Bab 13Pagi harinya, Ibram dan Laila sarapan dengan suasana hening yang sudah biasa terjadi sejak kata talak terucap dari mulut Ibram. Di kursinya, Ibram beberapa kali diam-diam melirik Laila yang duduk di depannya, seolah ada yang hendak ia katakan, tapi merasa ragu. "Eh? Sudah selesai, La?" Ibram bertanya dengan heran ketika Laila tiba-tiba berdiri dari kursinya dengan mengangkat piring dan gelas yang telah kosong. "Sudah, Mas," jawab Laila, lantas bergegas menuju wastafel untuk mencuci bekas makan dan minumnya. Ibram menatap punggung mantan istrinya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin sekali meminta tolong pada Laila, tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkan wanita hamil terus menerus. Saking gelisahnya, Ibram bahkan sampai tak fokus menyantap makan paginya dan hanya beberapa suapan yang masuk ke perut, sementara sisanya hanya diaduk-aduk di dalam piring hingga berantakan. "Kamu kenapa, Mas? Tidak suka makanannya? Kenapa tidak di makan?" tanya Laila saat melihat makan di
Bab 14"Kamu tadi ke mana saja, La? Kenapa baru pulang jam segini?" tanya Ibram saat Laila menyambangi kamarnya untuk memberikan ponsel titipannya. Di luar sana langit telah berubah gelap. Bahkan Ibram juga masih mengenakan baju muslim karena ia baru saja selesai sholat Magrib. "Tadi aku bertemu teman lama, Mas. Mereka mengajakku main ke rumah mereka yang tak jauh dari mall dan kami mengobrol cukup seru sampai lupa waktu, jadilah aku baru sampai rumah jam segini." Laila mengatakan hal itu dengan binar bahagia yang tergambar jelas di wajahnya."Teman? Siapa?" tanya Ibram heran.Sepanjang pernikahan mereka, Ibram tak pernah tahu siapa saja teman Laila. Bukan karena tak perhatian atau tak pernah bertanya pada wanita itu, tapi karena selama ini Laila memang mengatakan tak punya teman dekat atau meminta izin keluar rumah untuk menemui temannya. Laila hanya sibuk di rumah dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Jika pun keluar rumah, wanita itu hanya akan keluar jika Ibram mau
Bab 1"Jadi Nak Ibram, kapan rencananya kamu dan Rini akan meresmikan hubungan?"Uhuk! Uhuk! Ibram yang sedang meminum teh, tiba-tiba tersedak saat mendapat pertanyaan itu dari ibu kekasihnya."Meresmikan hubungan?" Ibram mengulang ucapan perempuan paruh baya di depannya dengan ekspresi tak nyaman.Seketika Ibram menjadi gugup karena diberikan pertanyaan seperti itu oleh perempuan paruh baya bernama Bu Narti tersebut. "Iya. Kalian ini kan sudah dewasa, masa mau jalan tanpa ada ikatan resmi seperti ini terus? Pasti kalian ada pandangan mau menikah, kan? Kecuali kalau Nak Ibram hanya mau mempermainkan anak Ibu saja." Bu Narti melempar senyum tipisnya pada Ibram. "Ibu!" Rini yang duduk di sebelah Bu Narti, menegur pelan. Ia jelas tak suka mendengar ibunya mengatakan bahwa Ibram hanya mempermainkannya."Loh, kenapa? Benar, kan? Kalau laki-laki dan perempuan dewasa pacaran terlalu lama tanpa ada niat mau menikah, itu namanya cuma main-main." Bu Narti menatap anaknya, memberi pengertian
Bab 2Di kamar, setelah Ibram menyelesaikan ritual mandi malamnya, Laila segera mendekati laki-laki itu. Dengan gesit, wanita itu membantu suaminya untuk mengancingkan piama yang sudah melekat di tubuh. Perut besarnya sama sekali tak membuat gerakan Laila terganggu. "Ayo makan dulu, Mas, tadi aku sudah hangatkan makan malamnya," ucap Laila setelah Ibram selesai mengenakan bajunya.Ibram menatap Laila intens. Wajah teduh istrinya benar-benar membuatnya tak tega jika harus mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rini. Namun, jika ia tak segera membicarakan hal itu, mau sampai kapan ia mengulur waktu? Ada Rini dan ibunya yang tengah menunggu pinangannya. Dan yang paling penting, hatinya pun sudah tak bisa menunggu lagi untuk segera menjadikan Rini sebagai istrinya."Mas?" Laila melambaikan tangannya di depan wajah Ibram. Ia terkekeh, merasa lucu ketika melihat Ibram yang terkejut. "Mas melamun?" tanya Laila dengan senyum manisnya. Mendengar pertanyaan istrinya, Ibram justru menjadi sa
Bab 3Pagi ini, ruang makan terasa mencekam layaknya pemakaman. Tidak ada obrolan di sela sarapan, tidak pula canda tawa yang biasanya tercipta. Kehangatan sepasang suami istri itu sirna dalam sekejap karena pernyataan sang suami tadi malam yang menginginkan perpisahan. "Mau tambah makannya, Mas?" Laila bertanya ketika melihat piring Ibram telah tandas. Sementara Laila sendiri, isi piringnya bahkan belum habis setengahnya. Ia rasanya kehilangan selera makan karena masalah yang tengah menimpa rumah tangganya. "Apa sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan yang tadi malam?" ujar Ibram serius, tanpa menggubris ucapan Laila sebelumnya.Laila terdiam, kemudian ia meletakan sendok yang dipegangnya begitu saja. Wanita itu menghala napas pelan, kemudian menatap suaminya dengan tanpa gentar. Sepertinya memang laki-laki di depannya ini sudah tidak sabar untuk melepaskan ikatan pernikahan yang terjalin di antara mereka agar bisa segera menjalin hubungan baru dengan perempuan lain. "Sebelum
Bab 4 "Assalamualaikum! Laila, Ibu datang ini!"Laila yang sejak tadi hanya berdiam diri di kamar, sedikit terkejut mendengar teriakan yang sudah sangat ia hafal suaranya. Itu Mariana, ibu kandung Ibram. "Wa ‘alaikumsalam, Bu." Cepat-cepat Laila menuju ke depan. Ibu mertuanya memang sering berkunjung ke rumah, karena memang tempat tinggal mertuanya tak terlalu jauh dari rumahnya ini. Saat membuka pintu utama, sosok ibu mertua dan adik Ibram yang bernama Amy sudah berdiri di depan pintu, menyambut Laila dengan senyuman. "Ibu." Laila menyalami tangan Mariana. Kemudian beralih menatap Amy yang berdiri di sisi ibunya. Gadis itu juga terlihat membawa paper bag berwarna coklat di tangan kanannya. "Kamu tidak kerja, My?" tanya Laila pada adik iparnya. "Cuti, Mbak. Mau liburan di rumah dulu," jawab perempuan berusia 22 tahun itu dengan kalem. Gadis muda berjilbab biru dengan motif bunga-bunga itu bekerja sebagai teller di salah satu bank syariah yang ada di kota ini. "Ini ada puding buat
Bab 5Hari berganti dan Laila tetap pada kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaatnya sebagai umat muslim, kini wanita itu tengah menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan. Di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, terdengar juga suara mesin cuci yang sedang berputar. Tujuh tahun menjadi ibu rumah tangga, membuat Laila terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih dari satu secara bersamaan. "Laila, kamu mencuci baju-bajuku?" Ibram bertanya setibanya ia di dapur. Ia baru saja pulang dari masjid dan berencana akan mengumpulkan baju kotornya untuk dibawa ke tempat laundry. Dia bahkan masih menggunakan baju yang biasa ia kenakan ketika ke masjid. Laila menoleh ke arah Ibram, kemudian mengangguk. "Itu masih dicuci, Mas." Ia menunjuk ke arah kamar mandi dengan dagunya. Ibram menghela napas pelan. "Laila, dengar! Mulai sekarang kita hidup masing-masing, oke? Jangan urusi urusanku, dan aku juga tidak akan mengurusi urusanmu. Paham?" Bukan
Bab 6Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. "Mbak! Awas!" Laila tersentak dari lamunannya ketika merasakan sebuah tarikan di tangannya. Saat menoleh ke belakang, Laila menemukan seorang pria—yang terlihat sebaya dengannya—tengah memegang pergelangan tangannya. "Maaf." Laila yang merasa tak nyaman, segera melepaskan cekalan laki-laki itu dari tangannya. "Anda melamun? Anda hampir saja menabrak tembok. Lihat itu!" Laki-laki itu menunjuk ke arah depan Laila dengan pandangan matanya.Laila mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu dan wajahnya langsung memerah ketika melihat tembok dan hidungnya hanya berjarak dua jengkal . Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa ia melamun