Miranda tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi tanggung jawab. Meski gugup dan takut terlibat masalah, wanita itu memutuskan untuk bertindak benar.
“Tidak. Aku harus pastikan keadaannya!” ucapnya pelan, tapi tegas.
Dengan tekad yang mulai menguat, ia membuka pintu mobil.
Langkahnya ragu, tapi penuh niat. Ia mendekati sosok yang terkapar di pinggir jalan—pengendara motor yang sempat nyaris ia tabrak.
Apa yang akan ditemukannya di sana akan mengubah banyak hal dalam hidup keduanya.
“Apakah kau baik-baik saja?...”
Suara lembut seorang wanita muda terdengar dari kejauhan.
Ia belum bisa memastikan kondisi sang pengendara motor, apalagi tempat itu cukup gelap karena menjelang malam.
Karena tidak mendapat jawaban, dia terus melangkah perlahan mendekati pohon besar itu dengan hati-hati.
Dia sadar, jika tidak hati-hati, bisa saja dia dimintai pertanggungjawaban oleh pihak pengendara.
Tapi dia tidak peduli. Wanita itu tidak kekurangan uang, dan jika memang harus memberikan kompensasi, dia siap.
Motor C70 yang menabrak pohon itu tampak parah. Bagian depannya hancur, sepertinya tak bisa dikendarai lagi.
Setidaknya, motor itu butuh biaya besar untuk diperbaiki agar kembali seperti sediakala.
“Di mana pengendaranya?!” gumamnya bingung, sambil menyisir area sekitar dengan pandangan waspada.
Setelah sedikit mencari, matanya menangkap sosok seseorang di dalam sungai.
Tampaknya pengendara motor itu terlempar dan jatuh ke sungai yang kebetulan berada tidak jauh dari pohon.
Untungnya, pria itu masih bisa berenang. Itu sudah cukup melegakan bagi wanita itu—setidaknya, tidak ada korban jiwa.
Kalau sampai terjadi sesuatu, dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri.
“Uaaah?...” rintih sang pengendara sambil meringis kesakitan.
Ia adalah Udin—dan meski tubuhnya basah kuyup, ia masih hidup.
“Syukurlah... aku masih hidup,” gumam Udin pelan sambil merangkak naik ke tepian, menarik rerumputan liar untuk membantunya naik.
Meski celana, baju, dan bahkan ponselnya basah, setidaknya dia selamat dari maut.
Dia mulai melangkah menuju motornya yang ringsek menabrak pohon.
“Yang penting aku bisa menghindari mobil hitam tadi… meski harus nyemplung sungai begini,” lirihnya sambil sedikit meringis menahan nyeri di pinggang.
Ketika sampai di tempat motor itu tergeletak, dia langsung tertegun. Motor C70 kesayangannya benar-benar rusak parah.
“Tidak… motorku?! Kenapa separah ini?!” serunya, nyaris tak percaya dengan kerusakan parah yang ia saksikan.
Tatapannya hancur. Ia tahu, memperbaiki motor itu butuh biaya besar. Biaya yang jelas-jelas dia tidak punya.
Dia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Semua karena kecerobohannya mengebut di jalan raya.
Padahal, motor itu satu-satunya alat transportasinya. Jika rusak, ia tak bisa pergi bekerja. Bahkan bisa kehilangan pekerjaannya sebagai kuli bangunan.
“Kalau sampai lusa aku nggak bisa kerja, Pak Mandor pasti marah... bisa-bisa aku dipecat,” batinnya pilu.
Udin tahu, pekerjaannya memang berat dan sering diremehkan orang.
Tapi baginya, pekerjaan itu sangat berarti. Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
“Tapi sekarang… semuanya hancur…” desahnya.
Suara lembut kembali terdengar dari belakangnya, memecah kesedihannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya sang wanita dengan nada khawatir.
Udin tersentak dan langsung menoleh.
Sosok wanita muda berdiri di sana, mengenakan gaun putih yang tampak seperti gaun pengantin.
Kecantikannya membuat Udin terdiam sejenak.
Namun seiring kesadarannya kembali, pikirannya mulai melayang ke arah yang aneh.
Wanita cantik, berdiri sendirian, di bawah pohon beringin, saat malam hari?
(Siapa dia? Kenapa ada di sini? Jangan-jangan… hantu?) batinnya dengan panik.
Tubuh Udin langsung tegang. Ketakutan mulai merayapi hatinya.
“Kun… Kunti?!” sahutnya kaget, langkahnya sedikit mundur.
Dia mulai panik. Dalam hatinya, ia berpikir telah mengganggu "rumah" dari makhluk gaib yang mendiami pohon beringin itu.
(Tidak salah lagi, dia pasti Mbak Kunti… dia marah karena aku menabrak pohonnya…) gumamnya dalam hati dengan wajah pucat.
Kakinya bergetar. Ia ingin segera kabur, takut dijadikan rekan hantu selamanya.
Apalagi, mungkin dia sebenarnya sudah mati dan arwahnya tidak sadar telah meninggalkan tubuh…
“Kau bilang aku apa barusan?” tanya wanita itu dengan nada tajam, keningnya mengernyit.
Udin menelan ludah. "M-mbak Kunti, maafkan aku... aku nggak sengaja menabrak rumahmu. Aku janji nggak bakal ulangi lagi…” sahutnya tergagap.
Wanita itu makin kesal. “Kau pikir aku ini hantu?” sentaknya, jelas tersinggung.
Udin kaget mendengar nada bicara wanita itu. Perlahan, ia menunduk dan memeriksa—apakah wanita itu… memiliki kaki?
"Jadi bukan hantu...?" ucapnya ragu, menatap ke bawah dan melihat dua pasang sepatu hak tinggi hitam yang dikenakan wanita cantik itu.
Sepatunya menapak jelas di atas tanah, seolah menegaskan bahwa dirinya nyata, bukan hantu seperti yang sempat dibayangkannya.
"Haha... sepertinya aku cuma salah paham," ujarnya, mencoba tertawa kecil untuk meredakan kegelisahannya sendiri.
Ia kembali menatap wanita itu. Tak bisa dimungkiri, kecantikannya begitu memikat.
Namun yang lebih membuat Udin penasaran, siapa sebenarnya wanita ini, dan mengapa dia ada di sini, malam-malam begini?
Seiring waktu, Udin mulai menunjukkan reaksi khas pria normal yang kesulitan menahan pesona seorang wanita memesona.
Namun kesadarannya akan realita cepat membungkam perasaannya. Ia miskin, hidup sederhana, dan wanita ini jelas bukan orang biasa. Perbedaan mereka bak langit dan bumi.
Lebih dari itu, ada satu fakta pahit: sejak lama Udin mengalami impotensi.
Sebuah kondisi yang menghancurkan hubungan masa lalunya.
Mantan pacarnya tak sanggup menerima, dan akhirnya memilih pria lain. Luka itu masih membekas.
"Kadang dunia ini memang kejam," batinnya getir. "Bahkan hewan saja bisa kawin dengan mudah, kenapa aku tidak?"
Wanita cantik itu mendengus pelan, jelas tidak puas dengan sikap Udin barusan. Namun ia cepat mengendalikan diri.
Dia tidak marah. Ia hanya ingin memastikan kondisi pria itu sebelum melangkah lebih jauh.
"Kalau kamu baik-baik saja, syukurlah. Tapi tidak dengan motormu. Sepertinya perlu perbaikan serius, dan biayanya tidak murah," ujar wanita itu datar namun penuh kepastian.
Wanita itu bernama Miranda. Dari nada bicaranya, dia tampak paham betul soal banyak hal.
Bahkan hanya sekali melihat, ia bisa menilai kerusakan pada motor Udin—sesuatu yang tak biasa dimiliki oleh kebanyakan wanita.
Udin terbelalak. Penilaian Miranda sangat tepat. Ia bahkan belum sempat memeriksa motornya sendiri, tapi wanita ini sudah lebih dulu tahu masalahnya.
"Kau benar, Nona. Sepertinya memang butuh biaya besar. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan meminta kompensasi apa pun darimu. Ini semua salahku," jawab Udin sambil mengangguk hormat.
Dia sadar dirinya yang ngebut karena emosi setelah putus cinta. Tabrakan tadi murni kesalahannya. Ia tidak ingin menyalahkan atau memanfaatkan Miranda sedikit pun.
"Kau benar-benar tak mau kompensasi?" tanya Miranda, jelas terkejut.
Bagi Miranda, tawaran kompensasi bukan masalah. Ia siap bertanggung jawab meski bukan sepenuhnya kesalahannya. Tapi jawaban Udin jauh di luar dugaan.
Ia yakin pria ini tidak punya banyak uang. Motor itu mungkin satu-satunya milik berharganya. Namun Udin tetap menolak, dan itu membuat Miranda mulai menaruh rasa hormat.
"Aku yang salah, Nona. Aku yang ngebut. Tak seharusnya aku memanfaatkanmu dalam situasi ini," lanjut Udin dengan nada tegas namun sopan.
Miranda terdiam sejenak, lalu merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan kartu ATM dan menyodorkannya ke Udin."Ambillah. Di dalamnya ada sepuluh juta. Ini kode PIN-nya. Gunakan untuk memperbaiki motormu," ucapnya tenang.Bagi Miranda, uang itu hanya recehan. Tapi ia yakin, jumlah itu sangat berarti bagi Udin. Namun reaksi pria itu tak seperti yang ia perkirakan.Udin mengangkat tangannya, menolak."Nona, aku sudah bilang, aku tidak bisa menerima apa pun darimu. Ini murni tanggung jawabku. Tolong hargai keputusanku," sahut Udin tegas.Sikapnya teguh. Tak tergoda oleh nominal.Miranda menyipitkan mata, menatap pria keras kepala itu. Lalu tanpa banyak bicara, ia mengganti kartu yang tadi dengan kartu lain."Baiklah. Kalau begitu, bagaimana dengan seratus juta? Kamu bisa beli motor baru yang lebih bagus. Terima saja," ujarnya dengan suara lebih lembut, namun tetap serius.Udin membeku.Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Seratus juta? Itu jumlah yang tak pernah ia bayangkan bisa dimiliki
Dia melihat potensi dari pria ini. Udin mungkin bisa digunakan untuk sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya.Meski Miranda tidak mengatakan niat sebenarnya, ia telah memikirkan rencana dengan matang.(Huh, aku punya rencana dengan pria ini. Tidak mungkin aku membatalkannya hanya karena dia sedikit bau dan basah. Aku harus tetap membiarkannya masuk), batin Miranda sambil melirik pria itu dari spion.Tak ada waktu mencari orang lain. Udin sudah cukup memenuhi kriterianya untuk rencana yang telah disusun.“Kau bisa masuk. Jangan pikirkan pakaianmu yang basah. Cepat, jangan membuatku menunggu,” katanya mantap, mengusir keraguan dari wajahnya.Udin terdiam sejenak, ragu. “Kau yakin…?” tanyanya memastikan.“Tentu saja. Apa aku terlihat sedang bercanda?” sahut Miranda tajam.“....”“Kalau begitu, baiklah,” ucap Udin akhirnya.Wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara tidak percaya dan pasrah.Ia sendiri tak tahu apakah keputusan ikut Miranda ini akan membawa kebaikan atau justru masal
Permohonan itu membuat Jalok mengangkat alis. Ia tak tertarik.Tapi tiba-tiba, matanya menangkap sosok Lastri di belakang Pak Agus. Tatapannya berubah.Wanita muda itu bukan tipe ideal, tapi cukup untuk memuaskan para preman sebagai ganti potongan harga.“Baiklah. Sepuluh juta, tapi wanita itu harus melayani kami semua malam ini. Kalau tidak, tawaran batal,” kata Jalok tanpa basa-basi.Lastri langsung tersentak, wajahnya pucat. Ia mundur pelan, ketakutan.Ia mungkin rela tidur dengan Pak Agus demi uang, tapi bukan dengan para preman bau keringat dan kasar itu.“Tidak… itu tidak mungkin!” teriaknya, suara gemetar. “Kumohon, jangan lakukan apa pun padaku…”Ia mundur terus, seakan ingin menghilang. Ketakutan membekukan tubuhnya, dan dunia terasa sepi dan sempit seketika.Perselingkuhannya dengan Pak Agus terjadi karena godaan dan janji manis lelaki paruh baya itu—bukan karena dia wanita murahan.Kini, dalam ketakutan, dia berdiri di belakang Pak Agus, berharap ada perlindungan. Wajahnya p
Matanya menatap Lastri dengan nafsu. Lastri merinding, wajahnya pucat pasi.“Kau cukup patuh malam ini. Jangan coba-coba melarikan diri,” ancam Jalok, suaranya seram.Pak Agus mengangguk puas, merasa masalah akan segera selesai.“Jalok, cepatlah! Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” desaknya tak sabar.“Sudah kubilang, tenang saja. Setelah kami bersenang-senang dengannya, semua akan beres,” jawab Jalok sambil tertawa kecil.Tanpa banyak bicara, Jalok langsung merangkul Lastri dengan kasar dan mulai menyentuh tubuhnya.“Apa yang kau lakukan?!” seru Lastri panik, mencoba menolak.Namun Jalok jauh lebih kuat. Ia membopong Lastri yang meronta dan membawanya ke kamar terdekat.“.....”Pak Agus hanya menonton, ekspresinya datar.Dalam hati, ia tahu Lastri adalah selingkuhannya. Tapi semua ini, baginya, adalah konsekuensi dari pilihan Lastri sendiri.Para preman lainnya tertawa, bersiap menunggu giliran.Mereka menanti "pesta" yang baru saja dimulai.***Sementara itu, di dalam sebuah mobi
Nada suaranya penuh kekecewaan.Ia merasa dimanfaatkan, seperti boneka dalam drama yang tidak pernah ingin ia perankan.Ia tahu posisinya—miskin, tak punya apa-apa, dan bahkan membawa beban impoten. Ia tidak ingin menjadi bahan tertawaan para orang kaya.“Aku tahu ini terdengar egois, tapi aku benar-benar tak punya pilihan,” ucap Miranda pelan. “Aku tidak dekat dengan pria lain. Aku hanya butuh bantuanmu malam ini...”Untuk pertama kalinya, Miranda memohon. Wajahnya serius, tak lagi penuh percaya diri seperti biasanya.“Aku memang salah karena tidak memberitahumu dari awal... tapi tolong... bantu aku kali ini saja. Aku akan membayarmu, berapa pun yang kau minta,” ujarnya tulus.Udin menghela napas.Baginya, tawaran uang bukanlah hal yang bisa menggoyahkan harga dirinya. Ia memang miskin, tapi bukan pengemis yang bisa dibeli.Namun, melihat wanita secantik Miranda memohon di hadapannya... hatinya sedikit luluh. Ia tidak tahan melihatnya bersedih.(Uang bisa dicari… tapi harga diri tetap
Miranda sadar satu-satunya cara untuk mempertahankan kebohongannya adalah memperdalam hubungan palsunya dengan Udin.Ia harus tampil lebih meyakinkan sebagai pasangan.Walaupun sebagai wanita ia merasa dirugikan, tapi demi kelangsungan rencana ini, Miranda tak punya pilihan selain membiarkan Udin memainkan perannya sepenuhnya.“Itu tidak benar! Kami sudah lama bersama, hanya saja tidak ingin mengumumkannya ke siapa pun. Benar begitu, Sayang?” ucap Miranda penuh penghayatan, meski wajahnya memerah karena malu dan tegang.(Tolong bantu aku...) desaknya dalam hati, menekan tangan Udin dengan lembut namun penuh arti—sebuah sinyal jelas bahwa Udin harus segera bertindak.Udin bisa merasakannya.Meski sempat teralihkan oleh kedekatan fisik mereka, ia segera sadar ini bukan waktunya untuk terbawa suasana.“Mas Bro! Kenalin, aku Udin,” ujar Udin dengan senyum santai. “Aku nggak peduli sama bajuku atau penampilan luar. Yang penting, aku pacarnya Nona Miranda. Dan kamu? Kamu bukan siapa-siapa.”
Andai saja Udin tidak datang, ia yakin malam ini akan berbeda. Tapi semuanya sudah terlambat.Meski begitu, Erik bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dendamnya membara. Ia bertekad menyingkirkan Udin—secara diam-diam.Dan demi alibi yang kuat, Erik takkan bertindak sendiri. Ia akan menyewa seseorang untuk menyelesaikan masalah ini... secara permanen.***Di luar restoran, Udin dibantu Miranda berjalan perlahan menuju tempat parkir.Keduanya tampak tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat itu setelah insiden pemukulan oleh Erik Penadol.Miranda tampak diliputi rasa bersalah, merasa insiden itu terjadi karena dirinya.“Aku benar-benar minta maaf. Karena aku, kau jadi terluka seperti ini,” ucap Miranda dengan nada sesal.Dia tak pernah membayangkan Erik akan melakukan hal seburuk itu. Segalanya di luar perkiraannya.Ia tak bermaksud membuat Udin tersakiti, namun kini semuanya sudah terlanjur. Penyesalan saja tidak cukup untuk mengubah apa pun.“Jangan salahkan dirimu, Nona Miranda.
“Hamil?” desisnya, menahan kekesalan yang bergolak di dada.“Kata itu tidak seharusnya keluar dalam hubungan seperti ini. Ini hanya main-main, Lastri. Aku tidak siap bertanggung jawab untuk hal sebesar itu,” ujar Pak Agus dengan nada datar, seolah semuanya hanya perkara sepele.Ia melanjutkan dengan ringan, seakan tidak ada hati yang sedang terluka.“Minumlah pil KB. Kalau pun kau hamil, tinggal gugurkan atau... bilang saja ke Udin kalau itu anaknya. Selesai, kan?” ucapnya enteng, nyaris tanpa perasaan.Saran kejam itu menghantam Lastri seperti palu godam.Namun, di balik kata-kata ringan Pak Agus, tersirat jelas penolakan tanggung jawab.Pak Agus malah berusaha memutarbalikkan keadaan.“Lagipula, semua ini bukan salah kita,” sahutnya cepat, mencoba membela diri. “Ini gara-gara bocah tengil itu—mantanmu. Kalau dia tidak merekam kita, kamu tidak perlu ‘melayani’ Jalok dan teman-temannya.”Lastri terdiam. Hatinya berperang. Kata-kata Pak Agus perlahan menyusup ke pikirannya yang rapuh.K
Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang
Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p
Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k
Jalok dan anak buahnya, preman-preman bayaran, telah menerima tugas dari Pak Agus, singkirkan Udin.Sejak kemarin mereka tidak menemukan jejaknya, namun kini keberuntungan berpihak.“Itu dia! Akhirnya Udin muncul juga!” seru Jalok dengan semangat membara, matanya membelalak penuh gairah pemburu yang menemukan mangsanya.Para anteknya yang sudah jengkel karena menunggu langsung bergemuruh.“Ayo cepat, jangan biarkan bocah itu kabur!” sahut salah satu dari mereka dengan nada penuh amarah.“Benar! Aku udah muak nunggu. Sekarang waktunya bertindak!” ucap yang lain sambil menyalakan motor.“Cepat kita habisi dia dan ambil ponselnya. Tugas selesai, duit datang!” tambah yang lainnya dengan tawa kasar.Namun Jalok tetap tenang.“Tenang, kita tidak bisa gegabah,” ucapnya sambil menatap tajam arah motor Udin yang menjauh. “Ikuti aku dan pastikan semuanya berjalan lancar.”Dengan komando itu, mereka segera melaju, membuntuti Udin dari kejauhan, seperti serigala memburu mangsanya.Di jalan, Udin
Sementara itu, di sebuah kawasan kos yang cukup jauh dari tempat tinggal lamanya, Udin tengah membonceng Risma, mencari tempat tinggal baru untuk malam ini.Jika tidak segera menemukannya, mereka terpaksa harus tidur di luar, dan itu tentu bukan pilihan, apalagi bagi Risma yang seorang perempuan.Udin tidak mungkin membiarkan Risma tidur di emperan toko, apalagi di bawah kolong jembatan.Lebih buruk lagi, mereka bisa saja ditemukan oleh anak buah Juragan Somat yang masih memburu Risma.“Mas Udin, kita mau ke mana?” tanya Risma pelan, terlihat lelah meski hanya duduk di belakang sambil memegang barang bawaan.Beban ransel Udin yang cukup berat juga menambah kesulitannya.Namun Udin sudah punya tujuan. Ia tahu ke mana harus pergi.“Sedikit lagi sampai. Setelah itu, kau bisa istirahat,” jawab Udin sambil memutar gas, mempercepat laju motornya.Ia merasa puas dengan performa motor barunya, jauh lebih baik dibandingkan motor lamanya yang sudah usang.Tapi pikirannya kembali pada Miranda, w
Sementara itu, anak buah Juragan Somat mulai mendobrak setiap kamar satu per satu.Tak lama kemudian, Torik mendekat dan bertanya, “Bagaimana? Kalian menemukan Udin dan Risma?”Namun ekspresi kecewa terlihat jelas di wajah mereka.“Torik, kau bilang target ada di sini. Tapi tak ada jejak mereka,” ujar salah satu dari mereka dengan nada curiga.“Benar. Hanya ada beberapa penyewa paruh baya. Tak ada target,” sahut yang lain sambil menggeleng.“Beberapa kamar kosong, tapi tak ada yang sesuai deskripsi,” tambah yang ketiga, tampak frustasi.Kegagalan ini membuat mereka kesal. Tatapan sinis mulai tertuju pada Torik.“Kau pasti berbohong! Target tak ada!” tuduh salah satu anak buah dengan nada tinggi.“Kalau Juragan tahu, kau akan dapat masalah besar,” ucap lainnya penuh ancaman.Keluhan dan kecurigaan mulai bermunculan. Mereka bahkan meragukan kemampuan Torik sebagai pemimpin lapangan. Merasa terpojok, Torik buru-buru membuat alasan.“Ada satu tempat lagi yang bisa kita periksa. Mungkin
Udin tersentak.Namun, ia berusaha tetap tenang.“Saya... saya akan lunasi malam ini, Bu. Tadi saya sempat tarik uang dari rekening,” jawab Udin buru-buru, mencoba tersenyum walau canggung.“Bagus. Jangan cuma janji ya!” sahut ibu kost sambil mengangguk singkat.“Tentu saja aku sudah menyiapkan uangnya. Tunggu sebentar, akan kuambil dulu,” ujar Udin sambil tersenyum tenang.Tanpa membuang waktu, Udin segera menuju lemarinya dan mengambil sejumlah uang tunai yang telah dipersiapkannya sebelumnya.Ia berniat melunasi seluruh tunggakan sewa kost tanpa meninggalkan utang sedikit pun.Pemilik kost, yang semula hanya berdiri santai di depan pintu, langsung terbelalak begitu melihat tumpukan uang di tangan Udin.“Lho... kamu serius?” gumamnya setengah tak percaya.Udin hanya mengangguk singkat sambil menyerahkan uang tersebut.“Ini untuk sewa tiga bulan terakhir. Dan mulai bulan depan, saya tidak akan tinggal di sini lagi. Saya akan cari tempat lain,” ucapnya mantap.Wajah pemilik kost langs
Ngeeeeng!Namun di perjalanan, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya—dan membuat dadanya sesak.Juragan Somat dan anak buahnya!Mereka tampak sedang mencari seseorang.Udin langsung paham.(Risma tidak berbohong,) batinnya tegang. (Dia memang sedang diburu… dan Juragan Somat benar-benar berniat menjualnya ke tempat prostitusi.)“Mereka masih mencari Risma,” ucapnya pelan dengan rahang mengeras.Melihat situasi ini, Udin pun memantapkan hati.“Aku akan bantu Risma sampai tuntas. Meski keluarganya sendiri berada di pihak Juragan Somat, aku nggak akan tinggal diam,” tekadnya dalam hati.“Untuk sekarang aku harus menghindari mereka. Jangan sampai keberadaan Risma ketahuan,” bisiknya pada diri sendiri, lalu memutar arah dengan hati-hati.Setelah mengambil uang di ATM, ia mampir ke warung nasi Padang dan kemudian pulang ke kos. ***Sementara itu, di tempat lain, Juragan Somat terlihat gusar.Wajahnya gelap penuh amarah. Ia berdiri di tengah anak buahnya, tampak seperti gunung yang
Risma yang semula tampak tenang mendadak bungkam, bibirnya sedikit terbuka. Ia tampak ingin bicara, namun akhirnya hanya menunduk.“Maaf… aku nggak tahu. Aku doain semoga beliau cepat sembuh,” ujar Risma, suaranya penuh empati.“Nggak apa-apa… nggak perlu minta maaf,” sahut Udin, berusaha tersenyum meski hatinya berat.Hening mengisi ruangan. Keduanya terdiam cukup lama. Udin memilih tak membahas lebih jauh soal ibunya.Clinck!Tiba-tiba ponsel miliknya menyala terang. Ia terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya merekah. Sepertinya trik menanam ponsel dalam beras benar-benar berhasil.“Risma, aku keluar sebentar, ya. Tetap di sini dulu,” ucap Udin sambil menggenggam ponsel.“Baik, Mas. Hati-hati,” jawab Risma pelan.Udin segera melangkah keluar, mencari tempat yang cukup tenang di ujung gang sempit. Ia memeriksa layar ponsel dengan penuh harap.Semuanya normal. Dengan cepat, ia mengetik nomor Miranda dan menekan tombol panggil.“Nona Miranda, ini aku, Udin.”(Eh, ini nomormu? Baik, aku