Miranda terdiam sejenak, lalu merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan kartu ATM dan menyodorkannya ke Udin.
"Ambillah. Di dalamnya ada sepuluh juta. Ini kode PIN-nya. Gunakan untuk memperbaiki motormu," ucapnya tenang.
Bagi Miranda, uang itu hanya recehan. Tapi ia yakin, jumlah itu sangat berarti bagi Udin. Namun reaksi pria itu tak seperti yang ia perkirakan.
Udin mengangkat tangannya, menolak.
"Nona, aku sudah bilang, aku tidak bisa menerima apa pun darimu. Ini murni tanggung jawabku. Tolong hargai keputusanku," sahut Udin tegas.
Sikapnya teguh. Tak tergoda oleh nominal.
Miranda menyipitkan mata, menatap pria keras kepala itu. Lalu tanpa banyak bicara, ia mengganti kartu yang tadi dengan kartu lain.
"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana dengan seratus juta? Kamu bisa beli motor baru yang lebih bagus. Terima saja," ujarnya dengan suara lebih lembut, namun tetap serius.
Udin membeku.
Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Seratus juta? Itu jumlah yang tak pernah ia bayangkan bisa dimiliki.
Tapi ia tetap menggeleng.
"Maaf, Nona. Bahkan kalau kau berikan lebih dari itu, aku tetap tak bisa menerimanya," jawabnya lirih.
Miranda menatapnya lekat-lekat. Dalam dunia bisnis, ia sering bertemu banyak orang dan terbiasa menilai karakter.
Tapi Udin... pria ini berbeda. Tak ada kemunafikan, tak ada pamrih. Hanya kejujuran polos dari seorang pria sederhana.
Dan anehnya, Miranda justru tersenyum. Bukan karena kesal... tapi karena entah bagaimana, ia merasa senang. Pria ini... menarik.
“Baiklah, kalau kau tetap menolak uang ini... bagaimana kalau aku menggantinya dengan makan malam bersama?” saran Miranda, matanya menatap penuh keyakinan.
Dia berkata dengan yakin, “Seharusnya, itu bukan tawaran yang sulit untuk diterima, bukan?”
Dengan senyum lembut di wajahnya, Miranda menyampaikan niat barunya.
Ia yakin, tak ada pria waras yang bisa menolak undangan makan malam dari wanita sepertinya. Karena itu, menurutnya, tak ada alasan bagi Udin untuk tetap menolak.
Ia pun menyimpan kembali kartu ATM-nya, merasa tak perlu memaksa jika pria itu tidak menginginkannya.
Namun niat baik itu belum padam—ia hanya mengubah bentuknya.
“Makan malam bersama?” gumam Udin, terkejut.
Tawaran itu datang setelah dua kali ia menolak bantuan Miranda. Dan kini, wanita cantik itu malah mengganti tawaran dengan sesuatu yang lebih personal.
Tapi Udin bisa melihat—Miranda bukan sekadar wanita biasa. Ia keras kepala, tapi dalam cara yang tak merugikan siapa pun.
“Iya, makan malam bersama. Kupikir kamu tak akan menolaknya, bukan?” ulang Miranda, mempertegas sambil menatap lekat wajah Udin.
Ia menunggu jawaban. Bukan karena ada perasaan—tidak. Bagi Miranda, ini murni kompensasi. Ia masih merasa bersalah atas kejadian sebelumnya. Dan ia tidak bisa pergi begitu saja sebelum menyelesaikan tanggung jawabnya.
Namun Udin justru menatapnya dengan ekspresi bingung.
“Nona, apakah kau tertarik pada ketampananku setelah pertemuan singkat ini?” tanya Udin polos, namun penuh makna tersembunyi.
“Kalau iya, kupikir kau harus mempertimbangkannya baik-baik. Karena... tidak ada hal baik dariku,” tambahnya kemudian, nada suaranya rendah, nyaris seperti bisikan jujur dari hati terdalam.
Ia tahu, selain wajah yang lumayan tampan, tak banyak yang bisa ia banggakan.
Ia hanya mencoba memahami—kenapa wanita sekelas Miranda bisa bersikap seperti ini kepadanya?
Apakah benar ini hanya soal kompensasi?
“.....”
Miranda terdiam. Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka. Ia tak menyangka akan ditanyai seperti itu.
Meski Udin memang menarik, bukan berarti ia langsung tertarik. Miranda punya standar. Ia tak semudah itu jatuh hati.
“Huh! Siapa yang kau pikir aku ini?! Jangan pikir macam-macam! Jangan berandai terlalu jauh!” serunya, kesal.
Miranda menjelaskan dengan nada naik, “Undangan makan malam ini bukan karena aku tertarik padamu atau hal-hal romantis lainnya. Ini hanya karena kau menolak uangku! Aku hanya... menggantinya dengan cara lain!”
Nada suaranya tajam, membuatnya terdengar jauh dari wanita kalem seperti sebelumnya.
Ia mulai kesal. Mungkin karena sudah terlalu lama di situ. Tapi karena sudah terlanjur turun dari mobil, ia ingin menyelesaikan niat baiknya.
“Jadi sekarang... kau terima atau tetap menolaknya? Cepat putuskan dan jangan bertele-tele!” bentaknya dengan nada tegas.
Udin terdiam. Ia butuh waktu. Masalahnya bukan pada makan malam itu sendiri, tapi pada keadaan hatinya.
Ia baru putus cinta, dikhianati, dan kini motornya rusak parah. Hari-hari belakangan benar-benar buruk.
Tapi... siapa tahu makan malam ini bisa mengalihkan pikiranku. Siapa tahu ini hiburan di tengah badai, batinnya mencoba mencari alasan.
Akhirnya, ia menarik napas dan berkata pelan, “Baiklah, aku setuju. Tapi aku harus mengurus motorku dulu. Aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”
Udin menatap motornya yang sudah usang, penuh kenangan. Penyesalan sempat mengusik karena menolak uang Miranda tadi.
Tapi motor itu bukan sekadar kendaraan—itu bagian dari hidupnya.
Miranda memutar bola matanya.
“Sepertinya kau terlalu peduli dengan motor rongsokan itu,” katanya ketus, tapi kemudian menghela napas pendek.
Tanpa banyak bicara lagi, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Nada suaranya serius dan langsung to the point.
“Perbaiki motornya secepat mungkin. Aku nggak peduli soal biaya. Lokasinya di Jalan Krajan, dekat persimpangan, di bawah pohon beringin,” ucapnya tegas di telepon.
Setelah itu, ia menatap Udin. “Motormu sudah kuurus. Biayanya juga. Sekarang ikut aku,” ujar Miranda mantap.
Udin bingung. Bantuan Miranda terlalu mulus, terlalu mudah... terlalu mewah.
(Dia siapa sebenarnya? Kenapa begitu peduli padaku?) gumamnya dalam hati, masih merasa tak percaya.
Ia tidak mengerti. Tapi ia sudah berjanji. Dan Miranda—wanita penuh misteri ini—sudah menunggunya di dalam mobil.
“Cepat masuk. Kita pergi sekarang!” seru Miranda dari balik jendela mobil yang terbuka sedikit.
Udin masih berdiri di samping mobil hitam itu, tampak ragu dan enggan bergerak.
Ia menunduk, memandangi pakaian yang basah kuyup dan kotor, merasa tidak pantas untuk duduk di dalam mobil mewah berwarna merah itu.
“Mengapa hanya diam? Ayo cepat masuk, jangan hanya berdiri di sana,” desak Miranda lagi, suaranya mulai terdengar jengkel.
Namun, keraguan Udin justru membuat Miranda bingung.
Sikap pria itu terasa seperti penolakan, padahal niatnya baik.
“Nona, pakaianku basah. Aku khawatir akan mengotori mobilmu,” jawab Udin malu-malu, nadanya rendah, seperti seseorang yang tidak terbiasa menerima kebaikan.
Dia sadar betul posisinya yang serba tidak nyaman. Ia merasa tidak layak duduk di dalam mobil mahal milik Miranda.
Udin adalah tipe orang yang tahu diri.
Pakaian basah dan tubuhnya yang belum mandi setelah bekerja sebagai kuli bangunan tentu bukan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain, apalagi wanita seanggun Miranda.
“Benar juga… Pakaianmu memang basah,” gumam Miranda, mengangguk pelan. Ia pun terlihat sedikit ragu.
Bau tubuh Udin yang bercampur aroma lumpur dan keringat memang cukup menyengat setelah tercebur ke sungai sebelumnya.
Dulu, Miranda tidak pernah mau satu mobil dengan pria mana pun, bahkan yang memakai setelan jas mahal dan parfum mewah.
Namun kali ini berbeda. Ada alasan khusus mengapa Miranda memilih mengajak Udin, meskipun baru pertama kali bertemu.
Dia melihat potensi dari pria ini. Udin mungkin bisa digunakan untuk sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya.Meski Miranda tidak mengatakan niat sebenarnya, ia telah memikirkan rencana dengan matang.(Huh, aku punya rencana dengan pria ini. Tidak mungkin aku membatalkannya hanya karena dia sedikit bau dan basah. Aku harus tetap membiarkannya masuk), batin Miranda sambil melirik pria itu dari spion.Tak ada waktu mencari orang lain. Udin sudah cukup memenuhi kriterianya untuk rencana yang telah disusun.“Kau bisa masuk. Jangan pikirkan pakaianmu yang basah. Cepat, jangan membuatku menunggu,” katanya mantap, mengusir keraguan dari wajahnya.Udin terdiam sejenak, ragu. “Kau yakin…?” tanyanya memastikan.“Tentu saja. Apa aku terlihat sedang bercanda?” sahut Miranda tajam.“....”“Kalau begitu, baiklah,” ucap Udin akhirnya.Wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara tidak percaya dan pasrah.Ia sendiri tak tahu apakah keputusan ikut Miranda ini akan membawa kebaikan atau justru masal
Permohonan itu membuat Jalok mengangkat alis. Ia tak tertarik.Tapi tiba-tiba, matanya menangkap sosok Lastri di belakang Pak Agus. Tatapannya berubah.Wanita muda itu bukan tipe ideal, tapi cukup untuk memuaskan para preman sebagai ganti potongan harga.“Baiklah. Sepuluh juta, tapi wanita itu harus melayani kami semua malam ini. Kalau tidak, tawaran batal,” kata Jalok tanpa basa-basi.Lastri langsung tersentak, wajahnya pucat. Ia mundur pelan, ketakutan.Ia mungkin rela tidur dengan Pak Agus demi uang, tapi bukan dengan para preman bau keringat dan kasar itu.“Tidak… itu tidak mungkin!” teriaknya, suara gemetar. “Kumohon, jangan lakukan apa pun padaku…”Ia mundur terus, seakan ingin menghilang. Ketakutan membekukan tubuhnya, dan dunia terasa sepi dan sempit seketika.Perselingkuhannya dengan Pak Agus terjadi karena godaan dan janji manis lelaki paruh baya itu—bukan karena dia wanita murahan.Kini, dalam ketakutan, dia berdiri di belakang Pak Agus, berharap ada perlindungan. Wajahnya p
Matanya menatap Lastri dengan nafsu. Lastri merinding, wajahnya pucat pasi.“Kau cukup patuh malam ini. Jangan coba-coba melarikan diri,” ancam Jalok, suaranya seram.Pak Agus mengangguk puas, merasa masalah akan segera selesai.“Jalok, cepatlah! Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” desaknya tak sabar.“Sudah kubilang, tenang saja. Setelah kami bersenang-senang dengannya, semua akan beres,” jawab Jalok sambil tertawa kecil.Tanpa banyak bicara, Jalok langsung merangkul Lastri dengan kasar dan mulai menyentuh tubuhnya.“Apa yang kau lakukan?!” seru Lastri panik, mencoba menolak.Namun Jalok jauh lebih kuat. Ia membopong Lastri yang meronta dan membawanya ke kamar terdekat.“.....”Pak Agus hanya menonton, ekspresinya datar.Dalam hati, ia tahu Lastri adalah selingkuhannya. Tapi semua ini, baginya, adalah konsekuensi dari pilihan Lastri sendiri.Para preman lainnya tertawa, bersiap menunggu giliran.Mereka menanti "pesta" yang baru saja dimulai.***Sementara itu, di dalam sebuah mobi
Nada suaranya penuh kekecewaan.Ia merasa dimanfaatkan, seperti boneka dalam drama yang tidak pernah ingin ia perankan.Ia tahu posisinya—miskin, tak punya apa-apa, dan bahkan membawa beban impoten. Ia tidak ingin menjadi bahan tertawaan para orang kaya.“Aku tahu ini terdengar egois, tapi aku benar-benar tak punya pilihan,” ucap Miranda pelan. “Aku tidak dekat dengan pria lain. Aku hanya butuh bantuanmu malam ini...”Untuk pertama kalinya, Miranda memohon. Wajahnya serius, tak lagi penuh percaya diri seperti biasanya.“Aku memang salah karena tidak memberitahumu dari awal... tapi tolong... bantu aku kali ini saja. Aku akan membayarmu, berapa pun yang kau minta,” ujarnya tulus.Udin menghela napas.Baginya, tawaran uang bukanlah hal yang bisa menggoyahkan harga dirinya. Ia memang miskin, tapi bukan pengemis yang bisa dibeli.Namun, melihat wanita secantik Miranda memohon di hadapannya... hatinya sedikit luluh. Ia tidak tahan melihatnya bersedih.(Uang bisa dicari… tapi harga diri tetap
Miranda sadar satu-satunya cara untuk mempertahankan kebohongannya adalah memperdalam hubungan palsunya dengan Udin.Ia harus tampil lebih meyakinkan sebagai pasangan.Walaupun sebagai wanita ia merasa dirugikan, tapi demi kelangsungan rencana ini, Miranda tak punya pilihan selain membiarkan Udin memainkan perannya sepenuhnya.“Itu tidak benar! Kami sudah lama bersama, hanya saja tidak ingin mengumumkannya ke siapa pun. Benar begitu, Sayang?” ucap Miranda penuh penghayatan, meski wajahnya memerah karena malu dan tegang.(Tolong bantu aku...) desaknya dalam hati, menekan tangan Udin dengan lembut namun penuh arti—sebuah sinyal jelas bahwa Udin harus segera bertindak.Udin bisa merasakannya.Meski sempat teralihkan oleh kedekatan fisik mereka, ia segera sadar ini bukan waktunya untuk terbawa suasana.“Mas Bro! Kenalin, aku Udin,” ujar Udin dengan senyum santai. “Aku nggak peduli sama bajuku atau penampilan luar. Yang penting, aku pacarnya Nona Miranda. Dan kamu? Kamu bukan siapa-siapa.”
Andai saja Udin tidak datang, ia yakin malam ini akan berbeda. Tapi semuanya sudah terlambat.Meski begitu, Erik bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dendamnya membara. Ia bertekad menyingkirkan Udin—secara diam-diam.Dan demi alibi yang kuat, Erik takkan bertindak sendiri. Ia akan menyewa seseorang untuk menyelesaikan masalah ini... secara permanen.***Di luar restoran, Udin dibantu Miranda berjalan perlahan menuju tempat parkir.Keduanya tampak tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat itu setelah insiden pemukulan oleh Erik Penadol.Miranda tampak diliputi rasa bersalah, merasa insiden itu terjadi karena dirinya.“Aku benar-benar minta maaf. Karena aku, kau jadi terluka seperti ini,” ucap Miranda dengan nada sesal.Dia tak pernah membayangkan Erik akan melakukan hal seburuk itu. Segalanya di luar perkiraannya.Ia tak bermaksud membuat Udin tersakiti, namun kini semuanya sudah terlanjur. Penyesalan saja tidak cukup untuk mengubah apa pun.“Jangan salahkan dirimu, Nona Miranda.
“Hamil?” desisnya, menahan kekesalan yang bergolak di dada.“Kata itu tidak seharusnya keluar dalam hubungan seperti ini. Ini hanya main-main, Lastri. Aku tidak siap bertanggung jawab untuk hal sebesar itu,” ujar Pak Agus dengan nada datar, seolah semuanya hanya perkara sepele.Ia melanjutkan dengan ringan, seakan tidak ada hati yang sedang terluka.“Minumlah pil KB. Kalau pun kau hamil, tinggal gugurkan atau... bilang saja ke Udin kalau itu anaknya. Selesai, kan?” ucapnya enteng, nyaris tanpa perasaan.Saran kejam itu menghantam Lastri seperti palu godam.Namun, di balik kata-kata ringan Pak Agus, tersirat jelas penolakan tanggung jawab.Pak Agus malah berusaha memutarbalikkan keadaan.“Lagipula, semua ini bukan salah kita,” sahutnya cepat, mencoba membela diri. “Ini gara-gara bocah tengil itu—mantanmu. Kalau dia tidak merekam kita, kamu tidak perlu ‘melayani’ Jalok dan teman-temannya.”Lastri terdiam. Hatinya berperang. Kata-kata Pak Agus perlahan menyusup ke pikirannya yang rapuh.K
Sementara itu, Udin berjalan ke bangsal umum tempat ibunya dirawat selama tiga tahun terakhir.Wajahnya muram.Setiap langkahnya terasa berat, seperti diseret beban tak kasat mata.Meski ia selalu datang, pemandangan yang ia lihat tak pernah berubah: ibunya terbaring kaku, tak sadarkan diri."Ibu, aku janji suatu hari akan menyembuhkanmu. Tak peduli berapa pun biayanya," batinnya penuh tekad.Kondisi keuangan Udin memang pas-pasan.Tapi ia bekerja keras, menabung setiap rupiah demi biaya perawatan. Ia menggantungkan harapan pada keajaiban.Namun hari ini berbeda.Begitu sampai di bangsal, Udin terkejut.Tempat tidur ibunya kini ditempati oleh orang asing. Ia celingukan, panik.Ibunya tidak ada.“Di mana ibuku?…” ucap Udin pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur kepanikan.Udin terpaku sejenak sebelum tersadar, dan panik membuncah dalam hatinya.Pasien yang terbaring di bangsal tersebut sama sekali tidak dikenalnya.Padahal, seingatnya, inilah ruangan tempat ibunya dirawat.Nomor b
Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang
Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p
Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k
Jalok dan anak buahnya, preman-preman bayaran, telah menerima tugas dari Pak Agus, singkirkan Udin.Sejak kemarin mereka tidak menemukan jejaknya, namun kini keberuntungan berpihak.“Itu dia! Akhirnya Udin muncul juga!” seru Jalok dengan semangat membara, matanya membelalak penuh gairah pemburu yang menemukan mangsanya.Para anteknya yang sudah jengkel karena menunggu langsung bergemuruh.“Ayo cepat, jangan biarkan bocah itu kabur!” sahut salah satu dari mereka dengan nada penuh amarah.“Benar! Aku udah muak nunggu. Sekarang waktunya bertindak!” ucap yang lain sambil menyalakan motor.“Cepat kita habisi dia dan ambil ponselnya. Tugas selesai, duit datang!” tambah yang lainnya dengan tawa kasar.Namun Jalok tetap tenang.“Tenang, kita tidak bisa gegabah,” ucapnya sambil menatap tajam arah motor Udin yang menjauh. “Ikuti aku dan pastikan semuanya berjalan lancar.”Dengan komando itu, mereka segera melaju, membuntuti Udin dari kejauhan, seperti serigala memburu mangsanya.Di jalan, Udin
Sementara itu, di sebuah kawasan kos yang cukup jauh dari tempat tinggal lamanya, Udin tengah membonceng Risma, mencari tempat tinggal baru untuk malam ini.Jika tidak segera menemukannya, mereka terpaksa harus tidur di luar, dan itu tentu bukan pilihan, apalagi bagi Risma yang seorang perempuan.Udin tidak mungkin membiarkan Risma tidur di emperan toko, apalagi di bawah kolong jembatan.Lebih buruk lagi, mereka bisa saja ditemukan oleh anak buah Juragan Somat yang masih memburu Risma.“Mas Udin, kita mau ke mana?” tanya Risma pelan, terlihat lelah meski hanya duduk di belakang sambil memegang barang bawaan.Beban ransel Udin yang cukup berat juga menambah kesulitannya.Namun Udin sudah punya tujuan. Ia tahu ke mana harus pergi.“Sedikit lagi sampai. Setelah itu, kau bisa istirahat,” jawab Udin sambil memutar gas, mempercepat laju motornya.Ia merasa puas dengan performa motor barunya, jauh lebih baik dibandingkan motor lamanya yang sudah usang.Tapi pikirannya kembali pada Miranda, w
Sementara itu, anak buah Juragan Somat mulai mendobrak setiap kamar satu per satu.Tak lama kemudian, Torik mendekat dan bertanya, “Bagaimana? Kalian menemukan Udin dan Risma?”Namun ekspresi kecewa terlihat jelas di wajah mereka.“Torik, kau bilang target ada di sini. Tapi tak ada jejak mereka,” ujar salah satu dari mereka dengan nada curiga.“Benar. Hanya ada beberapa penyewa paruh baya. Tak ada target,” sahut yang lain sambil menggeleng.“Beberapa kamar kosong, tapi tak ada yang sesuai deskripsi,” tambah yang ketiga, tampak frustasi.Kegagalan ini membuat mereka kesal. Tatapan sinis mulai tertuju pada Torik.“Kau pasti berbohong! Target tak ada!” tuduh salah satu anak buah dengan nada tinggi.“Kalau Juragan tahu, kau akan dapat masalah besar,” ucap lainnya penuh ancaman.Keluhan dan kecurigaan mulai bermunculan. Mereka bahkan meragukan kemampuan Torik sebagai pemimpin lapangan. Merasa terpojok, Torik buru-buru membuat alasan.“Ada satu tempat lagi yang bisa kita periksa. Mungkin
Udin tersentak.Namun, ia berusaha tetap tenang.“Saya... saya akan lunasi malam ini, Bu. Tadi saya sempat tarik uang dari rekening,” jawab Udin buru-buru, mencoba tersenyum walau canggung.“Bagus. Jangan cuma janji ya!” sahut ibu kost sambil mengangguk singkat.“Tentu saja aku sudah menyiapkan uangnya. Tunggu sebentar, akan kuambil dulu,” ujar Udin sambil tersenyum tenang.Tanpa membuang waktu, Udin segera menuju lemarinya dan mengambil sejumlah uang tunai yang telah dipersiapkannya sebelumnya.Ia berniat melunasi seluruh tunggakan sewa kost tanpa meninggalkan utang sedikit pun.Pemilik kost, yang semula hanya berdiri santai di depan pintu, langsung terbelalak begitu melihat tumpukan uang di tangan Udin.“Lho... kamu serius?” gumamnya setengah tak percaya.Udin hanya mengangguk singkat sambil menyerahkan uang tersebut.“Ini untuk sewa tiga bulan terakhir. Dan mulai bulan depan, saya tidak akan tinggal di sini lagi. Saya akan cari tempat lain,” ucapnya mantap.Wajah pemilik kost langs
Ngeeeeng!Namun di perjalanan, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya—dan membuat dadanya sesak.Juragan Somat dan anak buahnya!Mereka tampak sedang mencari seseorang.Udin langsung paham.(Risma tidak berbohong,) batinnya tegang. (Dia memang sedang diburu… dan Juragan Somat benar-benar berniat menjualnya ke tempat prostitusi.)“Mereka masih mencari Risma,” ucapnya pelan dengan rahang mengeras.Melihat situasi ini, Udin pun memantapkan hati.“Aku akan bantu Risma sampai tuntas. Meski keluarganya sendiri berada di pihak Juragan Somat, aku nggak akan tinggal diam,” tekadnya dalam hati.“Untuk sekarang aku harus menghindari mereka. Jangan sampai keberadaan Risma ketahuan,” bisiknya pada diri sendiri, lalu memutar arah dengan hati-hati.Setelah mengambil uang di ATM, ia mampir ke warung nasi Padang dan kemudian pulang ke kos. ***Sementara itu, di tempat lain, Juragan Somat terlihat gusar.Wajahnya gelap penuh amarah. Ia berdiri di tengah anak buahnya, tampak seperti gunung yang
Risma yang semula tampak tenang mendadak bungkam, bibirnya sedikit terbuka. Ia tampak ingin bicara, namun akhirnya hanya menunduk.“Maaf… aku nggak tahu. Aku doain semoga beliau cepat sembuh,” ujar Risma, suaranya penuh empati.“Nggak apa-apa… nggak perlu minta maaf,” sahut Udin, berusaha tersenyum meski hatinya berat.Hening mengisi ruangan. Keduanya terdiam cukup lama. Udin memilih tak membahas lebih jauh soal ibunya.Clinck!Tiba-tiba ponsel miliknya menyala terang. Ia terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya merekah. Sepertinya trik menanam ponsel dalam beras benar-benar berhasil.“Risma, aku keluar sebentar, ya. Tetap di sini dulu,” ucap Udin sambil menggenggam ponsel.“Baik, Mas. Hati-hati,” jawab Risma pelan.Udin segera melangkah keluar, mencari tempat yang cukup tenang di ujung gang sempit. Ia memeriksa layar ponsel dengan penuh harap.Semuanya normal. Dengan cepat, ia mengetik nomor Miranda dan menekan tombol panggil.“Nona Miranda, ini aku, Udin.”(Eh, ini nomormu? Baik, aku