"Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin.
"Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan. "Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi. "Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal. Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya. "Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri. "Biar aku saja yang membawa Kak Calvin, Pak!" pintaku cepat sambil memegangi lengan kanan mantan suamiku. "Nona memangnya siapa Pak Calvin?" "A-aku adiknya, adiknya Kak Calvin!" Dengan sedikit terbata, aku melontarkan kebohongan. Ya Allah maafkan aku. "Oh ya sudah, kalau begitu Nona ikut naik saja ke dalam mobilku, kita pergi bersama-sama ke rumah sakit," tawar pria itu lalu membukakan pintu mobil bagian depan untukku. "Ah enggak usah, Pak! Aku bawa mobil!" Aku menolak cepat dengan gelengan kepala, segera kuputar otak untuk mencari sebuah alasan supaya bisa membawa Kak Calvin tanpa mengajak dia. "Eemmm ... kebetulan aku juga sama Omku, Pak. Jadi biar kami yang bawa Kak Calvin." "Lebih baik rekan Bapak ini dibawa sama keluarganya saja, Pak," usul salah satu security, yang tampaknya percaya dengan kebohonganku. Rekan Kak Calvin terlihat memandangiku dengan raut curiga, sebelum akhirnya dia bertanya, "Di mana mobilnya Nona? Dan Omnya Nona?" "Itu! Di sana!" Aku langsung menunjuk kepada mobil berwarna putih, yang berada di paling ujung area parkir. Tak lama, seorang pria dari dalam sana keluar dan melangkah cepat menghampiri kami. "Ada a—" "Om, ayok bantu Kak Calvin bawa dia ke rumah sakit!" potongku cepat, saat pria yang adalah sopir taksi onlineku tengah bicara. Kalah cepat sedikit saja, bisa-bisa aku ketahuan berbohong. Dan untungnya lagi, aku sudah menyewa jasa taksi online untuk rencanaku ini, jadi aku tidak perlu repot-repot mencari taksi lain untuk bisa membawa Kak Calvin ke hotel. "Ya sudah, bawa Pak Calvin ke mobil adiknya saja, Pak," ucap rekan Kak Calvin, yang akhirnya memberikan izin, dia berbicara kepada dua security. Setelah berhasil memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil dan ikut mendampinginya dikursi belakang, mobil itu pun kini melaju pergi meninggalkan restoran. "Hhhaaahhh ...." Aku menghela napas panjang, merasa begitu lega sekali sambil mengelus dada. Sekarang hanya tinggal selangkah lagi, dan rencana ini akan berhasil. Tapi ... aku masih penasaran, dengan alasan Kak Calvin tiba-tiba pingsan. Apa pengaruh obat yang Nona Agnez berikan? Atau ada sesuatu lain? Rasa penasaranku membawa tangan ini menyentuh kedua pipinya, dan sontak mataku membulat karena terasa begitu panas seperti pantaat panci. "Ya Allah... Apa Kakak demam?!" Tanganku turun ke arah dada bidangnya, untuk memastikan denyut jantung. Tapi entah mengapa, tiba-tiba tanganku gemetaran sendiri. Jantungku pun ikut berdebar kencang. "Sesuai orderan terakhir 'kan, Nona, Hotel Sunflower?" tanya sang sopir taksi, yang langsung membuat aku menoleh. "Iya, Pak." Aku mengangguk. "Nanti sekalian juga bantu bawa ya, Pak, boleh 'kan?" "Bawa apa, Nona?" "Bawa pria ini ke kamar hotel, Pak. Kan Bapak tau sendiri dia pingsan." "Oke." Sopir itu mengangguk setuju, tanpa bertanya kembali. Drrriinnggg!! Hapeku tiba-tiba berdering di dalam kantong celana, segera kuambil dan tertera panggilan masuk dari Nona Agnes. "Halo," ucapku segera mengangkat panggilan. "Bagaimana, Vio? Lancar?" "Lancar, Nona. Saya berada di jalan, ke arah hotel." "Bagus. Langsung saja bawa ke kamar, ya, Vio. Nanti kamu tunjukkan saja kartu namamu ke security depan biar dia bisa mengizinkanmu masuk." "Baik, Nona." * * Sesuai perintah dari Nona Agnes, aku dengan dibantu oleh sopir taksi akhirnya berhasil membawa Kak Calvin masuk ke dalam kamar hotel dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Meski diawal dengan bersusah payah karena tubuhnya cukup berat. Namun, rasanya ada yang membuatku heran, pasalnya sebelum masuk ke dalam kamar, pintu hotel ini justru terlihat sedikit terbuka dan tidak ada sesosok Nona Agnes. Ke man dia? "Nona, kalau begitu saya pamit pergi, ya. Saya ada orderan masuk," ucap sang sopir taksi sambil menunjuk ponsel yang berada dalam genggamannya. "Iya, Pak. Terima kasih," jawabku sambil tersenyum, lalu membiarkannya pergi meninggalkanku dan menutup pintu kamar. "Nona Agnes!" panggilku seraya menatap sekeliling, mencari-cari keberadaan bosku yang entah dimana dia berada. "Apa dia ada di kamar mandi?" Mataku langsung tertuju pada ruangan yang berada disudut kamar. Kakiku baru ingin melangkah, tapi secara tiba-tiba terasa seseorang menarik lenganku hingga membuat tubuhku terjatuh di atas kasur. "Kak Calvin?!" Astaghfirullah! Mataku terbelalak sempurna, melihat secara cepat mantan suamiku itu sudah berada di atas tubuhku, yang bahkan aku sendiri tidak tahu kapan dia terbangun dari pingsannya. "Kakak ... apa, yang ...." Lidahku mendadak kelu dan gemetar, saat Kak Calvin menyentuh bibirku dengan jemarinya. Kedua mata indahnya itu terlihat sayu dan merah memandangiku. Cup~ Sejurus kemudian, sebuah sentuhan bibir tak dapat kuhindari. Dia menciumku. Astaga! Bagaimana ini? Berusaha kudorong dada bidangnya, tapi mengapa begitu sulit rasanya? Dia berat, ditambah kedua kakiku pun terjepit oleh kakinya. Dapat kurasakan ada sesuatu yang keras menindih pahaku. Apa itu? Apa Kak Calvin mengantongi batu? Tapi buat apa?Setelah puas menciumiku tanpa ampun, bahkan hampir membuatku kehabisan oksigen, kini bibir Kak Calvin turun ke leher. "Aahhhh!!" Aku terkejut, apa yang dia lakukan? Lidah, dia menyesap leherku sambil memainkan lidahnya dan itu sangat menggelitik hingga membuat seluruh tubuhku meremang. Bahkan dapat kurasakan seluruh bulu romaku berdiri tegak. Tapi, aku ingat bahwa aku belum mandi tadi sore. Pasti leher dan tubuhku ini beraroma kecut dan terasa asem, bisa-bisa Kak Calvin mual. "Huuuekk!!" Nah benar 'kan, baru saja aku menebak dan sekarang Kak Calvin terlihat seperti ingin muntah. Aktivitas itu terhenti sejenak, tapi kulihat Kak Calvin tengah sibuk melepaskan jas dan kemejanya. Ini kesempatan emas untukku supaya terlepas darinya, karena kalau sampai aku ketahuan Nona Agnes, bisa-bisa aku habis olehnya. Setelah mengeluarkan tenaga dalam, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari tubuhku. Kak Calvin terjungkal dari kasur dan langsung merintih kesakitan, karena
Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick. "Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ...
"Iya, Kak. Aku sungguh-sungguh!" Tanpa banyak berpikir, aku langsung menjawabnya dengan mantap. Kupikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. "Baiklah." Kak Calvin langsung memundurkan langkah, menjauh dariku lalu memakai kembali jas biru navy-nya. Namun, kulihat wajahnya menjadi masam sekarang. Ada apa lagi dengannya? Kenapa seolah-olah jawaban yang aku berikan terdengar tidak mengenakan untuknya? Apa memang ini merugikannya? Padahal 'kan tidak, karena jelas-jelas aku yang telah diperkosa di sini. Kak Calvin ini benar-benar aneh sekali. Aku jadi bingung sendiri. "Aku minta maaf ya, Kak." Bingung ingin berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta maaf saja. "Ngapain minta maaf, kan sudah jelas kamu korban di sini," sahut Kak Calvin dengan ketus, tanpa menatapku dia berjalan ke arah pintu. Handle pintu itu sudah dia pegang, dapat kulihat tubuhnya dari belakang. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti. "Aku mau pulang. Kamu cepat pakai pakaianmu lalu segera pulang, karen
"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh. "Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis. "Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat. *** Pov Calvin. Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui? Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang. Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu. Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba menc
Dengan refleks, aku segera mengerem mobil, berharap agar tidak terlambat untuk menghindari menabraknya. Bruk!!! Suara sesuatu yang jatuh terdengar, dan jantungku berdegup kencang, berharap dengan sungguh-sungguh agar anak kecil itu tidak terluka. Semoga dia baik-baik saja. Dengan rasa panik yang menyergap, aku segera turun dari mobil dan berlari mendekatinya. "Ya Allah, Dek!" seruku dengan suara gemetar, sambil berjongkok di dekat anak yang seperti berusia sekitar 5 tahun itu. Dia duduk dengan keadaan menangis sambil menyentuh lutut kanannya yang berdarah cukup banyak, sepertinya tadi tergores oleh aspal. Hatiku terasa hancur melihatnya. "Huuueeee!! Sakittt!!" tangisnya pecah dengan deraian air mata yang memilukan. Bergegas aku meraih tubuh kecilnya dengan penuh kelembutan, sebab tak tega rasanya karena dia juga cukup kurus. Aku langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya pada kursi di sampingku. "Kita ke rumah sakit ya, jagoan. Kamu tenang dulu, jangan menang
Aku pun membawa Kenzie ke Dokter umum, pihak rumah sakit langsung mengizinkan kami masuk tanpa perlu mengantre. Mungkin simpati pada keadaan Kenzie. Dokter pria mulai memeriksa, saat Kenzie aku baringkan ke tempat tidur. Bocah itu kembali memelukku. Meski tubuhnya kecil, tapi pelukannya cukup membuatku nyaman. Hatiku terasa hangat entah mengapa. "Kenzie takutt!!" "Tidak perlu takut anak ganteng, ini cuma luka ringan kok," sahut Dokter yang berada di dekat kami, yang tampaknya memahami perilaku yang ditunjukkan oleh Kenzie. "Beneran, Dok, cuma luka ringan?" Aku bertanya untuk memastikan. Kuperhatikan juga lutut Kenzie yang mulai dibersihkan oleh seorang suster yang baru saja datang. Dokter mengangguk. "Bener kok, Pak. Cuma tergores aspal, paling 3 hari lukanya akan kering." Jawaban dari Dokter benar-benar membuatku lega. Aku menghela napas, syukurlah kalau memang dia baik-baik saja. Aku sungguh khawatir sebelumnya. "Aaawwwwww peliiihhh!!" jerit Kenzie, yang sontak membuatku ter
(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
(POV Calvin)Dengan banyaknya pekerjaan, aku terpaksa harus lembur hingga jam 6 malam. Namun, di tengah kesibukan di kantor, pikiranku terus menerus melayang pada Kenzie. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Sudahkah dia makan dan mandi? Aku telah memberikan instruksi kepada satpam dan Bibi di rumah untuk merawat Kenzie dengan baik, memastikan bahwa dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya, namun juga menjaga agar tidak memberinya kesempatan untuk kabur. Aku khawatir bahwa Kenzie mungkin memiliki niat untuk mengambil sesuatu yang berharga dan menyelinap pergi. Sebelum sampai rumah, aku sempat singgah ke toko mainan dan membelikan Kenzie sebuah mainan. Aku teringat akan kata-kata Kenzie yang menyebut bahwa hampir setiap hari, setelah pulang kerja, Bundanya selalu membawakan mainan untuknya.Aku berharap, dengan membelikan mainan ini, dia jadi teringat Bundanya. Dan aku bisa membujuknya untuk pulang ke rumah. "Eh ... Pak Cal
"Tuh, apa katanya Calvin. Agnes udah seratus persen katanya, masa kamu belum yakin?" kata Ayah yang terdengar menyindirku. Ah aku paling malas jika membahas masalah nikah. Karena aku sendiri belum tertarik untuk menikah. "Kita makan saja dulu, baru mengobrol. Kan Ayah bilang udah lapar." Aku segera mengalihkan topik demi mengakhiri pembahasan ini. Mereka semua mengangguk, kemudian kami mulai menyantap makan malam dengan serius dan tenang. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring. Setelah makan malam kami selesai, kami pun berpindah tempat duduk ke ruang keluarga. Duduk bersantai sambil mengobrol ditemani teh manis dan biskuit di atas meja. Padahal aku sudah kenyang dan sedikit mengantuk. Tapi tidak mungkin juga kutinggalkan mereka, apalagi Agnes. Pasti dia akan marah. "Oh ya, Agnes. Kamu dan Calvin ketemu di mana? Bunda belum tau lho, Calvin belum pernah cer
"Kenzie bukan tuyul!!" seru Kenzie menyahuti ucapan Ayah, membuat pria itu tampak terkejut.Ada apa dengan Ayah ini? Bisa-bisanya anak orang dia katai tuyul. Atau paling hanya bercanda saja, ya? Lagian kepala Kenzie juga tidak botak, tidak persis seperti tuyul pada umumnya."Kenzie bukan tuyul, Ayah. Dia anak manusia," sahutku."Tapi dia anak siapa? Kok ada di rumahmu? Jangan bilang kamu dan pacarmu ...." Ayah menahan ucapannya sambil menatap tajam mataku. Ah dia ini, pasti sudah berpikir yang tidak-tidak."Ayah jangan berpikir yang enggak-enggak, biar aku jelaskan. Tapi kita keluar dulu, biar enak ngomongnya." Aku menarik tangan Ayah untuk bersama-sama keluar dari kamar, supaya lebih leluasa bicara."Jangan bohong ya, Cal. Ayah paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong." Ayah memperingatiku.Padahal siapa juga yang mau berbohong padanya."Aku tidak berbohong, Ayah. Dan Kenzie itu bukan siapa-siapanya aku. Aku n
(POV Calvin)Dengan banyaknya pekerjaan, aku terpaksa harus lembur hingga jam 6 malam. Namun, di tengah kesibukan di kantor, pikiranku terus menerus melayang pada Kenzie. Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Sudahkah dia makan dan mandi? Aku telah memberikan instruksi kepada satpam dan Bibi di rumah untuk merawat Kenzie dengan baik, memastikan bahwa dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya, namun juga menjaga agar tidak memberinya kesempatan untuk kabur. Aku khawatir bahwa Kenzie mungkin memiliki niat untuk mengambil sesuatu yang berharga dan menyelinap pergi. Sebelum sampai rumah, aku sempat singgah ke toko mainan dan membelikan Kenzie sebuah mainan. Aku teringat akan kata-kata Kenzie yang menyebut bahwa hampir setiap hari, setelah pulang kerja, Bundanya selalu membawakan mainan untuknya.Aku berharap, dengan membelikan mainan ini, dia jadi teringat Bundanya. Dan aku bisa membujuknya untuk pulang ke rumah. "Eh ... Pak Cal
(POV Viona)Ya Allah ... Aku benar-benar tidak bisa tenang karena anak semata wayangku belum ditemukan. Ini sudah mau gelap.Kuperhatikan jam dinding yang menempel di depan pintu kamarku, di sana menunjukkan pukul 6 sore dan baru saja kudengar kumandang adzan magrib.Aku duduk di sofa ruang tengah, menunggu Papa yang belum pulang dengan perasaan campuran antara kegelisahan dan kekhawatiran.Setelah tadi kehilangan jejak Kenzie, Papa memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan.Sementara aku, diminta untuk tidak ikut karena Papa juga berpesan untuk menghubungi para orang tua dari teman-teman sekolah Kenzie, karena barangkali dia pergi ke sana. Karena bisa saja Kenzie meminta bantuan teman-temannya untuk mau diajak pergi mencari Ayahnya.Namun, setelah kucoba hubungi semuanya, sampai dengan guru TK-nya juga, ternyata tak satu pun ada yang mengatakan melihat Kenzie.Ya Allah, ke mana perginya anakku? Kenapa Kenzie nekat banget. Diluar sana 'kan bahaya, Nak. Kalau ka
Aku pun membawa Kenzie ke Dokter umum, pihak rumah sakit langsung mengizinkan kami masuk tanpa perlu mengantre. Mungkin simpati pada keadaan Kenzie. Dokter pria mulai memeriksa, saat Kenzie aku baringkan ke tempat tidur. Bocah itu kembali memelukku. Meski tubuhnya kecil, tapi pelukannya cukup membuatku nyaman. Hatiku terasa hangat entah mengapa. "Kenzie takutt!!" "Tidak perlu takut anak ganteng, ini cuma luka ringan kok," sahut Dokter yang berada di dekat kami, yang tampaknya memahami perilaku yang ditunjukkan oleh Kenzie. "Beneran, Dok, cuma luka ringan?" Aku bertanya untuk memastikan. Kuperhatikan juga lutut Kenzie yang mulai dibersihkan oleh seorang suster yang baru saja datang. Dokter mengangguk. "Bener kok, Pak. Cuma tergores aspal, paling 3 hari lukanya akan kering." Jawaban dari Dokter benar-benar membuatku lega. Aku menghela napas, syukurlah kalau memang dia baik-baik saja. Aku sungguh khawatir sebelumnya. "Aaawwwwww peliiihhh!!" jerit Kenzie, yang sontak membuatku ter
Dengan refleks, aku segera mengerem mobil, berharap agar tidak terlambat untuk menghindari menabraknya. Bruk!!! Suara sesuatu yang jatuh terdengar, dan jantungku berdegup kencang, berharap dengan sungguh-sungguh agar anak kecil itu tidak terluka. Semoga dia baik-baik saja. Dengan rasa panik yang menyergap, aku segera turun dari mobil dan berlari mendekatinya. "Ya Allah, Dek!" seruku dengan suara gemetar, sambil berjongkok di dekat anak yang seperti berusia sekitar 5 tahun itu. Dia duduk dengan keadaan menangis sambil menyentuh lutut kanannya yang berdarah cukup banyak, sepertinya tadi tergores oleh aspal. Hatiku terasa hancur melihatnya. "Huuueeee!! Sakittt!!" tangisnya pecah dengan deraian air mata yang memilukan. Bergegas aku meraih tubuh kecilnya dengan penuh kelembutan, sebab tak tega rasanya karena dia juga cukup kurus. Aku langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan mendudukkannya pada kursi di sampingku. "Kita ke rumah sakit ya, jagoan. Kamu tenang dulu, jangan menang
"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh. "Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis. "Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat. *** Pov Calvin. Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui? Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang. Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu. Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba menc
"Iya, Kak. Aku sungguh-sungguh!" Tanpa banyak berpikir, aku langsung menjawabnya dengan mantap. Kupikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. "Baiklah." Kak Calvin langsung memundurkan langkah, menjauh dariku lalu memakai kembali jas biru navy-nya. Namun, kulihat wajahnya menjadi masam sekarang. Ada apa lagi dengannya? Kenapa seolah-olah jawaban yang aku berikan terdengar tidak mengenakan untuknya? Apa memang ini merugikannya? Padahal 'kan tidak, karena jelas-jelas aku yang telah diperkosa di sini. Kak Calvin ini benar-benar aneh sekali. Aku jadi bingung sendiri. "Aku minta maaf ya, Kak." Bingung ingin berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta maaf saja. "Ngapain minta maaf, kan sudah jelas kamu korban di sini," sahut Kak Calvin dengan ketus, tanpa menatapku dia berjalan ke arah pintu. Handle pintu itu sudah dia pegang, dapat kulihat tubuhnya dari belakang. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti. "Aku mau pulang. Kamu cepat pakai pakaianmu lalu segera pulang, karen
Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick. "Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ...