"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh.
"Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis. "Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat. *** Pov Calvin. Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui? Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang. Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu. Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba mencintaiku? Aneh sekali kamu ini, Vio. Memang, ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Tapi setidaknya kamu bisa menghukumku. Mengadukanku kepada pihak polisi, Yogi, atau Papa Tatang supaya aku mendapatkan hukuman. Aku tidak masalah, Vio, jika harus dihukum dan masuk penjara lagi. Lagian, hidupku sedari dulu memang sudah berantakan. Saat dimana kamu lebih memilih Yogi daripada aku. Ayah maafkan aku, padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi pria yang lebih baik lagi. Namun nyatanya, setelah lima tahun berlalu, aku tetap menjadi Calvin yang dulu. Yang selalu membuat masalah, yang selalu membuat Ayah kesal. Tapi aku beruntung, karena meski sekacau apapun hidupku, Ayah tetap menyayangiku. Apa mungkin apa yang aku alami dalam hidupku adalah karma dari Mama, yang dulu pernah mengkhianati Ayah? Aku sih berharap bukan, karena aku juga ingin bahagia, Ayah. Aku ingin dicintai, dicintai oleh seorang perempuan yang juga aku cintai. * * Setelah meninggalkan hotel, aku memutuskan untuk pergi ke restoran semalam. Aku ingat Viona mengatakan bahwa dia yang mengantarkanku, yang berarti mobilku tertinggal di restoran. Aku tahu Viona tidak bisa mengendarai mobil. Benar, mobilku tertinggal di restoran. Setelah membayar ongkos taksi, aku pulang ke rumah menggunakan mobilku. Siang ini aku ada meeting, tidak mungkin aku pergi ke kantor dalam keadaan belum mandi dan mengenakan pakaian kemarin. Ditambah lagi, hapeku lowbet, chargernya ada di rumah. "Selamat pagi Pak Calvin," sapa satpam rumahku begitu aku turun dari mobil. Kupandang sejenak, mobil berwarna merah milik Agnes terparkir rapih di halaman. Aneh, mengapa dia datang ke rumahku pagi-pagi seperti ini? Apa dia tidak memiliki jadwal pemotretan? Bagi yang belum mengetahui pekerjaan Agnes, dia adalah seorang model pada salah satu perusahaan kosmetik. Kami pertama kali bertemu di Korea ketika dia tengah melakukan sesi pemotretan. Saat itu, kami saling berkenalan dan bertukar nomor hape, hingga akhirnya kami menjalin hubungan. Namun, yang menarik, bukan aku yang menyatakan cinta padanya, melainkan Agnes sendiri yang mengaku bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama. Tidak bermaksud untuk bersikap sombong, namun pada saat itu, aku memang belum mempertimbangkan untuk menjalin hubungan. Baik pacaran maupun menikah, itu tidak ada dalam pikiranku. Aku sejujurnya masih nyaman sendiri, bahkan sekarang pun tidak masalah bagiku jika harus hidup tanpa pendamping. Bagiku, untuk apa memiliki pasangan, jika dia tidak mencintai kita. Rasanya pasti sangat sakit. Itulah sebabnya aku belum merasa siap untuk hubungan serius dengan Agnes, karena hingga saat ini, aku belum melihat tanda-tanda bahwa cintanya padaku tulus. "Maaf Pak Calvin, di dalam ada Nona Agnes. Menunggu Bapak dari sejam yang lalu," ucap Pak Satpam dengan sopan. "Iya," aku mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. "Mas!!" Agnes yang duduk di sofa ruang tamu langsung berdiri dan berlari mendekat, memeluk tubuhku. "Mas ke mana saja, sih? Kok nomornya nggak aktif? Kata Pak Satpam juga Mas belum pulang dari semalam," ucapnya penuh kekhawatiran. Meskipun sudah dua tahun pacaran, entah mengapa, aku tetap merasa tidak nyaman saat dipeluk olehnya. Rasanya ada rasa risih yang sulit dijelaskan. "Hapeku lowbet, aku juga ada lembur di kantor," jawabku sambil mendorong pelan tubuh Agnes untuk menjauh. Lagipula, aku juga belum mandi, pasti bau. "Bener lembur? Bukannya kata Mas ... Mas semalam pergi ke restoran, ya, mau ketemu sama rekan bisnis, Mas?" Agnes menatapku dengan raut tidak percaya. "Itu benar. Tapi aku langsung balik ke kantor karena ada kerjaan," jawabku dengan mantap. Aku tidak bermaksud untuk membohongi Agnes, namun aku hanya menghormati permintaan dari Viona. Aku siap menghadapi konsekuensi jika suatu saat kebohonganku terungkap. "Oohh ... tapi Mas sempat ketemu Viona nggak, pas di restoran?" tanya Agnes. "Viona?!" Aku menatap pacarku dengan bingung, mengapa dia jadi bawa-bawa Viona segala? Dan jujur saja aku juga tidak menyangka jika Viona bekerja dengan Agnes, karena selama kami pacaran, Agnes tidak pernah menyebut-nyebut namanya. "Iya, Viona itu asisten pribadiku, Mas." "Terus kenapa?" Agnes menggeleng. "Ya enggak apa-apa. Dia hanya bicara kalau semalam ketemu sama Mas." "Oohh... ya udahlah nggak penting," ucapku acuh, lalu menunjuk ke arah tangga. "Aku mau mandi dulu, ya. Kamu mending pulang aja, Yang. Soalnya habis ini aku mau berangkat ke kantor." "Mas libur aja hari ini!" pintanya sambil mendekap tubuhku dari belakang. Aku merasa bingung, mengapa dia melarangku pergi bekerja? "Mending kita ke rumah orang tua Mas aja, yuk! Aku juga kepengen dong, Mas, dikenalin. Aku belum pernah lho ketemu sama orang tua Mas apalagi Ayah Mas," ajaknya antusias. "Nanti saja kalau ada waktu, Ayahku sibuk orangnya," jawabku singkat sambil menarik tangan Agnes dari pinggangku, lalu berlari pergi tanpa mempedulikan teriakan Agnes memanggil-manggilku. * Seusai mandi dan bersiap, aku langsung turun kembali ke lantai bawah. Namun, rupanya Agnes belum juga pulang. Dia kini berada di ruang keluarga tengah menonton televisi. Apa sebenarnya maunya? Kok ngeselin si Agnes lama-lama. "Kamu mau di sini terus, Yang? Ya kalau masih ingin di sini sih nggak apa-apa. Kalau begitu aku berangkat deh, ya?" Mending kutinggal saja sekalian deh, daripada terus meladeninya. Yang ada aku telat. "Aku minta nomor Ayah Mas dulu, baru aku pulang, Mas," pinta Agnes seraya berdiri dan menghampiriku. Aku merasa semakin tidak nyaman dengan kehadirannya. "Mau ngapain minta nomor Ayah? Dia sibuk orangnya, Yang," tegasku. "Aku ingin bersilaturahmi, Mas. Nanti aku hubungi dia kalau dia nggak sibuk," jawab Agnes mantap. "Silaturahmi itu secara langsung aja, nggak perlu lewat hape. Nggak sopan," tegasku lagi. "Ya habis Masnya lama, kapan dong ngajak aku buat ketemu Ayah?" Agnes tiba-tiba merengut dan bergelayut manja di pundakku sambil mengelus-elus dadaku. Ah, betapa menyebalkannya dia ini. Sudah kujelaskan tadi, tapi tetap saja tidak ada yang bisa dimengerti. "Kan sudah kubilang, nanti kalau ada waktu, Yang. Kamu nggak denger aku, ya?" Suaraku sedikit meninggi, aku mulai merasa emosi. Aku tidak suka dengan perempuan yang sulit diajak berbicara. "Nanti malam, ya, Mas. Habis Mas pulang kerja. Pokoknya nggak ada alasan lagi, nanti malam habis magrib aku ke sini lagi, oke?" Agnes tiba-tiba berjinjit dan mencium bibirku, lalu pergi dengan cepat sambil melambaikan tangan. Padahal belum sempat aku menjawabnya, tapi sudah oke-oke saja dia. Aku menghela napas dengan berat, lalu geleng-geleng kepala. "Ya sudahlah, toh hanya bertemu saja. Sepertinya tidak masalah," gumamku. Aku segera masuk ke dalam mobil, lalu memulai perjalanan menuju kantor. Setengah dari perjalanan, aku tiba-tiba teringat. "Oh ya, aku lupa untuk bertanya kepada asistenku tentang persiapan meetingnya nanti. Jangan sampai ada yang dia lupakan, karena aku tidak enak. Orang-orang yang ikut meeting adalah orang-orang yang sangat penting untuk kelangsungan bisnisku," pikirku sambil fokus mengemudi. Perlahan, aku merogoh hape di dalam kantong celana, yang sudah terisi penuh baterainya setelah sempat aku charger tadi. Namun, tiba-tiba... "Aakkkhh!!" Seorang anak kecil yang entah darimana asalnya menjerit histeris tepat di depan mobilku. Ah, sialan ini bocah! Benar-benar ingin cari mati! Kenapa dia justru diam ditengah jalan begini? Kenapa dia tidak langsung berlari menghindari mobilku? Waduuuhhh 😣Dengan refleks, aku segera mengerem mobil, berharap agar tidak terlambat untuk menghindari menabraknya. Bruk!!! Suara sesuatu yang jatuh terdengar, dan jantungku berdegup kencang, berharap dengan sungguh-sungguh agar anak kecil itu tidak terluka. Semoga dia baik-baik saja. Dengan rasa panik yang menyergap, aku segera turun dari mobil dan berlari mendekatinya. "Ya Allah, Dek!" seruku dengan suara gemetar, sambil berjongkok di dekat anak yang seperti berusia sekitar 5 tahun itu. Dia duduk dengan keadaan menangis sambil menyentuh lutut kanannya yang berdarah cukup banyak, sepertinya tadi tergores oleh aspal. Hatiku terasa hancur melihatnya. "Huuueeee!! Sakittt!!" tangisnya pecah dengan deraian air mata yang memilukan. Bergegas aku meraih tubuh kecilnya dengan penuh kelembutan, sebab tak tega rasanya karena dia juga cukup kurus. Aku langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya pada kursi di sampingku. "Kita ke rumah sakit ya, jagoan. Kamu tenang dulu, jangan menang
Aku pun membawa Kenzie ke Dokter umum, pihak rumah sakit langsung mengizinkan kami masuk tanpa perlu mengantre. Mungkin simpati pada keadaan Kenzie. Dokter pria mulai memeriksa, saat Kenzie aku baringkan ke tempat tidur. Bocah itu kembali memelukku. Meski tubuhnya kecil, tapi pelukannya cukup membuatku nyaman. Hatiku terasa hangat entah mengapa. "Kenzie takutt!!" "Tidak perlu takut anak ganteng, ini cuma luka ringan kok," sahut Dokter yang berada di dekat kami, yang tampaknya memahami perilaku yang ditunjukkan oleh Kenzie. "Beneran, Dok, cuma luka ringan?" Aku bertanya untuk memastikan. Kuperhatikan juga lutut Kenzie yang mulai dibersihkan oleh seorang suster yang baru saja datang. Dokter mengangguk. "Bener kok, Pak. Cuma tergores aspal, paling 3 hari lukanya akan kering." Jawaban dari Dokter benar-benar membuatku lega. Aku menghela napas, syukurlah kalau memang dia baik-baik saja. Aku sungguh khawatir sebelumnya. "Aaawwwwww peliiihhh!!" jerit Kenzie, yang sontak membuatku ter
(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
(POV Calvin)Dengan banyaknya pekerjaan, aku terpaksa harus lembur hingga jam 6 malam. Namun, di tengah kesibukan di kantor, pikiranku terus menerus melayang pada Kenzie. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Sudahkah dia makan dan mandi? Aku telah memberikan instruksi kepada satpam dan Bibi di rumah untuk merawat Kenzie dengan baik, memastikan bahwa dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya, namun juga menjaga agar tidak memberinya kesempatan untuk kabur. Aku khawatir bahwa Kenzie mungkin memiliki niat untuk mengambil sesuatu yang berharga dan menyelinap pergi. Sebelum sampai rumah, aku sempat singgah ke toko mainan dan membelikan Kenzie sebuah mainan. Aku teringat akan kata-kata Kenzie yang menyebut bahwa hampir setiap hari, setelah pulang kerja, Bundanya selalu membawakan mainan untuknya.Aku berharap, dengan membelikan mainan ini, dia jadi teringat Bundanya. Dan aku bisa membujuknya untuk pulang ke rumah. "Eh ... Pak Cal
"Kenzie bukan tuyul!!" seru Kenzie menyahuti ucapan Ayah, membuat pria itu tampak terkejut.Ada apa dengan Ayah ini? Bisa-bisanya anak orang dia katai tuyul. Atau paling hanya bercanda saja, ya? Lagian kepala Kenzie juga tidak botak, tidak persis seperti tuyul pada umumnya."Kenzie bukan tuyul, Ayah. Dia anak manusia," sahutku."Tapi dia anak siapa? Kok ada di rumahmu? Jangan bilang kamu dan pacarmu ...." Ayah menahan ucapannya sambil menatap tajam mataku. Ah dia ini, pasti sudah berpikir yang tidak-tidak."Ayah jangan berpikir yang enggak-enggak, biar aku jelaskan. Tapi kita keluar dulu, biar enak ngomongnya." Aku menarik tangan Ayah untuk bersama-sama keluar dari kamar, supaya lebih leluasa bicara."Jangan bohong ya, Cal. Ayah paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong." Ayah memperingatiku.Padahal siapa juga yang mau berbohong padanya."Aku tidak berbohong, Ayah. Dan Kenzie itu bukan siapa-siapanya aku. Aku n
"Tuh, apa katanya Calvin. Agnes udah seratus persen katanya, masa kamu belum yakin?" kata Ayah yang terdengar menyindirku. Ah aku paling malas jika membahas masalah nikah. Karena aku sendiri belum tertarik untuk menikah. "Kita makan saja dulu, baru mengobrol. Kan Ayah bilang udah lapar." Aku segera mengalihkan topik demi mengakhiri pembahasan ini. Mereka semua mengangguk, kemudian kami mulai menyantap makan malam dengan serius dan tenang. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring. Setelah makan malam kami selesai, kami pun berpindah tempat duduk ke ruang keluarga. Duduk bersantai sambil mengobrol ditemani teh manis dan biskuit di atas meja. Padahal aku sudah kenyang dan sedikit mengantuk. Tapi tidak mungkin juga kutinggalkan mereka, apalagi Agnes. Pasti dia akan marah. "Oh ya, Agnes. Kamu dan Calvin ketemu di mana? Bunda belum tau lho, Calvin belum pernah cer
"Mau ngapain memangnya?" tanya Kenzie tampak bingung."Ya mau ketemu, Om mau bicara. Lagian, kalau memang kita harus pergi ke Korea ... Om harus minta izin sama orang tuamu atau keluargamu dulu, nggak sembarangan main ajak aja, Dek. Nanti dikira Om nyulik kamu lagi." Aku berusaha menjelaskan dan sedikit membujuk, semoga saja Kenzie setuju."Aah nanti yang ada Bunda ngelalang, Om. Bunda 'kan ngeselin olangnya," keluh Kenzie dengan bibir yang mengerucut."Nggak mungkin Bundamu melarang." Aku menggeleng yakin sambil mengelus rambut Kenzie. "Kan kamu yang bilang sendiri alasan Bundamu nggak mau mencari Ayahmu itu karena nggak ada ongkos pergi ke Korea. Naaahhh ... nanti biar Om yang ongkosin. Bila perlu... kamu, Bundamu sama Kakekmu juga sekalian. Kita pergi mencari Ayahmu bersama-sama dengan Om ke Korea." Aku memberikan tawaran dengan harapan Kenzie setuju.Mata Kenzie seketika berbinar, kedua pipinya memerah. "Iihh mau, Om!!" seru Kenzie,
"Telnyata Bunda kenal sama Om Baik ini, ya?" Kenzie berbicara, kulihat dia tersenyum manis menatap Kak Calvin. "Om Baik ini ketemu Kenzie dijalan, nggak sengaja nablak Kenzie.""Apa?! Nabrak?!"Mataku seketika membulat sempurna, benarkah yang dikatakan Kenzie? Tapi dia terlihat baik-baik saja, hanya ada perban kecil pada lutut kanannya. Mungkinkah lukanya ada di sana?"Benar apa yang dikatakan Kenzie, Vio," sesal Kak Calvin dengan wajah bersalah. Dia mengelus perlahan pucuk rambut Kenzie dengan lembut dan penuh kasih. "Aku minta maaf, karena kurang cepat mengerem mobil. Soalnya posisi dia juga ada ditengah jalan.""Kamu kenapa ditengah jalan, Nak? Kan bahaya!" Aku menegur Kenzie, tapi penuh kelembutan. Karena khawatir membuatnya marah."Nanti aku ceritakan detailnya," sahut Kak Calvin, lalu menatap sekeliling rumahku dan terlihat mencari-cari seseorang yang entah siapa. "Sekarang ... boleh nggak aku masuk? Kita mengobrol sambil duduk, bia
"Bapak lihat apa? Nggak sopan!"Suara Zea menusuk telingaku, tajam dan penuh amarah. Tubuhnya berputar cepat, meninggalkanku, berlari menjauh dari dapur. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, aku menangkap kilasan wajahnya yang merah padam, seperti memendam kekesalan."Zea, tunggu!" Aku berteriak, langkahku terburu-buru, berusaha mengejarnya. Namun, sia-sia. Dia terlalu cepat masuk kamar.Ting, Tong!Ting, Tong!Suara dering bel rumah membuyarkan niatku untuk menemuinya. Aku menghela napas panjang, mengurungkan langkah, dan berjalan menuju pintu depan.Ceklek… Bunyi pintu yang terbuka. "Assalamualaikum," sapa Mbah Yahya yang sudah berdiri di depan pintu bersama Akmal."Walaikum salam. Silakan masuk, Mbah," ujarku, mempersilakan mereka masuk sambil memperlebar pintu.Mbah Yahya mengangguk, langkahnya tenang mengikutiku menuju ruang tamu. "Mal, tolong buatkan kopi untukku dan Mbah Yahya," pintaku kepad
"Kakekmu ... aku melihat hantu Kakekmu ada di dalam, Yang!!" serunya histeris, suaranya bergetar hebat, campuran antara takut dan sedih. "Hantu kakekku?" Pak Kenzie terlihat bingung, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku pun sama bingungnya. Apa maksud Nona Helen? Rumah ini baru, bukan rumah lama Pak Kenzie yang katanya berhantu. "Iya, tapi kali ini dia bukan sekedar mengusirku ... tapi juga memintaku untuk meninggalkanmu, Yang," kata dia, suaranya terisak-isak, menunjukkan kepedihan yang mendalam. Nona Helen menangis tersedu-sedu, bahu-bahunya bergetar hebat. Melihat dia yang seperti itu, aku jadi kasihan padanya. Namun, aku masih bertanya-tanya mengenai hantu itu. Bukankah rumah yang berhantu itu rumah Pak Kenzie yang sebelumnya? Ini 'kan rumah baru. Bagaimana bisa ada hantu kakeknya Pak Kenzie di sini? "Masa sih, Yang? Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu bilang di sini nggak ada hantu Kakek, ya?" Pak Kenzie tampak heran, menatap istrinya dengan penuh kebingungan. "Ke
"Ada, Nona. Tapi apa Nona yakin... mau minum jamu itu?" Penjual jamu yang terlihat seperti seumuran Pak Kenzie itu mengamatiku dengan saksama. Keraguan terukir jelas di wajahnya."Yakin, Mas," jawabku mantap, segera duduk dibangku kayu yang terasa dingin dan kasar. "Tolong buatkan sekarang, ya?" pintaku tak sabar."Baiklah kalau begitu. Mohon ditunggu sebentar." Dia berlalu, langkahnya pelan.Aku mengangguk, mataku mengikuti setiap gerakannya. Kios ini tercium bau jamu yang cukup menyengat hidungku, campuran aroma jahe, kunyit, dan rempah-rempah lainnya.Sembari menunggu, aku meraih ponsel di saku celanaku. Aku memutuskan untuk mematikan ponsel, satu-satunya cara agar Pak Kenzie tak bisa melacakku. Setelah ini, aku akan kabur. Kabur sejauh mungkin. Kalau bisa pergi dari Jakarta."Zea, ngapain kamu di sini?"Suara itu menusuk telingaku, seperti sambaran petir di siang bolong yang cerah. Aku tersentak, ponselku hampir saja jatu
"Saya terima nikah dan kawinnya Zea binti Darman dengan mas kawin uang satu juta rupiah, tunai!" Kalimat sakral itu terucap, namun tak membawa getaran bahagia seperti yang seharusnya. Satu tarikan napas panjang dari Pak Kenzie, menandai dimulainya sebuah babak baru yang terasa hampa. Jantungku berdebar, bukan karena sukacita, melainkan karena kecemasan yang menghimpit. "Bagaimana para saksi?" tanya Pak Ustad yang menatap orang-orang disekelilingnya. "Sah!" "Sah!" Seruan itu terdengar seperti gema kosong, tak mampu membangkitkan semangat. "Alhamdulillah... Kalian telah sah menjadi pasangan suami istri," ucap Pak Ustad sambil tersenyum menatapku, tapi aku hanya diam saja tanpa respon. Pak Kenzie mendekat, jarinya yang kaku membalut jari manisku dengan sebuah cincin berlian putih. Kilauannya tak mampu menutupi rasa dingin yang menjalar di hatiku. Hanya satu cincin. Satu cincin untukku, sementara d
"Aku tetap ingin menggugurkan kandungan ini, Pak." Suara Zea terdengar lemah, namun tegas menyatakan pendiriannya."Nggak! Nggak boleh! Aku melarangnya!" Aku membentak, rasa tak puas membuncah. "Pokoknya kamu harus melahirkan anakku itu apapun caranya, dan kita harus menikah!" Suaraku keras, menunjukkan sikapku yang berkuasa."Tapi, Pak, bagaimana—" Zea mencoba menjelaskan, namun aku memotongnya."Enggak ada tapi-tapi!" potongku cepat, tidak memberikan ruang bagi bantahannya. "Kita akan menikah siri malam ini dan merahasiakannya dari siapapun. Tapi sebelum itu ... kamu harus telepon Jamal dulu." Aku memberikan ponselnya, yang sebelumnya kutemukan di mobilku. Sepertinya terjatuh saat Zea pingsan."Mau apa telepon Mas Jamal, Pak?" Zea bertanya dengan bingung."Meskipun status kita rahasia, tapi aku nggak mau kamu memiliki hubungan dengan pria lain selain aku. Dan aku yakin kamu pasti belum putus dengannya." Aku menjelaskan alasanku, meskipu
Udara di ruang tunggu UGD terasa begitu menyesakkan. Jam dinding berdetak lambat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa tahun, pintu ruang UGD akhirnya terbuka. Seorang dokter pria, berkacamata dan berwajah tegas, menghampiriku. Tatapannya tajam, menembusku hingga ke tulang sumsum. "Anda suaminya?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa, menciptakan tekanan yang tak terlihat. Aku menggeleng, suaraku serak. "Bukan, Dok. Aku bosnya Zea." "Bisa hubungi suami Nona Zea sekarang? Ada hal yang perlu saya sampaikan." "Zea belum menikah, Dok." Alis dokter itu bertaut. "Lalu keluarganya? Di mana keluarganya?" "Keluarganya jauh, Dok. Tapi... apa yang terjadi pada Zea? Dia baik-baik saja, kan?" Dokter itu menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asam lambungnya naik, Pak. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yaitu Nona Zea sedang mengandung. Usia kandungannya sekitar dua minggu." Kalimat itu menyambar seperti petir di siang bolong. "Mengandung?!" Aku tersent
"Dari siapa?" tanyaku cepat. Segera mengambil benda itu dari tangannya."Pengirimnya atas nama Heru, Pak.""Heru?" Dahi berkerut. Nama itu terdengar asing, siapa dia?***"Siapa Heru?"Pertanyaan itu terlontar begitu aku sampai rumah dan menemukan Helen sedang berada di kamar, terlihat sedang membereskan pakaian di lemari."Kenapa tiba-tiba tanya tentang Heru?" suaranya terdengar sedikit gemetar, menunjukkan dia gugup. Dia menoleh, tatapannya sedikit menghindari pandanganku."Jawab saja. Kamu kenal Heru, kan? Siapa dia?" Nadaku sedikit lebih keras dari biasanya, suara yang kuusahakan tetap tenang namun di dalamnya bergelora amarah yang membuncah. Da*daku sesak, bergemuruh seperti drum yang dipukul terus-menerus.Rasanya ada sesuatu yang berat menekan jantungku. Tak ada suami yang tak marah jika istrinya dikirimi bunga oleh pria lain, apalagi bunga mawar merah yang begitu mencolok dan romantis. Buket itu
"Ada apa, Ken?" Pertanyaan dari Ayah dan tepukan lembut di pundakku membuatku tersentak. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Enggak ada apa-apa kok, Yah. Ayok kita lanjutkan perjalanan," ucapku lalu kembali mengemudi. *** Sepulang kerja, aku langsung pulang ke rumahku. Sebelumnya aku sudah memberitahu Helen akan pulang telat untuk urusan ini, supaya dia tidak mencemaskanku. Seorang pria tua bertubuh tinggi besar sudah duduk di depan pos. Dia memakai jubah hitam. Wajahnya seram, berkulit hitam. Kumis dan jenggotnya pun panjang. Dia adalah dukun yang kata Jamal sakti mandraguna. "Selamat malam, Pak," sapaku saat turun dari mobil dan menghampirinya. Dia segera berdiri dan mengulurkan tangan, seperti ingin mengajakku berkenalan. "Malam. Panggil saja Mbah Yahya," ucapnya. "Iya, aku Kenzie, Pak. Silahkan masuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, karena tak enak rasanya jika berbincan
"Kamu nggak ada yang disembunyikan dari aku 'kan, Yang?" tanyaku menatapnya serius. Perasaanku jadi tidak enak."Enggaklah, Yang. Lagian apa yang perlu aku tutupi? Kan kamu tau.""Tapi diawal 'kan kamu nggak jujur sebelum aku tau sendiri.""Soal itu 'kan sudah aku jelaskan, kalau aku takut kamu nggak bisa nerima aku. Memangnya belum jelas juga, ya?" Helen tampak kesal, suaranya terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.Ah, sepertinya aku harus mengakhiri pembahasan ini sebelum dia benar-benar marah. Aku tidak mau melihatnya marah, apalagi posisi kami sedang di rumah Ayah."Maaf deh. Ya sudah... lebih baik kita tidur saja, ya? Besok aku harus masuk ke kantor. Takut kesiangan."Helen hanya mengangguk, lalu memberikan segelas susu yang sejak tadi dia pegang. Tanpa bertanya, aku segera menghabiskan susu itu. Entah susu apa, mungkin itu hanya susu kental manis biasa. Setelah itu kami berdua menarik selimut untuk tidur.***