(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
(POV Calvin)Dengan banyaknya pekerjaan, aku terpaksa harus lembur hingga jam 6 malam. Namun, di tengah kesibukan di kantor, pikiranku terus menerus melayang pada Kenzie. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Sudahkah dia makan dan mandi? Aku telah memberikan instruksi kepada satpam dan Bibi di rumah untuk merawat Kenzie dengan baik, memastikan bahwa dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya, namun juga menjaga agar tidak memberinya kesempatan untuk kabur. Aku khawatir bahwa Kenzie mungkin memiliki niat untuk mengambil sesuatu yang berharga dan menyelinap pergi. Sebelum sampai rumah, aku sempat singgah ke toko mainan dan membelikan Kenzie sebuah mainan. Aku teringat akan kata-kata Kenzie yang menyebut bahwa hampir setiap hari, setelah pulang kerja, Bundanya selalu membawakan mainan untuknya.Aku berharap, dengan membelikan mainan ini, dia jadi teringat Bundanya. Dan aku bisa membujuknya untuk pulang ke rumah. "Eh ... Pak Cal
"Kenzie bukan tuyul!!" seru Kenzie menyahuti ucapan Ayah, membuat pria itu tampak terkejut.Ada apa dengan Ayah ini? Bisa-bisanya anak orang dia katai tuyul. Atau paling hanya bercanda saja, ya? Lagian kepala Kenzie juga tidak botak, tidak persis seperti tuyul pada umumnya."Kenzie bukan tuyul, Ayah. Dia anak manusia," sahutku."Tapi dia anak siapa? Kok ada di rumahmu? Jangan bilang kamu dan pacarmu ...." Ayah menahan ucapannya sambil menatap tajam mataku. Ah dia ini, pasti sudah berpikir yang tidak-tidak."Ayah jangan berpikir yang enggak-enggak, biar aku jelaskan. Tapi kita keluar dulu, biar enak ngomongnya." Aku menarik tangan Ayah untuk bersama-sama keluar dari kamar, supaya lebih leluasa bicara."Jangan bohong ya, Cal. Ayah paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong." Ayah memperingatiku.Padahal siapa juga yang mau berbohong padanya."Aku tidak berbohong, Ayah. Dan Kenzie itu bukan siapa-siapanya aku. Aku n
"Tuh, apa katanya Calvin. Agnes udah seratus persen katanya, masa kamu belum yakin?" kata Ayah yang terdengar menyindirku. Ah aku paling malas jika membahas masalah nikah. Karena aku sendiri belum tertarik untuk menikah. "Kita makan saja dulu, baru mengobrol. Kan Ayah bilang udah lapar." Aku segera mengalihkan topik demi mengakhiri pembahasan ini. Mereka semua mengangguk, kemudian kami mulai menyantap makan malam dengan serius dan tenang. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring. Setelah makan malam kami selesai, kami pun berpindah tempat duduk ke ruang keluarga. Duduk bersantai sambil mengobrol ditemani teh manis dan biskuit di atas meja. Padahal aku sudah kenyang dan sedikit mengantuk. Tapi tidak mungkin juga kutinggalkan mereka, apalagi Agnes. Pasti dia akan marah. "Oh ya, Agnes. Kamu dan Calvin ketemu di mana? Bunda belum tau lho, Calvin belum pernah cer
"Mau ngapain memangnya?" tanya Kenzie tampak bingung."Ya mau ketemu, Om mau bicara. Lagian, kalau memang kita harus pergi ke Korea ... Om harus minta izin sama orang tuamu atau keluargamu dulu, nggak sembarangan main ajak aja, Dek. Nanti dikira Om nyulik kamu lagi." Aku berusaha menjelaskan dan sedikit membujuk, semoga saja Kenzie setuju."Aah nanti yang ada Bunda ngelalang, Om. Bunda 'kan ngeselin olangnya," keluh Kenzie dengan bibir yang mengerucut."Nggak mungkin Bundamu melarang." Aku menggeleng yakin sambil mengelus rambut Kenzie. "Kan kamu yang bilang sendiri alasan Bundamu nggak mau mencari Ayahmu itu karena nggak ada ongkos pergi ke Korea. Naaahhh ... nanti biar Om yang ongkosin. Bila perlu... kamu, Bundamu sama Kakekmu juga sekalian. Kita pergi mencari Ayahmu bersama-sama dengan Om ke Korea." Aku memberikan tawaran dengan harapan Kenzie setuju.Mata Kenzie seketika berbinar, kedua pipinya memerah. "Iihh mau, Om!!" seru Kenzie,
"Telnyata Bunda kenal sama Om Baik ini, ya?" Kenzie berbicara, kulihat dia tersenyum manis menatap Kak Calvin. "Om Baik ini ketemu Kenzie dijalan, nggak sengaja nablak Kenzie.""Apa?! Nabrak?!"Mataku seketika membulat sempurna, benarkah yang dikatakan Kenzie? Tapi dia terlihat baik-baik saja, hanya ada perban kecil pada lutut kanannya. Mungkinkah lukanya ada di sana?"Benar apa yang dikatakan Kenzie, Vio," sesal Kak Calvin dengan wajah bersalah. Dia mengelus perlahan pucuk rambut Kenzie dengan lembut dan penuh kasih. "Aku minta maaf, karena kurang cepat mengerem mobil. Soalnya posisi dia juga ada ditengah jalan.""Kamu kenapa ditengah jalan, Nak? Kan bahaya!" Aku menegur Kenzie, tapi penuh kelembutan. Karena khawatir membuatnya marah."Nanti aku ceritakan detailnya," sahut Kak Calvin, lalu menatap sekeliling rumahku dan terlihat mencari-cari seseorang yang entah siapa. "Sekarang ... boleh nggak aku masuk? Kita mengobrol sambil duduk, bia
"Apa buktinya? Apa bukti dari ucapamu, Vio?" tanya Kak Calvin dengan nada tegas, matanya menatapku tajam. "Aku yakin kamu mengatakan hal itu karena kamu dan Yogi sedang ada masalah rumah tangga, tapi tidak perlu dengan cara seperti ini. Tidak perlu mengkambinghitamkan aku!!" "Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengkambinghitamkan Kakak!" tegasku dengan mantap, berusaha meyakinkannya. "Aku hanya mengungkapkan kenyataan, dan tentang hubunganku dengan Kak Yogi ... kami tidak pernah menikah, Kak. Pernikahan itu tidak pernah terjadi dalam hidupku." "Cukup!!" seru Kak Calvin, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Aku sama sekali tidak percaya padamu!" "Apa yang harus aku lakukan, supaya Kakak percaya?!" Aku meraih tangan Kak Calvin dengan penuh keberanian. Bukan bermaksud untuk bersikap kurang ajar, hanya saja aku khawatir dia akan pergi sebelum mempercayai kata-kataku. "Pada hari di mana kita resmi bercerai, saat hakim memutuskan, aku merasa sangat tidak ena
"Ayo ikuti saya, Pak. Saya akan mengantar Anda ke dokter spesialis forensik. Tapi, mohon bersabar jika ada antrian di sana," jelas wanita tersebut dengan ramah. "Baik, Bu," jawab Kak Calvin sambil mengangguk, mengikuti langkah wanita tersebut. Aku pun mengikuti mereka dari belakang, penasaran dengan perkembangan selanjutnya. "Om, katanya kita mau pelgi ke Kolea, kan? Tapi kenapa kita malah ke lumah sakit? Kan kaki Kenzie sudah sembuh?" tanya Kenzie, tatapan polosnya mengarah pada Kak Calvin. Bocah itu memang selalu penuh pertanyaan jika tidak segera dijawab. "Sebelum kita pergi ke Korea, kita harus melakukan tes DNA, Dek," jawab Kak Calvin dengan lembut, mencoba menjelaskan dengan sabar. "Tes DNA itu sebenalnya apa, Om?" tanya Kenzie semakin penasaran. "Lebih baik tanyakan kepada Bundamu, dia pasti tau," ucap Kak Calvin sambil tersenyum, merangkul Kenzie dengan penuh kasih. Kenzie langsung menoleh ke belakang, di arah tempatku berada. Aku tersenyum melihat tingkah polosnya
Segera kutepis kasar lengannya dan mundur beberapa langkah, menjauhkan diri dari sentuhannya. Rasa takut yang luar biasa membanjiri hatiku. "Zea, jangan pergi!" Pak Kenzie menarikku kembali, tangannya kuat dan mendesak. Dia menutup pintu dan kali ini menguncinya. "Aku hanya ingin tidur ditemani, aku takut tidur sendirian," katanya, suaranya sedikit gemetar, namun aku meragukan kejujurannya. Ketakutan? Itu hanyalah kedok, sebuah alasan yang dibuat-buat untuk menutupi niat sebenarnya. Aku bisa merasakannya. Rasa curiga dan ketidaknyamanan mencengkeramku. Aku berusaha tenang, namun jantungku berdebar-debar. "Begini saja deh ...," katanya, terlihat tengah mengusulkan ide. "Kita tidak perlu tidur satu ranjang. Kalau memang kamu takut padaku, aku bisa tidur di lantai atau di sofa. Bagaimana?" Dia mencoba menawarkan solusi, berharap dapat mengakhiri situasi ini dengan
"Meninggal enggaknya aku nggak tau, Pak. Tapi meskipun masih ada… dia tetap tidak bisa menjadi wali nikahku. Karena aku anak hasil zina.” Pengakuan Zea membuat suasana menjadi hening sesaat. “Astaghfirullah ....” Ayah Calvin beristigfar, kejutan dan rasa iba tergambar jelas di wajahnya setelah mendengar pengakuan Zea. Wajah Zea pun tampak sendu, menunjukkan beban berat yang selama ini dia pikul. “Maaf ya, Zea. Ayah nggak bermaksud membuatmu sedih.” “Nggak apa-apa, Pak.” Zea menggeleng lemah, mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ayah Calvin. “Meskipun keadaannya begitu, tapi nggak apa. Nanti setelah Kenzie resmi bercerai… Ayah berencana untuk menemui papamu, boleh ya?” Ayah Calvin melanjutkan, menunjukkan keseriusannya untuk menerima Zea apa adanya. “Boleh aja, Pak. Nggak masalah.” Zea mengangguk, setuju dengan rencana Ayah Calvin. “Jangan panggil Bapak, panggil Ayah saja. Ayah ‘kan sebentar lagi akan jadi Ayah
Setelah mandi, Zea bergegas keluar dari kamar. Bibi telah memberitahukan bahwa Bunda Viona dan Ayah Calvin menunggunya di ruang makan. Namun, yang dilihatnya saat memasuki ruangan itu melampaui ekspektasinya. Bukan hanya kedua orang tua Kenzie, tetapi juga Kenzie, duduk tenang di salah satu kursi meja makan persegi empat. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma bunga melati dari vas di tengah meja. Hidangan beraneka ragam tersaji melimpah; telur balado yang merah menyala, ayam goreng yang mengkilat keemasan, sayur brokoli, dan masih banyak lagi. Meja itu tampak penuh, hampir tak tersisa ruang kosong. Degupan jantung Zea berdebar tak karuan. Sebuah rasa gugup yang tak terjelaskan menjalar di tubuhnya. "Kamu sudah mandi, Zea? Ayok duduk di sampingku," ucap Kenzie, suaranya lembut namun membuat jantung Zea berdetak lebih cepat. Dia berdiri, lalu dengan gerakan halus mendorong kursi di sampingnya, mengundang Zea untuk bergabung. "Di... di samping
(POV Author)"Arrrgghh... Aku bisa gila kalau begini terus!"Helen menggeram kesal, tangannya frustasi menjambak rambutnya yang panjang.Sudah tiga hari dia menjalani hukuman: dikurung di kamar tanpa ponsel, terisolasi dari dunia luar, dan pintunya dikunci rapat. Suasana pengap dan sunyi semakin menambah kejengkelannya.Kemarahan Papi Janur masih terasa seperti bayangan yang menghantuinya. Dia masih bisa membayangkan betapa dahsyatnya amarah sang papi saat mengetahui apa yang telah dia lakukan. Helen menggigit bibirnya.Tapi untunglah, Papi Janur masih mengingat bahwa Helen sedang mengandung. Jika tidak, hukuman ini pasti jauh lebih kejam dan mengerikan. Bayangan cambukan dan hukuman fisik lainnya menghantui pikiran Helen, membuat tubuhnya menggigil. Dia bersyukur atas belas kasihan papinya yang sangat terbatas itu, meskipun tetap terasa seperti siksaan."Semua ini gara-gara Heru! Bre*ngsek! Pengacau! Meskipun aku sudah me
"Maaf, aku tidak sengaja," jawab Pak Kenzie dengan nada santai.Tidak sengaja katanya? Bohong! Mataku sendiri melihat bagaimana tangannya dengan sengaja mendorong bubur itu."Panggilkan petugas kebersihan, Mal. Bersihkan bekas bubur ini," perintahnya kepada Pak Akmal tanpa sedikit pun penyesalan. Pak Akmal mengangguk patuh, lalu meninggalkan ruangan."Kamu sekarang sarapan dulu, ya? Aku sudah membelikan bubur untukmu." Pak Kenzie menyodorkan mangkuk bubur dari atas meja troli, sendok berisi bubur diulurkan ke arahku. Sejujurnya, selera makanku sudah hilang. Yang kurasakan hanyalah rasa mual dan keengganan terhadap kebaikannya. Bubur Pak Bahri, itu yang kutinginkan. Tapi untuk menolak Pak Kenzie , aku merasa tidak enak. Ketegangan di antara Pak Kenzie dan Pak Bahri terasa mencekam, aku tak ingin membuat masalah."Ayo... buka mulutmu. Nanti buburnya dingin dan tidak enak. Kamu 'kan belum makan sejak kemarin." Suaranya terdengar memaksa.
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn