Bab 7
Di kamarnya, Laila merasa begitu gelisah. Wanita hamil itu terlihat mondar-mandir di dekat jendela. Sesekali ia juga menyibak tirai jendela kamarnya untuk melihat apakah Ibram sudah pulang atau belum. Entah apa yang Laila rasakan ini. Hatinya benar-benar resah. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki yang menjadi ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu. Berkali-kali Laila menelepon nomor Ibram, tapi laki-laki itu sama sekali tak menjawab teleponnya, meski panggilannya tersambung. "Kamu baik-baik saja, kan, Mas? Kenapa perasaan aku jadi tidak tenang seperti ini?" Laila bergumam sendiri. Tak lupa, Laila juga melangitkan doa agar ayah dari calon anaknya selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.Ketika mulai lelah karena terlalu banyak berdiri, Laila memutuskan untuk mendudukkan diri di bibir ranjang. Rasa cemasnya belum hilang. Ia masih berusaha untuk menghubungi Ibram, tetapi sama saja, panggilannya tak dijawab. Namun, baru hendak meletakan ponselnya di atas nakas, benda pipih itu justru berbunyi. Ada nama Ibram yang tertera di layar ponsel itu sebagai pemanggil. "Assalamualaikum, Mas. Mas Ibram di mana? Mas baik-baik saja, kan?" Laila tak dapat menyembunyikan kecemasannya saat ia menerima telepon dari mantan suaminya itu. "Mohon maaf, Bu, kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan jika pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan. Kalau boleh tahu, apa Ibu merupakan keluarga dari Bapak Ibram Adi Nugraha?" Suara seorang laki-laki yang terdengar asing, tampak menyahuti ucapan Laila.Jantung Laila rasanya hendak berhenti ketika mendengar kabar itu. "Mas Ibram kecelakaan?" gumamnya seakan tak percaya. "Iya, Pak, saya keluarganya. Lalu bagaimana keadaan Mas Ibram sekarang?"Laki-laki yang mengaku sebagai polisi itu mengatakan jika sekarang Ibram tak sadarkan diri dan sedang dibawa ke rumah sakit. Laila juga diminta untuk datang ke sebuah rumah sakit yang disebutkan oleh polisi tersebut, lantas panggilan di akhiri setelah Laila berkata akan segera datang ke sana. Tanpa pikir panjang, Laila segera mencari tasnya, mengisi benda itu dengan ponsel dan dompet yang pastinya akan sangat dibutuhkan. Tak lupa Laila juga mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih hangat. Ia hanya memiliki motor matik sebagai kendaraan, jadi ia harus melindungi dirinya sendiri agar terhindar dari angin malam yang menusuk kulit. Setelah semua siap, wanita itu bergegas keluar dari rumah. Ia segera melajukan kendaraannya ke alamat rumah sakit yang tadi polisi katakan. ***Setengah jam berkendara di jalanan malam yang tak terlalu padat, Laila akhirnya sampai di tempat tujuan. Setelah memarkirkan motor kesayangannya, wanita hamil itu segera berlari kecil ke arah resepsionis dan menanyakan di mana ruangan Ibram. Di depan ruangan Ibram, Laila juga mendapati dua orang polisi yang berjaga di sana. Polisi itu menyerahkan barang-barang Ibram dan menjelaskan dugaan yang menyebabkan kecelakaan tersebut. Polisi itu menjelaskan jika Ibram mengendarai mobilnya di atas kecepatan rata-rata, sehingga saat berada di tikungan dan berpapasan dengan mobil lain, Ibram kesulitan untuk menghindarinya. Setelah urusannya selesai, kedua polisi itu pamit pergi pada Laila. Tak lupa wanita itu juga mengucapkan terima kasih karena sudah membantu menolong Ibram. Laila segera masuk ke dalam ruangan Ibram sesaat setelah kedua polisi itu pergi.Ibram yang sudah sadar dari pingsannya refleks menoleh ketika mendengar pintu ruang rawatnya dibuka."Apa yang kamu lakukan di sini?" Ibram bertanya heran saat Laila memasuki ruangan yang dia tempati.Ruangan itu terdiri dari dua ranjang yang dibatasi sebuah gorden. Namun, ranjang di sebelah Ibram terlihat tak berpenghuni."Mas Ibram baik-baik saja?" tanya Laila ketika ia telah sampai di dekat ranjang yang ditempati mantan suaminya.Ibram menghela napas panjang. "Laila, apa kamu lupa kalau sekarang kita sudah tidak punya hubungan apa-apa? Jadi tolong kamu tidak perlu repot-repot datang ke sini." Laila tersenyum getir mendengar jawaban Ibram. Padahal Laila merasa sangat panik saat mendapatkan kabar tentang kecelakaan yang menimpa laki-laki itu. Wanita itu bahkan sudah mengorbankan jam istirahatnya dan rela pergi ke rumah sakit dengan mengendarai motornya di tengah udara yang dingin, tanpa peduli jika dirinya tengah hamil besar. Namun, siapa sangka, semua itu justru dihadiahi Ibram dengan perkataan yang menyakitkan. Entah di sini Ibram yang terlalu kejam atau Laila yang terlewat sensitif."Aku ke sini karena polisi menghubungiku. Sebagai sesama manusia, tentu aku tidak bisa abai saat orang yang aku kenal sedang terkena musibah," ujar Laila, berusaha tak memperlihatkan kesedihannya. Ia sedang menata hatinya yang telah dihancurkan oleh Ibram berkali-kali. "Kamu bisa pulang sekarang." Ibram mengatakan hal itu tanpa menatap wanita di sampingnya. Laila bertambah sedih mendapatkan kalimat pengusiran itu. Dia bahkan baru sampai di tempat ini dan belum sempat duduk. Namun, Ibram tega mengusirnya begitu saja. Apa Ibram memang sudah tak punya sedikit pun belas kasih pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu?Laila berusaha mati-matian menahan agar air matanya tidak terjatuh. Ia tak menyangka, laki-laki yang tujuh tahun lalu menikahinya, kini begitu tega menggores luka di hatinya. Ternyata cinta yang dulu pernah Ibram gembar-gemborkan bisa begitu mudah hilang dari hati laki-laki itu. "Aku permisi kalau begitu," ucap Laila, lantas segera keluar dari ruangan itu.Ibram hanya bisa menatap kepergian Laila dengan pandangan nanar. Sungguh, di sudut hatinya, ia juga tak tega mengatakan semua kalimat kejam itu pada mantan istrinya. Namun, ia tak ingin Laila terus berharap padanya. Maka dari itu, sebisa mungkin ia akan menampik semua perhatian dan kepedulian wanita itu.Sementara itu, di luar ruangan Ibram, Laila menangis di atas kursi tunggu. Padahal ia sudah berusaha mengikhlaskan perceraiannya dengan Ibram. Namun, ternyata hatinya tak sekuat bayangannya. Hanya karena perkataan menyakitkan laki-laki itu, Laila merasa begitu merana."Akh." Laila memekik pelan ketika merasa perutnya mengencang. "Sayang, apa kamu juga merasakan kesedihan Bunda? Maafkan Bunda, Nak, Bunda ternyata lemah sekali." Laila mengusap-usap perut besarnya dengan sayang. Ia berbicara seolah calon anaknya bisa mendengar suaranya. Laila merebahkan punggungnya pada sandaran kursi besi yang sedang ia duduki. Tangannya masih sibuk mengusap-usah perutnya yang masih terasa bergejolak. "Bunda ingin sekali tidak peduli pada semua perkataan menyakitkan ayahmu, tapi ternyata Bunda tidak bisa. Bunda masih sangat mencintai ayahmu. Bunda bingung harus bagaimana." Laila terus bermonolog dengan pandangan kosong. Apa sekarang Laila sudah terlihat seperti wanita bodoh? Dia sudah disakiti oleh Ibram, tapi cintanya untuk laki-laki itu tidak bisa hilang begitu saja. Laila sungguh iri pada istri-istri di luar sana yang bisa terus menggenggam cinta suaminya hingga akhir usia mereka. Laila kira ia dan Ibram juga akan terus bersama hingga akhir hayat, bahkan hingga ke surga Allah. Namun, sepertinya Laila tak cukup pantas untuk mendapatkan cinta yang sebesar itu dari laki-laki yang menjadi suaminya. Kini Laila merasa begitu rendah diri karena laki-laki yang awalnya ia kira begitu mencintainya, ternyata bisa dengan begitu mudah mencampakkannya. Setelah beberapa saat hanya bisa mengajak mengobrol anak yang masih berada di dalam perutnya, Laila tanpa sadar tertidur masih dengan posisi duduk. Wanita itu terlihat begitu kelelahan.Bersambung ...Bab 8Pagi harinya, Laila bangun kesiangan. Badanya terasa pegal karena ia tertidur dengan posisi duduk, di atas kursi yang keras pula.Saat melihat pada layar ponselnya, ternyata sudah jam lima pagi, yang berarti waktu subuh sudah terlewat sejak setengah jam yang lalu. Buru-buru wanita hamil itu mencari keberadaan mushola rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah melaksanakan sholat subuh yang terlambat itu, Laila duduk terdiam di mushola masih dengan mukena yang membalut tubuhnya.Jujur saja, wanita itu masih mengkhawatirkan keadaan Ibram. Namun, untuk mendatangi kamar rawat laki-laki itu lagi rasanya ia malu. Tadi malam Ibram sudah mengusirnya, ia tak punya keberanian untuk mendatangi laki-laki itu lagi. "Apa sebaiknya aku telepon ibu saja ya?" Laila bergumam sendiri.Selama ini, saat Ibram sakit atau saat di dalam rumah tangga mereka sedang ada masalah, Laila tak pernah menceritakan pada mertua atau orang tuanya. Laila tak pernah mau merepotkan siapa pun at
Bab 9Sekarang, Laila dan keluarga Ibram tengah duduk di ruang tengah, setelah tadi mereka makan siang bersama. Sementara Ibram sendiri memilih istirahat di kamar Laila, mengingat keluarga Ibram belum tahu jika sekarang mereka sudah pisah ranjang. "Musibah ada-ada saja memang ya. Baru saja kita bahagia karena kehamilan Laila, sekarang Ibram malah kecelakaan. Belum tahu itu kakinya yang patah kapan sembuhnya. Membawa perutmu saja sudah berat, ya, La, apalagi sekarang Ibram malah tambah membuat kamu repot." Mariana menatap Laila dengan pandangan sayu. Ia merasa begitu kasihan pada menantunya, karena Ibram tidak akan bisa berjalan dengan normal disebabkan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. "Jangan menyalahkan musibah, Bu. Laila tidak keberatan kok kalau harus merawat Mas Ibram," ujar Laila tulus. Meski sekarang Laila bukan lagi istri Ibram, wanita itu tak keberatan jika harus direpotkan dengan urusan laki-laki itu. Bagi Laila, Ibram hanya pernah sekali berbuat salah, sementara
Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan
Bab 11Sehari, dua hari, bahkan hingga dua minggu berlalu, Ibram merasa keadaannya tak kunjung membaik. Laki-laki itu memang sekarang sudah tak kesulitan lagi menjaga keseimbangan tubuhnya saat menggunakan tongkat. Namun, jelas ia tak terkesan sama sekali dengan kemajuan yang itu. Ia menginginkan kesembuhan pada kakinya supaya ia dapat beraktivitas dengan normal kembali. Ibram rindu dengan pekerjaannya, rindu berkumpul dengan rekan-rekan di kantor, dan yang paling ia rindukan adalah Rini, kekasihnya. Entah bagaimana kabar wanita itu sekarang.Pagi ini, orang tua Ibram berkunjung ke rumah, karena memang ini hari Minggu, jadi ayah Ibram tak bekerja. Selain untuk melihat keadaan Ibram, mereka juga sekalian mengantarkan keperluan calon anak Ibram dan Laila yang diperkirakan akan lahir satu bulang lagi. "Padahal seharusnya Ibu dan Ayah tidak usah repot-repot seperti ini. Laila juga sudah beli keperluan untuk dedek bayi, kok, Bu, Yah." Laila berucap tak enak hati karena mertuanya membawaka
Bab 12(Tak Lagi Peduli)Baru juga mobil yang membawa Mariana pergi, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat tiba-tiba memasuki halaman rumah Ibram dan berhenti di sana. Ibram mengernyitkan dahi melihat mobil itu. Siapa yang datang? Rasa-rasanya ia tak familiar dengan mobil tersebut. "Pak Nugie?" Mata Ibram membulat saat melihat HRD di kantornya keluar dari mobil tersebut.Ada apa lelaki itu datang ke rumahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibram yang sudah lama tidak datang ke kantor? Ah, Ibram yakin, pasti karena itu. Ia bahkan lupa mengabari orang kantor jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Karena biasanya saat ia sakit, selalu Laila yang mengurus izin pada orang kantor. Ibram lupa jika sekarang Laila tak mungkin melakukan hal itu lagi, karena status mereka kini telah berubah."Selamat siang, Pak Ibram." Laki-laki bernama Nugie itu menyapa Ibram dengan ramah, begitu jarak mereka telah dekat. "Siang, Pak Nugie. Tumben mampir ke rumah saya," ujar Ibram dengan kikuk. Sebenar
Bab 13Pagi harinya, Ibram dan Laila sarapan dengan suasana hening yang sudah biasa terjadi sejak kata talak terucap dari mulut Ibram. Di kursinya, Ibram beberapa kali diam-diam melirik Laila yang duduk di depannya, seolah ada yang hendak ia katakan, tapi merasa ragu. "Eh? Sudah selesai, La?" Ibram bertanya dengan heran ketika Laila tiba-tiba berdiri dari kursinya dengan mengangkat piring dan gelas yang telah kosong. "Sudah, Mas," jawab Laila, lantas bergegas menuju wastafel untuk mencuci bekas makan dan minumnya. Ibram menatap punggung mantan istrinya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin sekali meminta tolong pada Laila, tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkan wanita hamil terus menerus. Saking gelisahnya, Ibram bahkan sampai tak fokus menyantap makan paginya dan hanya beberapa suapan yang masuk ke perut, sementara sisanya hanya diaduk-aduk di dalam piring hingga berantakan. "Kamu kenapa, Mas? Tidak suka makanannya? Kenapa tidak di makan?" tanya Laila saat melihat makan di
Bab 14"Kamu tadi ke mana saja, La? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Ibram saat Laila menyambangi kamarnya untuk memberikan ponsel titipannya. Di luar sana langit telah berubah gelap. Bahkan Ibram juga masih mengenakan baju muslim karena ia baru saja selesai sholat Magrib. "Tadi aku bertemu teman lama, Mas. Mereka mengajakku main ke rumah mereka yang tak jauh dari mall dan kami mengobrol cukup seru sampai lupa waktu, jadilah aku baru sampai rumah jam segini." Laila mengatakan hal itu dengan binar bahagia yang tergambar jelas di wajahnya."Teman? Siapa?" tanya Ibram heran.Sepanjang pernikahan mereka, Ibram tak pernah tahu siapa saja teman Laila. Bukan karena tak perhatian atau tak pernah bertanya pada wanita itu, tapi karena selama ini Laila memang mengatakan tak punya teman dekat atau meminta izin keluar rumah untuk menemui temannya. Laila hanya sibuk di rumah dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Jika pun keluar rumah, wanita itu hanya akan keluar jika Ibram mau
Bab 1"Jadi Nak Ibram, kapan rencananya kamu dan Rini akan meresmikan hubungan?"Uhuk! Uhuk! Ibram yang sedang meminum teh, tiba-tiba tersedak saat mendapat pertanyaan itu dari ibu kekasihnya."Meresmikan hubungan?" Ibram mengulang ucapan perempuan paruh baya di depannya dengan ekspresi tak nyaman.Seketika Ibram menjadi gugup karena diberikan pertanyaan seperti itu oleh perempuan paruh baya bernama Bu Narti tersebut. "Iya. Kalian ini kan sudah dewasa, masa mau jalan tanpa ada ikatan resmi seperti ini terus? Pasti kalian ada pandangan mau menikah, kan? Kecuali kalau Nak Ibram hanya mau mempermainkan anak Ibu saja." Bu Narti melempar senyum tipisnya pada Ibram. "Ibu!" Rini yang duduk di sebelah Bu Narti, menegur pelan. Ia jelas tak suka mendengar ibunya mengatakan bahwa Ibram hanya mempermainkannya."Loh, kenapa? Benar, kan? Kalau laki-laki dan perempuan dewasa pacaran terlalu lama tanpa ada niat mau menikah, itu namanya cuma main-main." Bu Narti menatap anaknya, memberi pengertian