Bersamaan dengan Bu Maria dan Kelvin melaju di jalan pedesaan, Melia memutuskan untuk singgah di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Tempat ini selalu memberi ketenangan, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat di sini.
Dengan secangkir teh hangat di tangannya, Melia duduk di salah satu bangku kayu yang menghadap ke jalan. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berat, terutama soal kehamilannya yang terus dipertanyakan oleh ibu-ibu di sekitar rumah.
Apa aku mending tinggal di rumah ibu aja? Biarin aja Mas Radit mau ikut sukur, gak juga gak apa-apa, pikirnya.
Melia menggulir layar ponselnya, mencoba mencari hiburan sejenak di media sosial, Melia mendesah panjang. Sepertinya, tak ada jalan mudah untuk lari dari kenyataan. Pandangannya masih tertuju pada layar ketika tiba-tiba, suara yang sangat familiar memecah keheningan siang itu.
"Melia ya?"
Melia mengangkat kepala. Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jaket ojek online dan helm di tangan. Sosok yang begitu dikenal, tapi terasa seperti bagian dari masa lalu yang jauh. Gilang Pamungkas. Mantan kekasihnya dari masa lalu, seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya.
"Mas Gilang?" Suara Melia sedikit bergetar, campuran antara keterkejutan dan nostalgia. "Sudah lama sekali..."
Gilang tersenyum, senyum kecil yang menyiratkan kenangan masa lalu. "Nggak nyangka bisa ketemu di sini. Kamu tinggal di kota ini juga, Mel?"
"Iya," jawab Melia, masih berusaha menata perasaannya yang campur aduk. "Aku kerja di kantor Mastex tuh depan sana. Kamu sendiri gimana, Mas? Sudah lama di sini?"
Gilang mengangguk pelan, lalu duduk di bangku kosong di depan Melia, tanpa menunggu dipersilakan.
"Aku di sini sudah dua tahun. Sekarang jadi driver ojek online. Ya, nggak banyak yang berubah," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Meski nada bicaranya terdengar ringan, Melia bisa merasakan ada beban di balik kalimat sederhana itu.
Dia pernah mendengar bahwa pernikahan Gilang dengan Tine, mantan istrinya, tidak bertahan lama. Anaknya kini tinggal bersama ibunya, jauh dari Gilang. Sejenak, Melia merasa iba. Mereka berdua pernah bermimpi besar tentang masa depan, namun takdir membawa jalan yang berbeda.
"Mas, bukannya dulu kamu kerja di..." Melia bertanya pelan, mengingat bahwa Gilang dulu memiliki pekerjaan yang cukup baik.
"Iya, dulu," jawab Gilang dengan sedikit tawa pahit. "Tapi aku sudah resign. Sekarang balik ke sini, nemenin ibu. Nggak buruk, tapi ya gitu deh."
Melia mengangguk paham. Namun sebelum dia sempat menanggapi lebih jauh, Gilang tiba-tiba bertanya sesuatu yang membuat dadanya berdebar.
"Kamu gimana, Mel? Bahagia kan sama suamimu? Udah punya anak berapa sekarang?"
Pertanyaan itu bagai duri yang menusuk tepat di jantungnya. Melia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaan getir yang menyeruak.
"Alhamdulillah, baik-baik saja, Mas. Belum ada anak, tapi kami masih berusaha."
Tatapan Gilang berubah. Ada sesuatu dalam matanya yang seolah mengerti, memahami lebih dari apa yang diucapkan Melia.
"Mel, kamu tahu kan, kalau ada apa-apa, aku selalu ada buat kamu. Meskipun kita udah lama nggak ketemu, aku masih temanmu kan?"
Perhatian yang tulus itu mengguncang hati Melia. Ia teringat masa-masa mereka dulu. Gilang selalu ada untuknya, mengantar dan menjemputnya dengan motor setiap hari tanpa mengeluh. Hujan atau terik matahari, Gilang tetap setia. Kenangan itu sejenak mengembalikannya ke masa lalu, namun Melia segera menepis bayangan tersebut. Ini bukan saatnya untuk larut dalam nostalgia.
Melia buru-buru menghabiskan tehnya dan beranjak dari kursi.
"Terima kasih, Mas Gilang. Aku harus masuk kembali ke kantor. Hati-hati di jalan, ya," ucapnya sambil tersenyum tipis, berusaha menyudahi pertemuan ini dengan sopan.
Gilang mengangguk, membalas senyum Melia. "Ya, kamu juga hati-hati, Mel. Sampai ketemu lagi."
Melia berjalan menjauh, meninggalkan warung kopi itu dengan perasaan campur aduk dia masuk kembali ke kantornya.
Di satu sisi, ia merasa lega pertemuan ini berakhir cepat, namun di sisi lain, ada perasaan yang belum selesai. Pertemuan tak terduga ini membuka kembali pintu kenangan yang sudah lama ia tutup rapat-rapat. Namun, Melia tahu, itu adalah kenangan yang seharusnya tetap terkunci.
‘Andai aku menikah dengan Mas Gilang, mungkin sudah punya anak. Mungkin aku tidak akan menjadi menantu terhina, aku sangat kenal baik dengan ibunya Mas Gilang. Mereka hanya tinggal berdua dari dulu.’
Gilang berdiri di depan warung kopi, memandangi punggung Melia yang semakin menjauh. Angin siang berhembus pelan, membawa aroma teh dan kenangan yang menguar dari masa lalu. Ia masih memegang helmnya, namun tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Hatinya sesak. Bukan karena masih mencintai Melia. Setidaknya, itu yang ia yakini, tetapi karena melihat seseorang yang pernah ia sayangi tampak menyembunyikan luka di balik senyuman tipisnya. Gilang mengenal Melia terlalu baik. Senyum itu… bukan senyum bahagia. Itu senyum bertahan.
Ia menarik napas panjang, lalu perlahan duduk kembali di bangku kayu yang tadi mereka tempati. Teh Melia yang tersisa masih mengepul samar. Gilang menyentuh gelas itu sejenak, seolah ingin menyimpan sedikit jejak pertemuan mereka. Dulu, Melia selalu minum teh manis tanpa gula terlalu banyak. Ternyata belum berubah.
“Dia masih kuat. Tapi kenapa aku merasa dia sedang sendiri?” batin Gilang.
Bayangan masa lalu melintas: Melia tertawa di boncengannya, Melia menangis di pundaknya, Melia menatapnya dengan harapan penuh tentang masa depan. Semua itu dulu terasa nyata, tapi sekarang hanya serpihan yang datang dan pergi seperti angin.
“Kalau saja waktu bisa diputar…” gumam Gilang pelan.
Mata Gilang berkali-kali menatap tulisan “MASTEX” yang terpampang jelas di gedung kaca itu. Sederhana, tapi mencolok. Huruf-huruf kapital berwarna biru tua itu seolah menyeringai, mengingatkannya pada kesempatan yang pernah ia tolak dengan penuh keyakinan—atau mungkin, dengan terlalu banyak gengsi.
Dulu, ia pernah ditawari pekerjaan di sana. Posisi yang cukup strategis, gaji yang lebih dari cukup untuk hidup layak. Tapi tawaran itu datang dari seseorang yang terlalu rumit untuk dijelaskan—Diana, HRD di Mastex, sekaligus perempuan bersuami yang terang-terangan menginginkannya lebih dari sekadar rekan kerja.
Gilang tidak pernah suka bermain api. Ia tahu, menerima tawaran itu berarti membuka pintu yang tak ingin ia lewati. Ia tak ingin terikat dengan utang budi yang bisa berujung manipulasi. Dan lebih dari itu, ia masih percaya bahwa harga dirinya sebagai laki-laki bukan untuk dijual murah atas nama kesempatan.
Namun kini, berdiri di hadapan gedung yang sama, dengan helm yang ia genggam dan penghasilan yang tidak menentu, Gilang mulai bertanya-tanya. Matanya kembali menatap lantai dua, tempat ruang HRD berada. Mungkin di sana sekarang Melia bekerja.
Gilang mengusap wajahnya pelan, lalu menarik napas panjang. Di dada, ada rasa sesak yang tak ia mengerti. Bukan iri. Bukan cemburu. Tapi semacam kekosongan, seperti melihat kereta yang pernah hampir ia naiki, tapi ia biarkan lewat, dan sekarang hanya bisa menonton dari kejauhan.
“Melia ada apa denganmu?”
Melia duduk kembali di meja kerjanya. Tangannya sibuk mengetik laporan, namun pikirannya masih tertinggal di warung kopi tadi. Wajah Gilang, suaranya, bahkan caranya menatap. Semua membekas di kepalanya.Ia mengusap perutnya yang masih datar. Bayi yang belum kunjung hadir, pertanyaan dari ibu-ibu kompleks, tatapan sinis mertua, dan suaminya yang seolah tak peduli dengan segala deritanya. Semua itu membuatnya semakin goyah. Dan kini, hadirnya Gilang seperti pintu kecil yang terbuka. Bukan untuk cinta, tapi untuk pelarian.Melia memejamkan mata sejenak. Bukan, dia tidak ingin kembali ke masa lalu. Tapi ia rindu akan ketulusan. Rindu seseorang yang melihatnya sebagai perempuan yang cukup, bukan hanya istri yang dituntut melahirkan keturunan oleh keluarga suaminya, tanpa mau tahu apa permasalahan yang sebenarnya."Mas Gilang..." lirihnya pelan, nyaris tak terdengar.Ia tahu pertemuan tadi tidak akan berhenti di situ. Bukan karena dia menginginkannya, tapi karena hatinya diam-diam berharap
Di saat bersamaan pula, setelah kurang lebih dua jam perjalana, Bu Maria dan Kelvin tiba di rumah Gus Bokis.Kelvin terkagum-kagum, "Ini rumah siapa, Bu? Besar banget.""Ini tempat yang bisa membantu Mas Radit dan Mbak Melia, Vin." jawab Bu Maria, lalu masuk sendirian.Di dalam, Gus Bokis yang berpakaian laksana ulama besar dan duduk di singgasana itu, menyambutnya dengan senyuman khasnya.“Sudah dibawa persyaratannya?”“Sudah Gus.”“Yu ikuti saya, ritualnya kita di kamar khsusus,” ajak Gus Bokis.Bu Maria mengikuti Gus Bokis melewati lorong rumah yang cukup panjang. Dinding-dinding lorong dihiasi lukisan kaligrafi dan aroma minyak zaitun samar tercium sejak langkah pertama memasuki ambang kamar yang disebutnya kamar khusus.Kelvin tidak diizinkan masuk. Ia menunggu di ruang tamu atau di luar dengan gelisah, sesekali memerhatikan jam dan mendengarkan samar suara burung jalak di sangkar besar dekat jendela.Sementara itu, di dalam kamar khusus, suasananya temaram. Hanya cahaya lampu mi
Entah berapa lama Bu Maria tenggelam dalam keadaan trans yang tak terkendali. Tubuhnya bergerak tanpa arah, dibimbing oleh naluri yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Sesekali tangan Gus Bokis memaju mundurkna kepalanya.Lalu tiba-tiba, sesuatu meledak dalam mulutnya juga dari dalam dirinya. Hangat, tajam, kental dan menggetarkan. Bagian bawahnya basah dan mulutnya pun penuh dengan cairan. Saat itu juga dia meraskan seolah seluruh isi jiwanya terlepas dan melayang, cairan itu pun tanpa tersisa masuk dalam kerongkongannya.Jiwanya semakin naik, tinggi, menuju langit ketujuh.Sesaat dunia terasa diam. Tak ada waktu, tak ada suara. Hanya euforia yang membungkusnya rapat, membuatnya lupa siapa dirinya, di mana ia berada, dan mengapa ini bisa terjadi. Bu Maria melepasakan benda dalam mulutnya, lidahnya menjilati sisa-sisa cairan di sudut-susdut bibirnya, seakan tak mau terlewatkan rasa nikmat itu walau setetes.“Kamu berhasil melakukannya, Bu,” ucap Gus Bokis, tanpa membuka matanya, wajahn
Langit mulai meremang. Jingga tua berbaur dengan awan kelabu, menumpahkan cahaya sendu ke sepanjang jalan berkelok yang mereka lalui. Motor yang dikendarai Kelvin melaju pelan, menembus jalanan sempit yang mulai sunyi. Di kiri-kanan, pepohonan pinus menjulang rapat, menyisakan bayangan panjang yang menari-nari di aspal berdebu.Suara mesin motor seperti satu-satunya bunyi yang tersisa, selain desir angin yang menggugurkan daun-daun kering.Kelvin menggenggam erat setang motornya. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya berkecamuk. Bukan hanya karena mereka masih harus menempuh perjalanan lebih dari satu jam, tapi karena kehadiran Bu Maria yang duduk di belakangnya, terasa berbeda.Pelukan ibu mertuanya di pinggangnya tak sekadar erat. Namun seolah ingin mendekat lebih dari sekadar menumpang. Dada Kelvin menghangat, bukan karena nyaman, tapi karena bingung dan canggung. Ia tak bisa mengabaikan detak jantung Bu Maria dan dua gumpalan hangat dan kenyal empuk
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan lampu-lampu temaram dan udara yang mulai menggidikkan.Gilang baru saja selesai mengantar orderan sore itu saat aplikasi gojek-nya kembali berbunyi. Nama pemesan muncul: Radit. Lokasi penjemputan tidak jauh dari tempat Gilang biasa mangkal, dan tujuan yang tertera hanyalah sebuah titik bernama “Cafe Tujuh Langit”.Tak butuh waktu lama, Gilang sudah tiba di lokasi penjemputan. Seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah letih dan sorot mata gelisah berdiri di tepi jalan, mengenakan jaket hitam dan masker. Gilang menghampiri sambil memastikan nama.“Mas Radit ya?”Pria itu mengangguk. “Iya, Bang. Cafe Tujuh Langit, ya.”Gilang mengangguk ramah, memberikan helm cadangannya. Setelah Radit naik ke jok belakang dan mengenakan helm, motor pun melaju membelah jalanan kota yang mulai basah karena gerimis tipis.Selama perjalanan, Radit lebih banyak diam. Gilang tak bertanya apa-apa, sudah terbiasa dengan penumpang tipe seperti ini. Tapi sesampain
Malam yang berangin, Radit dan Irsad bertemu kembali di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua. Radit, dengan raut wajah yang tampak lebih tegang dari biasanya, duduk sambil menggulung lengan bajunya, lalu memandang Irsad yang tampak lebih tenang, meskipun jelas masih ada kebingungan di matanya.Radit menghela napas dalam, lalu berbicara dengan nada yang lebih serius. “Sad, gue udah nggak tahan lagi. Gue udah pikirin semua matang-matang. Gue butuh kepastian, lu udah mikirin apa yang gue omongin waktu itu?”Irsad tersenyum tipis, meski ada keraguan di wajahnya. “Gue masih belum yakin, Dit. Ini bukan hal kecil. Gue tahu lu lagi dalam situasi sulit, tapi permintaan lu... ini berat, Dit.”Radit menatapnya dengan mata penuh harap. "Gue serius, Sad. Gue udah ikhlas. Gue cinta Melia, tapi gue juga nggak bisa biarin keluarga gue terus-terusan menuduh dia yang salah. Gue cuma mau ini terjadi deng
Pagi itu, aroma seduhan kopi dan roti panggang menyambut Radit saat ia melangkah ke meja makan. Melia sudah duduk di sana, menyiapkan sarapan seperti biasa, rutin, rapi, tanpa banyak bicara.Namun yang membuat Radit sedikit heran, istrinya masih mengenakan pakaian santai: kaos longgar dan celana training. Bukan setelan kantor seperti biasanya.Ia meneguk kopi, lalu melirik Melia yang sedang merapikan sendok.“Mel, kamu nggak kerja hari ini?” tanyanya pelan, mencoba terdengar biasa.Melia mengangguk sekali, tanpa menatap langsung. “Aku ambil cuti tiga hari.”Radit membeku sejenak, lalu mencoba tersenyum. “Lagi nggak enak badan?”Melia menarik napas pelan. “Enggak. Cuma pengin ke rumah Ibu aja. Nginep di sana beberapa malam.”Jantung Radit berdetak lebih cepat. Sekilas, kepalanya dipenuhi kemungkinan buruk—Melia pergi, dan tak kembali. Tapi ia mencoba menenangkan diri. Ini bukan saat
Begitu sampai di rumah orang tuanya, Melia tak sanggup lagi menahan air mata. Dia bahkan belum sempat membuka sepatu saat tangisnya pecah. Bu Wiwi, ibunya, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa gelas teh, sontak menjatuhkan gelas itu dan segera berlari memeluk putrinya."Ya Allah, Mel... kenapa lagi, Nak?"Suara Bu Wiwi bergetar. Dia tahu, sangat tahu, kalau anaknya datang dalam keadaan seperti ini, pasti ada luka yang sedang terbuka lagi, dan biasanya, luka itu bernama: Ibu Maria.Melia memeluk ibunya erat, seperti anak kecil yang baru saja dihajar dunia. Tangisnya tak bisa dihentikan. Bahunya terguncang, napasnya tersendat-sendat. Rasa lelah, sakit hati, dan kecewa tumpah ruah bersamaan."Aku capek, Bu... capek banget...""Sssttt... Ibu di sini, sayang. Udah, tenang ya, tenang..."Bu Wiwi mengusap punggung Melia pelan, mengajaknya duduk di sofa sambil tetap memeluknya. Matanya ikut basah, tapi dia mencoba tetap kuat untuk anaknya
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal
Kelvin sedikit membungkukkan tubuh, mensejajarkan selangkangannya dengan pantat mertuanya. Tangan kanannya memegangi batang rudal yang keras, sementara tangan kirinya menahan pantat Bu Maria dan menariknya.Setelah meyakini seluruh batangnya tembus pada lobang vagina, Kelvin segera mencengkram dua bongkahan pantat itu, lalu mendorong serta memajukan selangkangannya hingga rudalnya yang hitam dan mengkilat terlihat nyata keluar masuk lobang yang dirimbuni rambut-rambut halus menggelikan.Kelvin megap megap. Doggy style di depan cermin yang besar baru kali ini dia rasakan. Wajahnya berkali kali menunduk melihat keluar masuk batang kejantannya dalam vagina mertuanya. Sekali dia juga beradu pandang di balik cermin dengan wanita yang wajahnya mulai basah dengan bulir-bulir keringat.Kelvin menjilati jemari kirinya, lalu menekan dan mengusap-usapkan pada bibir anus Bu Maria. “Oooooh…” Bu Maria melenguh, angan dan fantasinya melayang di awang-awang b
Bu Maria menghentikan langkahnya, lalu tersenyum kecil."Ibu tahu, Vin," jawabnya lembut. "Itu yang membuatmu semakin menarik."Kelvin makin tercekat. Kata-kata Bu Maria seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Dia merasa terjebak dalam jebakan yang tak terlihat. Sebuah ruangan yang seolah menutup semua pintu keluar. Wangi aromaterapi semakin menusuk, melingkupi pikirannya yang sedikit kalut.Bu Maria mendekat hingga jarak mereka tak lebih dari satu lengan. Dia mengulurkan tangan, jemarinya nyaris menyentuh bahu menantunya. Tapi, tepat sebelum jemari itu benar-benar menyentuh, Kelvin berusha mundur selangkah."Tolong, Bu," katanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Saya nggak bisa."Seketika senyum Bu Maria berubah menjadi tawa kecil. "Oh, sayang... kamu jangan terlalu tegang, ibu hanya ingin bersenang-senang."Ucapan itu membuat dada Kelvin semakin sesak dan segalanya terasa lebih ringan."Ibu... cantik," kata Kelvin akhirnya, nya
Usai arisan, rumah Bu Maria kembali tenang. Riuh ibu-ibu kompleks yang tadi memenuhi ruang tamu kini tinggal kenangan samar, tak ada yang tersisa, bahkan semua piring dan gelas pun sudah kembali rapi.Malam pun tiba.Di lantai bawah, suasana jauh lebih senyap. Arin, bersama Kenzi, bayinya dan Kelvin, suaminya, telah terlelap di kamar karena kelelahan. Awalnya Arin mau pulang namun Kelvin memintanya untuk menginap karena merasa kelelahan.Bu Maria duduk seorang diri di kamarnya. Kursi rotan tempatnya berayun pelan, seirama dengan waktu yang terasa malas. Tatapannya kosong menembus langit malam yang menghitam lewat jendela terbuka.Angin dari taman depan masuk perlahan, tapi tak cukup mengusir sepi yang menyelinap ke dada. Hening ini bukan ketenangan, tapi kehampaan yang menariknya tenggelam dalam pikiran sendiri.Sejak Kelvin datang tadi, ada sesuatu yang mengusik batinnya. Ia tak ingin mengaku, bahkan pada diri sendiri. Tapi semakin lama, perasaan
"Bu Maria... aku tuh sampai sekarang masih suka mikir," ujar Bu Hilma sambil mengaduk tehnya perlahan. "Gimana bisa Melia… yang udah lima tahun nikah sama Radit… malah keduluan sama Arin? Padahal Arin itu baru juga lulus kuliah kemarin sore."Bu Maria tersenyum kaku. Ia sudah menduga arah pembicaraan ini. Bu Hilma memang selalu punya cara untuk menyelipkan topik-topik “berbobot” dalam balutan nada prihatin."Iya, saya juga bingung, Bu," jawab Bu Maria pelan, matanya memandangi taman dari balik jendela."Kadang tuh saya ngerasa… Melia itu keras kepala. Dibilangin susah. Hidupnya juga maunya serba sederhana. Katanya sih, biar nggak ngerepotin. Tapi kadang saya mikir, apa iya semua itu bener-bener karena prinsip? Atau jangan-jangan... memang dia nggak terlalu serius."Bu Hilma mengangguk, matanya tajam. "Padahal ya, kalau saya boleh kasih saran… ada loh, metode totok rahim atau akupuntur khusus. Di tempat saya itu, ban
Di depan laptopnya Radit masih tertegun merenungi nasib diri dan rumah tangganya. Hatinya merasa sangat kesal dengan Pak Yanto juga Reza yang seolah menilai Melia sebagai obyek pelampiasan. Radit merasa sudah saatnya melawan dan terbuka pada siapapun, termasuk ibunya. Namun tidak hari ini, karena di rumah orang tuanya sedang ramai oleh ibu-ibu arisan.Pagi ini rumah Pak Darma memang sedang sangat berbeda. Lebih hidup dari biasanya.Deretan mobil dan motor memenuhi halaman dan sisi jalan kecil kompleks perumahan. Suara-suara tawa dan obrolan ibu-ibu berbaur dengan denting sendok di gelas teh manis yang baru saja disuguhkan oleh para ibu-ibu anggota arisan lainnya.Ruangan tamu dipenuhi aroma parfum mahal dan kue-kue kering yang disusun rapi di atas piring saji. Beberapa ibu duduk membentuk lingkaran, dengan wajah cerah dan mata yang menyapu ke sana kemari, mencari topik hangat untuk dibahas."Bunda, makin cantik aja nih, setiap hari juga cantik sih, tapi kok sekarang beda banget""Iya
Ketika Nola baru memluai babak awal bersama Pak Yanto, Reza sudah duduk di kantin kantor. Suasana masih sepi, hanya ada suara sendok beradu pelan di dalam gelas. Radit datang terlambat lima menit, wajahnya lesu.Reza menyambutnya dengan senyum lebar. “Akhirnya datang juga. Duduk, Dit. Gue udah pesenin kopi favorit lu.”Radit duduk tanpa banyak bicara. Hanya anggukan kecil. Reza mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyala penuh percaya diri.“Gue ada kabar gembira. Nola positif hamil, dua bulan.”Radit menoleh cepat. “Serius lu?”Reza mengangguk, ekspresinya seperti orang baru memenangkan lotre.“Alhamdulillah banget. Dan lu tahu? Itu terjadi setelah Nola rutin dipijat sama Pak Yanto.”Radit mengerutkan kening, wajahnya sedikit kaku, “Serius lu? Emang Nola suka dipijat sama Pak Yanto?”Reza tertawa kecil. “Iya. Waktu lu curhat soal susah punya anak. Gue sebenarn
Pak Yanto tersenyum puas melihat Nola orgasme dengan dahsyatnya. Ia membersihkan cairan yang menyemprot ke wajahnya dengan telapak tangan tuanya. Ia sedikit menjilat cairan yang terasa gurih itu. Pak Yanto lalu naik menindih tubuh lemas Nola. Mulut dan lidahnya kembali menjilati leher, telinga dan payudarra Nola.“Kalau udah ada janinnya, cairan kamu makin enak, Sayang,” bisik Pak Yanto.“Sedotan bapak juga makin kuat dan ajib,” balas Nola manja.Tak butuh waktu lama bagi Nola untuk pulih dari lemasnya. Ia membalas cumbuan Pak Yanto pada mulutnya. Tubuh Nola yang sudah berisi janian muda, benar-benar siap menerima sodokan batang jumbo dan kekar itu. Pak Yanto lalu merentangkan kedua kaki Nola yang kini tergeletak di atas lantai dapur beralaskan karpet kecil.Tangan Pak Yanto membimbing rudalnya memasuki vagina Nola yang makin deg-degan saat kepala rudalnya yang besar mencoba memasuki lubang sempitnya. Pak Yanto mencoba menguak vagi
Pagi itu, matahari baru saja naik pelan dari balik perbukitan. Udara sejuk masih menggantung di halaman rumah Reza yang rapi. Burung-burung berkicau riang, dan aroma kopi dari dapur perlahan memenuhi ruang keluarga.Reza muncul dari dalam rumah dengan kemeja biru tua yang disetrika rapi. Sepatunya mengkilap, rambutnya tersisir rapi. Nola menyusul dari belakang dengan senyum manis, mengenakan daster lembut berwarna pastel, rambut dikuncir santai, tapi riasan tipis di wajahnya yang terlihat segar.“Sayang, jangan lupa makan siang, ya. Nanti malam aku masakin ayam kecap kesukaanmu,” ucap Nola sambil membetulkan kerah baju suaminya.Reza tersenyum, mencium kening istrinya lembut. “Istri siapa sih ini? Udah cantik, perhatian, setia pula. Beruntung banget aku.”Nola tersipu, tangannya mencubit lengan Reza pelan. “Ih, Mas ini bisa aja. Hati-hati di jalan, ya…”Reza menuju mobilnya, sementara Nola berdiri di teras