Setelah mereka pergi bekerja, Alexa mulai membereskan meja makan yang masih penuh dengan sisa sarapan. Piring-piring bekas digunakan Gavin dan Liam ia kumpulkan dengan hati-hati, lalu dibawa ke wastafel.
Ia melirik ke jam dinding di dapur, memastikan masih ada waktu sebelum ia pergi ke gym bersama sahabatnya, Naomi. Rutinitas ke gym setiap pagi Rabu adalah hal yang selalu dinantikannya. Setelah selesai mencuci piring dan memastikan dapur dalam keadaan rapi, Alexa melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Ia memilih setelan olahraga favoritnya—kaus longgar berwarna pastel dan legging hitam—kemudian mengambil botol minum dan handuk kecil dari rak di sudut kamar. Saat Alexa hendak masuk ke mobil, ponselnya yang diletakkan di atas dashboard berdering. Nama Naomi muncul di layar, membuat Alexa segera mengangkatnya. "Udah berangkat belum, Lex?" suara ceria Naomi terdengar dari seberang. "Baru mau berangkat," jawab Alexa sambil membuka pintu mobil. "Jemput aku di rumah, ya? Mobil aku lagi di bengkel," pintanya santai, seperti biasa. Alexa tersenyum kecil. "Oke, aku berangkat sekarang." Tanpa menunggu lama, Alexa menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumah Naomi. Selama perjalanan, ia menyalakan musik ringan untuk menemani suasana pagi itu. Pikiran Alexa melayang pada kenangan beberapa bulan lalu. Ia teringat ketika Gavin memberikan mobil ini sebagai hadiah ulang tahunnya. Hari itu terasa begitu istimewa, bukan hanya karena hadiah mewah yang diberikan, tetapi karena perhatian Gavin yang begitu tulus. Alexa masih ingat senyum hangat Gavin saat menyerahkan kunci mobil itu padanya, diikuti pelukan erat dan ucapan selamat ulang tahun yang membuatnya merasa begitu dicintai. Namun, kenangan itu kini terasa seperti milik orang lain, jauh berbeda dari hubungan mereka yang sekarang. Alexa menghela napas pelan, matanya tetap fokus pada jalan .Sesampainya di gym, Alexa dan Naomi mulai berolahraga, mencoba fokus pada rutinitas mereka. Namun, di sela-sela angkat beban dan treadmill, pikiran Alexa terus melayang ke rumah. Perkataan Naomi tadi kembali terngiang di telinganya. Mungkin sudah waktunya ia bicara serius dengan Gavin. Setelah selesai berolahraga, Naomi kembali mengingatkan Alexa saat mereka duduk di kafe kecil di dekat gym, menikmati jus segar. "Jangan terlalu lama dipendam, Lex. Kamu harus ngomong ke Gavin. Malam ini mungkin waktu yang pas," ujar Naomi dengan nada tegas namun penuh perhatian. Alexa mengangguk pelan. "Iya, mungkin malam nanti aku coba bicarakan. Tapi aku takut, Mi. Takut dia nggak mau dengar atau malah marah," ujarnya, suaranya terdengar ragu. Naomi menepuk tangan Alexa. "Kalau kamu nggak mulai, kalian nggak akan pernah nemuin solusinya. Gavin itu suami kamu, dia harus tahu apa yang kamu rasain," jawabnya dengan keyakinan. Alexa menghela napas panjang, berusaha menguatkan diri. "Baiklah. Malam ini aku coba bicarakan," katanya. "Daripada sedih terus, gimana kalau kita nonton aja?" usul Naomi sambil menghela napas panjang. "Aku males banget pulang ke rumah, nenek pasti bakal nyuruh aku cepat-cepat nikah lagi," tambahnya dengan nada kesal. Alexa tertawa kecil mendengar keluhan sahabatnya itu. "Nenek kamu nggak pernah bosan, ya?" godanya sambil melirik ke arah Naomi. Naomi menghela napas panjang, ekspresi kesalnya makin terlihat. "Tah itu! Seharusnya nih, di umur dia yang segini tuh, dia mikirin pembagian warisan buat anak cucunya, bukan malah nyuruh aku nikah terus," ujarnya sambil melipat tangan di dada. "Kamu tahu sendiri kan, aku ini jomblo akut. Mana mungkin tiba-tiba langsung ada yang mau diajak nikah," tambahnya dengan nada frustasi. "Kaya mau dapet aja warisannya," ujar Alexa sambil tertawa kecil, mencoba menggoda Naomi. Naomi mendengus kesal. "Ya siapa tahu kan, Lex. Daripada sibuk ngurusin aku nikah, mendingan fokus ke pembagian warisan." Alexa menggeleng sambil tersenyum. "Lagian, kamu gimana sih mau dapet pacar, Na? Setiap cowok yang deketin kamu selalu kamu tolak mentah-mentah," ujarnya sambil menatap Naomi dengan tatapan menggoda. "Abisnya mereka tuh aneh banget tahu, Lex," Naomi mulai mengeluh sambil menghitung jari. "Ada yang bau badan, ada yang cerewet kaya nenek aku, terus ada yang ceweknya banyak banget, dan macam-macam deh! Mana ada yang bikin aku betah? Kesel aku!" Alexa tertawa lepas mendengar curhatan sahabatnya itu. "Ya ampun, Na. Mungkin kamu perlu ngasih mereka kesempatan dulu. Jangan buru-buru ilfeel sebelum kenal lebih jauh," katanya sambil menahan senyum. Naomi memutar bola matanya. "Lex, kamu nggak ngerti. Kalau udah nggak nyaman dari awal, aku nggak bisa maksa. Mending jomblo deh daripada sama yang bikin kepala pening," ujarnya tegas. Alexa hanya menggeleng sambil tersenyum. "Yah, terserah kamu deh, Na. Yang penting, kamu bahagia. Tapi aku tetep yakin, suatu saat ada yang bikin kamu nggak bisa nolak," ujarnya sambil mengedipkan mata iseng. Naomi akhirnya tertawa kecil. "Semoga aja, Lex." Setelah puas mengobrol, mereka memutuskan untuk menonton film horor di mal yang terletak tak jauh dari kafe. Naomi, yang biasanya lebih suka film komedi atau drama, kali ini setuju karena ingin suasana yang berbeda. "Aku sih oke aja nonton horor. Tapi kalau aku teriak-teriak di tengah film, jangan diketawain ya, Lex," ujar Naomi dengan setengah bercanda saat mereka berjalan menuju loket tiket. Alexa terkekeh. "Tenang, aku bakal jagain kamu. Tapi jangan salahin aku kalau kamu narik lengan aku sampai lebam," balasnya sambil tersenyum lebar. Mereka membeli tiket dan popcorn, lalu masuk ke studio bioskop. Ruangan sudah mulai gelap saat mereka duduk di kursi yang terletak di baris tengah. Film pun dimulai, membawa suasana mencekam yang perlahan membuat Naomi merapat ke sisi Alexa. Di salah satu adegan jumpscare, Naomi spontan berteriak kecil dan langsung memeluk lengan Alexa. "Aku udah bilang, Lex! Serem banget, sih!" bisik Naomi dengan nada panik. Alexa hanya tertawa kecil sambil berusaha menenangkan sahabatnya. "Tenang, Na. Itu cuma film. Lihat, orang di belakang kita aja nggak setegang kamu." Meskipun menegangkan, mereka akhirnya menikmati film tersebut. Naomi bahkan tertawa malu setelah film selesai karena merasa dirinya terlalu dramatis sepanjang penayangan. "Kayaknya aku nggak akan nonton horor lagi deh kalau nggak ada kamu," ujar Naomi sambil berjalan keluar studio, membuat Alexa terkekeh lagi. "Gapapa, Na. Yang penting kamu keluar dari bioskop masih utuh," jawab Alexa sambil menggoda. Malam itu, meski dihiasi rasa takut, mereka berhasil melupakan sejenak semua masalah dan menikmati waktu bersama. Setelah film selesai dan langit di luar mulai berubah menjadi jingga, Alexa dan Naomi memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan menuju parkiran mobil sambil masih membahas beberapa adegan film horor yang mereka tonton. "Serem banget adegan yang di lorong itu, Lex. Aku sampai merem terus," kata Naomi sambil menggigil sedikit, meski nada suaranya bercampur tawa. Alexa tertawa kecil sambil membuka pintu mobil. "Tapi seru kan? Aku tahu kamu bakal nonton lagi kalau ada film horor lain," godanya sambil masuk ke dalam mobil. Naomi mendengus. "Mungkin, tapi nggak dalam waktu dekat!," balasnya sambil memasang seatbelt. Alexa tersenyum dan mulai mengemudi, mengantarkan Naomi pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan, membahas rencana minggu depan dan sedikit mengomentari orang-orang di sekitar mereka yang baru saja keluar dari mal. Setelah beberapa menit, mereka sampai di depan rumah Naomi. Alexa memarkir mobil di tepi jalan dan menoleh ke arah sahabatnya. "Sampai rumah, Na. Jangan mimpi buruk ya gara-gara film tadi," ujarnya sambil tersenyum jahil. Naomi tertawa kecil sambil membuka pintu mobil. "Nggak janji, Lex. Terimakasih untuk hari ini," ucapnya dengan tulus Alexa mengangguk. "Sama-sama, Na. Istirahat ya, sampai ketemu lagi." Setelah Naomi masuk ke dalam rumah, Alexa melanjutkan perjalanan pulang. Meski lelah, ada perasaan hangat di hatinya karena bisa menghabiskan waktu bersama sahabatnya dan melupakan sejenak kekhawatiran yang membayangi hidupnya. Di tengah perjalanan pulang, Alexa memutuskan untuk mampir ke restoran langganannya. Setelah seharian di luar, ia merasa terlalu lelah untuk memasak makan malam di rumah. "Kayaknya lebih praktis bungkus makan malam aja. Tenagaku udah habis," gumamnya sambil mengarahkan mobil ke parkiran restoran favoritnya. Setelah memarkir mobil, Alexa masuk ke restoran yang sudah dikenalnya sejak lama. Aroma makanan yang khas langsung membuat perutnya berbunyi. "Selamat sore, Mbak Alexa! Lama nggak kelihatan nih," sapa pelayan ramah yang mengenalnya. Alexa tersenyum kecil. "Iya, lagi sibuk belakangan ini. Saya bungkus aja ya. Ayam bakar favorit saya, sama tumis kangkung dan sambal mangga. Jangan lupa nasi hangatnya." "Siap, Mbak. Ditunggu sebentar ya," jawab pelayan itu dengan senyuman, lalu bergegas mencatat pesanannya. Sambil menunggu, Alexa duduk di bangku dekat kasir, mengamati aktivitas restoran yang cukup ramai. Orang-orang tampak menikmati makan malam bersama keluarga atau teman, membuatnya merasa sedikit rindu pada momen-momen santai seperti itu bersama Gavin. Tak lama, pesanannya selesai. Pelayan menyerahkan tas berisi makanan hangat itu. "Ini pesanannya, Mbak Alexa. Semoga suka!" Alexa mengambilnya sambil tersenyum. "Makasih banyak ya. Sampai jumpa lagi." Kembali ke mobil, ia meletakkan tas makanan di kursi samping. Aroma sedap memenuhi ruangan, membuatnya semakin tak sabar untuk sampai di rumah. "Akhirnya bisa makan dan istirahat," gumamnya, sambil melanjutkan perjalanan dengan tenang menuju rumah.Malam telah tiba, dan keheningan menyelimuti rumah. Alexa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, sesekali melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Gavin belum juga pulang.Liam sudah tiba di rumah sejak dua jam lalu. Namun, Gavin masih saja belum terlihat batang hidungnya. Alexa mencoba mengusir kecemasan dengan membuka ponselnya, tetapi pikirannya tetap tak bisa lepas dari rasa gelisah yang menghantuinya."Mungkin dia lembur lagi," gumam Alexa pelan, mencoba memberi alasan pada dirinya sendiri.Namun, di sudut hatinya, Alexa tahu ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Gavin. Masalah-masalah yang akhir-akhir ini terus mengendap di antara mereka tak lagi bisa dibiarkan begitu saja.Alexa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa perlu melakukannya demi hubungan mereka. Sambil menunggu, ia merapikan selimut dan memastikan kamar dalam keadaan rapi, seolah itu bisa mengu
Alexa berlari menaiki tangga dengan napas terengah-engah, air mata membasahi wajahnya. Sesampainya di kamar, ia langsung menutup pintu dan memutarnya hingga terkunci. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit yang masih terasa di pipinya, tetapi juga karena hatinya yang remuk.Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Suaranya tercekat saat mencoba menenangkan diri. Di dalam pikirannya, berputar berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin Gavin, pria yang selama ini ia percayai sepenuhnya, bisa melukai dirinya seperti ini?Di lantai bawah, Gavin masih berdiri kaku. Tangannya yang baru saja melayangkan tamparan kini terasa dingin dan kosong. Napasnya berat, matanya menatap lantai tanpa fokus. Rasa bersalah menyelimuti dirinya, tetapi ia tak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan ini.Setelah beberapa menit, Gavin memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Alexa, mengetuk pelan sambil berkata dengan suara serak
Alexa terbangun dengan kepala yang terasa berat, bekas tangis semalam masih membekas di wajahnya. Matanya terasa bengkak dan perih, sementara pikirannya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai. Ia mengerjap beberapa kali, mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.Pandangan Alexa tertuju pada jam dinding kamar. Pukul tujuh pagi. Ia menghela napas panjang. "Apa Gavin nggak pulang semalam? Kemana dia?" pikirnya dengan gelisah. Hati kecilnya menolak untuk menebak apa yang mungkin dilakukan Gavin di luar sana.Namun, tiba-tiba ingatan semalam muncul dengan jelas di benaknya. Tangisan yang tak terbendung. Pelukan yang terasa menenangkan. Alexa menahan napas sejenak, wajahnya memerah seketika."Aku... aku menangis di pelukan Kak Liam?" gumamnya pelan, menunduk sambil memegang wajahnya sendiri. Malu menyeruak dalam dadanya, membuatnya merasa canggung hanya dengan memikirkannya. "Astaga, kenapa aku bisa kayak gitu? Aku nggak tahu harus ngomong apa ka
Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit ketika Liam masih terus mencari keberadaan Gavin. Ia sudah menghubungi beberapa teman dekat Gavin, bahkan mendatangi tempat-tempat yang biasanya sering dikunjungi Gavin, tetapi hasilnya nihil. Gavin seolah menghilang tanpa jejak.Liam menghela napas panjang, rasa lelah mulai terasa di tubuhnya. Setelah sekian lama berkeliling tanpa hasil, ia memutuskan untuk menyerah untuk sementara waktu. "Mungkin dia butuh waktu sendiri," gumam Liam pelan pada dirinya sendiri.Dalam perjalanan pulang, pikiran Liam dipenuhi berbagai kemungkinan. Kekhawatiran mulai merayap di hatinya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Setibanya di rumah, Liam melihat lampu di ruang tamu masih menyala. Ia menduga Alexa masih menunggunya.Liam masuk dengan langkah perlahan, berusaha tidak membuat suara. Namun, Alexa ternyata masih terjaga, duduk di sofa dengan pandangan lelah."Kamu belum tidur?" tanya Liam sambil menatapnya."Aku nunggu Kakak," jawab Alexa pelan.Liam
Pagi telah tiba, namun Alexa masih merasa lelah. Matanya sembab, menunjukkan betapa sedikit tidur yang berhasil ia dapatkan. Kejadian semalam terus menghantui pikirannya, membuatnya gelisah sepanjang malam. Ia menggeliat pelan di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong."Kenapa aku bisa sampai seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Perasaan bersalah dan bimbang bercampur menjadi satu di dadanya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya.Namun, di balik semua itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan nyaman dan hangat yang muncul ketika bersama Liam. "Tapi... entah kenapa, bersama Kak Liam, aku merasa nyaman," bisiknya pelan, seolah mencoba mencari pembenaran untuk apa yang telah terjadi.Alexa mengingat senyum lembut Liam, cara pria itu memperlakukannya dengan penuh perhatian, berbeda dari Gavin yang akhir-akhir ini semakin jauh darinya. "Aku merasakan sesuatu yang nggak pernah a
Alexa dan Liam duduk di sebuah meja kafe kecil, menikmati sarapan bersama di pagi yang cerah. Suasana ringan mengalir di antara mereka, diselingi canda tawa yang membuat suasana menjadi lebih hangat. Alexa, yang biasanya terlihat murung dan penuh beban, kini tampak lebih santai. Senyum yang jarang terlihat akhirnya muncul di wajahnya."Jadi, Kak Liam," ujar Alexa sambil menusuk potongan pancake di piringnya, "Kakak serius mau masak buat aku tadi pagi? Aku nggak kebayang dapur bakal berantakan seperti apa kalau itu benar-benar terjadi."Liam tertawa kecil. "Hah, kamu nggak percaya banget sama kemampuan masak Kakak, ya? Aku kan pernah bikin omelet yang nggak gosong waktu itu!"Alexa terkekeh. "Iya, tapi jangan lupa waktu itu Kakak hampir bakar wajan juga."Percakapan mereka terus mengalir ringan. Candaan Liam berhasil membuat Alexa tertawa lepas, melupakan sejenak rasa sakit yang selama ini menghantuinya karena Gavin. Ia merasa lebih nyaman, seperti menemukan kembali bagian dari dirinya
Sebelum memutuskan untuk pulang, Liam mengajak Alexa untuk makan malam di restoran kecil dekat pantai. Restoran itu memiliki suasana yang hangat, dengan lampu-lampu kuning redup yang menggantung di sekitar, menciptakan nuansa romantis yang sempurna."Tempatnya bagus," kata Alexa sambil tersenyum, matanya menyapu dekorasi sederhana namun menenangkan di sekitar mereka.Liam tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu suka. Kita makan dulu sebelum pulang, ya."Mereka makan dengan tenang, menikmati hidangan laut segar yang disajikan hangat. Percakapan ringan di antara mereka membuat suasana semakin santai. Tawa Alexa dan candaan Liam menjadi penutup yang manis setelah seharian di pantai.Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, Alexa menyandarkan kepalanya di jendela mobil, menatap jalanan malam yang lengang. Ketika mereka sampai di rumah, keadaan rumah tampak gelap."Kayaknya Gavin belum pulang, ya," ujar Alexa sambil melirik jam di tangannya yang menunjukkan pu
Alexa menatap wajah Gavin yang tertidur lelap di sampingnya, lengannya masih melingkar di pinggangnya. Napasnya teratur, wajahnya terlihat lebih tenang dibanding biasanya. Semalam, setelah semua yang terjadi, mereka langsung tertidur dalam kelelahan, tanpa ada sehelai kain pun yang menutupi tubuh mereka selain selimut yang membungkus mereka berdua.Perlahan, Alexa mencoba melepaskan diri dari pelukan Gavin tanpa membangunkannya.Namun, begitu ia berdiri, pandangannya tanpa sadar tertuju ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Jantungnya berdegup lebih kencang. Apakah… Liam sudah bangun? Apakah dia mendengar sesuatu semalam?Alexa menggigit bibirnya, berusaha mengusir pikiran itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang ada di kepala Liam saat ini.Alexa melangkah pelan menuju kamar mandi, merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya saat ia melepaskan selimut yang membalut tubuhnya. Air hangat dari shower mengalir membasahi kulitnya, namun pikirann
"Jangan lakukan itu lagi saat aku di rumah, Alexa," ucap Liam dengan nada tegas, matanya menyorot tajam, menunjukkan kekecewaan yang mendalam.Alexa menunduk dalam. Suaranya tercekat saat berkata, "Aku minta maaf, Kak Liam."Liam menghela napas berat, raut wajahnya melembut, lalu menatap Alexa dalam. "Baiklah, aku akan memaafkanmu. Kamu tahu aku mencintaimu, Alexa," ucapnya dengan suara yang penuh kasih sayang, meskipun ada sedikit nada lelah di sana.Alexa terkejut mendengar kata-kata itu, matanya membelalak, tetapi juga lega karena Liam sudah kembali ke sifatnya yang semula. "Aku tahu," jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar."Kamu mau pergi?" tanya Liam, nada suaranya sudah jauh lebih lembut."Aku mau beli bahan dapur, Kak. Stoknya hampir habis," jawab Alexa."Mau Kakak antar?" tanya Liam, menatapnya dengan tatapan penuh perhatian."Aku bisa sendiri naik mobil," jawab Alexa, mencoba meyakinkan Liam.
Alexa menatap wajah Gavin yang tertidur lelap di sampingnya, lengannya masih melingkar di pinggangnya. Napasnya teratur, wajahnya terlihat lebih tenang dibanding biasanya. Semalam, setelah semua yang terjadi, mereka langsung tertidur dalam kelelahan, tanpa ada sehelai kain pun yang menutupi tubuh mereka selain selimut yang membungkus mereka berdua.Perlahan, Alexa mencoba melepaskan diri dari pelukan Gavin tanpa membangunkannya.Namun, begitu ia berdiri, pandangannya tanpa sadar tertuju ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Jantungnya berdegup lebih kencang. Apakah… Liam sudah bangun? Apakah dia mendengar sesuatu semalam?Alexa menggigit bibirnya, berusaha mengusir pikiran itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang ada di kepala Liam saat ini.Alexa melangkah pelan menuju kamar mandi, merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya saat ia melepaskan selimut yang membalut tubuhnya. Air hangat dari shower mengalir membasahi kulitnya, namun pikirann
Sebelum memutuskan untuk pulang, Liam mengajak Alexa untuk makan malam di restoran kecil dekat pantai. Restoran itu memiliki suasana yang hangat, dengan lampu-lampu kuning redup yang menggantung di sekitar, menciptakan nuansa romantis yang sempurna."Tempatnya bagus," kata Alexa sambil tersenyum, matanya menyapu dekorasi sederhana namun menenangkan di sekitar mereka.Liam tersenyum lega. "Syukurlah kalau kamu suka. Kita makan dulu sebelum pulang, ya."Mereka makan dengan tenang, menikmati hidangan laut segar yang disajikan hangat. Percakapan ringan di antara mereka membuat suasana semakin santai. Tawa Alexa dan candaan Liam menjadi penutup yang manis setelah seharian di pantai.Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, Alexa menyandarkan kepalanya di jendela mobil, menatap jalanan malam yang lengang. Ketika mereka sampai di rumah, keadaan rumah tampak gelap."Kayaknya Gavin belum pulang, ya," ujar Alexa sambil melirik jam di tangannya yang menunjukkan pu
Alexa dan Liam duduk di sebuah meja kafe kecil, menikmati sarapan bersama di pagi yang cerah. Suasana ringan mengalir di antara mereka, diselingi canda tawa yang membuat suasana menjadi lebih hangat. Alexa, yang biasanya terlihat murung dan penuh beban, kini tampak lebih santai. Senyum yang jarang terlihat akhirnya muncul di wajahnya."Jadi, Kak Liam," ujar Alexa sambil menusuk potongan pancake di piringnya, "Kakak serius mau masak buat aku tadi pagi? Aku nggak kebayang dapur bakal berantakan seperti apa kalau itu benar-benar terjadi."Liam tertawa kecil. "Hah, kamu nggak percaya banget sama kemampuan masak Kakak, ya? Aku kan pernah bikin omelet yang nggak gosong waktu itu!"Alexa terkekeh. "Iya, tapi jangan lupa waktu itu Kakak hampir bakar wajan juga."Percakapan mereka terus mengalir ringan. Candaan Liam berhasil membuat Alexa tertawa lepas, melupakan sejenak rasa sakit yang selama ini menghantuinya karena Gavin. Ia merasa lebih nyaman, seperti menemukan kembali bagian dari dirinya
Pagi telah tiba, namun Alexa masih merasa lelah. Matanya sembab, menunjukkan betapa sedikit tidur yang berhasil ia dapatkan. Kejadian semalam terus menghantui pikirannya, membuatnya gelisah sepanjang malam. Ia menggeliat pelan di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong."Kenapa aku bisa sampai seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Perasaan bersalah dan bimbang bercampur menjadi satu di dadanya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya.Namun, di balik semua itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan nyaman dan hangat yang muncul ketika bersama Liam. "Tapi... entah kenapa, bersama Kak Liam, aku merasa nyaman," bisiknya pelan, seolah mencoba mencari pembenaran untuk apa yang telah terjadi.Alexa mengingat senyum lembut Liam, cara pria itu memperlakukannya dengan penuh perhatian, berbeda dari Gavin yang akhir-akhir ini semakin jauh darinya. "Aku merasakan sesuatu yang nggak pernah a
Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit ketika Liam masih terus mencari keberadaan Gavin. Ia sudah menghubungi beberapa teman dekat Gavin, bahkan mendatangi tempat-tempat yang biasanya sering dikunjungi Gavin, tetapi hasilnya nihil. Gavin seolah menghilang tanpa jejak.Liam menghela napas panjang, rasa lelah mulai terasa di tubuhnya. Setelah sekian lama berkeliling tanpa hasil, ia memutuskan untuk menyerah untuk sementara waktu. "Mungkin dia butuh waktu sendiri," gumam Liam pelan pada dirinya sendiri.Dalam perjalanan pulang, pikiran Liam dipenuhi berbagai kemungkinan. Kekhawatiran mulai merayap di hatinya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Setibanya di rumah, Liam melihat lampu di ruang tamu masih menyala. Ia menduga Alexa masih menunggunya.Liam masuk dengan langkah perlahan, berusaha tidak membuat suara. Namun, Alexa ternyata masih terjaga, duduk di sofa dengan pandangan lelah."Kamu belum tidur?" tanya Liam sambil menatapnya."Aku nunggu Kakak," jawab Alexa pelan.Liam
Alexa terbangun dengan kepala yang terasa berat, bekas tangis semalam masih membekas di wajahnya. Matanya terasa bengkak dan perih, sementara pikirannya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai. Ia mengerjap beberapa kali, mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.Pandangan Alexa tertuju pada jam dinding kamar. Pukul tujuh pagi. Ia menghela napas panjang. "Apa Gavin nggak pulang semalam? Kemana dia?" pikirnya dengan gelisah. Hati kecilnya menolak untuk menebak apa yang mungkin dilakukan Gavin di luar sana.Namun, tiba-tiba ingatan semalam muncul dengan jelas di benaknya. Tangisan yang tak terbendung. Pelukan yang terasa menenangkan. Alexa menahan napas sejenak, wajahnya memerah seketika."Aku... aku menangis di pelukan Kak Liam?" gumamnya pelan, menunduk sambil memegang wajahnya sendiri. Malu menyeruak dalam dadanya, membuatnya merasa canggung hanya dengan memikirkannya. "Astaga, kenapa aku bisa kayak gitu? Aku nggak tahu harus ngomong apa ka
Alexa berlari menaiki tangga dengan napas terengah-engah, air mata membasahi wajahnya. Sesampainya di kamar, ia langsung menutup pintu dan memutarnya hingga terkunci. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit yang masih terasa di pipinya, tetapi juga karena hatinya yang remuk.Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Suaranya tercekat saat mencoba menenangkan diri. Di dalam pikirannya, berputar berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin Gavin, pria yang selama ini ia percayai sepenuhnya, bisa melukai dirinya seperti ini?Di lantai bawah, Gavin masih berdiri kaku. Tangannya yang baru saja melayangkan tamparan kini terasa dingin dan kosong. Napasnya berat, matanya menatap lantai tanpa fokus. Rasa bersalah menyelimuti dirinya, tetapi ia tak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan ini.Setelah beberapa menit, Gavin memberanikan diri untuk naik ke lantai atas. Ia berdiri di depan pintu kamar Alexa, mengetuk pelan sambil berkata dengan suara serak
Malam telah tiba, dan keheningan menyelimuti rumah. Alexa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, sesekali melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Gavin belum juga pulang.Liam sudah tiba di rumah sejak dua jam lalu. Namun, Gavin masih saja belum terlihat batang hidungnya. Alexa mencoba mengusir kecemasan dengan membuka ponselnya, tetapi pikirannya tetap tak bisa lepas dari rasa gelisah yang menghantuinya."Mungkin dia lembur lagi," gumam Alexa pelan, mencoba memberi alasan pada dirinya sendiri.Namun, di sudut hatinya, Alexa tahu ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Gavin. Masalah-masalah yang akhir-akhir ini terus mengendap di antara mereka tak lagi bisa dibiarkan begitu saja.Alexa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa perlu melakukannya demi hubungan mereka. Sambil menunggu, ia merapikan selimut dan memastikan kamar dalam keadaan rapi, seolah itu bisa mengu