"Apa buktinya? Apa bukti dari ucapamu, Vio?" tanya Kak Calvin dengan nada tegas, matanya menatapku tajam. "Aku yakin kamu mengatakan hal itu karena kamu dan Yogi sedang ada masalah rumah tangga, tapi tidak perlu dengan cara seperti ini. Tidak perlu mengkambinghitamkan aku!!"
"Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengkambinghitamkan Kakak!" tegasku dengan mantap, berusaha meyakinkannya. "Aku hanya mengungkapkan kenyataan, dan tentang hubunganku dengan Kak Yogi ... kami tidak pernah menikah, Kak. Pernikahan itu tidak pernah terjadi dalam hidupku.""Cukup!!" seru Kak Calvin, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Aku sama sekali tidak percaya padamu!""Apa yang harus aku lakukan, supaya Kakak percaya?!" Aku meraih tangan Kak Calvin dengan penuh keberanian. Bukan bermaksud untuk bersikap kurang ajar, hanya saja aku khawatir dia akan pergi sebelum mempercayai kata-kataku. "Pada hari di mana kita resmi bercerai, saat hakim memutuskan, aku merasa sangat tidak ena"Ayo ikuti saya, Pak. Saya akan mengantar Anda ke dokter spesialis forensik. Tapi, mohon bersabar jika ada antrian di sana," jelas wanita tersebut dengan ramah. "Baik, Bu," jawab Kak Calvin sambil mengangguk, mengikuti langkah wanita tersebut. Aku pun mengikuti mereka dari belakang, penasaran dengan perkembangan selanjutnya. "Om, katanya kita mau pelgi ke Kolea, kan? Tapi kenapa kita malah ke lumah sakit? Kan kaki Kenzie sudah sembuh?" tanya Kenzie, tatapan polosnya mengarah pada Kak Calvin. Bocah itu memang selalu penuh pertanyaan jika tidak segera dijawab. "Sebelum kita pergi ke Korea, kita harus melakukan tes DNA, Dek," jawab Kak Calvin dengan lembut, mencoba menjelaskan dengan sabar. "Tes DNA itu sebenalnya apa, Om?" tanya Kenzie semakin penasaran. "Lebih baik tanyakan kepada Bundamu, dia pasti tau," ucap Kak Calvin sambil tersenyum, merangkul Kenzie dengan penuh kasih. Kenzie langsung menoleh ke belakang, di arah tempatku berada. Aku tersenyum melihat tingkah polosnya
"Apa, Vio? Serius kamu??" desis Papa dengan ekspresi terkejut, yang sulit disembunyikan setelah mendengar cerita dariku tentang Kak Calvin yang telah kuberitahu tentang Kenzie. Setelah tadi ditinggal oleh Kak Calvin, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah menemui Papa. Karena aku juga tidak yakin jika Kak Calvin akan memutar balik, bisa saja dia memang sengaja ingin meninggalkanku karena masih marah. "Maafin aku, Pa. Papa boleh kok marah sama aku, tapi aku di sini sudah nggak ada jalan lain untuk menutupinya lagi. Karena yang berhasil menemukan Kenzie adalah Kak Calvin, dan Kenzie pun meminta tolong padanya untuk membantu mencarikan Ayahnya, Pa," ucapku dengan suara gemetar. Tidak masalah jika selanjutnya Papa yang akan marah. Aku akan menerimanya dengan lapang dada, karena semua yang terjadi berawal dari kebodohanku sendiri. "Viona ...." Papa menghela nafas dalam-dalam, lalu duduk di sofa den
Ya ampun!! Tubuhku mendadak panas dingin, merasakan gelombang hasrat yang tak terduga tapi sudah menggebu-gebu. Suasana yang penuh kehangatan tiba-tiba membuatku merasa gelisah dan terombang-ambing dalam perasaan yang rumit. "Kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu, Vio? Apa yang terjadi?" tanya Papa dengan ekspresi heran, sementara Kak Calvin juga memperhatikan dengan seksama. Tubuhku merasa tegang dan rasanya jadi canggung saat diperhatikan oleh Kak Calvin. "Ah, nggak apa-apa, Pa," jawabku cepat sambil menggeleng, berusaha menghentikan gerakan bokongku yang refleks menggesek kursi. Namun, keringat mulai bercucuran di dahiku. Perasaanku semakin aneh, hampir tak tertahankan. Kenangan malam itu semakin menghantuiku. "Maaf, aku ingin ke kamar mandi sebentar, Pa." Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari kursi dan berlari menuju kamar mandi yang berada disudut ruangan. Selera makanku sudah hilang, d
"Ini kopinya Kak, Pa. Maaf kalau lama, ya?" Kupandang wajah Papa dan Kak Calvin sebelum menaruh nampan di atas meja plastik. Tapi pria itu tak sedikitpun melirikku, dia justru terlihat membuang muka ke arah mobil. Apakah dia masih marah padaku? Tapi, bukankah dia juga sudah dengar sendiri bahwasanya masalah Kenzie terjadi karena permintaan Papa? Harusnya 'kan dia sudah tidak lagi marah padaku. "Oh ya, Papa kerja apa sekarang? Apa masih nyupir?" tanya Kak Calvin yang kudengar mengganti topik obrolan. "Iya, Papa masih nyupir, Cal," jawab Papa. "Kamu sendiri, apa kesibukannya sekarang? Dan kamu dari kapan di Indonesia? Terakhir kali Papa dengar dari Ayahmu ... kamu tinggal di Korea." "Aku udah semingguan di Indonesia, Pa. Tapi memang kadang sebulan atau dua bulan sekali aku ke Korea, karena masih ada kerjaan di sana. Tapi ya nggak menetap juga karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan kantorku di sini," jelas K
Ting! Belum sempat aku membalas chat dari Nona Agnes, tapi dia sudah lebih dulu mengirimkanku chat lagi. [Aku tidak menerima penolakan! Pokoknya kalau kamu menolak ... aku akan memotong 50% gajimu!] Chat itu seperti sebuah ancaman bagiku. Ah tidak, aku tidak mau gajiku disunat olehnya. Bulan ini aku bekerja sudah sangat ekstra, apalagi ditambah dengan rencana menjebak Kak Calvin. Ya meskipun rencana itu gagal karena ulahku sendiri, tapi setidaknya aku sudah terlanjur terkena imbasnya. Terlanjur memadu kasih dengan Kak Calvin dan momen itu sulit sekali aku lupakan sampai sekarang. "Kamu kenapa, Vio? Apa ada masalah?" tanya Papa tiba-tiba, membuat diri ini langsung menoleh. "Enggak, Pa. Enggak apa-apa." Aku menggeleng lalu tersenyum. * * "Kenzie itu bukan tidak punya Ayah sebenarnya, hanya saja saya dan suami sudah berpisah." "Karena Kenzie masih terlalu kecil, jadi saya belum bisa memberitahu hal yang sebenar terjadi. Apalagi alasan kami bercerai." "Tapi saya h
🌸🌸🌸🌸🌸"Kenapa kamu memakai kacamata hitam, Vio? Mana di dalam mobil lagi?" tanya Nona Agnes sambil mengemudi di sampingku. Kami berdua sudah berada di jalan, menaiki mobil pribadinya. Meskipun aku tidak bisa mengemudi mobil, Nona Agnes selalu menjadi pengemudi, meskipun kadang-kadang dia mengomel, meminta aku untuk belajar mengemudi. Sejatinya, bukan karena aku tidak mau belajar. Bahkan Papa sendiri sudah sering meminta aku untuk belajar mengemudi mobil. Namun, hatiku masih sempit, aku merasa takut. Tapi jika berbicara tentang motor, aku bisa mengendarainya. "Tidak apa-apa, Nona. Saya hanya sedang sakit mata, makanya saya memakai kacamata hitam karena khawatir Nona tertular," jawabku dengan berbohong. Sejujurnya, alasan aku memakai kacamata hitam adalah agar Omanya Kak Calvin tidak mengenaliku nanti.Lagian, aku dulu juga hanya sekali atau dua kali bertemu dengannya. Semoga saja dia sudah lupa dengan wajahku, meskip
"Iya, namamu. Kamu tentu punya nama 'kan, Nak?" "Namaku ...." Dengan jantung berdebar, bibirku gemetar saat ingin menjawab pertanyaan itu. Namun, sebelum kata-kata keluar dari mulutku, tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku. "Bagaimana menurutmu, Viona? Apa aku cantik?" Suara lembut Nona Agnes memecah keheningan ruangan setelah keluar dari ruang ganti bersama pelayan butik. "Namamu Viona, Nak?" tanya Oma Bella dengan ekspresi terkejut yang jelas terpancar dari wajahnya. Matanya kini memerhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, membuatku merasa seperti terpapar sinar sorot yang tajam. Ah sial! Nona Agnes malah menyebut namaku tepat di depan Oma Bella. Aku terdiam, tanpa bisa berbohong, padahal sebelumnya aku berniat untuk mencari nama lain yang lebih aman."Oma ... bagaimana menurut Oma? Aku cantik nggak?" Nona Agnes bertanya dengan suara lembut, ekspresi cemas terpancar dari matanya yang memandang Oma Bella, menunggu jawaban
Dalam suasana yang hangat dan penuh kasih, Kak Calvin dengan lembut menggendong tubuh Kenzie dan mencium puncak rambutnya. "Om juga kangen banget sama Kenzie. Kenzie apa kabar? Sehat, kan?" Kenzie terlihat senang, wajahnya bahkan merona. "Kenzie baik. Tapi Om ke mana saja? Kok nggak pelnah ke sini? Apa Om sudah lupa sama Kenzie, ya?" tutur Kenzie dengan ekspresi cemberut dan sedikit manja, mengekspresikan kerinduan yang dalam. "Maafin Om, ya, Om akhir-akhir ini sibuk banget sampai nggak ke sini. Tapi Om selalu ingat kamu kok, Dek," jawab Kak Calvin dengan lembut. "Eh, ada kamu ke sini, Cal?" sapa Papa yang tiba-tiba muncul dari pintu. Dia tersenyum saat Kak Calvin mencium punggung tangannya. "Udah lama?" "Baru aja, Pa," jawab Kak Calvin sambil tersenyum."Kalau begitu ayok masuk ke dalam, Papa kebetulan tadi habis beli martabak. Biar enak sekalian ngobrol." Papa merangkul bahu Kak Calvin, menariknya untuk masuk ke dalam. Tapi kedua ka
POV Viona. Hari sudah mulai sore dan aku sudah merasa sedikit lebih baik. Rasanya ingin segera pulang, tapi dokter dan suster melarang dengan tegas. Aku juga mencoba menelepon Papa, namun tak ada tanggapan sedikit pun. Rasa bingung dan kecemasan mulai menyelimuti pikiranku. Aku bertanya-tanya, kemana Papa pergi saat mengetahui bahwa aku hamil. Apakah dia sedang mencari solusi? Atau mungkin dia sedang berusaha menenangkan diri? Aku tak tahu, dan ketidakpastian itu membuatku semakin gelisah. Ceklek~ Bunyi pintu kamar rawat terbuka, aku yang tengah duduk selonjoran di atas tempat tidur langsung menoleh. Sontak mataku membulat saat melihat Papa datang bersama Kak Calvin dan Ayah Andre. Jantungku berdebar kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadaku. Apa yang sedang terjadi? Kenapa Papa membawa mereka berdua? Apakah mereka datang untuk menanyakan tentang keham
Setelah tiba di rumah Papa Tatang, aku melihat pintu rumahnya terbuka lebar. Mobil Papa Tatang juga terparkir di halaman.Dengan hati-hati, langkahku menghampiri pintu. Meskipun pintu sudah terbuka, tapi aku tidak ingin terlihat tidak sopan dengan langsung masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.Namun, sebelum aku sempat mengetuk, tangan ini terhenti di udara dan kata-kata salam tercekat di bibirku. Papa Tatang sudah duduk di sofa single ruang tengah, dengan tatapan tajam yang menghunus ke arahku."Pa, aku-""Langsung masuk saja," potong Papa dengan cepat, tanpa menyela tatapannya yang menembus.Rasa takut menyelinap di dalam diriku, mengapa aku tiba-tiba merasa cemas di depan mantan mertuaku ini? Apa yang terjadi pada Papa Tatang? Kenapa sikapnya begitu aneh hari ini, seakan bukan dirinya?Mungkin Papa kesurupan? Pikiran itu melintas, membuatku ragu apakah aku harus memanggil seorang Ustad lebih dulu?"Kenapa masih berdir
"Sudah jelas, Pak, itu semua karena Viona hamil anak Bapak." Yogi menjawab dengan santai.Aneh, bisa sesantai itu dia, bahkan tak ada rasa bersalah sedikitpun terhadapku atau Viona. Padahal karena dialah, rumah tanggaku hancur. Karena dia juga, Viona menjadi perempuan yang bodoh."Hanya karena itu, kamu sampai tidak mau menerimanya?? Berarti kamu tidak benar-benar mencintai Viona, kamu selama ini hanya mempermainkannya." Suara pertanyaanku terdengar tajam, diiringi rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam. Aku merasa seperti tertusuk belati, melihat betapa mudahnya Yogi melupakan Viona dan melupakan semua yang telah terjadi."Pak Calvin, saya tidak mau membicarakan hal itu lagi. Itu sudah menjadi masa lalu, dan lagi pula ... saya sudah berumah tangga," jawab Yogi, lalu berbalik dan berjalan pergi.Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasakan amarah yang semakin membara.Apa katanya, dia sudah berumah tangga sekarang? Semudah itu? Sementara Viona sendiri-setelah bercerai denganku, di
Aku perlahan membuka mata, menatap wajah Papa yang memerah dengan rahang yang mengeras. Rasa sakit di pipi masih terasa, namun rasa sakit di hatiku jauh lebih dalam."Aku salah apa, Pa? Kenapa Papa sampai menamparku begini? Apakah Papa nggak sayang lagi sama aku?"Aku langsung menyentuh pipi, dan tak terasa air mataku jatuh. Aku merasa sedih dan hancur sekali, karena bagiku, satu-satunya orang yang selalu ada di hidupku hanyalah Papa. Tapi mengapa Papa begitu tega padaku?"Kamu yang nggak sayang sama Papa, Vio!! Kamu yang nggak sayang Papa!!" Papa langsung mendekap tubuhku dan menangis tersedu-sedu, dia mengelus rambutku dengan lembut. "Maafkan Papa, karena telah kasar padamu. Tapi Papa sungguh kecewa dengan apa yang terjadi, dan kenapa kamu bisa semurah ini? Kenapa kamu nggak bisa menjaga diri, Vio?"Semurah ini? Menjaga diri?Aku benar-benar menjadi semakin bingung. "Apa maksud Papa?" Suara lemahku terputus-putus, terbebani oleh rasa ke
"Kalau itu adalah solusi untuk menguasai harta Calvin, kenapa tidak?" Daddy tertawa dengan nada jahat, lalu merangkul pundakku. "Akan lebih baik jika keturunan Calvin hanya darimu saja, yang keluar dari rahimmu. Karena harta warisan yang akan diterima oleh anak pertama, terutama seorang laki-laki ... sangatlah besar, Nes.""Tapi bagaimana dengan Viona? Aku khawatir dia akan merebut Mas Calvin dariku, Dad," ujarku dengan suara gemetar dan rasa takut yang semakin menguat."Tidak perlu khawatir tentang Viona. Dia tidak akan mampu merebut Calvin darimu jika kamu berhasil hamil dari Calvin. Jadi ... tetaplah merayu Calvin agar mau tidur denganmu. Tidak perlu menunggu sampai setelah menikah, karena takutnya terlalu lama," kata Daddy dengan suara tegas, kembali memberikanku saran.Aku langsung merenung, mencoba mencerna semua apa yang Daddy katakan.Sejauh ini, semua saran dari Daddy selalu aku lakukan. Meskipun ada sebagian yang gagal, tapi ada juga yan
"Jawab saja dulu pertanyaanku," tegasku dengan mantap, mencoba menemukan kejelasan dalam kekacauan yang sedang terjadi.Agnes menggelengkan kepala sambil mendesaah. "Kenzie akan menjadi anakku, Mas. Aku tidak akan meminta hal seperti itu. Mas ini benar-benar aneh," ucapnya dengan nada yang penuh keheranan."Tapi kamu jujur, kan?" tanyaku dengan ragu dan sedikit khawatir."Ya, Mas. Kenapa juga aku harus berbohong. Kita akan menjadi satu keluarga, bukan?" Agnes kembali memeluk tubuhku, menciumi dadaku dengan penuh kasih, mencoba meyakinkanku.Aku menghela nafas dalam, merasa semakin terjebak dalam labirin kebingungan.Apakah Agnes benar-benar berbicara jujur? Siapa sebenarnya yang berbohong? Apakah Viona? Tetapi, apa motifnya untuk berbohong?Atau... apakah semua ini terjadi karena dia ingin rujuk denganku?Akh tidak mungkin! Alasan itu tidak masuk akal jika dia sampai berbohong, apalagi pipi Viona juga lebam.Aku yakin, Viona adalah perempuan baik. Namun, begitu pula dengan Agnes. Dia
Apa katanya?? Pipinya yang merah karena ulah Agnes??Rasa marah dan kecewa seketika menguasai diriku. Jantungku semakin berdebar, tidak terbayangkan Agnes bisa sekejam itu.Tidak masuk akal bagiku, mengapa Agnes begitu kasar terhadap Viona. Viona tidak bersalah dalam situasi ini, dia hanyalah bagian dari masa laluku."Kak ... aku mohon ...." Viona tiba-tiba memegang tanganku dengan kuat, matanya mulai berkaca-kaca. "Jika Kakak benar-benar menyayangi Kenzie, tolong jangan menikahi Nona Agnes. Aku tidak ingin Kenzie memiliki bunda tiri yang tidak menyayanginya, Kak. Dan jika Kakak bersedia dan tidak keberatan ...." Viona menjeda sebentar, lalu menarik napas dalam dan perlahan menghembuskannya."Un-untuk kebaikan kita semua, terutama Kenzie, bagaimana kalau kita ... kita kembali, Kak. Kita ru-rujuk!" Suaranya patah di akhir kalimat, tapi ucapannya membuatku terkejut.Mataku seketika membulat.Apakah aku salah dengar? Rasanya telingaku ini rusak. Bagaimana mungkin, seorang Viona, ingin ru
"Begini, Cal. Seperti apa yang pernah Ayah minta padamu ... setelah kamu bertunangan, Ayah mau kamu dan Kenzie melakukan tes DNA ulang bersama Yogi juga," ucap Ayah membuat dahiku seketika berkerut.Aku sedikit heran, kukira tentang apa, ternyata tentang tes DNA ulang. Lagian untuk apa coba, melakukan tes ulang, toh hasilnya juga akan sama. Yang ada buang-buang waktu saja."Bagaimana? Besok ya, Cal, biar Ayah antar. Ayah juga sudah mencari rumah sakit yang paling bagus di Jakarta.""Terserah Ayah, tapi bagaimana dengan Yogi? Memangnya Ayah sudah berhasil menemukannya?" Sejujurnya malas, tapi aku sudah terlanjur setuju dari awal, jadi tidak bisa menolak."Udah, baru tadi pagi Ayah bertemu dengannya. Rupanya dia selama ini bekerja dengan salah satu rekan bisnis Ayah, Cal, dan dia jadi asisten CEO.""Oohhh. Terus ... apa dia setuju, diminta melakukan tes DNA?""Tentu saja dia setuju, kan Ayah yang minta. Besok jam 8 pagi, ya, Ayah akan menjemputmu dan Kenzie. Si Kenzie masih menginap di
Apakah dia mengira aku gila, atau apa? Kalau memang dia berniat untuk memecatku, walaupun sulit, aku akan berusaha menerimanya. Namun, jika diminta untuk menjauhi Kenzie dari Kak Calvin, aku tak bisa melakukannya.Baru kemarin, Kenzie begitu bahagia mendapatkan kehadiran Ayah yang selama ini dia rindukan. Bagaimana ini bisa terjadi, bahwa semua itu bisa direnggut hanya karena permintaan Nona Agnes?Terlihat jelas bahwa Nona Agnes sebenarnya tidak sepenuhnya menerima Kenzie. Maka, apa yang dia katakan kepada Kak Calvin hanyalah dusta belaka."Aku bisa bertindak nekat, jika kau tak menuruti permintaanku, Vio!" ancam Nona Agnes, sebelum pergi dari rumah dengan wajah masam, bahkan membanting pintu dengan keras.Brakkk!!Aku duduk perlahan di sofa, merenung sejenak.Satu hal yang pasti, aku tak akan pernah rela melihat Kenzie kehilangan kebahagiannya lagi setelah begitu lama merindukan sosok Ayahnya. Aku harus mencari cara untuk melindungi Kenzie, walaupun jalan yang harus kutempuh terasa