"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh.
"Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis. "Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat. *** Pov Calvin. Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui? Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang. Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu. Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba mencintaiku? Aneh sekali kamu ini, Vio. Memang, ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Tapi setidaknya kamu bisa menghukumku. Mengadukanku kepada pihak polisi, Yogi, atau Papa Tatang supaya aku mendapatkan hukuman. Aku tidak masalah, Vio, jika harus dihukum dan masuk penjara lagi. Lagian, hidupku sedari dulu memang sudah berantakan. Saat dimana kamu lebih memilih Yogi daripada aku. Ayah maafkan aku, padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi pria yang lebih baik lagi. Namun nyatanya, setelah lima tahun berlalu, aku tetap menjadi Calvin yang dulu. Yang selalu membuat masalah, yang selalu membuat Ayah kesal. Tapi aku beruntung, karena meski sekacau apapun hidupku, Ayah tetap menyayangiku. Apa mungkin apa yang aku alami dalam hidupku adalah karma dari Mama, yang dulu pernah mengkhianati Ayah? Aku sih berharap bukan, karena aku juga ingin bahagia, Ayah. Aku ingin dicintai, dicintai oleh seorang perempuan yang juga aku cintai. * * Setelah meninggalkan hotel, aku memutuskan untuk pergi ke restoran semalam. Aku ingat Viona mengatakan bahwa dia yang mengantarkanku, yang berarti mobilku tertinggal di restoran. Aku tahu Viona tidak bisa mengendarai mobil. Benar, mobilku tertinggal di restoran. Setelah membayar ongkos taksi, aku pulang ke rumah menggunakan mobilku. Siang ini aku ada meeting, tidak mungkin aku pergi ke kantor dalam keadaan belum mandi dan mengenakan pakaian kemarin. Ditambah lagi, hapeku lowbet, chargernya ada di rumah. "Selamat pagi Pak Calvin," sapa satpam rumahku begitu aku turun dari mobil. Kupandang sejenak, mobil berwarna merah milik Agnes terparkir rapih di halaman. Aneh, mengapa dia datang ke rumahku pagi-pagi seperti ini? Apa dia tidak memiliki jadwal pemotretan? Bagi yang belum mengetahui pekerjaan Agnes, dia adalah seorang model pada salah satu perusahaan kosmetik. Kami pertama kali bertemu di Korea ketika dia tengah melakukan sesi pemotretan. Saat itu, kami saling berkenalan dan bertukar nomor hape, hingga akhirnya kami menjalin hubungan. Namun, yang menarik, bukan aku yang menyatakan cinta padanya, melainkan Agnes sendiri yang mengaku bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama. Tidak bermaksud untuk bersikap sombong, namun pada saat itu, aku memang belum mempertimbangkan untuk menjalin hubungan. Baik pacaran maupun menikah, itu tidak ada dalam pikiranku. Aku sejujurnya masih nyaman sendiri, bahkan sekarang pun tidak masalah bagiku jika harus hidup tanpa pendamping. Bagiku, untuk apa memiliki pasangan, jika dia tidak mencintai kita. Rasanya pasti sangat sakit. Itulah sebabnya aku belum merasa siap untuk hubungan serius dengan Agnes, karena hingga saat ini, aku belum melihat tanda-tanda bahwa cintanya padaku tulus. "Maaf Pak Calvin, di dalam ada Nona Agnes. Menunggu Bapak dari sejam yang lalu," ucap Pak Satpam dengan sopan. "Iya," aku mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. "Mas!!" Agnes yang duduk di sofa ruang tamu langsung berdiri dan berlari mendekat, memeluk tubuhku. "Mas ke mana saja, sih? Kok nomornya nggak aktif? Kata Pak Satpam juga Mas belum pulang dari semalam," ucapnya penuh kekhawatiran. Meskipun sudah dua tahun pacaran, entah mengapa, aku tetap merasa tidak nyaman saat dipeluk olehnya. Rasanya ada rasa risih yang sulit dijelaskan. "Hapeku lowbet, aku juga ada lembur di kantor," jawabku sambil mendorong pelan tubuh Agnes untuk menjauh. Lagipula, aku juga belum mandi, pasti bau. "Bener lembur? Bukannya kata Mas ... Mas semalam pergi ke restoran, ya, mau ketemu sama rekan bisnis, Mas?" Agnes menatapku dengan raut tidak percaya. "Itu benar. Tapi aku langsung balik ke kantor karena ada kerjaan," jawabku dengan mantap. Aku tidak bermaksud untuk membohongi Agnes, namun aku hanya menghormati permintaan dari Viona. Aku siap menghadapi konsekuensi jika suatu saat kebohonganku terungkap. "Oohh ... tapi Mas sempat ketemu Viona nggak, pas di restoran?" tanya Agnes. "Viona?!" Aku menatap pacarku dengan bingung, mengapa dia jadi bawa-bawa Viona segala? Dan jujur saja aku juga tidak menyangka jika Viona bekerja dengan Agnes, karena selama kami pacaran, Agnes tidak pernah menyebut-nyebut namanya. "Iya, Viona itu asisten pribadiku, Mas." "Terus kenapa?" Agnes menggeleng. "Ya enggak apa-apa. Dia hanya bicara kalau semalam ketemu sama Mas." "Oohh... ya udahlah nggak penting," ucapku acuh, lalu menunjuk ke arah tangga. "Aku mau mandi dulu, ya. Kamu mending pulang aja, Yang. Soalnya habis ini aku mau berangkat ke kantor." "Mas libur aja hari ini!" pintanya sambil mendekap tubuhku dari belakang. Aku merasa bingung, mengapa dia melarangku pergi bekerja? "Mending kita ke rumah orang tua Mas aja, yuk! Aku juga kepengen dong, Mas, dikenalin. Aku belum pernah lho ketemu sama orang tua Mas apalagi Ayah Mas," ajaknya antusias. "Nanti saja kalau ada waktu, Ayahku sibuk orangnya," jawabku singkat sambil menarik tangan Agnes dari pinggangku, lalu berlari pergi tanpa mempedulikan teriakan Agnes memanggil-manggilku. * Seusai mandi dan bersiap, aku langsung turun kembali ke lantai bawah. Namun, rupanya Agnes belum juga pulang. Dia kini berada di ruang keluarga tengah menonton televisi. Apa sebenarnya maunya? Kok ngeselin si Agnes lama-lama. "Kamu mau di sini terus, Yang? Ya kalau masih ingin di sini sih nggak apa-apa. Kalau begitu aku berangkat deh, ya?" Mending kutinggal saja sekalian deh, daripada terus meladeninya. Yang ada aku telat. "Aku minta nomor Ayah Mas dulu, baru aku pulang, Mas," pinta Agnes seraya berdiri dan menghampiriku. Aku merasa semakin tidak nyaman dengan kehadirannya. "Mau ngapain minta nomor Ayah? Dia sibuk orangnya, Yang," tegasku. "Aku ingin bersilaturahmi, Mas. Nanti aku hubungi dia kalau dia nggak sibuk," jawab Agnes mantap. "Silaturahmi itu secara langsung aja, nggak perlu lewat hape. Nggak sopan," tegasku lagi. "Ya habis Masnya lama, kapan dong ngajak aku buat ketemu Ayah?" Agnes tiba-tiba merengut dan bergelayut manja di pundakku sambil mengelus-elus dadaku. Ah, betapa menyebalkannya dia ini. Sudah kujelaskan tadi, tapi tetap saja tidak ada yang bisa dimengerti. "Kan sudah kubilang, nanti kalau ada waktu, Yang. Kamu nggak denger aku, ya?" Suaraku sedikit meninggi, aku mulai merasa emosi. Aku tidak suka dengan perempuan yang sulit diajak berbicara. "Nanti malam, ya, Mas. Habis Mas pulang kerja. Pokoknya nggak ada alasan lagi, nanti malam habis magrib aku ke sini lagi, oke?" Agnes tiba-tiba berjinjit dan mencium bibirku, lalu pergi dengan cepat sambil melambaikan tangan. Padahal belum sempat aku menjawabnya, tapi sudah oke-oke saja dia. Aku menghela napas dengan berat, lalu geleng-geleng kepala. "Ya sudahlah, toh hanya bertemu saja. Sepertinya tidak masalah," gumamku. Aku segera masuk ke dalam mobil, lalu memulai perjalanan menuju kantor. Setengah dari perjalanan, aku tiba-tiba teringat. "Oh ya, aku lupa untuk bertanya kepada asistenku tentang persiapan meetingnya nanti. Jangan sampai ada yang dia lupakan, karena aku tidak enak. Orang-orang yang ikut meeting adalah orang-orang yang sangat penting untuk kelangsungan bisnisku," pikirku sambil fokus mengemudi. Perlahan, aku merogoh hape di dalam kantong celana, yang sudah terisi penuh baterainya setelah sempat aku charger tadi. Namun, tiba-tiba... "Aakkkhh!!" Seorang anak kecil yang entah darimana asalnya menjerit histeris tepat di depan mobilku. Ah, sialan ini bocah! Benar-benar ingin cari mati! Kenapa dia justru diam ditengah jalan begini? Kenapa dia tidak langsung berlari menghindari mobilku? Waduuuhhh 😣Dengan refleks, aku segera mengerem mobil, berharap agar tidak terlambat untuk menghindari menabraknya. Bruk!!! Suara sesuatu yang jatuh terdengar, dan jantungku berdegup kencang, berharap dengan sungguh-sungguh agar anak kecil itu tidak terluka. Semoga dia baik-baik saja. Dengan rasa panik yang menyergap, aku segera turun dari mobil dan berlari mendekatinya. "Ya Allah, Dek!" seruku dengan suara gemetar, sambil berjongkok di dekat anak yang seperti berusia sekitar 5 tahun itu. Dia duduk dengan keadaan menangis sambil menyentuh lutut kanannya yang berdarah cukup banyak, sepertinya tadi tergores oleh aspal. Hatiku terasa hancur melihatnya. "Huuueeee!! Sakittt!!" tangisnya pecah dengan deraian air mata yang memilukan. Bergegas aku meraih tubuh kecilnya dengan penuh kelembutan, sebab tak tega rasanya karena dia juga cukup kurus. Aku langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya pada kursi di sampingku. "Kita ke rumah sakit ya, jagoan. Kamu tenang dulu, jangan menang
Aku pun membawa Kenzie ke Dokter umum, pihak rumah sakit langsung mengizinkan kami masuk tanpa perlu mengantre. Mungkin simpati pada keadaan Kenzie. Dokter pria mulai memeriksa, saat Kenzie aku baringkan ke tempat tidur. Bocah itu kembali memelukku. Meski tubuhnya kecil, tapi pelukannya cukup membuatku nyaman. Hatiku terasa hangat entah mengapa. "Kenzie takutt!!" "Tidak perlu takut anak ganteng, ini cuma luka ringan kok," sahut Dokter yang berada di dekat kami, yang tampaknya memahami perilaku yang ditunjukkan oleh Kenzie. "Beneran, Dok, cuma luka ringan?" Aku bertanya untuk memastikan. Kuperhatikan juga lutut Kenzie yang mulai dibersihkan oleh seorang suster yang baru saja datang. Dokter mengangguk. "Bener kok, Pak. Cuma tergores aspal, paling 3 hari lukanya akan kering." Jawaban dari Dokter benar-benar membuatku lega. Aku menghela napas, syukurlah kalau memang dia baik-baik saja. Aku sungguh khawatir sebelumnya. "Aaawwwwww peliiihhh!!" jerit Kenzie, yang sontak membuatku ter
(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
(POV Calvin)Dengan banyaknya pekerjaan, aku terpaksa harus lembur hingga jam 6 malam. Namun, di tengah kesibukan di kantor, pikiranku terus menerus melayang pada Kenzie. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Sudahkah dia makan dan mandi? Aku telah memberikan instruksi kepada satpam dan Bibi di rumah untuk merawat Kenzie dengan baik, memastikan bahwa dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya, namun juga menjaga agar tidak memberinya kesempatan untuk kabur. Aku khawatir bahwa Kenzie mungkin memiliki niat untuk mengambil sesuatu yang berharga dan menyelinap pergi. Sebelum sampai rumah, aku sempat singgah ke toko mainan dan membelikan Kenzie sebuah mainan. Aku teringat akan kata-kata Kenzie yang menyebut bahwa hampir setiap hari, setelah pulang kerja, Bundanya selalu membawakan mainan untuknya.Aku berharap, dengan membelikan mainan ini, dia jadi teringat Bundanya. Dan aku bisa membujuknya untuk pulang ke rumah. "Eh ... Pak Cal
"Kenzie bukan tuyul!!" seru Kenzie menyahuti ucapan Ayah, membuat pria itu tampak terkejut.Ada apa dengan Ayah ini? Bisa-bisanya anak orang dia katai tuyul. Atau paling hanya bercanda saja, ya? Lagian kepala Kenzie juga tidak botak, tidak persis seperti tuyul pada umumnya."Kenzie bukan tuyul, Ayah. Dia anak manusia," sahutku."Tapi dia anak siapa? Kok ada di rumahmu? Jangan bilang kamu dan pacarmu ...." Ayah menahan ucapannya sambil menatap tajam mataku. Ah dia ini, pasti sudah berpikir yang tidak-tidak."Ayah jangan berpikir yang enggak-enggak, biar aku jelaskan. Tapi kita keluar dulu, biar enak ngomongnya." Aku menarik tangan Ayah untuk bersama-sama keluar dari kamar, supaya lebih leluasa bicara."Jangan bohong ya, Cal. Ayah paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong." Ayah memperingatiku.Padahal siapa juga yang mau berbohong padanya."Aku tidak berbohong, Ayah. Dan Kenzie itu bukan siapa-siapanya aku. Aku n
"Tuh, apa katanya Calvin. Agnes udah seratus persen katanya, masa kamu belum yakin?" kata Ayah yang terdengar menyindirku. Ah aku paling malas jika membahas masalah nikah. Karena aku sendiri belum tertarik untuk menikah. "Kita makan saja dulu, baru mengobrol. Kan Ayah bilang udah lapar." Aku segera mengalihkan topik demi mengakhiri pembahasan ini. Mereka semua mengangguk, kemudian kami mulai menyantap makan malam dengan serius dan tenang. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring. Setelah makan malam kami selesai, kami pun berpindah tempat duduk ke ruang keluarga. Duduk bersantai sambil mengobrol ditemani teh manis dan biskuit di atas meja. Padahal aku sudah kenyang dan sedikit mengantuk. Tapi tidak mungkin juga kutinggalkan mereka, apalagi Agnes. Pasti dia akan marah. "Oh ya, Agnes. Kamu dan Calvin ketemu di mana? Bunda belum tau lho, Calvin belum pernah cer
"Mau ngapain memangnya?" tanya Kenzie tampak bingung."Ya mau ketemu, Om mau bicara. Lagian, kalau memang kita harus pergi ke Korea ... Om harus minta izin sama orang tuamu atau keluargamu dulu, nggak sembarangan main ajak aja, Dek. Nanti dikira Om nyulik kamu lagi." Aku berusaha menjelaskan dan sedikit membujuk, semoga saja Kenzie setuju."Aah nanti yang ada Bunda ngelalang, Om. Bunda 'kan ngeselin olangnya," keluh Kenzie dengan bibir yang mengerucut."Nggak mungkin Bundamu melarang." Aku menggeleng yakin sambil mengelus rambut Kenzie. "Kan kamu yang bilang sendiri alasan Bundamu nggak mau mencari Ayahmu itu karena nggak ada ongkos pergi ke Korea. Naaahhh ... nanti biar Om yang ongkosin. Bila perlu... kamu, Bundamu sama Kakekmu juga sekalian. Kita pergi mencari Ayahmu bersama-sama dengan Om ke Korea." Aku memberikan tawaran dengan harapan Kenzie setuju.Mata Kenzie seketika berbinar, kedua pipinya memerah. "Iihh mau, Om!!" seru Kenzie,
"Telnyata Bunda kenal sama Om Baik ini, ya?" Kenzie berbicara, kulihat dia tersenyum manis menatap Kak Calvin. "Om Baik ini ketemu Kenzie dijalan, nggak sengaja nablak Kenzie.""Apa?! Nabrak?!"Mataku seketika membulat sempurna, benarkah yang dikatakan Kenzie? Tapi dia terlihat baik-baik saja, hanya ada perban kecil pada lutut kanannya. Mungkinkah lukanya ada di sana?"Benar apa yang dikatakan Kenzie, Vio," sesal Kak Calvin dengan wajah bersalah. Dia mengelus perlahan pucuk rambut Kenzie dengan lembut dan penuh kasih. "Aku minta maaf, karena kurang cepat mengerem mobil. Soalnya posisi dia juga ada ditengah jalan.""Kamu kenapa ditengah jalan, Nak? Kan bahaya!" Aku menegur Kenzie, tapi penuh kelembutan. Karena khawatir membuatnya marah."Nanti aku ceritakan detailnya," sahut Kak Calvin, lalu menatap sekeliling rumahku dan terlihat mencari-cari seseorang yang entah siapa. "Sekarang ... boleh nggak aku masuk? Kita mengobrol sambil duduk, bia
"Iya, Kak." Viona mengangguk, matanya tertunduk malu. Seketika itu juga, rasa kecewa menusuk hatiku. Ah, pedih sekali. "Jadi, aku simpan pembalutnya nggak, Kak? Aku lupa, soalnya. Takutnya keburu bocor kalau aku nggak pakai sekarang." "Kamu nggak pernah menyimpan pembalut, Sayang," jawabku lirih, suaraku terdengar lesu. "Oh, begitu. Ya sudah, aku mau minta Bibi belikan saja, deh." Aku segera menahan tangan Viona saat dia hendak melangkah. "Biar aku yang belikan. Kamu tunggu di sini saja." Meskipun hatiku dipenuhi kecewa, aku harus tetap menjadi laki-laki yang bisa diandalkan. Hanya dengan begitu, mungkin hati Viona akan luluh. "Terima kasih, Kak. Maaf merepotkan." "Sama-sama." Aku tersenyum, lalu memberanikan diri untuk mendekat. Aku ingin mencium pipinya, namun Viona langsung mundur, menghindari sentuhanku. "Maaf. Apa mencium pipimu saja tidak boleh?" tanyaku dengan nada sedih.
Aku duduk di teras bersama Papa, sambil menyeruput secangkir kopi yang kubawa buatan Viona tadi. Aku penasaran dengan apa yang akan Papa bicarakan. Tampaknya serius, karena Kenzie pun tidak diizinkan untuk bergabung. "Sebenarnya Papa hanya ingin memberikan ini padamu, Cal." Papa mengambil sesuatu di dalam kantong celananya. Entah itu apa, tapi ada nama jamu yang tertera di sana. "Ini jamu, Pa?" tanyaku. Tapi aku bingung mengapa Papa ingin memberikan itu padaku. "Iya, ini jamu penyubur kandungan untuk Viona. Papa masih berharap Viona bisa hamil lagi, Cal. Biar Kenzie ada temannya." "Memangnya boleh, ya, Pa ... Viona minum jamu? Kan dia habis keracunan." Aku hanya khawatir, takut jamu ini mengandung bahan-bahan yang membuat Viona kembali mengalami keracunan. "Papa sudah sempat tanya sama dokter dan kata dia boleh kok, Cal." "Dokternya Viona bukan, Pa, yang bilang begitu?" tanyaku heran. "Iya." Papa mengangguk. "Eh tapi, Viona sendiri sedang mengkonsumsi obat subur nggak, Cal? Ba
Satu bulan kemudian.... Tok! Tok! Tok! Suara ketukan palu di persidangan membuat hatiku lega. Hukuman Agnes penjara seumur hidup dan hukuman mati untuk kasus percobaan pembunuhan dan pembunuhan terhadap janin telah dijatuhkan. Keadilan telah ditegakkan. Setelah proses sidang ini selesai, aku memutuskan untuk pulang bersama Ayah. Sama sekali aku tak ada niat untuk menemui Agnes, karena bagiku, semuanya sudah selesai. Luka di hatiku masih terasa, tapi aku berusaha untuk move on. "Cal ... bagaimana keadaan Viona? Sudah ada perkembangan?" tanya Ayah, suaranya lembut namun penuh harap. Aku menoleh, menggeleng pelan, lesu. "Ingatannya belum pulih sepenuhnya, Yah. Tapi Viona sudah jauh lebih dekat dengan Kenzie dan Papa." "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah setelah Viona keluar dari rumah sakit, kamu sudah pernah menyentuhnya??" Wajahku langsung memanas. Aku bisa merasakan rona merah membakar pipiku, terlihat jelas di kaca spion. Maluku luar biasa. Sebenarnya, sampai sekarang a
Mata Calvin membulat. "Ya Allah, Sayang! Enggak dong!" Dia menggeleng cepat. Suara Kenzie polos bertanya, "Anak haram itu apa, Ayah?" Pertanyaan polos itu menambah kekacauan di hatiku, mencampur aduk rasa bingung, takut, dan curiga. "Nanti Ayah jelaskan padamu. Tapi Ayah jelaskan hal ini kepada Bunda dulu, ya?" Calvin mengusap puncak kepala Kenzie dengan lembut, mencoba menenangkan putranya. Lalu, dia menatapku, matanya penuh pengertian. "Kenzie itu bukan anak haram, Sayang. Dia anak sah, hasil dari hubungan halal kita." "Tapi... kenapa dia sudah ada saat kita menikah? Harusnya dia baru lahir beberapa bulan setelah pernikahan kita," tanyaku masih bingung. Foto itu masih terbayang jelas di benakku. Calvin tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan. "Sebelumnya, kita sempat menikah sebelum Kenzie lahir. Hanya saja, pernikahan kita waktu itu tidak berlangsung lama.
"Viona sayang... Ayo kita turun." Calvin telah lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku. Sementara Kenzie dan Pak Tatang juga ikut turun."Kita mau ngapain ke sini, Pak? Apakah kita sudah sampai?" tanyaku bingung."Kita mampir untuk ziarah, Sayang. Kamu harus bertemu dengan almarhum Kenzo." Kalimat Calvin terasa berat."Kenzo? Siapa Kenzo?" Nama itu sama sekali tak terpatri dalam ingatanku. Aku mencoba mengingat, namun hanya hampa yang kurasakan. "Kenzo itu adik bayi Bunda, adik bayi yang sudah Ayah beri nama," jelas Kenzie, suaranya terdengar polos.Air mata membasahi pipi Calvin saat dia berkata, "Kenzo adalah anak kedua kita, Sayang, adik Kenzie." Pandangannya sendu, bola matanya berkaca-kaca. "Sayangnya... dia tidak berhasil tertolong di dalam perutmu.""Maksudnya... aku sempat keguguran?" Aku mencoba mencerna setiap kata, setiap makna yang tersirat di baliknya."Iya," jawab Calvin, m
Empat hari berlalu, terasa begitu panjang.Akhirnya, dokter mengizinkan Viona pulang, yang kebetulan bertepatan dengan hari libur. Syukur Alhamdulillah.Selama empat hari di rumah sakit, dokter terus memantau perkembangannya. Terapi okupasi pun dilakukan dan beberapa obat Viona rutin konsumsi, namun tak ada hasil yang signifikan. Tatapan Viona masih terasa asing, ingatannya belum kembali.Meski begitu, rasa syukur tetap memenuhi hatiku. Viona sudah sehat kembali, tubuhnya segar seperti sedia kala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal."Sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak, Pak Calvin?" Pinta dokter, tatapannya penuh makna. Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke ruangannya. Aku duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. "Meskipun Bu Viona sudah sehat secara fisik, tapi saya mohon Bapak untuk menahan diri. Tunda hubungan intim selama satu atau dua minggu."Wajahku memerah. Sejujurnya, sudah lebih dari semi
"Aku mau pergi, tolong jaga di sini dan jangan kemana-mana!" perintahku tegas kepada dua orang pengawal yang berdiri tegap di sisi kanan dan kiri pintu.Sejak Viona dirawat, aku memang menyewa dua orang penjaga yang selalu siaga di depan kamarnya. Meskipun Agnes sudah ditangkap, rasa takut masih membayangi."Baik, Pak," jawab mereka serempak, suaranya kompak dan mantap.***"Calvin!!"Suara itu memecah kesunyian saat aku baru saja melangkah keluar rumah sakit. Aku menoleh, dan jantungku berdebar kencang melihat Om Erick tiba-tiba berlari menghampiri dan langsung berjongkok, lalu memeluk lututku. Tubuhnya gemetar."Calvin... tolong maafkan Agnes, jangan hukum dia," rayunya, suaranya terisak, mengungkapkan keputusasaan yang mendalam."Maaf?" Aku terkekeh hambar, sebuah senyum sinis terpatri di bibirku. "Kata maaf saja tidak akan mengembalikan semuanya, Om." Suaraku dingin, keras, mencerminkan luka yan
"Iya, mandi bareng. Apalagi sekalian .…" Aku mendekat ke arah telinganya, suara berbisik penuh godaan. "Bercinta." "Iihhhh!!!" Viona langsung mendorongku menjauh, wajahnya memerah padam seperti buah delima yang ranum. "Kenapa sih?" Entah mengapa aku gemas melihatnya, ingin kembali menggodanya. Viona terlihat seperti anak gadis yang sedang dimabuk cinta, lucu dan menggemaskan. "Aku hanya jujur. Dan kamu sendiri yang sering memintanya duluan." "Bapak! Aku geli sekali mendengarnya!" omelnya, bibirnya mengerucut cemberut. Aku terkekeh pelan. "Iya iya, maaf. Sekarang ayo kita ke kamar mandi, mangkanya kamu nggak perlu malu sega .…" Ucapanku terhenti saat aku kembali menyentuh tubuh Viona. Gerakanku terhenti saat jariku menyentuh celana istriku yang basah. "Lho, kok basah?" "Iihhh!!" Viona terlihat malu, langsung menarik selimutnya. Aroma samar-samar menusuk hidungku. Sekarang aku tahu kenapa celananya basah.
"Ya sudah, kalau begitu aku mau mencari ruangan dokter yang menangani Viona dulu, Yah." Dadaku sesak mengingat kondisi Viona saat ini. Wajah pucatnya, tubuhnya yang lemah. "Ayok, Cal," ajak Ayah, suaranya terdengar berat. Aku hanya mengangguk, langkahku terasa berat. Kami berjalan bersama, untungnya Ayah tahu ruangan Dokter Meka. Dua polisi yang tadi bersama Ayah tidak ikut, tugas mereka mengawasi Agnes agar perempuan itu tidak kabur lagi. Sesampainya di ruangan dokter, aku menceritakan semuanya—tentang Viona yang tak mengenaliku, tentang dia yang tak ingat kejadian mengerikan yang telah dialaminya. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa begitu pahit. Ayah tampak terkejut, wajahnya berubah pucat. Dia langsung bertanya pada dokter, suaranya bergetar, "Apakah ini artinya Viona amnesia, Dok?" Dokter itu hanya mengangguk pelan, "Kita langsung ke kamar Bu Viona saja, Pak. Biar saya periksa dia dulu,