Rasa malas berdebat membuatku menyerahkan uang yang diminta Pak Darman tanpa banyak berpikir. Tujuannya satu: segera meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan pencarian Zea.
Ting! Notifikasi pesan masuk. Heru, nomornya sudah tersimpan di kontak ponselmu. [Aku sudah sampai di restoran. Kamu di mana?] Pandanganku tertuju pada jam di layar ponsel. Aku baru ingat janji dengan Heru. Membatalkannya akan terasa tidak enak. [Tunggu sebentar, aku masih di jalan.] Pesan balasanku terkirim. Setelah itu, aku langsung menghubungi Akmal. "Akmal, tolong bantu aku mencari Zea." Sejujurnya, jiwaku meronta ingin sendiri yang mencarinya, menjelajahi setiap gang sempit, tiap sudut kota yang mungkin pernah Zea singgahi, tapi aku harus menemui Heru dulu. "Memangnya Zea ke mana, Pak?" tanya Akmal, suara cemas terdengar jelas dari seberang telepon. "Kalimat itu menusukku bagai sebilah pisau. "Kamu bercanda? Bagaimana mungkin dia hamil... hamil anakmu?!" Tidak! Aku tidak bisa membayangkan Helen hamil anak pria lain. Aku tidak terima dunia akhirat. Rasa sakit yang tak terkira memenuhi da*daku, sesak hingga napasku tersengal-sengal. Janji suci pernikahan kami, yang telah kami ucapkan, semuanya telah hancur berkeping-keping. Meskipun aku sendiri bukanlah perjaka, menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi perawan mungkin masih bisa kuterima. Tapi ini... ini tentang anak. Anak yang dikandungnya, anak dari pria lain, sementara akulah suaminya yang sah, yang belum genap sebulan bersanding dengannya di pelaminan. Ini haram, sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Seharusnya aku tak boleh menyentuhnya sampai dia melahirkan. Aku sadar diri, aku juga manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Aku juga menghamili Zea, berzina dengannya. Tapi di sini posisiku dan Helen berbeda. Aku melakukannya tanpa sadar, khilaf karena alkohol
"Kamu telah bermain api di belakang Helen, dan kamu telah menyakitinya!" Suara Ayah menggema di ruang keluarga, keras dan bergetar, menguncang setiap serat tubuhku. Udara terasa tercekat, berat, dipenuhi aroma teguran dan kekecewaan yang menyesakkan. "Bermain api?" Dahiku mengerut, kebingungan bercampur dengan rasa takut yang mulai merayap naik ke tenggorokanku. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti, Ayah." Suaraku terdengar kecil, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh amarah yang melingkupiku. Ayah menarik napas dalam-dalam, seakan menahan amarah yang siap meledak. Dia melepaskan pelukan yang sebelumnya terasa begitu hangat, meninggalkan kekosongan yang dingin dan mencekam di antara kita. Tatapannya tajam, menusuk kalbuku bagai sebilah pisau. "Jangan mengelak, Ken. Ayah tau kamu telah melecehkan Zea. Sebelum pernikahanmu dengan Helen. Benar, kan?" Dunia seakan runtuh di sekitarku. Lantai terasa bergetar, dan aku merasa pus
"Lho, Yang... kenapa kita di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Helen, suaranya bercampur kebingungan dan sedikit khawatir.Tatapannya mengamati sekeliling orang-orang, lalu kembali padaku dengan pertanyaan tersirat di matanya. Aku meraih tangannya, genggaman erat yang mungkin sedikit terlalu keras, dan menariknya dengan langkah cepat menuju ruang dokter spesialis kandungan."Lepas!" Suaranya sedikit lebih tinggi, menahan diri, tapi tangannya berhasil melepaskan diri dari genggamanku. Langkahnya terhenti, seolah sebuah penghalang tak kasat mata menahannya."Yang, kamu kasar banget! Kenapa tiba-tiba narik aku kayak gini? Dan kita ngapain ke sini?" Tanyanya, nada suaranya terdengar kesal namun di baliknya tersirat kecemasan. Dia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, sentuhan lembut yang menunjukkan rasa sakit dan sedikit trauma atas perlakuanku yang tiba-tiba. Aku tahu genggamanku tadi terlalu kuat, tapi itu refleks karena menahan emosi
(POV Kenzie) Keputusan telah bulat. Kenyataan pahit itu telah memaksaku mengambil langkah ini. Setelah meninggalkan Helen di rumah sakit, aku segera menuju kantor pengadilan. Aku akan mengajukan perceraian dengan Helen. Aku yakin dengan semua bukti-bukti yang kupunya, hakim pasti mengabulkan permintaanku. Driiiinnnggg! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Secangkir kopi hangat di tanganku mendadak terasa dingin. Pagi yang seharusnya tenang, kini diwarnai kecemasan yang menghimpit. Nomor Akmal terpampang di layar. Sekelebat harapan, setipis benang, muncul di dadaku. Mungkinkah dia sudah menemukan Zea? Do'a itu terucap dalam hatiku, lirih dan penuh harap. "Halo, Pak Kenzie... selamat pagi." "Pagi. Bagaimana Zea? Sudah ketemu?" Suaraku bergetar, menahan kecemasan yang hampir meruntuhkan diriku. "Belum, Pak." Jawaban itu seperti palu yang menghantam tulang rusukku. Tubuhku terasa lemas. Sampai kapan aku harus menunggu? Dua hari. Dua hari Zea menghilang dari rumah. Bayangan
Degupan jantungku berpacu kencang."Kita memang berjodoh, sampai bisa ketemu di sini. Tapi ngomong-ngomong... kamu kenapa bisa ada di Karawang? Ke sini sama siapa?" tanya Juragan Udin, suaranya terdengar memuakkan di telingaku.Jodoh? Perkataannya terasa seperti tamparan keras di wajahku. Bau ketiaknya yang menyengat membuatku mual."Itu bukan urusanmu!" Aku menepis tangannya dari pundakku, suaraku bergetar menahan amarah. Dengan langkah gontai, aku mundur, lalu berlari sekencang mungkin meninggalkannya.Keinginanku mencari pekerjaan terpaksa harus kutunda. Kehadiran pria menjijikkan itu membuat segalanya menjadi rumit."Tunggu dulu!!" Langkah kakinya yang berat terdengar di belakangku. Dia menyusulku, tangannya mencekal lenganku dengan erat. "Kenapa sih kamu sombong banget sama aku, Zea? Papamu sudah setuju lho, kalau kamu jadi istriku. Jadi kamu nggak boleh menghindar lagi!" Suaranya meninggi, penuh tekanan."Aku sud
"Hati Pak Kenzie, Pak," jawab Akmal. "Hati? Maksudmu apa?" Pertanyaan Ayah Calvin dipenuhi rasa ingin tahu yang membara. "Ah, tidak, Pak. Saya hanya bercanda. Lupakan saja," Akmal buru-buru meralat, namun kebohongan itu terdengar jelas. "Jangan berbohong! Sepulang kerja, datanglah ke rumahku. Aku ingin bicara serius," suara Ayah Calvin tajam, penuh kecurigaan. "Baik, Pak. Saya akhiri panggilannya, ya? Saya harus segera meeting. Sudah banyak yang menunggu." "Oke." Ayah Calvin menghela napas panjang, lelah dan frustasi. Dia menyimpan ponselnya, perasaan geram memenuhi dadanya. 'Apa-apaan Kenzie ini! Aku sudah memintanya menyelesaikan masalah dengan Helen, tapi dia malah pergi mencari Zea, dan gadis itu malah kabur!' "Bagaimana, Yah? Ada kabar tentang Kenzie?" Helen bertanya, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Akmal bilang dia tidak tau, tapi Ayah akan membantumu sampai kamu bertemu Kenzie." "Baiklah... kalau begitu aku pulang dulu, Yah. Aku mau mandi, belum mandi dari pag
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora