"Apa, Vio? Serius kamu??" desis Papa dengan ekspresi terkejut, yang sulit disembunyikan setelah mendengar cerita dariku tentang Kak Calvin yang telah kuberitahu tentang Kenzie.
Setelah tadi ditinggal oleh Kak Calvin, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah menemui Papa. Karena aku juga tidak yakin jika Kak Calvin akan memutar balik, bisa saja dia memang sengaja ingin meninggalkanku karena masih marah. "Maafin aku, Pa. Papa boleh kok marah sama aku, tapi aku di sini sudah nggak ada jalan lain untuk menutupinya lagi. Karena yang berhasil menemukan Kenzie adalah Kak Calvin, dan Kenzie pun meminta tolong padanya untuk membantu mencarikan Ayahnya, Pa," ucapku dengan suara gemetar. Tidak masalah jika selanjutnya Papa yang akan marah. Aku akan menerimanya dengan lapang dada, karena semua yang terjadi berawal dari kebodohanku sendiri. "Viona ...." Papa menghela nafas dalam-dalam, lalu duduk di sofa denYa ampun!! Tubuhku mendadak panas dingin, merasakan gelombang hasrat yang tak terduga tapi sudah menggebu-gebu. Suasana yang penuh kehangatan tiba-tiba membuatku merasa gelisah dan terombang-ambing dalam perasaan yang rumit. "Kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu, Vio? Apa yang terjadi?" tanya Papa dengan ekspresi heran, sementara Kak Calvin juga memperhatikan dengan seksama. Tubuhku merasa tegang dan rasanya jadi canggung saat diperhatikan oleh Kak Calvin. "Ah, nggak apa-apa, Pa," jawabku cepat sambil menggeleng, berusaha menghentikan gerakan bokongku yang refleks menggesek kursi. Namun, keringat mulai bercucuran di dahiku. Perasaanku semakin aneh, hampir tak tertahankan. Kenangan malam itu semakin menghantuiku. "Maaf, aku ingin ke kamar mandi sebentar, Pa." Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari kursi dan berlari menuju kamar mandi yang berada disudut ruangan. Selera makanku sudah hilang, d
"Ini kopinya Kak, Pa. Maaf kalau lama, ya?" Kupandang wajah Papa dan Kak Calvin sebelum menaruh nampan di atas meja plastik. Tapi pria itu tak sedikitpun melirikku, dia justru terlihat membuang muka ke arah mobil. Apakah dia masih marah padaku? Tapi, bukankah dia juga sudah dengar sendiri bahwasanya masalah Kenzie terjadi karena permintaan Papa? Harusnya 'kan dia sudah tidak lagi marah padaku. "Oh ya, Papa kerja apa sekarang? Apa masih nyupir?" tanya Kak Calvin yang kudengar mengganti topik obrolan. "Iya, Papa masih nyupir, Cal," jawab Papa. "Kamu sendiri, apa kesibukannya sekarang? Dan kamu dari kapan di Indonesia? Terakhir kali Papa dengar dari Ayahmu ... kamu tinggal di Korea." "Aku udah semingguan di Indonesia, Pa. Tapi memang kadang sebulan atau dua bulan sekali aku ke Korea, karena masih ada kerjaan di sana. Tapi ya nggak menetap juga karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan kantorku di sini," jelas K
Ting! Belum sempat aku membalas chat dari Nona Agnes, tapi dia sudah lebih dulu mengirimkanku chat lagi. [Aku tidak menerima penolakan! Pokoknya kalau kamu menolak ... aku akan memotong 50% gajimu!] Chat itu seperti sebuah ancaman bagiku. Ah tidak, aku tidak mau gajiku disunat olehnya. Bulan ini aku bekerja sudah sangat ekstra, apalagi ditambah dengan rencana menjebak Kak Calvin. Ya meskipun rencana itu gagal karena ulahku sendiri, tapi setidaknya aku sudah terlanjur terkena imbasnya. Terlanjur memadu kasih dengan Kak Calvin dan momen itu sulit sekali aku lupakan sampai sekarang. "Kamu kenapa, Vio? Apa ada masalah?" tanya Papa tiba-tiba, membuat diri ini langsung menoleh. "Enggak, Pa. Enggak apa-apa." Aku menggeleng lalu tersenyum. * * "Kenzie itu bukan tidak punya Ayah sebenarnya, hanya saja saya dan suami sudah berpisah." "Karena Kenzie masih terlalu kecil, jadi saya belum bisa memberitahu hal yang sebenar terjadi. Apalagi alasan kami bercerai." "Tapi saya h
🌸🌸🌸🌸🌸"Kenapa kamu memakai kacamata hitam, Vio? Mana di dalam mobil lagi?" tanya Nona Agnes sambil mengemudi di sampingku. Kami berdua sudah berada di jalan, menaiki mobil pribadinya. Meskipun aku tidak bisa mengemudi mobil, Nona Agnes selalu menjadi pengemudi, meskipun kadang-kadang dia mengomel, meminta aku untuk belajar mengemudi. Sejatinya, bukan karena aku tidak mau belajar. Bahkan Papa sendiri sudah sering meminta aku untuk belajar mengemudi mobil. Namun, hatiku masih sempit, aku merasa takut. Tapi jika berbicara tentang motor, aku bisa mengendarainya. "Tidak apa-apa, Nona. Saya hanya sedang sakit mata, makanya saya memakai kacamata hitam karena khawatir Nona tertular," jawabku dengan berbohong. Sejujurnya, alasan aku memakai kacamata hitam adalah agar Omanya Kak Calvin tidak mengenaliku nanti.Lagian, aku dulu juga hanya sekali atau dua kali bertemu dengannya. Semoga saja dia sudah lupa dengan wajahku, meskip
"Iya, namamu. Kamu tentu punya nama 'kan, Nak?" "Namaku ...." Dengan jantung berdebar, bibirku gemetar saat ingin menjawab pertanyaan itu. Namun, sebelum kata-kata keluar dari mulutku, tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku. "Bagaimana menurutmu, Viona? Apa aku cantik?" Suara lembut Nona Agnes memecah keheningan ruangan setelah keluar dari ruang ganti bersama pelayan butik. "Namamu Viona, Nak?" tanya Oma Bella dengan ekspresi terkejut yang jelas terpancar dari wajahnya. Matanya kini memerhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, membuatku merasa seperti terpapar sinar sorot yang tajam. Ah sial! Nona Agnes malah menyebut namaku tepat di depan Oma Bella. Aku terdiam, tanpa bisa berbohong, padahal sebelumnya aku berniat untuk mencari nama lain yang lebih aman."Oma ... bagaimana menurut Oma? Aku cantik nggak?" Nona Agnes bertanya dengan suara lembut, ekspresi cemas terpancar dari matanya yang memandang Oma Bella, menunggu jawaban
Dalam suasana yang hangat dan penuh kasih, Kak Calvin dengan lembut menggendong tubuh Kenzie dan mencium puncak rambutnya. "Om juga kangen banget sama Kenzie. Kenzie apa kabar? Sehat, kan?" Kenzie terlihat senang, wajahnya bahkan merona. "Kenzie baik. Tapi Om ke mana saja? Kok nggak pelnah ke sini? Apa Om sudah lupa sama Kenzie, ya?" tutur Kenzie dengan ekspresi cemberut dan sedikit manja, mengekspresikan kerinduan yang dalam. "Maafin Om, ya, Om akhir-akhir ini sibuk banget sampai nggak ke sini. Tapi Om selalu ingat kamu kok, Dek," jawab Kak Calvin dengan lembut. "Eh, ada kamu ke sini, Cal?" sapa Papa yang tiba-tiba muncul dari pintu. Dia tersenyum saat Kak Calvin mencium punggung tangannya. "Udah lama?" "Baru aja, Pa," jawab Kak Calvin sambil tersenyum."Kalau begitu ayok masuk ke dalam, Papa kebetulan tadi habis beli martabak. Biar enak sekalian ngobrol." Papa merangkul bahu Kak Calvin, menariknya untuk masuk ke dalam. Tapi kedua ka
"Kenapa memangnya?" Kak Calvin justru memberikan pertanyaan balik. Namun, aku sudah memahami maksud dari jawaban yang dia berikan, bahwa memang Kak Calvin lah yang membelikan rumah baru untuk Nona Agnes. Sebegitu mudahnya? Apakah Kak Calvin tidak mempertimbangkannya dengan lebih matang? "Kenapa diam?" "Eh!" Aku terkejut mendengar Kak Calvin memanggilku. Lalu, aku tersenyum canggung. "Enggak apa-apa sih, Kak. Cuma sebelum Nona Agnes memiliki rumah baru... aku secara nggak sengaja mendengar dia dan Daddynya mengobrol." "Mengobrol tentang apa?" Kak Calvin kembali menatapku, tetapi kali ini dengan ekspresi penasaran. "Tentang Pak Erick yang mengalami kebangkrutan, dan rumahnya disita oleh pihak bank, Kak." "Oh, terus?"Apakah tidak apa-apa jika aku menceritakan semuanya?Tapi, mengapa harus disembunyikan? Selain itu, aku juga khawatir Kak Calvin dimanfaatkan. "Nona Agnes mengeluh, apakah mereka harus
Dalam suasana yang cukup tegang, Kak Calvin membelai rambut Kenzie sambil berkata, "Jadi, Dek .... Ayah dan Bundamu sebenarnya sudah berpisah, kami bercerai jauh sebelum kamu lahir ke dunia." Kenzie terkejut mendengar pengakuan ini. "Itulah sebabnya, Ayah selama ini tidak pernah datang menemuimu dan Bunda. Bukan berarti Ayah tidak menyayangimu, tapi karena Ayah sama sekali nggak tau, kalau Bunda ternyata hamil kamu." Ayah?! Aku sedikit kaget mendengar Kak Calvin yang mulai menyebut dirinya sebagai Ayah, tapi aku ikut senang dan terharu. "Tapi ... Belcelai itu apa? Kenzie nggak ngelti?" tanya Kenzie dengan polos, sambil bola matanya mulai berkaca-kaca. Apakah dia sedih? Ah tidak! Harusnya Kenzie bahagia sekarang. Kak Calvin menjelaskan dengan lembut, "Bercerai itu sama seperti kita berpisah, intinya seperti sudah tak lagi ada hubungan. Kami juga sudah hidup masing-masing sekarang, Dek," sambil m
(POV Kenzie) Keputusan telah bulat. Kenyataan pahit itu telah memaksaku mengambil langkah ini. Setelah meninggalkan Helen di rumah sakit, aku segera menuju kantor pengadilan. Aku akan mengajukan perceraian dengan Helen. Aku yakin dengan semua bukti-bukti yang kupunya, hakim pasti mengabulkan permintaanku. Driiiinnnggg! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Secangkir kopi hangat di tanganku mendadak terasa dingin. Pagi yang seharusnya tenang, kini diwarnai kecemasan yang menghimpit. Nomor Akmal terpampang di layar. Sekelebat harapan, setipis benang, muncul di dadaku. Mungkinkah dia sudah menemukan Zea? Do'a itu terucap dalam hatiku, lirih dan penuh harap. "Halo, Pak Kenzie... selamat pagi." "Pagi. Bagaimana Zea? Sudah ketemu?" Suaraku bergetar, menahan kecemasan yang hampir meruntuhkan diriku. "Belum, Pak." Jawaban itu seperti palu yang menghantam tulang rusukku. Tubuhku terasa lemas. Sampai kapan aku harus menunggu? Dua hari. Dua hari Zea menghilang dari rumah. Bayangan
"Lho, Yang... kenapa kita di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Helen, suaranya bercampur kebingungan dan sedikit khawatir.Tatapannya mengamati sekeliling orang-orang, lalu kembali padaku dengan pertanyaan tersirat di matanya. Aku meraih tangannya, genggaman erat yang mungkin sedikit terlalu keras, dan menariknya dengan langkah cepat menuju ruang dokter spesialis kandungan."Lepas!" Suaranya sedikit lebih tinggi, menahan diri, tapi tangannya berhasil melepaskan diri dari genggamanku. Langkahnya terhenti, seolah sebuah penghalang tak kasat mata menahannya."Yang, kamu kasar banget! Kenapa tiba-tiba narik aku kayak gini? Dan kita ngapain ke sini?" Tanyanya, nada suaranya terdengar kesal namun di baliknya tersirat kecemasan. Dia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, sentuhan lembut yang menunjukkan rasa sakit dan sedikit trauma atas perlakuanku yang tiba-tiba. Aku tahu genggamanku tadi terlalu kuat, tapi itu refleks karena menahan emosi
"Kamu telah bermain api di belakang Helen, dan kamu telah menyakitinya!" Suara Ayah menggema di ruang keluarga, keras dan bergetar, menguncang setiap serat tubuhku. Udara terasa tercekat, berat, dipenuhi aroma teguran dan kekecewaan yang menyesakkan. "Bermain api?" Dahiku mengerut, kebingungan bercampur dengan rasa takut yang mulai merayap naik ke tenggorokanku. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti, Ayah." Suaraku terdengar kecil, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh amarah yang melingkupiku. Ayah menarik napas dalam-dalam, seakan menahan amarah yang siap meledak. Dia melepaskan pelukan yang sebelumnya terasa begitu hangat, meninggalkan kekosongan yang dingin dan mencekam di antara kita. Tatapannya tajam, menusuk kalbuku bagai sebilah pisau. "Jangan mengelak, Ken. Ayah tau kamu telah melecehkan Zea. Sebelum pernikahanmu dengan Helen. Benar, kan?" Dunia seakan runtuh di sekitarku. Lantai terasa bergetar, dan aku merasa pus
Kalimat itu menusukku bagai sebilah pisau. "Kamu bercanda? Bagaimana mungkin dia hamil... hamil anakmu?!" Tidak! Aku tidak bisa membayangkan Helen hamil anak pria lain. Aku tidak terima dunia akhirat. Rasa sakit yang tak terkira memenuhi da*daku, sesak hingga napasku tersengal-sengal. Janji suci pernikahan kami, yang telah kami ucapkan, semuanya telah hancur berkeping-keping. Meskipun aku sendiri bukanlah perjaka, menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi perawan mungkin masih bisa kuterima. Tapi ini... ini tentang anak. Anak yang dikandungnya, anak dari pria lain, sementara akulah suaminya yang sah, yang belum genap sebulan bersanding dengannya di pelaminan. Ini haram, sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Seharusnya aku tak boleh menyentuhnya sampai dia melahirkan. Aku sadar diri, aku juga manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Aku juga menghamili Zea, berzina dengannya. Tapi di sini posisiku dan Helen berbeda. Aku melakukannya tanpa sadar, khilaf karena alkohol
Rasa malas berdebat membuatku menyerahkan uang yang diminta Pak Darman tanpa banyak berpikir. Tujuannya satu: segera meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan pencarian Zea. Ting! Notifikasi pesan masuk. Heru, nomornya sudah tersimpan di kontak ponselmu. [Aku sudah sampai di restoran. Kamu di mana?] Pandanganku tertuju pada jam di layar ponsel. Aku baru ingat janji dengan Heru. Membatalkannya akan terasa tidak enak. [Tunggu sebentar, aku masih di jalan.] Pesan balasanku terkirim. Setelah itu, aku langsung menghubungi Akmal. "Akmal, tolong bantu aku mencari Zea." Sejujurnya, jiwaku meronta ingin sendiri yang mencarinya, menjelajahi setiap gang sempit, tiap sudut kota yang mungkin pernah Zea singgahi, tapi aku harus menemui Heru dulu. "Memangnya Zea ke mana, Pak?" tanya Akmal, suara cemas terdengar jelas dari seberang telepon. "
"Untuk apa Zea kabur? Rasanya nggak mungkin, Pak." Pak Yanto terlihat tidak percaya."Tapi Zea nggak ada. Apa mungkin Zea dibawa pergi arwah Kakekku??" Rasanya ini semakin tak masuk akal, tapi entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku."Apalagi itu, lebih nggak mungkin, Pak," ujar Pak Yanto, menggelengkan kepala dengan kuat, ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajahnya."Sekarang buka gerbangnya! Aku akan mencari Zea di luar. Kalau dia memang kabur baru tadi, aku mungkin bisa cepat menemukannya." Desakan kuat mendorongku berlari menuju mobil. Aku buru-buru masuk ke dalam, menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Pak Yanto berlari menuju gerbang, membukakannya untukku dengan tergesa-gesa.**"Di mana Zea?" tanyaku, setibanya di rumah lama. Turun dari mobil. Aku yakin Zea datang ke sini, untuk bertemu Jamal—tanpa sepengetahuanku."Zea? Dia 'kan bersama Bapak," jawab Jamal, tatapannya penuh
“Kenapa tanya padaku? Temui saja dia besok, kamu akan langsung tau sendiri.” Mbah Yahya menjawab singkat, tampaknya enggan berbagi informasi lebih lanjut.“Tapi aku penasaran, Mbah.” Aku menatapnya memoh. “Aku akan memberikan Mbah uang tambahan kalau Mbah mau memberitahuku sekarang.” Aku menawarkan suap, berharap bisa membujuknya.“Nggak perlu. Lagian aku juga harus segera pulang sekarang, masih ada job di tempat lain.” Mbah Yahya berdiri, siap untuk pergi. Aku langsung menahannya.“Berapa pun yang Mbah minta… aku akan berikan.” Aku meningkatkan tawaran, keinginan untuk mengetahui jawabannya mengalahkan segala pertimbangan. Aku ingin menguji seberapa sakti pria tua ini.Mbah Yahya menghela napas panjang, tampak lelah. Namun, sebuah senyuman tipis terlihat di bibirnya. Aku begitu senang dengan jawabannya. “Baiklah …,” katanya, suaranya sedikit berat. “…Dia akan memperlihatkanmu sebuah foto yang membuatmu tercengang.”"Fo
"Bapak lihat apa? Nggak sopan!" Suara Zea menusuk telingaku, tajam dan penuh amarah. Tubuhnya berputar cepat, meninggalkanku, berlari menjauh dari dapur. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, aku menangkap kilasan wajahnya yang merah padam, seperti memendam kekesalan. "Zea, tunggu!" Aku berteriak, langkahku terburu-buru, berusaha mengejarnya. Namun, sia-sia. Dia terlalu cepat masuk kamar. Ting, Tong! Ting, Tong! Suara dering bel rumah membuyarkan niatku untuk menemuinya. Aku menghela napas panjang, mengurungkan langkah, dan berjalan menuju pintu depan. Ceklek… Bunyi pintu yang terbuka. "Assalamualaikum," sapa Mbah Yahya yang sudah berdiri di depan pintu bersama Akmal. "Walaikum salam. Silakan masuk, Mbah," ujarku, mempersilakan mereka masuk sambil memperlebar pintu. Mbah Yahya mengangguk, langkahnya tenang mengikutiku menuju ruang tamu. "Mal, tolong buatkan kopi untukku dan Mbah Yahya," pintaku kepada Akmal, mencoba mengalihkan pikiranku dari Zea. "Memangnya Zea kemana,
"Kakekmu ... aku melihat hantu Kakekmu ada di dalam, Yang!!" serunya histeris, suaranya bergetar hebat, campuran antara takut dan sedih. "Hantu kakekku?" Pak Kenzie terlihat bingung, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku pun sama bingungnya. Apa maksud Nona Helen? Rumah ini baru, bukan rumah lama Pak Kenzie yang katanya berhantu. "Iya, tapi kali ini dia bukan sekedar mengusirku ... tapi juga memintaku untuk meninggalkanmu, Yang," kata dia, suaranya terisak-isak, menunjukkan kepedihan yang mendalam. Nona Helen menangis tersedu-sedu, bahu-bahunya bergetar hebat. Melihat dia yang seperti itu, aku jadi kasihan padanya. Namun, aku masih bertanya-tanya mengenai hantu itu. Bukankah rumah yang berhantu itu rumah Pak Kenzie yang sebelumnya? Ini 'kan rumah baru. Bagaimana bisa ada hantu kakeknya Pak Kenzie di sini? "Masa sih, Yang? Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu bilang di sini nggak ada hantu Kakek, ya?" Pak Kenzie tampak heran, menatap istrinya dengan penuh kebingungan. "Ke