"Kak Calvin??" gumamku pelan merasa tak percaya, dengan siapa orang yang berada di hadapanku saat ini.
Tidak! Kenapa aku harus bertemu dengan Kak Calvin yang merupakan mantan suamiku? Dan bukankah dia ini berada di Korea? Tapi kenapa malah ada di Indonesia? Selain itu, lima tahun sudah waktu yang telah berlalu. Tapi jika dilihat-lihat, wajahnya tampak semakin tampan dan berkharisma saja. Padahal dulu pas masih jadi suamiku—perasan biasa saja. Apa mungkin karena aku memang tidak ada rasa padanya? Ah bukankah sekarang pun sama saja? Hanya saja bedanya jantungku sekarang berdebar kencang saat berada di dekatnya. Tapi mungkin ini efek aku yang terlalu terkejut. "Kukira salah orang tadi. Ternyata benar." Kak Calvin menatap wajahku sebentar dan kulihat begitu sinis. Setelah itu dia berlalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Bahkan sebelum aku menanggapi ucapannya. Ada apa dengan Kak Calvin? Ah, seharusnya aku tahu. Sikapnya yang berubah mungkin disebabkan oleh luka yang masih membekas akibat perpisahan kami. Aku seharusnya bisa memahaminya, karena memang ini adalah akibat dari kesalahanku yang terlalu memikirkan diri sendiri. Pernikahan kami dulu adalah hasil dari paksaan. Ayahnya yang bernama Andre, telah menyelamatkan hidupku dengan mendonorkan darahnya saat aku mengalami kecelakaan. Papa berpikir Ayah Andre melakukannya dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tapi, ternyata kami salah. Ayah Andre tidak meminta uang, tetapi dia meminta sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu pernikahan antara aku dan putra sulungnya—Calvin. Papa dan aku tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan Ayah Andre. Meski dengan berat hati, aku terpaksa menikah dengan Kak Calvin. Ironisnya, pernikahan itu tidak bertahan lama. Kak Calvin mencintaiku, tapi aku tidak bisa membalas cintanya. Aku terlalu egois, aku lebih memilih Kak Yogi daripada Kak Calvin. Kak Yogi ini adalah pacarku, jauh sebelum aku menikah dengan Kak Calvin. Papa sempat berpesan, supaya aku memutuskan hubungan dengannya. Tapi karena terlalu dalam mencintai Kak Yogi, aku tak kuasa melakukannya sampai akhirnya aku kepergok oleh Kak Calvin, saat dimana aku dan Kak Yogi bertemu. Pria itu terlihat begitu kecewa, sama halnya dengan Kak Yogi, karena dia sendiri baru mengetahui bahwa aku sudah menikah. Selanjutnya, aku mendapatkan beberapa pertanyaan dari Kak Calvin perihal sedalam mana aku mencintai Kak Yogi, sampai dimana dia menawarkan diri apakah aku ingin bercerai darinya, lalu menikah dengan Kak Yogi? Tentu saja pertanyaan itu sangat mudah bagiku untuk menjawabnya, tentu saja aku mencintai Kak Yogi, mau menikah dengannya yang berarti dengan senang hati berpisah dengan Kak Calvin. Aku tahu betul bahwa Kak Calvin pasti merasa sakit hati saat mendengar hal itu, tapi dia memilih untuk menghargai keputusanku. Namun, pada kenyataannya, setelah aku berhasil terlepas dari Kak Calvin, aku justru tidak jadi menikah dengan Kak Yogi. Itu semua karena aku hamil, dan Kak Yogi tidak mau bertanggung jawab karena anak itu adalah anak Kak Calvin. Apakah aku kecewa?! Tentu saja! Aku merasa seolah-olah telah membuang-buang waktu dan perasaan orang yang mencintaiku, demi orang yang aku cintai tapi tidak mau menerima keadaanku. Mungkin aku memang bodoh. Aku telah membuat keputusan yang salah dan sekarang aku harus menanggung semua konsekuensinya. Jika saja waktu bisa diputar kembali, mungkin aku tidak akan meminta perceraian ini terjadi. Karena imbasnya kepada Kenzie, yang sejak lahir sampai sekarang, tak pernah merasakan vigur seorang Ayah. Ting! Bunyi hapeku yang masih berada dalam genggaman seketika membuyarkan lamunan, aku terhenyak dan segera membuka chat yang dikirim oleh Nona Agnes. Namun, sontak mataku kembali membulat. "Apa-apaan ini?" Nona Agnes ternyata bukan mengirimkan sebuah chat, melainkan sebuah foto. Tapi anehnya, mengapa itu adalah foto Kak Calvin? Apa ini berarti Kak Calvin adalah pacarnya Nona Agnes? Untuk memastikannya dengan jelas, aku segera menelepon Nona Agnes. Dalam hati berharap mungkin dia salah kirim foto. Sayangnya tidak. "Benar, itu pacarku. Orang yang harus kamu jebak." Jawaban dari Nona Agnes seketika membuat jantungku berdebar kencang. Aku merasa dunia ini begitu sempit seperti daun kelor. Kenapa harus Kak Calvin? Apa tidak ada pria lain di dunia ini? Aku sudah terlalu banyak menyakitinya, dan sekarang aku diminta untuk menjebaknya? Ahh dasar gila! "Lakukan segera, aku sudah standby di hotel. Jangan lupa, nomor 1006 lantai 4." "Baik, Nona." Ya ampun bagaimana sekarang? Aku terpaksa mengiyakan karena memang sudah dari awal aku setuju, meski itu dari paksaan. Aahh aku bingung, kepalanya juga ikut berdenyut-denyut secara tiba-tiba. Rasanya aku ingin menjerit, tapi dengan menjerit itu tak akan menyelesaikan masalah. Aku tidak mau menyakiti Kak Calvin lagi, tapi aku juga tidak mau kehilangan pekerjaan. Kak Calvin tolong maafkan aku. Aku terpaksa melakukan hal ini, dan semoga saja apa yang aku lakukan sama sekali tidak merugikan Kakak. Karena kuyakin, Nona Agnes sangat mencintai Kakak, itu sebabnya dia melakukan hal ini. Setelah menutup telepon, aku segera masuk ke dalam restoran tersebut untuk memilih tempat duduk yang tidak jauh dari Kak Calvin, kemudian meminta tolong pada salah satu pelayan untuk mau bekerjasama denganku. Tidak sulit ternyata meminta orang untuk mau bekerjasama, asalkan kita menyodorkan uang, pasti dia langsung setuju. Itulah penting dimana kita harus selalu punya uang. Karena saudara saja, akan menganggap kita orang asing jika kita tak memiliki uang. Namun sebaliknya, jika kita memiliki banyak uang, orang asing pun bisa menganggap kita sebagai saudaranya. "Silahkan diminum, Pak," ucap seorang pelayan yang berada di meja Kak Calvin, yang baru saja mengantarkan pesanan. Seperti dua gelas kopi hitam, satu untuk Kak Calvin dan satu lagi untuk seorang pria di depannya. Yang sebelumnya memang sudah ada sebelum aku masuk ke restoran. Mungkin dia rekan bisnisnya Kak Calvin. Pelayan perempuan itu langsung tersenyum, saat mata kami bertemu. Apakah ini merupakan kode, bahwa dia sudah memasukkan obat yang aku minta ke dalam minuman Kak Calvin? Ahhh semoga saja. Jadi, aku tunggu saja bagaimana reaksinya nanti. Setelah beberapa menit berlalu, kuperhatikan Kak Calvin sering sekali menyentuh kepalanya setiap kali mengobrol dengan pria di depannya. Cara dia duduk pun begitu gelisah, ditambah wajahnya merah sekali seperti orang yang sedang kasmaran. Ada apa dengannya? Tidak mungkin 'kan dia menyukai pria di depannya? Ya walau aku sendiri sempat mendengar kabar jika dulunya Ayah Kak Calvin memiliki kelainan homoseksual, tapi sepertinya tidak mungkin jika Kak Calvin pun begitu. Meskipun aku tidak terlalu mengenal dekat mantan suamiku, tapi aku yakin jika dia adalah pria normal. Tiba-tiba.... Brukk!! Mataku sontak membulat, saat melihat Kak Calvin terjungkal dari tempat duduknya. Refleks aku berdiri dan melihatnya yang sudah kehilangan kesadaran. Ya Allah, ada apa dengannya? Apa dia keracunan? "Astaghfirullah! Pak Calvin! Security tolooonnng!!!" Seorang pria yang bersama Kak Calvin berteriak, wajahnya terlihat panik. Dan aku yang ikut panik pun segera berlari mendekatinya. "Ada apa, Pak?""Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin. "Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan. "Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi. "Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal. Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya. "Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri. "Biar aku saja yang membawa Kak C
Setelah puas menciumiku tanpa ampun, bahkan hampir membuatku kehabisan oksigen, kini bibir Kak Calvin turun ke leher. "Aahhhh!!" Aku terkejut, apa yang dia lakukan? Lidah, dia menyesap leherku sambil memainkan lidahnya dan itu sangat menggelitik hingga membuat seluruh tubuhku meremang. Bahkan dapat kurasakan seluruh bulu romaku berdiri tegak. Tapi, aku ingat bahwa aku belum mandi tadi sore. Pasti leher dan tubuhku ini beraroma kecut dan terasa asem, bisa-bisa Kak Calvin mual. "Huuuekk!!" Nah benar 'kan, baru saja aku menebak dan sekarang Kak Calvin terlihat seperti ingin muntah. Aktivitas itu terhenti sejenak, tapi kulihat Kak Calvin tengah sibuk melepaskan jas dan kemejanya. Ini kesempatan emas untukku supaya terlepas darinya, karena kalau sampai aku ketahuan Nona Agnes, bisa-bisa aku habis olehnya. Setelah mengeluarkan tenaga dalam, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari tubuhku. Kak Calvin terjungkal dari kasur dan langsung merintih kesakitan, karena
Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick. "Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ...
"Iya, Kak. Aku sungguh-sungguh!" Tanpa banyak berpikir, aku langsung menjawabnya dengan mantap. Kupikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. "Baiklah." Kak Calvin langsung memundurkan langkah, menjauh dariku lalu memakai kembali jas biru navy-nya. Namun, kulihat wajahnya menjadi masam sekarang. Ada apa lagi dengannya? Kenapa seolah-olah jawaban yang aku berikan terdengar tidak mengenakan untuknya? Apa memang ini merugikannya? Padahal 'kan tidak, karena jelas-jelas aku yang telah diperkosa di sini. Kak Calvin ini benar-benar aneh sekali. Aku jadi bingung sendiri. "Aku minta maaf ya, Kak." Bingung ingin berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta maaf saja. "Ngapain minta maaf, kan sudah jelas kamu korban di sini," sahut Kak Calvin dengan ketus, tanpa menatapku dia berjalan ke arah pintu. Handle pintu itu sudah dia pegang, dapat kulihat tubuhnya dari belakang. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti. "Aku mau pulang. Kamu cepat pakai pakaianmu lalu segera pulang, karen
"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh. "Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis. "Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat. *** Pov Calvin. Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui? Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang. Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu. Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba menc
Dengan refleks, aku segera mengerem mobil, berharap agar tidak terlambat untuk menghindari menabraknya. Bruk!!! Suara sesuatu yang jatuh terdengar, dan jantungku berdegup kencang, berharap dengan sungguh-sungguh agar anak kecil itu tidak terluka. Semoga dia baik-baik saja. Dengan rasa panik yang menyergap, aku segera turun dari mobil dan berlari mendekatinya. "Ya Allah, Dek!" seruku dengan suara gemetar, sambil berjongkok di dekat anak yang seperti berusia sekitar 5 tahun itu. Dia duduk dengan keadaan menangis sambil menyentuh lutut kanannya yang berdarah cukup banyak, sepertinya tadi tergores oleh aspal. Hatiku terasa hancur melihatnya. "Huuueeee!! Sakittt!!" tangisnya pecah dengan deraian air mata yang memilukan. Bergegas aku meraih tubuh kecilnya dengan penuh kelembutan, sebab tak tega rasanya karena dia juga cukup kurus. Aku langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya pada kursi di sampingku. "Kita ke rumah sakit ya, jagoan. Kamu tenang dulu, jangan menang
Aku pun membawa Kenzie ke Dokter umum, pihak rumah sakit langsung mengizinkan kami masuk tanpa perlu mengantre. Mungkin simpati pada keadaan Kenzie. Dokter pria mulai memeriksa, saat Kenzie aku baringkan ke tempat tidur. Bocah itu kembali memelukku. Meski tubuhnya kecil, tapi pelukannya cukup membuatku nyaman. Hatiku terasa hangat entah mengapa. "Kenzie takutt!!" "Tidak perlu takut anak ganteng, ini cuma luka ringan kok," sahut Dokter yang berada di dekat kami, yang tampaknya memahami perilaku yang ditunjukkan oleh Kenzie. "Beneran, Dok, cuma luka ringan?" Aku bertanya untuk memastikan. Kuperhatikan juga lutut Kenzie yang mulai dibersihkan oleh seorang suster yang baru saja datang. Dokter mengangguk. "Bener kok, Pak. Cuma tergores aspal, paling 3 hari lukanya akan kering." Jawaban dari Dokter benar-benar membuatku lega. Aku menghela napas, syukurlah kalau memang dia baik-baik saja. Aku sungguh khawatir sebelumnya. "Aaawwwwww peliiihhh!!" jerit Kenzie, yang sontak membuatku ter
(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
"Bapak lihat apa? Nggak sopan!"Suara Zea menusuk telingaku, tajam dan penuh amarah. Tubuhnya berputar cepat, meninggalkanku, berlari menjauh dari dapur. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, aku menangkap kilasan wajahnya yang merah padam, seperti memendam kekesalan."Zea, tunggu!" Aku berteriak, langkahku terburu-buru, berusaha mengejarnya. Namun, sia-sia. Dia terlalu cepat masuk kamar.Ting, Tong!Ting, Tong!Suara dering bel rumah membuyarkan niatku untuk menemuinya. Aku menghela napas panjang, mengurungkan langkah, dan berjalan menuju pintu depan.Ceklek… Bunyi pintu yang terbuka. "Assalamualaikum," sapa Mbah Yahya yang sudah berdiri di depan pintu bersama Akmal."Walaikum salam. Silakan masuk, Mbah," ujarku, mempersilakan mereka masuk sambil memperlebar pintu.Mbah Yahya mengangguk, langkahnya tenang mengikutiku menuju ruang tamu. "Mal, tolong buatkan kopi untukku dan Mbah Yahya," pintaku kepad
"Kakekmu ... aku melihat hantu Kakekmu ada di dalam, Yang!!" serunya histeris, suaranya bergetar hebat, campuran antara takut dan sedih. "Hantu kakekku?" Pak Kenzie terlihat bingung, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku pun sama bingungnya. Apa maksud Nona Helen? Rumah ini baru, bukan rumah lama Pak Kenzie yang katanya berhantu. "Iya, tapi kali ini dia bukan sekedar mengusirku ... tapi juga memintaku untuk meninggalkanmu, Yang," kata dia, suaranya terisak-isak, menunjukkan kepedihan yang mendalam. Nona Helen menangis tersedu-sedu, bahu-bahunya bergetar hebat. Melihat dia yang seperti itu, aku jadi kasihan padanya. Namun, aku masih bertanya-tanya mengenai hantu itu. Bukankah rumah yang berhantu itu rumah Pak Kenzie yang sebelumnya? Ini 'kan rumah baru. Bagaimana bisa ada hantu kakeknya Pak Kenzie di sini? "Masa sih, Yang? Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu bilang di sini nggak ada hantu Kakek, ya?" Pak Kenzie tampak heran, menatap istrinya dengan penuh kebingungan. "Ke
"Ada, Nona. Tapi apa Nona yakin... mau minum jamu itu?" Penjual jamu yang terlihat seperti seumuran Pak Kenzie itu mengamatiku dengan saksama. Keraguan terukir jelas di wajahnya."Yakin, Mas," jawabku mantap, segera duduk dibangku kayu yang terasa dingin dan kasar. "Tolong buatkan sekarang, ya?" pintaku tak sabar."Baiklah kalau begitu. Mohon ditunggu sebentar." Dia berlalu, langkahnya pelan.Aku mengangguk, mataku mengikuti setiap gerakannya. Kios ini tercium bau jamu yang cukup menyengat hidungku, campuran aroma jahe, kunyit, dan rempah-rempah lainnya.Sembari menunggu, aku meraih ponsel di saku celanaku. Aku memutuskan untuk mematikan ponsel, satu-satunya cara agar Pak Kenzie tak bisa melacakku. Setelah ini, aku akan kabur. Kabur sejauh mungkin. Kalau bisa pergi dari Jakarta."Zea, ngapain kamu di sini?"Suara itu menusuk telingaku, seperti sambaran petir di siang bolong yang cerah. Aku tersentak, ponselku hampir saja jatu
"Saya terima nikah dan kawinnya Zea binti Darman dengan mas kawin uang satu juta rupiah, tunai!" Kalimat sakral itu terucap, namun tak membawa getaran bahagia seperti yang seharusnya. Satu tarikan napas panjang dari Pak Kenzie, menandai dimulainya sebuah babak baru yang terasa hampa. Jantungku berdebar, bukan karena sukacita, melainkan karena kecemasan yang menghimpit. "Bagaimana para saksi?" tanya Pak Ustad yang menatap orang-orang disekelilingnya. "Sah!" "Sah!" Seruan itu terdengar seperti gema kosong, tak mampu membangkitkan semangat. "Alhamdulillah... Kalian telah sah menjadi pasangan suami istri," ucap Pak Ustad sambil tersenyum menatapku, tapi aku hanya diam saja tanpa respon. Pak Kenzie mendekat, jarinya yang kaku membalut jari manisku dengan sebuah cincin berlian putih. Kilauannya tak mampu menutupi rasa dingin yang menjalar di hatiku. Hanya satu cincin. Satu cincin untukku, sementara d
"Aku tetap ingin menggugurkan kandungan ini, Pak." Suara Zea terdengar lemah, namun tegas menyatakan pendiriannya."Nggak! Nggak boleh! Aku melarangnya!" Aku membentak, rasa tak puas membuncah. "Pokoknya kamu harus melahirkan anakku itu apapun caranya, dan kita harus menikah!" Suaraku keras, menunjukkan sikapku yang berkuasa."Tapi, Pak, bagaimana—" Zea mencoba menjelaskan, namun aku memotongnya."Enggak ada tapi-tapi!" potongku cepat, tidak memberikan ruang bagi bantahannya. "Kita akan menikah siri malam ini dan merahasiakannya dari siapapun. Tapi sebelum itu ... kamu harus telepon Jamal dulu." Aku memberikan ponselnya, yang sebelumnya kutemukan di mobilku. Sepertinya terjatuh saat Zea pingsan."Mau apa telepon Mas Jamal, Pak?" Zea bertanya dengan bingung."Meskipun status kita rahasia, tapi aku nggak mau kamu memiliki hubungan dengan pria lain selain aku. Dan aku yakin kamu pasti belum putus dengannya." Aku menjelaskan alasanku, meskipu
Udara di ruang tunggu UGD terasa begitu menyesakkan. Jam dinding berdetak lambat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa tahun, pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Seorang dokter pria, berkacamata dan berwajah tegas, menghampiriku. Tatapannya tajam, menembusku hingga ke tulang sumsum. "Anda suaminya?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa, menciptakan tekanan yang tak terlihat. Aku menggeleng, suaraku serak. "Bukan, Dok. Aku bosnya Zea." "Bisa hubungi suami Nona Zea sekarang? Ada hal yang perlu saya sampaikan." "Zea belum menikah, Dok." Alis dokter itu bertaut. "Lalu keluarganya? Di mana keluarganya?" "Keluarganya jauh, Dok. Tapi... apa yang terjadi pada Zea? Dia baik-baik saja, kan?" Dokter itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asam lambungnya naik, Pak. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yaitu Nona Zea sedang mengandung. Usia kandungannya sekitar dua minggu." Kalimat itu menyambar seperti petir di siang bolong. "Mengandung?!" Aku tersent
"Dari siapa?" tanyaku cepat. Segera mengambil benda itu dari tangannya."Pengirimnya atas nama Heru, Pak.""Heru?" Dahi berkerut. Nama itu terdengar asing, siapa dia?***"Siapa Heru?"Pertanyaan itu terlontar begitu aku sampai rumah dan menemukan Helen sedang berada di kamar, terlihat sedang membereskan pakaian di lemari."Kenapa tiba-tiba tanya tentang Heru?" suaranya terdengar sedikit gemetar, menunjukkan dia gugup. Dia menoleh, tatapannya sedikit menghindari pandanganku."Jawab saja. Kamu kenal Heru, kan? Siapa dia?" Nadaku sedikit lebih keras dari biasanya, suara yang kuusahakan tetap tenang namun di dalamnya bergelora amarah yang membuncah. Da*daku sesak, bergemuruh seperti drum yang dipukul terus-menerus.Rasanya ada sesuatu yang berat menekan jantungku. Tak ada suami yang tak marah jika istrinya dikirimi bunga oleh pria lain, apalagi bunga mawar merah yang begitu mencolok dan romantis. Buket itu
"Ada apa, Ken?" Pertanyaan dari Ayah dan tepukan lembut di pundakku membuatku tersentak. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Enggak ada apa-apa kok, Yah. Ayok kita lanjutkan perjalanan," ucapku lalu kembali mengemudi. *** Sepulang kerja, aku langsung pulang ke rumahku. Sebelumnya aku sudah memberitahu Helen akan pulang telat untuk urusan ini, supaya dia tidak mencemaskanku. Seorang pria tua bertubuh tinggi besar sudah duduk di depan pos. Dia memakai jubah hitam. Wajahnya seram, berkulit hitam. Kumis dan jenggotnya pun panjang. Dia adalah dukun yang kata Jamal sakti mandraguna. "Selamat malam, Pak," sapaku saat turun dari mobil dan menghampirinya. Dia segera berdiri dan mengulurkan tangan, seperti ingin mengajakku berkenalan. "Malam. Panggil saja Mbah Yahya," ucapnya. "Iya, aku Kenzie, Pak. Silahkan masuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, karena tak enak rasanya jika berbincan
"Kamu nggak ada yang disembunyikan dari aku 'kan, Yang?" tanyaku menatapnya serius. Perasaanku jadi tidak enak."Enggaklah, Yang. Lagian apa yang perlu aku tutupi? Kan kamu tau.""Tapi diawal 'kan kamu nggak jujur sebelum aku tau sendiri.""Soal itu 'kan sudah aku jelaskan, kalau aku takut kamu nggak bisa nerima aku. Memangnya belum jelas juga, ya?" Helen tampak kesal, suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.Ah, sepertinya aku harus mengakhiri pembahasan ini sebelum dia benar-benar marah. Aku tidak mau melihatnya marah, apalagi posisi kami sedang di rumah Ayah."Maaf deh. Ya sudah... lebih baik kita tidur saja, ya? Besok aku harus masuk ke kantor. Takut kesiangan."Helen hanya mengangguk, lalu memberikan segelas susu yang sejak tadi dia pegang. Tanpa bertanya, aku segera menghabiskan susu itu. Entah susu apa, mungkin itu hanya susu kental manis biasa. Setelah itu kami berdua menarik selimut untuk tidur.***