Ibram jatuh cinta pada perempuan lain saat istrinya sedang hamil besar. Didasari rasa ingin memiliki, Ibram memutuskan akan menikahi perempuan pujaannya dan memilih menceraikan Laila yang sudah tujuh tahun menjadi istrinya. Namun, karena ingin menjalani sisa kehamilannya dengan tenang dan menunggu waktu yang tepat untuk mengabarkan tentang perpisahan itu pada orang tuanya, Laila meminta agar Ibram mengizinkannya menunggu masa idah di rumah yang mereka tinggali dan baru membawa perceraian mereka ke pengadilan agama setelah Laila melahirkan. Lantas, akan seperti apakah kelanjutan hubungan Laila dan Ibram? Terlebih, saat orang tua mereka mengetahui pengkhianatan Ibram dan menginginkan mereka tetap bersama demi anak mereka?
Lihat lebih banyakBab 14"Kamu tadi ke mana saja, La? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Ibram saat Laila menyambangi kamarnya untuk memberikan ponsel titipannya. Di luar sana langit telah berubah gelap. Bahkan Ibram juga masih mengenakan baju muslim karena ia baru saja selesai sholat Magrib. "Tadi aku bertemu teman lama, Mas. Mereka mengajakku main ke rumah mereka yang tak jauh dari mall dan kami mengobrol cukup seru sampai lupa waktu, jadilah aku baru sampai rumah jam segini." Laila mengatakan hal itu dengan binar bahagia yang tergambar jelas di wajahnya."Teman? Siapa?" tanya Ibram heran.Sepanjang pernikahan mereka, Ibram tak pernah tahu siapa saja teman Laila. Bukan karena tak perhatian atau tak pernah bertanya pada wanita itu, tapi karena selama ini Laila memang mengatakan tak punya teman dekat atau meminta izin keluar rumah untuk menemui temannya. Laila hanya sibuk di rumah dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Jika pun keluar rumah, wanita itu hanya akan keluar jika Ibram mau
Bab 13Pagi harinya, Ibram dan Laila sarapan dengan suasana hening yang sudah biasa terjadi sejak kata talak terucap dari mulut Ibram. Di kursinya, Ibram beberapa kali diam-diam melirik Laila yang duduk di depannya, seolah ada yang hendak ia katakan, tapi merasa ragu. "Eh? Sudah selesai, La?" Ibram bertanya dengan heran ketika Laila tiba-tiba berdiri dari kursinya dengan mengangkat piring dan gelas yang telah kosong. "Sudah, Mas," jawab Laila, lantas bergegas menuju wastafel untuk mencuci bekas makan dan minumnya. Ibram menatap punggung mantan istrinya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin sekali meminta tolong pada Laila, tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkan wanita hamil terus menerus. Saking gelisahnya, Ibram bahkan sampai tak fokus menyantap makan paginya dan hanya beberapa suapan yang masuk ke perut, sementara sisanya hanya diaduk-aduk di dalam piring hingga berantakan. "Kamu kenapa, Mas? Tidak suka makanannya? Kenapa tidak di makan?" tanya Laila saat melihat makan di
Bab 12(Tak Lagi Peduli)Baru juga mobil yang membawa Mariana pergi, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat tiba-tiba memasuki halaman rumah Ibram dan berhenti di sana. Ibram mengernyitkan dahi melihat mobil itu. Siapa yang datang? Rasa-rasanya ia tak familiar dengan mobil tersebut. "Pak Nugie?" Mata Ibram membulat saat melihat HRD di kantornya keluar dari mobil tersebut.Ada apa lelaki itu datang ke rumahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibram yang sudah lama tidak datang ke kantor? Ah, Ibram yakin, pasti karena itu. Ia bahkan lupa mengabari orang kantor jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Karena biasanya saat ia sakit, selalu Laila yang mengurus izin pada orang kantor. Ibram lupa jika sekarang Laila tak mungkin melakukan hal itu lagi, karena status mereka kini telah berubah."Selamat siang, Pak Ibram." Laki-laki bernama Nugie itu menyapa Ibram dengan ramah, begitu jarak mereka telah dekat. "Siang, Pak Nugie. Tumben mampir ke rumah saya," ujar Ibram dengan kikuk. Sebenar
Bab 11Sehari, dua hari, bahkan hingga dua minggu berlalu, Ibram merasa keadaannya tak kunjung membaik. Laki-laki itu memang sekarang sudah tak kesulitan lagi menjaga keseimbangan tubuhnya saat menggunakan tongkat. Namun, jelas ia tak terkesan sama sekali dengan kemajuan yang itu. Ia menginginkan kesembuhan pada kakinya supaya ia dapat beraktivitas dengan normal kembali. Ibram rindu dengan pekerjaannya, rindu berkumpul dengan rekan-rekan di kantor, dan yang paling ia rindukan adalah Rini, kekasihnya. Entah bagaimana kabar wanita itu sekarang.Pagi ini, orang tua Ibram berkunjung ke rumah, karena memang ini hari Minggu, jadi ayah Ibram tak bekerja. Selain untuk melihat keadaan Ibram, mereka juga sekalian mengantarkan keperluan calon anak Ibram dan Laila yang diperkirakan akan lahir satu bulang lagi. "Padahal seharusnya Ibu dan Ayah tidak usah repot-repot seperti ini. Laila juga sudah beli keperluan untuk dedek bayi, kok, Bu, Yah." Laila berucap tak enak hati karena mertuanya membawaka
Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan
Bab 9Sekarang, Laila dan keluarga Ibram tengah duduk di ruang tengah, setelah tadi mereka makan siang bersama. Sementara Ibram sendiri memilih istirahat di kamar Laila, mengingat keluarga Ibram belum tahu jika sekarang mereka sudah pisah ranjang. "Musibah ada-ada saja memang ya. Baru saja kita bahagia karena kehamilan Laila, sekarang Ibram malah kecelakaan. Belum tahu itu kakinya yang patah kapan sembuhnya. Membawa perutmu saja sudah berat, ya, La, apalagi sekarang Ibram malah tambah membuat kamu repot." Mariana menatap Laila dengan pandangan sayu. Ia merasa begitu kasihan pada menantunya, karena Ibram tidak akan bisa berjalan dengan normal disebabkan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. "Jangan menyalahkan musibah, Bu. Laila tidak keberatan kok kalau harus merawat Mas Ibram," ujar Laila tulus. Meski sekarang Laila bukan lagi istri Ibram, wanita itu tak keberatan jika harus direpotkan dengan urusan laki-laki itu. Bagi Laila, Ibram hanya pernah sekali berbuat salah, sementara
Bab 8Pagi harinya, Laila bangun kesiangan. Badanya terasa pegal karena ia tertidur dengan posisi duduk, di atas kursi yang keras pula.Saat melihat pada layar ponselnya, ternyata sudah jam lima pagi, yang berarti waktu subuh sudah terlewat sejak setengah jam yang lalu. Buru-buru wanita hamil itu mencari keberadaan mushola rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah melaksanakan sholat subuh yang terlambat itu, Laila duduk terdiam di mushola masih dengan mukena yang membalut tubuhnya.Jujur saja, wanita itu masih mengkhawatirkan keadaan Ibram. Namun, untuk mendatangi kamar rawat laki-laki itu lagi rasanya ia malu. Tadi malam Ibram sudah mengusirnya, ia tak punya keberanian untuk mendatangi laki-laki itu lagi. "Apa sebaiknya aku telepon ibu saja ya?" Laila bergumam sendiri.Selama ini, saat Ibram sakit atau saat di dalam rumah tangga mereka sedang ada masalah, Laila tak pernah menceritakan pada mertua atau orang tuanya. Laila tak pernah mau merepotkan siapa pun at
Bab 7Di kamarnya, Laila merasa begitu gelisah. Wanita hamil itu terlihat mondar-mandir di dekat jendela. Sesekali ia juga menyibak tirai jendela kamarnya untuk melihat apakah Ibram sudah pulang atau belum. Entah apa yang Laila rasakan ini. Hatinya benar-benar resah. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki yang menjadi ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu. Berkali-kali Laila menelepon nomor Ibram, tapi laki-laki itu sama sekali tak menjawab teleponnya, meski panggilannya tersambung. "Kamu baik-baik saja, kan, Mas? Kenapa perasaan aku jadi tidak tenang seperti ini?" Laila bergumam sendiri. Tak lupa, Laila juga melangitkan doa agar ayah dari calon anaknya selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.Ketika mulai lelah karena terlalu banyak berdiri, Laila memutuskan untuk mendudukkan diri di bibir ranjang. Rasa cemasnya belum hilang. Ia masih berusaha untuk menghubungi Ibram, tetapi sama saja, panggilannya tak dijawab. Namun, baru hendak meletakan ponselnya di atas nakas,
Bab 6Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. "Mbak! Awas!" Laila tersentak dari lamunannya ketika merasakan sebuah tarikan di tangannya. Saat menoleh ke belakang, Laila menemukan seorang pria—yang terlihat sebaya dengannya—tengah memegang pergelangan tangannya. "Maaf." Laila yang merasa tak nyaman, segera melepaskan cekalan laki-laki itu dari tangannya. "Anda melamun? Anda hampir saja menabrak tembok. Lihat itu!" Laki-laki itu menunjuk ke arah depan Laila dengan pandangan matanya.Laila mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu dan wajahnya langsung memerah ketika melihat tembok dan hidungnya hanya berjarak dua jengkal . Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa ia melamun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen