Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan
Bab 11Sehari, dua hari, bahkan hingga dua minggu berlalu, Ibram merasa keadaannya tak kunjung membaik. Laki-laki itu memang sekarang sudah tak kesulitan lagi menjaga keseimbangan tubuhnya saat menggunakan tongkat. Namun, jelas ia tak terkesan sama sekali dengan kemajuan yang itu. Ia menginginkan kesembuhan pada kakinya supaya ia dapat beraktivitas dengan normal kembali. Ibram rindu dengan pekerjaannya, rindu berkumpul dengan rekan-rekan di kantor, dan yang paling ia rindukan adalah Rini, kekasihnya. Entah bagaimana kabar wanita itu sekarang.Pagi ini, orang tua Ibram berkunjung ke rumah, karena memang ini hari Minggu, jadi ayah Ibram tak bekerja. Selain untuk melihat keadaan Ibram, mereka juga sekalian mengantarkan keperluan calon anak Ibram dan Laila yang diperkirakan akan lahir satu bulang lagi. "Padahal seharusnya Ibu dan Ayah tidak usah repot-repot seperti ini. Laila juga sudah beli keperluan untuk dedek bayi, kok, Bu, Yah." Laila berucap tak enak hati karena mertuanya membawaka
Bab 12(Tak Lagi Peduli)Baru juga mobil yang membawa Mariana pergi, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat tiba-tiba memasuki halaman rumah Ibram dan berhenti di sana. Ibram mengernyitkan dahi melihat mobil itu. Siapa yang datang? Rasa-rasanya ia tak familiar dengan mobil tersebut. "Pak Nugie?" Mata Ibram membulat saat melihat HRD di kantornya keluar dari mobil tersebut.Ada apa lelaki itu datang ke rumahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibram yang sudah lama tidak datang ke kantor? Ah, Ibram yakin, pasti karena itu. Ia bahkan lupa mengabari orang kantor jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Karena biasanya saat ia sakit, selalu Laila yang mengurus izin pada orang kantor. Ibram lupa jika sekarang Laila tak mungkin melakukan hal itu lagi, karena status mereka kini telah berubah."Selamat siang, Pak Ibram." Laki-laki bernama Nugie itu menyapa Ibram dengan ramah, begitu jarak mereka telah dekat. "Siang, Pak Nugie. Tumben mampir ke rumah saya," ujar Ibram dengan kikuk. Sebenar
Bab 13Pagi harinya, Ibram dan Laila sarapan dengan suasana hening yang sudah biasa terjadi sejak kata talak terucap dari mulut Ibram. Di kursinya, Ibram beberapa kali diam-diam melirik Laila yang duduk di depannya, seolah ada yang hendak ia katakan, tapi merasa ragu. "Eh? Sudah selesai, La?" Ibram bertanya dengan heran ketika Laila tiba-tiba berdiri dari kursinya dengan mengangkat piring dan gelas yang telah kosong. "Sudah, Mas," jawab Laila, lantas bergegas menuju wastafel untuk mencuci bekas makan dan minumnya. Ibram menatap punggung mantan istrinya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin sekali meminta tolong pada Laila, tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkan wanita hamil terus menerus. Saking gelisahnya, Ibram bahkan sampai tak fokus menyantap makan paginya dan hanya beberapa suapan yang masuk ke perut, sementara sisanya hanya diaduk-aduk di dalam piring hingga berantakan. "Kamu kenapa, Mas? Tidak suka makanannya? Kenapa tidak di makan?" tanya Laila saat melihat makan di
Bab 14"Kamu tadi ke mana saja, La? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Ibram saat Laila menyambangi kamarnya untuk memberikan ponsel titipannya. Di luar sana langit telah berubah gelap. Bahkan Ibram juga masih mengenakan baju muslim karena ia baru saja selesai sholat Magrib. "Tadi aku bertemu teman lama, Mas. Mereka mengajakku main ke rumah mereka yang tak jauh dari mall dan kami mengobrol cukup seru sampai lupa waktu, jadilah aku baru sampai rumah jam segini." Laila mengatakan hal itu dengan binar bahagia yang tergambar jelas di wajahnya."Teman? Siapa?" tanya Ibram heran.Sepanjang pernikahan mereka, Ibram tak pernah tahu siapa saja teman Laila. Bukan karena tak perhatian atau tak pernah bertanya pada wanita itu, tapi karena selama ini Laila memang mengatakan tak punya teman dekat atau meminta izin keluar rumah untuk menemui temannya. Laila hanya sibuk di rumah dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Jika pun keluar rumah, wanita itu hanya akan keluar jika Ibram mau
Bab 1"Jadi Nak Ibram, kapan rencananya kamu dan Rini akan meresmikan hubungan?"Uhuk! Uhuk! Ibram yang sedang meminum teh, tiba-tiba tersedak saat mendapat pertanyaan itu dari ibu kekasihnya."Meresmikan hubungan?" Ibram mengulang ucapan perempuan paruh baya di depannya dengan ekspresi tak nyaman.Seketika Ibram menjadi gugup karena diberikan pertanyaan seperti itu oleh perempuan paruh baya bernama Bu Narti tersebut. "Iya. Kalian ini kan sudah dewasa, masa mau jalan tanpa ada ikatan resmi seperti ini terus? Pasti kalian ada pandangan mau menikah, kan? Kecuali kalau Nak Ibram hanya mau mempermainkan anak Ibu saja." Bu Narti melempar senyum tipisnya pada Ibram. "Ibu!" Rini yang duduk di sebelah Bu Narti, menegur pelan. Ia jelas tak suka mendengar ibunya mengatakan bahwa Ibram hanya mempermainkannya."Loh, kenapa? Benar, kan? Kalau laki-laki dan perempuan dewasa pacaran terlalu lama tanpa ada niat mau menikah, itu namanya cuma main-main." Bu Narti menatap anaknya, memberi pengertian
Bab 2Di kamar, setelah Ibram menyelesaikan ritual mandi malamnya, Laila segera mendekati laki-laki itu. Dengan gesit, wanita itu membantu suaminya untuk mengancingkan piama yang sudah melekat di tubuh. Perut besarnya sama sekali tak membuat gerakan Laila terganggu. "Ayo makan dulu, Mas, tadi aku sudah hangatkan makan malamnya," ucap Laila setelah Ibram selesai mengenakan bajunya.Ibram menatap Laila intens. Wajah teduh istrinya benar-benar membuatnya tak tega jika harus mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rini. Namun, jika ia tak segera membicarakan hal itu, mau sampai kapan ia mengulur waktu? Ada Rini dan ibunya yang tengah menunggu pinangannya. Dan yang paling penting, hatinya pun sudah tak bisa menunggu lagi untuk segera menjadikan Rini sebagai istrinya."Mas?" Laila melambaikan tangannya di depan wajah Ibram. Ia terkekeh, merasa lucu ketika melihat Ibram yang terkejut. "Mas melamun?" tanya Laila dengan senyum manisnya. Mendengar pertanyaan istrinya, Ibram justru menjadi sa
Bab 3Pagi ini, ruang makan terasa mencekam layaknya pemakaman. Tidak ada obrolan di sela sarapan, tidak pula canda tawa yang biasanya tercipta. Kehangatan sepasang suami istri itu sirna dalam sekejap karena pernyataan sang suami tadi malam yang menginginkan perpisahan. "Mau tambah makannya, Mas?" Laila bertanya ketika melihat piring Ibram telah tandas. Sementara Laila sendiri, isi piringnya bahkan belum habis setengahnya. Ia rasanya kehilangan selera makan karena masalah yang tengah menimpa rumah tangganya. "Apa sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan yang tadi malam?" ujar Ibram serius, tanpa menggubris ucapan Laila sebelumnya.Laila terdiam, kemudian ia meletakan sendok yang dipegangnya begitu saja. Wanita itu menghala napas pelan, kemudian menatap suaminya dengan tanpa gentar. Sepertinya memang laki-laki di depannya ini sudah tidak sabar untuk melepaskan ikatan pernikahan yang terjalin di antara mereka agar bisa segera menjalin hubungan baru dengan perempuan lain. "Sebelum