Bab 6
Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. "Mbak! Awas!" Laila tersentak dari lamunannya ketika merasakan sebuah tarikan di tangannya. Saat menoleh ke belakang, Laila menemukan seorang pria—yang terlihat sebaya dengannya—tengah memegang pergelangan tangannya. "Maaf." Laila yang merasa tak nyaman, segera melepaskan cekalan laki-laki itu dari tangannya. "Anda melamun? Anda hampir saja menabrak tembok. Lihat itu!" Laki-laki itu menunjuk ke arah depan Laila dengan pandangan matanya.Laila mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu dan wajahnya langsung memerah ketika melihat tembok dan hidungnya hanya berjarak dua jengkal . Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa ia melamun sambil berjalan? Jika ia sampai menabrak tembok itu, rasa malunya pasti akan berkali-kali lipat dari sekarang. Laila menunduk, menyembunyikan rasa malu dari laki-laki di depannya. "Terima kasih," ucap Laila lirih.Laki-laki yang berada di depan Laila itu tak menjawab. Ia justru memindai wajah Laila dengan tatapan matanya, seperti orang yang tengah menyelidik. "Kamu ... Laila?" tanya laki-laki itu sedikit ragu. Laila secepat kilat mendongak ke arah laki-laki itu. Bagaimana bisa laki-laki itu mengetahui namanya? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Namun, Laila tak menemukan ingatan tentang wajah laki-laki di depannya ini di dalam kepalanya. "Benar kamu Laila?" tanya laki-laki itu lagi. Laila mengangguk, tapi tak bersuara. Ia masih berusaha menggali ingatan tentang laki-laki itu. Senyum laki-laki itu langsung mengembang begitu mendapati anggukan kepala Laila. "Astaga, La, ini aku Pandu. Kamu lupa?" Laki-laki yang mengaku bernama Pandu itu terlihat begitu antusias. Laila tersenyum kaku. Ia masih tak ingat siapa laki-laki itu. Ia jadi tak enak sendiri, karena laki-laki itu terlihat begitu senang bertemu dengannya, tapi ia justru tak mengenalinya sama sekali. "Lupa ya?" Pandu tersenyum lebar. Ia tak terlihat tersinggung sama sekali karena telah dilupakan oleh Laila. "Iya, maaf," kata Laila tak enak hati. "Aku Pandu Wijaya, teman sekelasmu waktu SMA dulu. Kalau tidak salah kita pernah sekelas waktu kelas dua dan kelas tiga." Pandu memberi petunjuk, berharap Laila mengingat tentang kenangan sepuluh tahun silam. "Pandu?" Laila menatap wajah Pandu dengan berusaha mengingat-ingat siapa laki-laki berpakaian rapi di depannya ini. "Oh iya, kamu yang dulu sering bolos sekolah itu, kan? Yang sering dihukum untuk mencabuti rumput liar di halaman sekolah?" kata Laila senang, saat setitik ingatan masa lalu muncul di kepalanya. Pandu terkekeh kecil mendengar ucapan Laila. "Ternyata benar ya, hal yang paling diingat dari manusia adalah keburukannya.""Eh, maaf, bukan begitu maksudku." Laila langsung merasa tak enak hati mendengar ucapan Pandu. "Tidak masalah, aku tidak marah kok. Aku senang kamu masih ingat denganku. Bagaimana kalau kita mencari tempat untuk mengobrol? Di sini sepertinya kurang nyaman kalau digunakan untuk mengenang masa lalu," ucap Pandu pada Laila.Laila jelas ingin menolak. Ia tak terlalu nyaman jika harus terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahramnya, meski nantinya mereka akan mengobrol di tempat terbuka. "Kenapa? Keberatan ya?" Pandu bertanya ketika melihat wajah tak nyaman Laila."Maaf, Pandu, bukannya aku mau bersikap tidak sopan. Tapi rasanya tidak pantas saja kalau kita harus mengobrol berdua. Kamu pasti sudah berkeluarga, kan? Aku tidak mau jika ada yang melihat kita dan menjadi salah paham," kata Laila sehalus mungkin. Ia berharap Pandu tak tersinggung dengan penolakannya. Pandu tersenyum mendengar ucapan Laila. "Kamu tidak pernah berubah ternyata ya. Okelah, tapi kalau kita bertukar nomor ponsel boleh, kan?" katanya, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku jas yang melekat di tubuh jangkungnya. "Nomor ponsel? Untuk apa?" tanya Laila semakin tak nyaman. Setelah menikah ia memang sangat membatasi interaksinya dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Hal itu ia lakukan agar terhindar dari pandangan buruk dan kesalah-pahamanan orang lain. "Kamu tidak masuk di grup alumni kita, kan? Ayolah, jangan terlalu mengurung diri dari dunia luar. Kita sambung lagi tali silaturahmi dengan teman-teman lama. Tenang, grup alumni kita tidak pernah membicarakan keburukan orang atau pamer jabatan dan kekayaan kok." Pandu terkekeh di akhir kalimatnya. Laila ikut tersenyum kecil. Akhirnya, setelah berpikir sebentar, ia memberikan nomor ponselnya pada Pandu. Dan, benar saja, Pandu langsung memasukkan nomor w******p-nya ke dalam grup alumni SMA mereka.Laila dan Pandu mengobrol ringan sebentar, hingga akhirnya Laila yang mulai kelelahan, pamit untuk pulang terlebih dulu. Pandu juga berjanji akan menghubungi Laila nanti, yang hanya ditanggapi perempuan hamil itu dengan anggukan kecil. ***Ibram duduk diam di salah satu kursi kafe yang tak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Tak ada hal berarti yang laki-laki itu lakukan. Ia hanya fokus pada jalanan di depan kafe yang tetap ramai meski langit sudah gelap gulita, sementara di depannya ada secangkir kopi yang isinya hampir tandas. "Mas Ibram!"Ibram menoleh begitu mendengar suara yang sudah sangat ia hafal di luar kepala. Laki-laki itu tersenyum lebar begitu melihat Rini sudah berada di sisi meja yang ia tempati."Sudah selesai?" tanya Ibram, yang dijawab Rini dengan anggukan."Maaf lama, ya, Mas," ujar Rini merasa tak enak hati. "Tidak masalah. Kita langsung pulang atau mau mampir ke mana dulu?" tanya Ibram lagi. "Langsung pulang saja, ya, Mas. Takut ditunggu ibu," jawab Rini. Keduanya bergegas keluar dari kafe yang mulai sepi pengunjung itu setelah Ibram membayar pesanannya. Beberapa bulan ini, sudah menjadi rutinitas Ibram menunggu Rini selesai bekerja. Setelah pulang dari kantor, Ibram biasanya akan mampir ke kafe tempat Rini bekerja sebagai pelayan terlebih dulu, kemudian mengantar perempuan ayu dan lembut itu pulang ke rumahnya. Laki-laki itu bahkan tak merasa lelah sama sekali karena tak beristirahat setelah seharian penuh disibukkan dengan pekerjaan kantor. Di dalam mobil, kedua manusia yang tengah dimabuk asmara itu mengobrol hangat. Hingga di tengah-tengah obrolan mereka, ponsel Ibram tiba-tiba berbunyi keras. Ada panggilan masuk di ponsel itu. Saat Ibram meliriknya, ternyata Laila yang menghubunginya. Ibram menatap ponselnya dengan kesal. Untuk apa perempuan itu menghubunginya? Ini benar-benar mengganggu waktunya bersama Rini. "Siapa, Mas?" tanya Rini penasaran ketika melihat Ibram mematikan panggilan telepon dan melempar ponselnya ke dasbor mobil dengan kasar. "Tidak penting," kata Ibram masih dengan wajah kesalnya. Rini terdiam saat melihat wajah masam Ibram. Sepertinya panggilan telepon tadi telah membuat suasana hati Ibram menjadi buruk.Akhirnya, karena tidak ingin Ibram semakin tak nyaman, Rini memilih diam. Kebisuan mereka bahkan berlanjut hingga mobil yang Ibram kendarai sampai di depan rumah Rini. "Mas tidak mampir, ya. Sampaikan salam Mas untuk Ibu," kata Ibram setelah ia dan Rini turun dari mobil. Rini mengangguk dengan senyum manisnya. "Iya, Mas, hati-hati di jalan, ya."Ibram pun membawa kendaraan roda empatnya meninggalkan halaman rumah Rini. Ia tak sabar sampai di rumah hingga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sungguh, telepon Laila tadi benar-benar membuat amarahnya naik hingga ke ubun-ubun. Ia sepertinya harus memperingati mantan istrinya itu dengan tegas agar tak lagi mengganggu hidupnya. Namun, saat mobil yang dikendarai Ibram akan berbelok ke tikungan, dari arah berlawanan sebuah truk melaju tak kalah kencang. Tak ingin terjadi kecelakaan, Ibram membanting setir ke kiri. Namun, naas, mobil itu justru terpelanting dan berguling beberapa kali ke arah lahan kosong yang berada di sisi jalan. Ibram masih sadar saat mobilnya berhenti berguling dan berakhir dengan posisi terbalik. Laki-laki itu merasa pening di kepala dan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Ia ingin berteriak meminta tolong, tetapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan. Akhirnya, kesadaran Ibram lenyap, bersamaan dengan darah yang semakin deras mengalir dari kepalanya. Bersambung..Bab 7Di kamarnya, Laila merasa begitu gelisah. Wanita hamil itu terlihat mondar-mandir di dekat jendela. Sesekali ia juga menyibak tirai jendela kamarnya untuk melihat apakah Ibram sudah pulang atau belum. Entah apa yang Laila rasakan ini. Hatinya benar-benar resah. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki yang menjadi ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu. Berkali-kali Laila menelepon nomor Ibram, tapi laki-laki itu sama sekali tak menjawab teleponnya, meski panggilannya tersambung. "Kamu baik-baik saja, kan, Mas? Kenapa perasaan aku jadi tidak tenang seperti ini?" Laila bergumam sendiri. Tak lupa, Laila juga melangitkan doa agar ayah dari calon anaknya selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.Ketika mulai lelah karena terlalu banyak berdiri, Laila memutuskan untuk mendudukkan diri di bibir ranjang. Rasa cemasnya belum hilang. Ia masih berusaha untuk menghubungi Ibram, tetapi sama saja, panggilannya tak dijawab. Namun, baru hendak meletakan ponselnya di atas nakas,
Bab 8Pagi harinya, Laila bangun kesiangan. Badanya terasa pegal karena ia tertidur dengan posisi duduk, di atas kursi yang keras pula.Saat melihat pada layar ponselnya, ternyata sudah jam lima pagi, yang berarti waktu subuh sudah terlewat sejak setengah jam yang lalu. Buru-buru wanita hamil itu mencari keberadaan mushola rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah melaksanakan sholat subuh yang terlambat itu, Laila duduk terdiam di mushola masih dengan mukena yang membalut tubuhnya.Jujur saja, wanita itu masih mengkhawatirkan keadaan Ibram. Namun, untuk mendatangi kamar rawat laki-laki itu lagi rasanya ia malu. Tadi malam Ibram sudah mengusirnya, ia tak punya keberanian untuk mendatangi laki-laki itu lagi. "Apa sebaiknya aku telepon ibu saja ya?" Laila bergumam sendiri.Selama ini, saat Ibram sakit atau saat di dalam rumah tangga mereka sedang ada masalah, Laila tak pernah menceritakan pada mertua atau orang tuanya. Laila tak pernah mau merepotkan siapa pun at
Bab 9Sekarang, Laila dan keluarga Ibram tengah duduk di ruang tengah, setelah tadi mereka makan siang bersama. Sementara Ibram sendiri memilih istirahat di kamar Laila, mengingat keluarga Ibram belum tahu jika sekarang mereka sudah pisah ranjang. "Musibah ada-ada saja memang ya. Baru saja kita bahagia karena kehamilan Laila, sekarang Ibram malah kecelakaan. Belum tahu itu kakinya yang patah kapan sembuhnya. Membawa perutmu saja sudah berat, ya, La, apalagi sekarang Ibram malah tambah membuat kamu repot." Mariana menatap Laila dengan pandangan sayu. Ia merasa begitu kasihan pada menantunya, karena Ibram tidak akan bisa berjalan dengan normal disebabkan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. "Jangan menyalahkan musibah, Bu. Laila tidak keberatan kok kalau harus merawat Mas Ibram," ujar Laila tulus. Meski sekarang Laila bukan lagi istri Ibram, wanita itu tak keberatan jika harus direpotkan dengan urusan laki-laki itu. Bagi Laila, Ibram hanya pernah sekali berbuat salah, sementara
Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan
Bab 11Sehari, dua hari, bahkan hingga dua minggu berlalu, Ibram merasa keadaannya tak kunjung membaik. Laki-laki itu memang sekarang sudah tak kesulitan lagi menjaga keseimbangan tubuhnya saat menggunakan tongkat. Namun, jelas ia tak terkesan sama sekali dengan kemajuan yang itu. Ia menginginkan kesembuhan pada kakinya supaya ia dapat beraktivitas dengan normal kembali. Ibram rindu dengan pekerjaannya, rindu berkumpul dengan rekan-rekan di kantor, dan yang paling ia rindukan adalah Rini, kekasihnya. Entah bagaimana kabar wanita itu sekarang.Pagi ini, orang tua Ibram berkunjung ke rumah, karena memang ini hari Minggu, jadi ayah Ibram tak bekerja. Selain untuk melihat keadaan Ibram, mereka juga sekalian mengantarkan keperluan calon anak Ibram dan Laila yang diperkirakan akan lahir satu bulang lagi. "Padahal seharusnya Ibu dan Ayah tidak usah repot-repot seperti ini. Laila juga sudah beli keperluan untuk dedek bayi, kok, Bu, Yah." Laila berucap tak enak hati karena mertuanya membawaka
Bab 12(Tak Lagi Peduli)Baru juga mobil yang membawa Mariana pergi, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat tiba-tiba memasuki halaman rumah Ibram dan berhenti di sana. Ibram mengernyitkan dahi melihat mobil itu. Siapa yang datang? Rasa-rasanya ia tak familiar dengan mobil tersebut. "Pak Nugie?" Mata Ibram membulat saat melihat HRD di kantornya keluar dari mobil tersebut.Ada apa lelaki itu datang ke rumahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibram yang sudah lama tidak datang ke kantor? Ah, Ibram yakin, pasti karena itu. Ia bahkan lupa mengabari orang kantor jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Karena biasanya saat ia sakit, selalu Laila yang mengurus izin pada orang kantor. Ibram lupa jika sekarang Laila tak mungkin melakukan hal itu lagi, karena status mereka kini telah berubah."Selamat siang, Pak Ibram." Laki-laki bernama Nugie itu menyapa Ibram dengan ramah, begitu jarak mereka telah dekat. "Siang, Pak Nugie. Tumben mampir ke rumah saya," ujar Ibram dengan kikuk. Sebenar
Bab 13Pagi harinya, Ibram dan Laila sarapan dengan suasana hening yang sudah biasa terjadi sejak kata talak terucap dari mulut Ibram. Di kursinya, Ibram beberapa kali diam-diam melirik Laila yang duduk di depannya, seolah ada yang hendak ia katakan, tapi merasa ragu. "Eh? Sudah selesai, La?" Ibram bertanya dengan heran ketika Laila tiba-tiba berdiri dari kursinya dengan mengangkat piring dan gelas yang telah kosong. "Sudah, Mas," jawab Laila, lantas bergegas menuju wastafel untuk mencuci bekas makan dan minumnya. Ibram menatap punggung mantan istrinya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin sekali meminta tolong pada Laila, tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkan wanita hamil terus menerus. Saking gelisahnya, Ibram bahkan sampai tak fokus menyantap makan paginya dan hanya beberapa suapan yang masuk ke perut, sementara sisanya hanya diaduk-aduk di dalam piring hingga berantakan. "Kamu kenapa, Mas? Tidak suka makanannya? Kenapa tidak di makan?" tanya Laila saat melihat makan di
Bab 14"Kamu tadi ke mana saja, La? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Ibram saat Laila menyambangi kamarnya untuk memberikan ponsel titipannya. Di luar sana langit telah berubah gelap. Bahkan Ibram juga masih mengenakan baju muslim karena ia baru saja selesai sholat Magrib. "Tadi aku bertemu teman lama, Mas. Mereka mengajakku main ke rumah mereka yang tak jauh dari mall dan kami mengobrol cukup seru sampai lupa waktu, jadilah aku baru sampai rumah jam segini." Laila mengatakan hal itu dengan binar bahagia yang tergambar jelas di wajahnya."Teman? Siapa?" tanya Ibram heran.Sepanjang pernikahan mereka, Ibram tak pernah tahu siapa saja teman Laila. Bukan karena tak perhatian atau tak pernah bertanya pada wanita itu, tapi karena selama ini Laila memang mengatakan tak punya teman dekat atau meminta izin keluar rumah untuk menemui temannya. Laila hanya sibuk di rumah dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Jika pun keluar rumah, wanita itu hanya akan keluar jika Ibram mau