"Telnyata Bunda kenal sama Om Baik ini, ya?" Kenzie berbicara, kulihat dia tersenyum manis menatap Kak Calvin. "Om Baik ini ketemu Kenzie dijalan, nggak sengaja nablak Kenzie."
"Apa?! Nabrak?!"Mataku seketika membulat sempurna, benarkah yang dikatakan Kenzie? Tapi dia terlihat baik-baik saja, hanya ada perban kecil pada lutut kanannya. Mungkinkah lukanya ada di sana?"Benar apa yang dikatakan Kenzie, Vio," sesal Kak Calvin dengan wajah bersalah. Dia mengelus perlahan pucuk rambut Kenzie dengan lembut dan penuh kasih. "Aku minta maaf, karena kurang cepat mengerem mobil. Soalnya posisi dia juga ada ditengah jalan.""Kamu kenapa ditengah jalan, Nak? Kan bahaya!" Aku menegur Kenzie, tapi penuh kelembutan. Karena khawatir membuatnya marah."Nanti aku ceritakan detailnya," sahut Kak Calvin, lalu menatap sekeliling rumahku dan terlihat mencari-cari seseorang yang entah siapa. "Sekarang ... boleh nggak aku masuk? Kita mengobrol sambil duduk, bia"Apa buktinya? Apa bukti dari ucapamu, Vio?" tanya Kak Calvin dengan nada tegas, matanya menatapku tajam. "Aku yakin kamu mengatakan hal itu karena kamu dan Yogi sedang ada masalah rumah tangga, tapi tidak perlu dengan cara seperti ini. Tidak perlu mengkambinghitamkan aku!!" "Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengkambinghitamkan Kakak!" tegasku dengan mantap, berusaha meyakinkannya. "Aku hanya mengungkapkan kenyataan, dan tentang hubunganku dengan Kak Yogi ... kami tidak pernah menikah, Kak. Pernikahan itu tidak pernah terjadi dalam hidupku." "Cukup!!" seru Kak Calvin, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Aku sama sekali tidak percaya padamu!" "Apa yang harus aku lakukan, supaya Kakak percaya?!" Aku meraih tangan Kak Calvin dengan penuh keberanian. Bukan bermaksud untuk bersikap kurang ajar, hanya saja aku khawatir dia akan pergi sebelum mempercayai kata-kataku. "Pada hari di mana kita resmi bercerai, saat hakim memutuskan, aku merasa sangat tidak ena
"Ayo ikuti saya, Pak. Saya akan mengantar Anda ke dokter spesialis forensik. Tapi, mohon bersabar jika ada antrian di sana," jelas wanita tersebut dengan ramah. "Baik, Bu," jawab Kak Calvin sambil mengangguk, mengikuti langkah wanita tersebut. Aku pun mengikuti mereka dari belakang, penasaran dengan perkembangan selanjutnya. "Om, katanya kita mau pelgi ke Kolea, kan? Tapi kenapa kita malah ke lumah sakit? Kan kaki Kenzie sudah sembuh?" tanya Kenzie, tatapan polosnya mengarah pada Kak Calvin. Bocah itu memang selalu penuh pertanyaan jika tidak segera dijawab. "Sebelum kita pergi ke Korea, kita harus melakukan tes DNA, Dek," jawab Kak Calvin dengan lembut, mencoba menjelaskan dengan sabar. "Tes DNA itu sebenalnya apa, Om?" tanya Kenzie semakin penasaran. "Lebih baik tanyakan kepada Bundamu, dia pasti tau," ucap Kak Calvin sambil tersenyum, merangkul Kenzie dengan penuh kasih. Kenzie langsung menoleh ke belakang, di arah tempatku berada. Aku tersenyum melihat tingkah polosnya
"Apa, Vio? Serius kamu??" desis Papa dengan ekspresi terkejut, yang sulit disembunyikan setelah mendengar cerita dariku tentang Kak Calvin yang telah kuberitahu tentang Kenzie. Setelah tadi ditinggal oleh Kak Calvin, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah menemui Papa. Karena aku juga tidak yakin jika Kak Calvin akan memutar balik, bisa saja dia memang sengaja ingin meninggalkanku karena masih marah. "Maafin aku, Pa. Papa boleh kok marah sama aku, tapi aku di sini sudah nggak ada jalan lain untuk menutupinya lagi. Karena yang berhasil menemukan Kenzie adalah Kak Calvin, dan Kenzie pun meminta tolong padanya untuk membantu mencarikan Ayahnya, Pa," ucapku dengan suara gemetar. Tidak masalah jika selanjutnya Papa yang akan marah. Aku akan menerimanya dengan lapang dada, karena semua yang terjadi berawal dari kebodohanku sendiri. "Viona ...." Papa menghela nafas dalam-dalam, lalu duduk di sofa den
Ya ampun!! Tubuhku mendadak panas dingin, merasakan gelombang hasrat yang tak terduga tapi sudah menggebu-gebu. Suasana yang penuh kehangatan tiba-tiba membuatku merasa gelisah dan terombang-ambing dalam perasaan yang rumit. "Kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu, Vio? Apa yang terjadi?" tanya Papa dengan ekspresi heran, sementara Kak Calvin juga memperhatikan dengan seksama. Tubuhku merasa tegang dan rasanya jadi canggung saat diperhatikan oleh Kak Calvin. "Ah, nggak apa-apa, Pa," jawabku cepat sambil menggeleng, berusaha menghentikan gerakan bokongku yang refleks menggesek kursi. Namun, keringat mulai bercucuran di dahiku. Perasaanku semakin aneh, hampir tak tertahankan. Kenangan malam itu semakin menghantuiku. "Maaf, aku ingin ke kamar mandi sebentar, Pa." Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari kursi dan berlari menuju kamar mandi yang berada disudut ruangan. Selera makanku sudah hilang, d
"Ini kopinya Kak, Pa. Maaf kalau lama, ya?" Kupandang wajah Papa dan Kak Calvin sebelum menaruh nampan di atas meja plastik. Tapi pria itu tak sedikitpun melirikku, dia justru terlihat membuang muka ke arah mobil. Apakah dia masih marah padaku? Tapi, bukankah dia juga sudah dengar sendiri bahwasanya masalah Kenzie terjadi karena permintaan Papa? Harusnya 'kan dia sudah tidak lagi marah padaku. "Oh ya, Papa kerja apa sekarang? Apa masih nyupir?" tanya Kak Calvin yang kudengar mengganti topik obrolan. "Iya, Papa masih nyupir, Cal," jawab Papa. "Kamu sendiri, apa kesibukannya sekarang? Dan kamu dari kapan di Indonesia? Terakhir kali Papa dengar dari Ayahmu ... kamu tinggal di Korea." "Aku udah semingguan di Indonesia, Pa. Tapi memang kadang sebulan atau dua bulan sekali aku ke Korea, karena masih ada kerjaan di sana. Tapi ya nggak menetap juga karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan kantorku di sini," jelas K
Ting! Belum sempat aku membalas chat dari Nona Agnes, tapi dia sudah lebih dulu mengirimkanku chat lagi. [Aku tidak menerima penolakan! Pokoknya kalau kamu menolak ... aku akan memotong 50% gajimu!] Chat itu seperti sebuah ancaman bagiku. Ah tidak, aku tidak mau gajiku disunat olehnya. Bulan ini aku bekerja sudah sangat ekstra, apalagi ditambah dengan rencana menjebak Kak Calvin. Ya meskipun rencana itu gagal karena ulahku sendiri, tapi setidaknya aku sudah terlanjur terkena imbasnya. Terlanjur memadu kasih dengan Kak Calvin dan momen itu sulit sekali aku lupakan sampai sekarang. "Kamu kenapa, Vio? Apa ada masalah?" tanya Papa tiba-tiba, membuat diri ini langsung menoleh. "Enggak, Pa. Enggak apa-apa." Aku menggeleng lalu tersenyum. * * "Kenzie itu bukan tidak punya Ayah sebenarnya, hanya saja saya dan suami sudah berpisah." "Karena Kenzie masih terlalu kecil, jadi saya belum bisa memberitahu hal yang sebenar terjadi. Apalagi alasan kami bercerai." "Tapi saya h
🌸🌸🌸🌸🌸"Kenapa kamu memakai kacamata hitam, Vio? Mana di dalam mobil lagi?" tanya Nona Agnes sambil mengemudi di sampingku. Kami berdua sudah berada di jalan, menaiki mobil pribadinya. Meskipun aku tidak bisa mengemudi mobil, Nona Agnes selalu menjadi pengemudi, meskipun kadang-kadang dia mengomel, meminta aku untuk belajar mengemudi. Sejatinya, bukan karena aku tidak mau belajar. Bahkan Papa sendiri sudah sering meminta aku untuk belajar mengemudi mobil. Namun, hatiku masih sempit, aku merasa takut. Tapi jika berbicara tentang motor, aku bisa mengendarainya. "Tidak apa-apa, Nona. Saya hanya sedang sakit mata, makanya saya memakai kacamata hitam karena khawatir Nona tertular," jawabku dengan berbohong. Sejujurnya, alasan aku memakai kacamata hitam adalah agar Omanya Kak Calvin tidak mengenaliku nanti.Lagian, aku dulu juga hanya sekali atau dua kali bertemu dengannya. Semoga saja dia sudah lupa dengan wajahku, meskip
"Iya, namamu. Kamu tentu punya nama 'kan, Nak?" "Namaku ...." Dengan jantung berdebar, bibirku gemetar saat ingin menjawab pertanyaan itu. Namun, sebelum kata-kata keluar dari mulutku, tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku. "Bagaimana menurutmu, Viona? Apa aku cantik?" Suara lembut Nona Agnes memecah keheningan ruangan setelah keluar dari ruang ganti bersama pelayan butik. "Namamu Viona, Nak?" tanya Oma Bella dengan ekspresi terkejut yang jelas terpancar dari wajahnya. Matanya kini memerhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, membuatku merasa seperti terpapar sinar sorot yang tajam. Ah sial! Nona Agnes malah menyebut namaku tepat di depan Oma Bella. Aku terdiam, tanpa bisa berbohong, padahal sebelumnya aku berniat untuk mencari nama lain yang lebih aman."Oma ... bagaimana menurut Oma? Aku cantik nggak?" Nona Agnes bertanya dengan suara lembut, ekspresi cemas terpancar dari matanya yang memandang Oma Bella, menunggu jawaban
"Iya, Kak." Viona mengangguk, matanya tertunduk malu. Seketika itu juga, rasa kecewa menusuk hatiku. Ah, pedih sekali. "Jadi, aku simpan pembalutnya nggak, Kak? Aku lupa, soalnya. Takutnya keburu bocor kalau aku nggak pakai sekarang." "Kamu nggak pernah menyimpan pembalut, Sayang," jawabku lirih, suaraku terdengar lesu. "Oh, begitu. Ya sudah, aku mau minta Bibi belikan saja, deh." Aku segera menahan tangan Viona saat dia hendak melangkah. "Biar aku yang belikan. Kamu tunggu di sini saja." Meskipun hatiku dipenuhi kecewa, aku harus tetap menjadi laki-laki yang bisa diandalkan. Hanya dengan begitu, mungkin hati Viona akan luluh. "Terima kasih, Kak. Maaf merepotkan." "Sama-sama." Aku tersenyum, lalu memberanikan diri untuk mendekat. Aku ingin mencium pipinya, namun Viona langsung mundur, menghindari sentuhanku. "Maaf. Apa mencium pipimu saja tidak boleh?" tanyaku dengan nada sedih.
Aku duduk di teras bersama Papa, sambil menyeruput secangkir kopi yang kubawa buatan Viona tadi. Aku penasaran dengan apa yang akan Papa bicarakan. Tampaknya serius, karena Kenzie pun tidak diizinkan untuk bergabung. "Sebenarnya Papa hanya ingin memberikan ini padamu, Cal." Papa mengambil sesuatu di dalam kantong celananya. Entah itu apa, tapi ada nama jamu yang tertera di sana. "Ini jamu, Pa?" tanyaku. Tapi aku bingung mengapa Papa ingin memberikan itu padaku. "Iya, ini jamu penyubur kandungan untuk Viona. Papa masih berharap Viona bisa hamil lagi, Cal. Biar Kenzie ada temannya." "Memangnya boleh, ya, Pa ... Viona minum jamu? Kan dia habis keracunan." Aku hanya khawatir, takut jamu ini mengandung bahan-bahan yang membuat Viona kembali mengalami keracunan. "Papa sudah sempat tanya sama dokter dan kata dia boleh kok, Cal." "Dokternya Viona bukan, Pa, yang bilang begitu?" tanyaku heran. "Iya." Papa mengangguk. "Eh tapi, Viona sendiri sedang mengkonsumsi obat subur nggak, Cal? Ba
Satu bulan kemudian.... Tok! Tok! Tok! Suara ketukan palu di persidangan membuat hatiku lega. Hukuman Agnes penjara seumur hidup dan hukuman mati untuk kasus percobaan pembunuhan dan pembunuhan terhadap janin telah dijatuhkan. Keadilan telah ditegakkan. Setelah proses sidang ini selesai, aku memutuskan untuk pulang bersama Ayah. Sama sekali aku tak ada niat untuk menemui Agnes, karena bagiku, semuanya sudah selesai. Luka di hatiku masih terasa, tapi aku berusaha untuk move on. "Cal ... bagaimana keadaan Viona? Sudah ada perkembangan?" tanya Ayah, suaranya lembut namun penuh harap. Aku menoleh, menggeleng pelan, lesu. "Ingatannya belum pulih sepenuhnya, Yah. Tapi Viona sudah jauh lebih dekat dengan Kenzie dan Papa." "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah setelah Viona keluar dari rumah sakit, kamu sudah pernah menyentuhnya??" Wajahku langsung memanas. Aku bisa merasakan rona merah membakar pipiku, terlihat jelas di kaca spion. Maluku luar biasa. Sebenarnya, sampai sekarang a
Mata Calvin membulat. "Ya Allah, Sayang! Enggak dong!" Dia menggeleng cepat. Suara Kenzie polos bertanya, "Anak haram itu apa, Ayah?" Pertanyaan polos itu menambah kekacauan di hatiku, mencampur aduk rasa bingung, takut, dan curiga. "Nanti Ayah jelaskan padamu. Tapi Ayah jelaskan hal ini kepada Bunda dulu, ya?" Calvin mengusap puncak kepala Kenzie dengan lembut, mencoba menenangkan putranya. Lalu, dia menatapku, matanya penuh pengertian. "Kenzie itu bukan anak haram, Sayang. Dia anak sah, hasil dari hubungan halal kita." "Tapi... kenapa dia sudah ada saat kita menikah? Harusnya dia baru lahir beberapa bulan setelah pernikahan kita," tanyaku masih bingung. Foto itu masih terbayang jelas di benakku. Calvin tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan. "Sebelumnya, kita sempat menikah sebelum Kenzie lahir. Hanya saja, pernikahan kita waktu itu tidak berlangsung lama.
"Viona sayang... Ayo kita turun." Calvin telah lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku. Sementara Kenzie dan Pak Tatang juga ikut turun."Kita mau ngapain ke sini, Pak? Apakah kita sudah sampai?" tanyaku bingung."Kita mampir untuk ziarah, Sayang. Kamu harus bertemu dengan almarhum Kenzo." Kalimat Calvin terasa berat."Kenzo? Siapa Kenzo?" Nama itu sama sekali tak terpatri dalam ingatanku. Aku mencoba mengingat, namun hanya hampa yang kurasakan. "Kenzo itu adik bayi Bunda, adik bayi yang sudah Ayah beri nama," jelas Kenzie, suaranya terdengar polos.Air mata membasahi pipi Calvin saat dia berkata, "Kenzo adalah anak kedua kita, Sayang, adik Kenzie." Pandangannya sendu, bola matanya berkaca-kaca. "Sayangnya... dia tidak berhasil tertolong di dalam perutmu.""Maksudnya... aku sempat keguguran?" Aku mencoba mencerna setiap kata, setiap makna yang tersirat di baliknya."Iya," jawab Calvin, m
Empat hari berlalu, terasa begitu panjang.Akhirnya, dokter mengizinkan Viona pulang, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur. Syukur Alhamdulillah.Selama empat hari di rumah sakit, dokter terus memantau perkembangannya. Terapi okupasi pun dilakukan dan beberapa obat Viona rutin konsumsi, namun tak ada hasil yang signifikan. Tatapan Viona masih terasa asing, ingatannya belum kembali.Meski begitu, rasa syukur tetap memenuhi hatiku. Viona sudah sehat kembali, tubuhnya segar seperti sedia kala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal."Sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak, Pak Calvin?" Pinta dokter, tatapannya penuh makna. Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke ruangannya. Aku duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. "Meskipun Bu Viona sudah sehat secara fisik, tapi saya mohon Bapak untuk menahan diri. Tunda hubungan intim selama satu atau dua minggu."Wajahku memerah. Sejujurnya, sudah lebih dari semi
"Aku mau pergi, tolong jaga di sini dan jangan kemana-mana!" perintahku tegas kepada dua orang pengawal yang berdiri tegap di sisi kanan dan kiri pintu.Sejak Viona dirawat, aku memang menyewa dua orang penjaga yang selalu siaga di depan kamarnya. Meskipun Agnes sudah ditangkap, rasa takut masih membayangi."Baik, Pak," jawab mereka serempak, suaranya kompak dan mantap.***"Calvin!!"Suara itu memecah kesunyian saat aku baru saja melangkah keluar rumah sakit. Aku menoleh, dan jantungku berdebar kencang melihat Om Erick tiba-tiba berlari menghampiri dan langsung berjongkok, lalu memeluk lututku. Tubuhnya gemetar."Calvin... tolong maafkan Agnes, jangan hukum dia," rayunya, suaranya terisak, mengungkapkan keputusasaan yang mendalam."Maaf?" Aku terkekeh hambar, sebuah senyum sinis terpatri di bibirku. "Kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya, Om." Suaraku dingin, keras, mencerminkan luka yan
"Iya, mandi bareng. Apalagi sekalian .…" Aku mendekat ke arah telinganya, suara berbisik penuh godaan. "Bercinta." "Iihhhh!!!" Viona langsung mendorongku menjauh, wajahnya memerah padam seperti buah delima yang ranum. "Kenapa sih?" Entah mengapa aku gemas melihatnya, ingin kembali menggodanya. Viona terlihat seperti anak gadis yang sedang dimabuk cinta, lucu dan menggemaskan. "Aku hanya jujur. Dan kamu sendiri yang sering memintanya duluan." "Bapak! Aku geli sekali mendengarnya!" omelnya, bibirnya mengerucut cemberut. Aku terkekeh pelan. "Iya iya, maaf. Sekarang ayo kita ke kamar mandi, mangkanya kamu nggak perlu malu sega .…" Ucapanku terhenti saat aku kembali menyentuh tubuh Viona. Gerakanku terhenti saat jariku menyentuh celana istriku yang basah. "Lho, kok basah?" "Iihhh!!" Viona terlihat malu, langsung menarik selimutnya. Aroma samar-samar menusuk hidungku. Sekarang aku tahu kenapa celananya basah.
"Ya sudah, kalau begitu aku mau mencari ruangan dokter yang menangani Viona dulu, Yah." Dadaku sesak mengingat kondisi Viona saat ini. Wajah pucatnya, tubuhnya yang lemah. "Ayok, Cal," ajak Ayah, suaranya terdengar berat. Aku hanya mengangguk, langkahku terasa berat. Kami berjalan bersama, untungnya Ayah tahu ruangan Dokter Meka. Dua polisi yang tadi bersama Ayah tidak ikut, tugas mereka mengawasi Agnes agar perempuan itu tidak kabur lagi. Sesampainya di ruangan dokter, aku menceritakan semuanya—tentang Viona yang tak mengenaliku, tentang dia yang tak ingat kejadian mengerikan yang telah dialaminya. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa begitu pahit. Ayah tampak terkejut, wajahnya berubah pucat. Dia langsung bertanya pada dokter, suaranya bergetar, "Apakah ini artinya Viona amnesia, Dok?" Dokter itu hanya mengangguk pelan, "Kita langsung ke kamar Bu Viona saja, Pak. Biar saya periksa dia dulu,