suasana semakin mencekam di dalam pikirannya. Alexa memejamkan mata, berusaha memusatkan perhatian pada irama napasnya yang mulai teratur. Namun, bayangan percakapan dengan Liam di dapur dan Gavin yang semakin dingin terus mengusik pikirannya, membuat hatinya terasa semakin berat. "Kenapa semua terasa rumit sekarang?" bisiknya, hampir tak terdengar. Ia mencoba memaksa pikirannya berhenti berputar, fokus pada niat awalnya untuk beristirahat. Namun, setiap kali ia hampir terlelap, kilasan rasa kesepian dan kerinduan kembali mengusik. Meski begitu, Alexa tetap bergeming, memaksa dirinya untuk bertahan dalam posisi berbaring, berharap kesunyian akhirnya akan membawa kedamaian yang ia rindukan. Lama-kelamaan, kelelahan fisik mengalahkan kegelisahan di pikirannya. Alexa perlahan terlelap, meskipun hatinya tahu bahwa esok hari mungkin tak akan membawa jawaban yang ia cari. Tapi, setidaknya malam ini ia mencoba melepaskan semua, walau hanya untuk sejenak.Pov Liam Suara mobil yang terdengar dari luar jendela membangunkan aku dari lamunan. Aku mendekat ke jendela kamar dan melihat Gavin baru saja tiba, tampak lelah namun tetap sigap dengan pekerjaannya. Aku menggelengkan kepala, tak heran dengan sikapnya yang selalu gila kerja. Berbeda denganku, yang lebih memilih menikmati hidup dan waktu yang ada. Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu kamar tertutup. Aku tahu, Gavin pasti sudah masuk ke kamar bersama Alexa. Sesaat, aku merasa canggung, entah mengapa, meski aku tak tahu harus merasa apa. Bagaimana pun juga, aku adalah kakak ipar, dan Alexa adalah istrinya. Aku menghela napas pelan dan berbalik dari jendela. Jika sudah seperti ini, mungkin lebih baik aku keluar untuk mencari udara segar. Aku turun ke lantai bawah, berusaha mengusir ketegangan yang ada di tubuhku. Aku ingin membuat secangkir teh atau kopi, sesuatu yang bisa menenangkan pikiranku. Malam ini aku tidak bisa tidur, mungkin karena di pesawat tadi aku sudah tertid
Pagi mulai menyinari rumah, cahaya lembut menembus tirai jendela, dan Alexa terbangun dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak. Mata yang masih mengantuk, ia menghela napas panjang sebelum bergegas bangkit dari sofa ruang tamu. Ia merasa sedikit canggung, mengingat malam sebelumnya, tetapi mencoba menepis perasaan itu. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Setelah selesai mandi, Alexa mulai menyiapkan sarapan. Sebagai istri Gavin dan tuan rumah yang baik, ia ingin memastikan hari pertama Liam bekerja bersama Gavin di rumah ini berjalan lancar. Ia membuatkan dua cangkir kopi panas, roti panggang, dan telur dadar yang sederhana namun lezat. Sambil mempersiapkan makanan, ia melirik ke jam dinding, memastikan semuanya siap sebelum mereka turun untuk sarapan.Ketika sarapan sudah siap, Alexa meletakkan piring-piring di meja makan, memastikan semuanya tertata rapi. Ia mendengar suara langkah kaki dari lantai atas, tanda bahwa Gavin dan Liam sudah bangu
Setelah mereka pergi bekerja, Alexa mulai membereskan meja makan yang masih penuh dengan sisa sarapan. Piring-piring bekas digunakan Gavin dan Liam ia kumpulkan dengan hati-hati, lalu dibawa ke wastafel.Ia melirik ke jam dinding di dapur, memastikan masih ada waktu sebelum ia pergi ke gym bersama sahabatnya, Naomi. Rutinitas ke gym setiap pagi Rabu adalah hal yang selalu dinantikannya.Setelah selesai mencuci piring dan memastikan dapur dalam keadaan rapi, Alexa melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Ia memilih setelan olahraga favoritnya—kaus longgar berwarna pastel dan legging hitam—kemudian mengambil botol minum dan handuk kecil dari rak di sudut kamar.Saat Alexa hendak masuk ke mobil, ponselnya yang diletakkan di atas dashboard berdering. Nama Naomi muncul di layar, membuat Alexa segera mengangkatnya."Udah berangkat belum, Lex?" suara ceria Naomi terdengar dari seberang."Baru mau berangkat," jawab Alexa sambil membuka pintu mobil."Jemput aku di rumah, ya? Mobil aku lagi d
Malam telah tiba, dan keheningan menyelimuti rumah. Alexa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, sesekali melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Gavin belum juga pulang.Liam sudah tiba di rumah sejak dua jam lalu. Namun, Gavin masih saja belum terlihat batang hidungnya. Alexa mencoba mengusir kecemasan dengan membuka ponselnya, tetapi pikirannya tetap tak bisa lepas dari rasa gelisah yang menghantuinya."Mungkin dia lembur lagi," gumam Alexa pelan, mencoba memberi alasan pada dirinya sendiri.Namun, di sudut hatinya, Alexa tahu ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Gavin. Masalah-masalah yang akhir-akhir ini terus mengendap di antara mereka tak lagi bisa dibiarkan begitu saja.Alexa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa perlu melakukannya demi hubungan mereka. Sambil menunggu, ia merapikan selimut dan memastikan kamar dalam keadaan rapi, seolah itu bisa mengu
Alexa berlari menaiki tangga dengan napas terengah-engah, air mata membasahi wajahnya. Sesampainya di kamar, ia langsung menutup pintu dan memutarnya hingga terkunci. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit yang masih terasa di pipinya, tetapi juga karena hatinya yang remuk.Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Suaranya tercekat saat mencoba menenangkan diri. Di dalam pikirannya, berputar berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin Gavin, pria yang selama ini ia percayai sepenuhnya, bisa melukai dirinya seperti ini?Di lantai bawah, Gavin masih berdiri kaku. Tangannya yang baru saja melayangkan tamparan kini terasa dingin dan kosong. Napasnya berat, matanya menatap lantai tanpa fokus. Rasa bersalah menyelimuti dirinya, tetapi ia tak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan ini.Setelah beberapa menit, Gavin memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Alexa, mengetuk pelan sambil berkata dengan suara serak
Alexa terbangun dengan kepala yang terasa berat, bekas tangis semalam masih membekas di wajahnya. Matanya terasa bengkak dan perih, sementara pikirannya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai. Ia mengerjap beberapa kali, mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.Pandangan Alexa tertuju pada jam dinding kamar. Pukul tujuh pagi. Ia menghela napas panjang. "Apa Gavin nggak pulang semalam? Kemana dia?" pikirnya dengan gelisah. Hati kecilnya menolak untuk menebak apa yang mungkin dilakukan Gavin di luar sana.Namun, tiba-tiba ingatan semalam muncul dengan jelas di benaknya. Tangisan yang tak terbendung. Pelukan yang terasa menenangkan. Alexa menahan napas sejenak, wajahnya memerah seketika."Aku... aku menangis di pelukan Kak Liam?" gumamnya pelan, menunduk sambil memegang wajahnya sendiri. Malu menyeruak dalam dadanya, membuatnya merasa canggung hanya dengan memikirkannya. "Astaga, kenapa aku bisa kayak gitu? Aku nggak tahu harus ngomong apa ka
Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit ketika Liam masih terus mencari keberadaan Gavin. Ia sudah menghubungi beberapa teman dekat Gavin, bahkan mendatangi tempat-tempat yang biasanya sering dikunjungi Gavin, tetapi hasilnya nihil. Gavin seolah menghilang tanpa jejak.Liam menghela napas panjang, rasa lelah mulai terasa di tubuhnya. Setelah sekian lama berkeliling tanpa hasil, ia memutuskan untuk menyerah untuk sementara waktu. "Mungkin dia butuh waktu sendiri," gumam Liam pelan pada dirinya sendiri.Dalam perjalanan pulang, pikiran Liam dipenuhi berbagai kemungkinan. Kekhawatiran mulai merayap di hatinya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Setibanya di rumah, Liam melihat lampu di ruang tamu masih menyala. Ia menduga Alexa masih menunggunya.Liam masuk dengan langkah perlahan, berusaha tidak membuat suara. Namun, Alexa ternyata masih terjaga, duduk di sofa dengan pandangan lelah."Kamu belum tidur?" tanya Liam sambil menatapnya."Aku nunggu Kakak," jawab Alexa pelan.Liam
Pagi telah tiba, namun Alexa masih merasa lelah. Matanya sembab, menunjukkan betapa sedikit tidur yang berhasil ia dapatkan. Kejadian semalam terus menghantui pikirannya, membuatnya gelisah sepanjang malam. Ia menggeliat pelan di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong."Kenapa aku bisa sampai seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Perasaan bersalah dan bimbang bercampur menjadi satu di dadanya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya.Namun, di balik semua itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan nyaman dan hangat yang muncul ketika bersama Liam. "Tapi... entah kenapa, bersama Kak Liam, aku merasa nyaman," bisiknya pelan, seolah mencoba mencari pembenaran untuk apa yang telah terjadi.Alexa mengingat senyum lembut Liam, cara pria itu memperlakukannya dengan penuh perhatian, berbeda dari Gavin yang akhir-akhir ini semakin jauh darinya. "Aku merasakan sesuatu yang nggak pernah a
Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na
Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang
Saat aku tiba di parkiran mobil, aku terdiam sejenak, memandangi setir dengan pikiran yang berputar-putar. Udara terasa berat, dan aku menarik napas panjang untuk mencoba menenangkan diri. Tanpa sadar, langkah seseorang mendekat dan suara familiar memecah keheningan.“Alexa, kamu di sini?” suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh dan melihat Liam berdiri di dekat mobilku, wajahnya penuh perhatian.“Oh, Kak Liam,” ucapku sambil mencoba tersenyum kecil. Aku menegakkan tubuh, berusaha terlihat tenang meski dalam hati masih bergejolak.“Kamu melamun?” tanyanya lembut, alisnya sedikit terangkat.“Tidak, hanya saja…” suaraku menggantung. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa.Liam berjalan mendekat, matanya menatapku dengan sorot serius. “Ada apa? Bicara saja padaku. Kamu tahu aku selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar,” katanya, suaranya penuh perhatian yang tulus.Aku mengeluarkan lipstik itu dari tas dan menggenggamnya erat. "Aku menemukan ini di saku Gavin, Kak," ucapku p
Alexa tiba di kantor Gavin, para pegawai yang sudah mengetahui bahwa dia adalah istri atasan mereka segera menyambutnya dengan hangat."Selamat siang, Ibu Alexa," sapa salah satu resepsionis dengan senyum ramah begitu aku melangkah masuk ke lobi.Aku membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. "Selamat siang. Gavin ada di kantornya, kan?" tanyaku, mencoba terdengar tenang meskipun pikiranku sedang kalut."Benar, Ibu. Pak Gavin sedang ada di ruangannya. Apakah perlu saya hubungi terlebih dahulu untuk memastikan beliau tidak sibuk?" tanya resepsionis itu dengan nada sopan.Aku menggeleng pelan. "Tidak perlu, terima kasih. Saya langsung ke sana saja."Dengan langkah tegap, aku berjalan melewati lorong kantor yang terasa begitu sepi. Beberapa pegawai yang berpapasan denganku menyapa dengan ramah, dan aku berusaha membalas mereka meski senyumku terasa berat.Setibanya di depan pintu ruangan Gavin, aku berhenti sejenak. Dadaku terasa sesak, dan tanganku gemetar saat hendak mengetuk pintu.
Setelah selesai mandi, aku mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu mengenakan pakaian santai. Pikiran tentang lipstik itu terus menghantui, tapi aku memutuskan untuk menyimpannya dalam hati, setidaknya untuk sementara waktu. Aku harus terlihat normal di depan ibu.Aku menuruni tangga perlahan, merasa sedikit bersalah karena ini kali pertama ayah dan ibu mertuaku menginap di rumah, tapi aku malah kesiangan dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Saat aku sampai di dapur, pemandangan itu langsung membuat hatiku terasa hangat.Ayah mertua, Basakra, duduk di kursi ruang tengah dengan koran di tangannya, sementara ibu mertua, Inara, sibuk mencuci piring di wastafel. Ibu membalikkan badan dan menatapku.“Kamu sudah selesai mandi?” tanya Inara dengan senyum lembut.Aku mengangguk, tersenyum kecil, dan merasa sedikit canggung. “Iya, Bu. Maaf, ini pertama kalinya kalian menginap di sini, tapi aku malah kesiangan dan tidak menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Ibu.”Inara menggeleng pelan, menatapku de