Permohonan itu membuat Jalok mengangkat alis. Ia tak tertarik.
Tapi tiba-tiba, matanya menangkap sosok Lastri di belakang Pak Agus. Tatapannya berubah.
Wanita muda itu bukan tipe ideal, tapi cukup untuk memuaskan para preman sebagai ganti potongan harga.
“Baiklah. Sepuluh juta, tapi wanita itu harus melayani kami semua malam ini. Kalau tidak, tawaran batal,” kata Jalok tanpa basa-basi.
Lastri langsung tersentak, wajahnya pucat. Ia mundur pelan, ketakutan.
Ia mungkin rela tidur dengan Pak Agus demi uang, tapi bukan dengan para preman bau keringat dan kasar itu.
“Tidak… itu tidak mungkin!” teriaknya, suara gemetar. “Kumohon, jangan lakukan apa pun padaku…”
Ia mundur terus, seakan ingin menghilang. Ketakutan membekukan tubuhnya, dan dunia terasa sepi dan sempit seketika.
Perselingkuhannya dengan Pak Agus terjadi karena godaan dan janji manis lelaki paruh baya itu—bukan karena dia wanita murahan.
Kini, dalam ketakutan, dia berdiri di belakang Pak Agus, berharap ada perlindungan. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, namun suaranya tetap lantang.
“Hapus pikiran jahat kalian tentangku. Aku ini pacar Pak Agus, dan kalian sebaiknya jaga ucapan kalian,” ujar Lastri tegas, mencoba menguatkan diri.
Sayangnya, sampai detik ini, Pak Agus belum mengatakan sepatah kata pun—membuat Lastri semakin gelisah. Ia tak tahu ke mana nasibnya akan berlabuh.
“Pacarmu? Wah, masih muda banget! Sepertinya istrimu harus tahu soal ini,” kata Jalok sambil terkekeh, walau ada nada kesal terselip di balik candaannya.
Namun Jalok cukup mengenal Pak Agus untuk menyimpulkan bahwa hubungan ini memang perselingkuhan.
Dan kini, melihat Lastri yang cantik dengan dandanan tebal, justru membuat keinginannya terhadap gadis itu semakin membuncah.
“Jalok, jangan bilang apa-apa ke istriku. Tolong, kita kembali ke pembicaraan sebelumnya saja,” ucap Pak Agus dengan gugup, wajahnya tegang. Ia tahu kalau istrinya tahu, hidupnya bisa berantakan.
“Hehe, tenang. Aku nggak akan bocorin. Tapi soal permintaan tadi, aku nggak akan ubah keputusan,” tegas Jalok, nada suaranya tak bisa ditawar.
***
Sementara itu, para preman lain hanya berdiri di samping, diam namun penuh hasrat membara.
Mereka tampak sepakat dengan Jalok, dan tak kuasa menahan nafsu saat melihat Lastri yang menawan, meski mereka tahu kecantikannya sebagian besar hanyalah ilusi dari makeup tebal.
“Tidak! Pak Agus, tolong... jangan dengarkan mereka. Kamu nggak mau kan aku tidur dengan pria lain? Tolong bayar mereka lebih mahal, jangan biarkan aku jadi korban,” pinta Lastri lirih sambil menarik-narik baju Pak Agus, suaranya nyaris putus asa.
Ia tahu situasi semakin kacau. Dirinya terjebak, dan satu-satunya harapan justru mulai goyah.
“.....”
Pak Agus hanya terdiam. Pikirannya berkecamuk hebat. Di satu sisi, dia tidak ingin Lastri disentuh pria lain.
Namun di sisi lain, ia juga takut kehilangan istri sahnya dan uang dalam jumlah besar. Bayaran yang diminta Jalok sangat tinggi, dan sifat pelitnya membuatnya ragu.
(Sial… daripada harus keluar banyak uang, lebih baik Lastri saja yang tidur dengan mereka. Masalah selesai tanpa perlu repot), batinnya dingin.
Ia menoleh, menatap Lastri yang terus memohon, namun hatinya tetap beku.
Bagi Pak Agus, Lastri hanyalah wanita pelengkap kenikmatan. Ia tak merasa berkewajiban untuk melindunginya lebih dari itu.
“Lastri, kenapa sih kamu takut banget melayani mereka? Bukannya kamu udah biasa jual diri? Harusnya nggak masalah buatmu,” ujar Pak Agus, datar dan dingin.
“Apa?! Itu nggak benar! Aku bukan wanita kayak gitu! Pak Agus… kau tega sekali…” teriak Lastri, hampir menangis.
Ia tak percaya lelaki yang dulu lembut dan perhatian kini berubah menjadi pria bengis yang hendak menjual dirinya demi kepentingan pribadi.
Pak Agus hanya mengangkat bahu, santai.
“Sudahlah, turuti saja keinginan mereka. Dengan begitu, mantanmu bakal nyesel, dan semua masalah kita kelar. Kau juga nggak mau video kita tersebar kan?” sahutnya sambil tersenyum dingin.
Lastri ingin memprotes, namun lidahnya kelu. Ia benci bahwa tubuhnya kini dijadikan alat tawar-menawar.
Ia takut—bukan hanya karena para preman itu, tapi juga karena masa depannya yang terasa semakin suram.
“Tapi…” ucapnya lirih, mencoba menolak.
Namun hatinya gentar. Ia takut hamil, takut aib ini menghancurkan hidupnya dan keluarga kecilnya di kampung.
Tekanan terus datang dari Pak Agus.
“Lastri, dengar baik-baik!” bentaknya. “Kita nggak punya pilihan. Kalau kau nolak, rekaman itu bakal menyebar. Terima saja! Satu malam selesai, masalah beres!”
Suara Pak Agus meninggi, menunjukkan bahwa kesabarannya mulai habis. Lastri tahu, pilihan itu tidak lagi benar-benar berada di tangannya.
Pak Agus kini terus membujuk Lastri agar mau memenuhi permintaan dari Jalok dan para preman.
Menurutnya, jika permintaan itu tidak dipenuhi, mereka akan gagal menghentikan Udin.
Tampaknya, Pak Agus sama sekali tidak peduli jika wanita selingkuhannya itu harus tidur dengan pria lain.
Bagi dirinya, Lastri hanyalah sumber keuntungan, bukan cinta sejati.
“B—baiklah... kalau memang itu yang harus kulakukan,” jawab Lastri akhirnya dengan suara lirih.
Ia akhirnya menerima keputusan itu setelah beberapa kali dibujuk. Meski terpaksa dan jijik, ia merasa tak punya pilihan lain.
Baginya, menjaga agar hubungan gelapnya dengan Pak Agus tidak terbongkar jauh lebih penting.
“Haha, bagus! Bagus sekali kalau kau setuju!” sahut Pak Agus dengan senyum puas.
Ia tampak sangat bersemangat. Bagaimana tidak? Ia bukan hanya mendapatkan potongan harga dari Jalok, tapi juga bisa menyingkirkan ancaman dari Udin.
“Lastri, kau tak perlu takut. Nanti akan kubelikan iPhone sebagai gantinya. Jadi, jangan sedih. Perlakukan mereka dengan baik,” ujarnya, mencoba menenangkan Lastri dengan janji manis yang palsu.
Sebenarnya, Pak Agus tak berniat membelikan Lastri iPhone. Janji itu hanyalah alat untuk membodohi wanita itu agar tunduk, hingga saatnya ia bosan dan membuangnya.
“.....”
Lastri hampir menangis mendengar janji itu. Ia tak pernah menyangka akan dijual oleh lelaki yang selama ini dianggap pelindung.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk.
(Mengapa hidupku jadi seperti ini? Apa ini karma karena mengkhianati Mas Udin?) batinnya pilu.
Ia menyadari betapa berbeda Udin dan Pak Agus. Walau Udin tak sekaya Pak Agus, selama bersamanya Udin selalu memperlakukannya dengan tulus.
Namun kini semuanya sudah terlambat.
(Huh... mengapa aku memikirkan Mas Udin sekarang? Bukankah semua ini karena dia juga? Kalau saja dia tidak membongkar perselingkuhan kami, aku takkan berada dalam situasi ini!) Lastri mulai menyalahkan Udin.
Ia berharap Udin mendapat pelajaran setimpal dari para preman yang kini berpihak pada Pak Agus.
Sementara itu, Pak Agus mendekati Jalok, siap melanjutkan kesepakatan.
“Jalok, sesuai perjanjian, aku berikan 10 juta dan Lastri sebagai bagian dari imbalan lainnya,” ujar Pak Agus sambil menyerahkan uang muka lima juta rupiah.
Ia bahkan mendorong Lastri ke arah para preman dengan sedikit paksaan.
“Jangan lupa, singkirkan Udin dan ambil ponselnya!” tambahnya cepat.
“Tenang saja. Imbalan ini sangat... murah hati. Asal wanita itu tidak membuat masalah malam ini, semuanya akan berjalan lancar,” sahut Jalok dengan senyum licik.
Matanya menatap Lastri dengan nafsu. Lastri merinding, wajahnya pucat pasi.“Kau cukup patuh malam ini. Jangan coba-coba melarikan diri,” ancam Jalok, suaranya seram.Pak Agus mengangguk puas, merasa masalah akan segera selesai.“Jalok, cepatlah! Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” desaknya tak sabar.“Sudah kubilang, tenang saja. Setelah kami bersenang-senang dengannya, semua akan beres,” jawab Jalok sambil tertawa kecil.Tanpa banyak bicara, Jalok langsung merangkul Lastri dengan kasar dan mulai menyentuh tubuhnya.“Apa yang kau lakukan?!” seru Lastri panik, mencoba menolak.Namun Jalok jauh lebih kuat. Ia membopong Lastri yang meronta dan membawanya ke kamar terdekat.“.....”Pak Agus hanya menonton, ekspresinya datar.Dalam hati, ia tahu Lastri adalah selingkuhannya. Tapi semua ini, baginya, adalah konsekuensi dari pilihan Lastri sendiri.Para preman lainnya tertawa, bersiap menunggu giliran.Mereka menanti "pesta" yang baru saja dimulai.***Sementara itu, di dalam sebuah mobi
Nada suaranya penuh kekecewaan.Ia merasa dimanfaatkan, seperti boneka dalam drama yang tidak pernah ingin ia perankan.Ia tahu posisinya—miskin, tak punya apa-apa, dan bahkan membawa beban impoten. Ia tidak ingin menjadi bahan tertawaan para orang kaya.“Aku tahu ini terdengar egois, tapi aku benar-benar tak punya pilihan,” ucap Miranda pelan. “Aku tidak dekat dengan pria lain. Aku hanya butuh bantuanmu malam ini...”Untuk pertama kalinya, Miranda memohon. Wajahnya serius, tak lagi penuh percaya diri seperti biasanya.“Aku memang salah karena tidak memberitahumu dari awal... tapi tolong... bantu aku kali ini saja. Aku akan membayarmu, berapa pun yang kau minta,” ujarnya tulus.Udin menghela napas.Baginya, tawaran uang bukanlah hal yang bisa menggoyahkan harga dirinya. Ia memang miskin, tapi bukan pengemis yang bisa dibeli.Namun, melihat wanita secantik Miranda memohon di hadapannya... hatinya sedikit luluh. Ia tidak tahan melihatnya bersedih.(Uang bisa dicari… tapi harga diri tetap
Miranda sadar satu-satunya cara untuk mempertahankan kebohongannya adalah memperdalam hubungan palsunya dengan Udin.Ia harus tampil lebih meyakinkan sebagai pasangan.Walaupun sebagai wanita ia merasa dirugikan, tapi demi kelangsungan rencana ini, Miranda tak punya pilihan selain membiarkan Udin memainkan perannya sepenuhnya.“Itu tidak benar! Kami sudah lama bersama, hanya saja tidak ingin mengumumkannya ke siapa pun. Benar begitu, Sayang?” ucap Miranda penuh penghayatan, meski wajahnya memerah karena malu dan tegang.(Tolong bantu aku...) desaknya dalam hati, menekan tangan Udin dengan lembut namun penuh arti—sebuah sinyal jelas bahwa Udin harus segera bertindak.Udin bisa merasakannya.Meski sempat teralihkan oleh kedekatan fisik mereka, ia segera sadar ini bukan waktunya untuk terbawa suasana.“Mas Bro! Kenalin, aku Udin,” ujar Udin dengan senyum santai. “Aku nggak peduli sama bajuku atau penampilan luar. Yang penting, aku pacarnya Nona Miranda. Dan kamu? Kamu bukan siapa-siapa.”
Andai saja Udin tidak datang, ia yakin malam ini akan berbeda. Tapi semuanya sudah terlambat.Meski begitu, Erik bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dendamnya membara. Ia bertekad menyingkirkan Udin—secara diam-diam.Dan demi alibi yang kuat, Erik takkan bertindak sendiri. Ia akan menyewa seseorang untuk menyelesaikan masalah ini... secara permanen.***Di luar restoran, Udin dibantu Miranda berjalan perlahan menuju tempat parkir.Keduanya tampak tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat itu setelah insiden pemukulan oleh Erik Penadol.Miranda tampak diliputi rasa bersalah, merasa insiden itu terjadi karena dirinya.“Aku benar-benar minta maaf. Karena aku, kau jadi terluka seperti ini,” ucap Miranda dengan nada sesal.Dia tak pernah membayangkan Erik akan melakukan hal seburuk itu. Segalanya di luar perkiraannya.Ia tak bermaksud membuat Udin tersakiti, namun kini semuanya sudah terlanjur. Penyesalan saja tidak cukup untuk mengubah apa pun.“Jangan salahkan dirimu, Nona Miranda.
“Hamil?” desisnya, menahan kekesalan yang bergolak di dada.“Kata itu tidak seharusnya keluar dalam hubungan seperti ini. Ini hanya main-main, Lastri. Aku tidak siap bertanggung jawab untuk hal sebesar itu,” ujar Pak Agus dengan nada datar, seolah semuanya hanya perkara sepele.Ia melanjutkan dengan ringan, seakan tidak ada hati yang sedang terluka.“Minumlah pil KB. Kalau pun kau hamil, tinggal gugurkan atau... bilang saja ke Udin kalau itu anaknya. Selesai, kan?” ucapnya enteng, nyaris tanpa perasaan.Saran kejam itu menghantam Lastri seperti palu godam.Namun, di balik kata-kata ringan Pak Agus, tersirat jelas penolakan tanggung jawab.Pak Agus malah berusaha memutarbalikkan keadaan.“Lagipula, semua ini bukan salah kita,” sahutnya cepat, mencoba membela diri. “Ini gara-gara bocah tengil itu—mantanmu. Kalau dia tidak merekam kita, kamu tidak perlu ‘melayani’ Jalok dan teman-temannya.”Lastri terdiam. Hatinya berperang. Kata-kata Pak Agus perlahan menyusup ke pikirannya yang rapuh.K
Sementara itu, Udin berjalan ke bangsal umum tempat ibunya dirawat selama tiga tahun terakhir.Wajahnya muram.Setiap langkahnya terasa berat, seperti diseret beban tak kasat mata.Meski ia selalu datang, pemandangan yang ia lihat tak pernah berubah: ibunya terbaring kaku, tak sadarkan diri."Ibu, aku janji suatu hari akan menyembuhkanmu. Tak peduli berapa pun biayanya," batinnya penuh tekad.Kondisi keuangan Udin memang pas-pasan.Tapi ia bekerja keras, menabung setiap rupiah demi biaya perawatan. Ia menggantungkan harapan pada keajaiban.Namun hari ini berbeda.Begitu sampai di bangsal, Udin terkejut.Tempat tidur ibunya kini ditempati oleh orang asing. Ia celingukan, panik.Ibunya tidak ada.“Di mana ibuku?…” ucap Udin pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur kepanikan.Udin terpaku sejenak sebelum tersadar, dan panik membuncah dalam hatinya.Pasien yang terbaring di bangsal tersebut sama sekali tidak dikenalnya.Padahal, seingatnya, inilah ruangan tempat ibunya dirawat.Nomor b
Dokter Jono menatap Udin dari ujung kepala hingga kaki.Pakaian Udin yang sederhana sudah cukup memberitahunya alasan keberatan itu.Ia langsung menyimpulkan bahwa Udin berasal dari keluarga kurang mampu.“Kami dari keluarga tak mampu, Dok. Saya mohon, kalau bisa tagihannya diturunkan menjadi setengahnya. Sisanya akan saya cicil selama setahun,” ujar Udin penuh harap.Ia mengira Dokter Jono akan berbaik hati.Baginya, ini kesempatan emas untuk mendapatkan keringanan.Tapi kenyataan justru berbanding terbalik.(Menurunkan setengahnya? Dia pikir ini pasar tradisional?) batin Dokter Jono geram.Wajahnya mengeras. Tatapannya tajam dan penuh superioritas.Ia memancarkan aura dingin yang membuat Udin semakin tertekan.Bagi Dokter Jono, tidak ada alasan untuk memberi keringanan.Terutama pada keluarga pasien yang menawar seolah biaya rumah sakit bisa ditawar sesuka hati."Kau ingin menawar tagihan rumah sakit?" tanya Dokter Jono tajam, memastikan apakah telinganya tidak salah dengar.Perminta
Sementara itu, Dokter Jono mendadak kaku.Keringat dingin mengalir di punggungnya saat menyadari siapa pria yang barusan ia hina.Ia melirik Udin dengan panik, mulai berpikir macam-macam.Suaranya bergetar saat mencoba menguasai keadaan.“Nona Miranda pasti salah mengenali orang,” ucapnya gugup. “Tidak mungkin Anda mengenal pria miskin itu yang bahkan tidak mampu membayar tagihan rumah sakit.”Namun, ekspresi Miranda membantah segalanya.Dengan sikapnya yang semakin tegas, ia justru membuat Dokter Jono makin panik.“Hmph! Masih berani bicara buruk tentang Mas Udin?” sahut Miranda tajam. “Kau kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di belakang kami?”Nada bicaranya menggigit, membuat udara di ruangan terasa menegang.Meski malu mengakuinya, ia tahu kasus pemerasan dan manipulasi tagihan bukan hal asing di rumah sakit ini.“Nona Miranda, tolong jangan salah paham,” ujar Dokter Jono dengan nada memelas. “Saya memang sempat bicara kurang baik tentang keluarga pasien, tapi saya tidak me
Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang
Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p
Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k
Jalok dan anak buahnya, preman-preman bayaran, telah menerima tugas dari Pak Agus, singkirkan Udin.Sejak kemarin mereka tidak menemukan jejaknya, namun kini keberuntungan berpihak.“Itu dia! Akhirnya Udin muncul juga!” seru Jalok dengan semangat membara, matanya membelalak penuh gairah pemburu yang menemukan mangsanya.Para anteknya yang sudah jengkel karena menunggu langsung bergemuruh.“Ayo cepat, jangan biarkan bocah itu kabur!” sahut salah satu dari mereka dengan nada penuh amarah.“Benar! Aku udah muak nunggu. Sekarang waktunya bertindak!” ucap yang lain sambil menyalakan motor.“Cepat kita habisi dia dan ambil ponselnya. Tugas selesai, duit datang!” tambah yang lainnya dengan tawa kasar.Namun Jalok tetap tenang.“Tenang, kita tidak bisa gegabah,” ucapnya sambil menatap tajam arah motor Udin yang menjauh. “Ikuti aku dan pastikan semuanya berjalan lancar.”Dengan komando itu, mereka segera melaju, membuntuti Udin dari kejauhan, seperti serigala memburu mangsanya.Di jalan, Udin
Sementara itu, di sebuah kawasan kos yang cukup jauh dari tempat tinggal lamanya, Udin tengah membonceng Risma, mencari tempat tinggal baru untuk malam ini.Jika tidak segera menemukannya, mereka terpaksa harus tidur di luar, dan itu tentu bukan pilihan, apalagi bagi Risma yang seorang perempuan.Udin tidak mungkin membiarkan Risma tidur di emperan toko, apalagi di bawah kolong jembatan.Lebih buruk lagi, mereka bisa saja ditemukan oleh anak buah Juragan Somat yang masih memburu Risma.“Mas Udin, kita mau ke mana?” tanya Risma pelan, terlihat lelah meski hanya duduk di belakang sambil memegang barang bawaan.Beban ransel Udin yang cukup berat juga menambah kesulitannya.Namun Udin sudah punya tujuan. Ia tahu ke mana harus pergi.“Sedikit lagi sampai. Setelah itu, kau bisa istirahat,” jawab Udin sambil memutar gas, mempercepat laju motornya.Ia merasa puas dengan performa motor barunya, jauh lebih baik dibandingkan motor lamanya yang sudah usang.Tapi pikirannya kembali pada Miranda, w
Sementara itu, anak buah Juragan Somat mulai mendobrak setiap kamar satu per satu.Tak lama kemudian, Torik mendekat dan bertanya, “Bagaimana? Kalian menemukan Udin dan Risma?”Namun ekspresi kecewa terlihat jelas di wajah mereka.“Torik, kau bilang target ada di sini. Tapi tak ada jejak mereka,” ujar salah satu dari mereka dengan nada curiga.“Benar. Hanya ada beberapa penyewa paruh baya. Tak ada target,” sahut yang lain sambil menggeleng.“Beberapa kamar kosong, tapi tak ada yang sesuai deskripsi,” tambah yang ketiga, tampak frustasi.Kegagalan ini membuat mereka kesal. Tatapan sinis mulai tertuju pada Torik.“Kau pasti berbohong! Target tak ada!” tuduh salah satu anak buah dengan nada tinggi.“Kalau Juragan tahu, kau akan dapat masalah besar,” ucap lainnya penuh ancaman.Keluhan dan kecurigaan mulai bermunculan. Mereka bahkan meragukan kemampuan Torik sebagai pemimpin lapangan. Merasa terpojok, Torik buru-buru membuat alasan.“Ada satu tempat lagi yang bisa kita periksa. Mungkin
Udin tersentak.Namun, ia berusaha tetap tenang.“Saya... saya akan lunasi malam ini, Bu. Tadi saya sempat tarik uang dari rekening,” jawab Udin buru-buru, mencoba tersenyum walau canggung.“Bagus. Jangan cuma janji ya!” sahut ibu kost sambil mengangguk singkat.“Tentu saja aku sudah menyiapkan uangnya. Tunggu sebentar, akan kuambil dulu,” ujar Udin sambil tersenyum tenang.Tanpa membuang waktu, Udin segera menuju lemarinya dan mengambil sejumlah uang tunai yang telah dipersiapkannya sebelumnya.Ia berniat melunasi seluruh tunggakan sewa kost tanpa meninggalkan utang sedikit pun.Pemilik kost, yang semula hanya berdiri santai di depan pintu, langsung terbelalak begitu melihat tumpukan uang di tangan Udin.“Lho... kamu serius?” gumamnya setengah tak percaya.Udin hanya mengangguk singkat sambil menyerahkan uang tersebut.“Ini untuk sewa tiga bulan terakhir. Dan mulai bulan depan, saya tidak akan tinggal di sini lagi. Saya akan cari tempat lain,” ucapnya mantap.Wajah pemilik kost langs
Ngeeeeng!Namun di perjalanan, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya—dan membuat dadanya sesak.Juragan Somat dan anak buahnya!Mereka tampak sedang mencari seseorang.Udin langsung paham.(Risma tidak berbohong,) batinnya tegang. (Dia memang sedang diburu… dan Juragan Somat benar-benar berniat menjualnya ke tempat prostitusi.)“Mereka masih mencari Risma,” ucapnya pelan dengan rahang mengeras.Melihat situasi ini, Udin pun memantapkan hati.“Aku akan bantu Risma sampai tuntas. Meski keluarganya sendiri berada di pihak Juragan Somat, aku nggak akan tinggal diam,” tekadnya dalam hati.“Untuk sekarang aku harus menghindari mereka. Jangan sampai keberadaan Risma ketahuan,” bisiknya pada diri sendiri, lalu memutar arah dengan hati-hati.Setelah mengambil uang di ATM, ia mampir ke warung nasi Padang dan kemudian pulang ke kos. ***Sementara itu, di tempat lain, Juragan Somat terlihat gusar.Wajahnya gelap penuh amarah. Ia berdiri di tengah anak buahnya, tampak seperti gunung yang
Risma yang semula tampak tenang mendadak bungkam, bibirnya sedikit terbuka. Ia tampak ingin bicara, namun akhirnya hanya menunduk.“Maaf… aku nggak tahu. Aku doain semoga beliau cepat sembuh,” ujar Risma, suaranya penuh empati.“Nggak apa-apa… nggak perlu minta maaf,” sahut Udin, berusaha tersenyum meski hatinya berat.Hening mengisi ruangan. Keduanya terdiam cukup lama. Udin memilih tak membahas lebih jauh soal ibunya.Clinck!Tiba-tiba ponsel miliknya menyala terang. Ia terkejut sejenak, lalu senyum lebarnya merekah. Sepertinya trik menanam ponsel dalam beras benar-benar berhasil.“Risma, aku keluar sebentar, ya. Tetap di sini dulu,” ucap Udin sambil menggenggam ponsel.“Baik, Mas. Hati-hati,” jawab Risma pelan.Udin segera melangkah keluar, mencari tempat yang cukup tenang di ujung gang sempit. Ia memeriksa layar ponsel dengan penuh harap.Semuanya normal. Dengan cepat, ia mengetik nomor Miranda dan menekan tombol panggil.“Nona Miranda, ini aku, Udin.”(Eh, ini nomormu? Baik, aku