Malam panas yang kami lalui itu telah membekas begitu dalam di hatiku. Seharusnya, malam itu adalah akhir dari segalanya, akhir dari permainan yang aku mulai. Aku merencanakan semuanya dengan sempurna, menjebak Kak Calvin agar masuk ke dalam perangkap Nona Agnes. Tapi, ironisnya, aku yang terperangkap dalam permainan sendiri. Itu adalah kesalahan. Kesalahan yang besar. Aku tidak seharusnya membiarkan diriku terbawa arus, membiarkan diriku terlibat lebih dalam dengan Kak Calvin. Hubungan kami seharusnya sudah berakhir. Tapi, aku merasa terikat, terperangkap dalam kenangan-kenangan indah yang kami ciptakan bersama. Lalu, bagaimana yang harus aku lakukan sekarang?
View More"Saya terima nikah dan kawinnya Zea binti Darman dengan mas kawin uang satu juta rupiah, tunai!" Kalimat sakral itu terucap, namun tak membawa getaran bahagia seperti yang seharusnya. Satu tarikan napas panjang dari Pak Kenzie, menandai dimulainya sebuah babak baru yang terasa hampa. Jantungku berdebar, bukan karena sukacita, melainkan karena kecemasan yang menghimpit. "Bagaimana para saksi?" tanya Pak Ustad yang menatap orang-orang disekelilingnya. "Sah!" "Sah!" Seruan itu terdengar seperti gema kosong, tak mampu membangkitkan semangat. "Alhamdulillah... Kalian telah sah menjadi pasangan suami istri," ucap Pak Ustad sambil tersenyum menatapku, tapi aku hanya diam saja tanpa respon. Pak Kenzie mendekat, jarinya yang kaku membalut jari manisku dengan sebuah cincin berlian putih. Kilauannya tak mampu menutupi rasa dingin yang menjalar di hatiku. Hanya satu cincin. Satu cincin untukku, sementara d
"Aku tetap ingin menggugurkan kandungan ini, Pak." Suara Zea terdengar lemah, namun tegas menyatakan pendiriannya."Nggak! Nggak boleh! Aku melarangnya!" Aku membentak, rasa tak puas membuncah. "Pokoknya kamu harus melahirkan anakku itu apapun caranya, dan kita harus menikah!" Suaraku keras, menunjukkan sikapku yang berkuasa."Tapi, Pak, bagaimana—" Zea mencoba menjelaskan, namun aku memotongnya."Enggak ada tapi-tapi!" potongku cepat, tidak memberikan ruang bagi bantahannya. "Kita akan menikah siri malam ini dan merahasiakannya dari siapapun. Tapi sebelum itu ... kamu harus telepon Jamal dulu." Aku memberikan ponselnya, yang sebelumnya kutemukan di mobilku. Sepertinya terjatuh saat Zea pingsan."Mau apa telepon Mas Jamal, Pak?" Zea bertanya dengan bingung."Meskipun status kita rahasia, tapi aku nggak mau kamu memiliki hubungan dengan pria lain selain aku. Dan aku yakin kamu pasti belum putus dengannya." Aku menjelaskan alasanku, meskipu
Udara di ruang tunggu UGD terasa begitu menyesakkan. Jam dinding berdetak lambat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa tahun, pintu ruang UGD akhirnya terbuka.Seorang dokter pria, berkacamata dan berwajah tegas, menghampiriku. Tatapannya tajam, menembusku hingga ke tulang sumsum."Anda suaminya?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa, menciptakan tekanan yang tak terlihat.Aku menggeleng, suaraku serak. "Bukan, Dok. Aku bosnya Zea.""Bisa hubungi suami Nona Zea sekarang? Ada hal yang perlu saya sampaikan.""Zea belum menikah, Dok."Alis dokter itu bertaut. "Lalu keluarganya? Di mana keluarganya?""Keluarganya jauh, Dok. Tapi... apa yang terjadi pada Zea? Dia baik-baik saja, kan?"Dokter itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asam lambungnya naik, Pak. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yaitu Nona Zea sedang mengandung. Usia kandungannya sekitar dua minggu."K
"Dari siapa?" tanyaku cepat. Segera mengambil benda itu dari tangannya."Pengirimnya atas nama Heru, Pak.""Heru?" Dahi berkerut. Nama itu terdengar asing, siapa dia?***"Siapa Heru?"Pertanyaan itu terlontar begitu aku sampai rumah dan menemukan Helen sedang berada di kamar, terlihat sedang membereskan pakaian di lemari."Kenapa tiba-tiba tanya tentang Heru?" suaranya terdengar sedikit gemetar, menunjukkan dia gugup. Dia menoleh, tatapannya sedikit menghindari pandanganku."Jawab saja. Kamu kenal Heru, kan? Siapa dia?" Nadaku sedikit lebih keras dari biasanya, suara yang kuusahakan tetap tenang namun di dalamnya bergelora amarah yang membuncah. Da*daku sesak, bergemuruh seperti drum yang dipukul terus-menerus.Rasanya ada sesuatu yang berat menekan jantungku. Tak ada suami yang tak marah jika istrinya dikirimi bunga oleh pria lain, apalagi bunga mawar merah yang begitu mencolok dan romantis. Buket itu
"Ada apa, Ken?" Pertanyaan dari Ayah dan tepukan lembut di pundakku membuatku tersentak. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Enggak ada apa-apa kok, Yah. Ayok kita lanjutkan perjalanan," ucapku lalu kembali mengemudi. *** Sepulang kerja, aku langsung pulang ke rumahku. Sebelumnya aku sudah memberitahu Helen akan pulang telat untuk urusan ini, supaya dia tidak mencemaskanku. Seorang pria tua bertubuh tinggi besar sudah duduk di depan pos. Dia memakai jubah hitam. Wajahnya seram, berkulit hitam. Kumis dan jenggotnya pun panjang. Dia adalah dukun yang kata Jamal sakti mandraguna. "Selamat malam, Pak," sapaku saat turun dari mobil dan menghampirinya. Dia segera berdiri dan mengulurkan tangan, seperti ingin mengajakku berkenalan. "Malam. Panggil saja Mbah Yahya," ucapnya. "Iya, aku Kenzie, Pak. Silahkan masuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, karena tak enak rasanya jika berbincan
"Kamu nggak ada yang disembunyikan dari aku 'kan, Yang?" tanyaku menatapnya serius. Perasaanku jadi tidak enak."Enggaklah, Yang. Lagian apa yang perlu aku tutupi? Kan kamu tau.""Tapi diawal 'kan kamu nggak jujur sebelum aku tau sendiri.""Soal itu 'kan sudah aku jelaskan, kalau aku takut kamu nggak bisa nerima aku. Memangnya belum jelas juga, ya?" Helen tampak kesal, suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.Ah, sepertinya aku harus mengakhiri pembahasan ini sebelum dia benar-benar marah. Aku tidak mau melihatnya marah, apalagi posisi kami sedang di rumah Ayah."Maaf deh. Ya sudah... lebih baik kita tidur saja, ya? Besok aku harus masuk ke kantor. Takut kesiangan."Helen hanya mengangguk, lalu memberikan segelas susu yang sejak tadi dia pegang. Tanpa bertanya, aku segera menghabiskan susu itu. Entah susu apa, mungkin itu hanya susu kental manis biasa. Setelah itu kami berdua menarik selimut untuk tidur.***
"Intinya aku mau kalian putus, titik! Nggak ada bantahan!" tegasku cepat. Hanya itu yang bisa kulakukan, semoga saja Zea menuruti.Setelah itu, lantas buru-buru aku berlari masuk lebih dulu. Aku tak mau mendengar apa-apa lagi yang menjerumus ketidaksetujuannya tentang perintahku. Aku juga khawatir Helen curiga karena terlalu lama diluar bersama Zea."Kok lama, Yang? Habis ngapain aja kamu sama Zea?"Benar 'kan, bahkan baru sampai di ruang keluarga dia langsung bertanya seperti itu. "Enggak ngapa-ngapain kok, tadi aku lama karena angkat telepon dari Jamal." Terpaksa aku berbohong."Jamal itu siapa?""Satpam rumah.""Bagaimana katanya? Udah diusir belum hantunya?""Belum, dia masih dijalan mau ke rumah Ustad. Soalnya rumah Ustadnya jauh.""Oh gitu." Helen langsung tersenyum dan mengangguk. Syukurlah... sepertinya dia percaya."Duduk, Kenzie." Bunda menggerakkan dagunya, aku mengangguk. Segera du
Tuuut ... Tuuut ... Tuuut.Aneh, kenapa tidak diangkat-angkat, ya? Padahal nomornya nyambung."Pak, ada apa? Kok tiba-tiba berhenti?" Pertanyaan dari Zea membuatku menoleh. Aku segera mengakhiri panggilan yang tak dijawab itu dan memasukkan kembali ponselku ke dalam kantong celana."Oh enggak. Enggak ada apa-apa," jawabku lalu menyalakan kembali mesin mobil dan berkendara. Nanti coba aku tanyakan kepada Helen saja, pasti dia tahu.**"Assalamualaikum," sapaku lembut, langkahku menapaki halaman rumah Ayah bersama Helen dan Zea yang mendorong koper.Bunda ada di sana, di teras rumah yang teduh, tengah menyuapi makan kucing Persia berbulu putih bersih—hadiah Ayah, setelah kepergian Keiko—adik perempuan yang kuliah di Korea dan kepergian Kakek Tatang untuk selamanya.Ayah bilang, kucing itu untuk mengusir kesepian Bunda.Melihatnya, sesak di da*daku terasa kembali. Aku ingin selalu ada untuknya, bersamanya da
"Berarti selama ini rumahmu berhantu, ya, Yang?" tanya Helen, membuatku bingung untuk menjawab apa. Aku merasa tak bisa jujur. "Enggak kok, Yang." Aku menggeleng cepat. "Terus tadi kenapa kamu bilang mahluk yang sama? Itu berarti kamu dan satpam rumahmu sering melihatnya di sini, kan?" Helen cukup cerdas, mudah memahami apa yang terjadi. Aku harus pintar memberikannya alasan. Dan harus masuk juga ke akalnya. "Bukan begitu, Yang. Dulu memang pernah ada, tapi aku sudah meminta bantuan Ustad untuk mengusirnya. Aku juga nggak tau kenapa mahluk itu sekarang datang lagi." Semoga dengan penjelasan ini Helen percaya. "Kalau begitu usir lagi. Panggil Ustad itu ke rumahmu." "Iya, aku akan meminta Jamal untuk memanggil Ustad itu." Aku menatap Jamal, mengedipkan sebelah mata memberikannya isyarat. Semoga saja dia paham maksudku tanpa bertanya apa-apa lagi. "Baik, Pak." J
"Aaahhh ... Aahhh." Di ruangan yang ber-AC dengan pencahayaan yang minim, aku mendesaah kuat dengan hati yang berdesir saat tubuhku berhasil dimasuki oleh seseorang yang dulu pernah menjadi suamiku. Awalnya aku menolak, tetapi Kak Calvin terus memaksaku, dan akhirnya aku terhanyut dalam permainannya. Selama masa pernikahan kami, kami hanya sekali berhubungan badan, dan aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya. Akan tetapi, dengan keanehan yang ada, kali ini aku merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa. Ya Allah... aku memohon ampun-Mu, semua ini adalah kesalahan dan dosaku. Seharusnya dari awal aku tidak menuruti permintaan yang konyol dari bosku. Namun, di sisi lain, aku juga takut kehilangan pekerjaan. Mungkin, besok aku akan benar-benar dipecat jika Nona Agnes mengetahui kalau aku dan Kak Calvin telah memadu kasih semalam penuh. *** POV Viona (Flashback On) "Halo ... iya, Pa?" tanyaku dari pada sambungan telepon. Papaku yang bernama Tatang menelepon. "Bundaa...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments