Bab 4
"Assalamualaikum! Laila, Ibu datang ini!"
Laila yang sejak tadi hanya berdiam diri di kamar, sedikit terkejut mendengar teriakan yang sudah sangat ia hafal suaranya. Itu Mariana, ibu kandung Ibram.
"Wa ‘alaikumsalam, Bu." Cepat-cepat Laila menuju ke depan. Ibu mertuanya memang sering berkunjung ke rumah, karena memang tempat tinggal mertuanya tak terlalu jauh dari rumahnya ini.
Saat membuka pintu utama, sosok ibu mertua dan adik Ibram yang bernama Amy sudah berdiri di depan pintu, menyambut Laila dengan senyuman.
"Ibu." Laila menyalami tangan Mariana. Kemudian beralih menatap Amy yang berdiri di sisi ibunya. Gadis itu juga terlihat membawa paper bag berwarna coklat di tangan kanannya. "Kamu tidak kerja, My?" tanya Laila pada adik iparnya.
"Cuti, Mbak. Mau liburan di rumah dulu," jawab perempuan berusia 22 tahun itu dengan kalem. Gadis muda berjilbab biru dengan motif bunga-bunga itu bekerja sebagai teller di salah satu bank syariah yang ada di kota ini. "Ini ada puding buat Mbak Laila. Tadi ibu yang buat, aku bantu mencicipi saja." Amy tersenyum lebar, hingga deretan giginya yang tersusun rapi terlihat dengan jelas.
Laila tersenyum dan menerima paper bag yang diangsurkan Amy. "Terima kasih ya, Bu, Amy," katanya. "Ayo masuk."
Ketiga perempuan itu memasuki rumah dan langsung menuju ruang keluarga.
"Maaf ya, Bu, rumahnya masih berantakan. Tadi Laila kurang enak badan, jadi belum sempat beres-beres," sesal Laila ketika ingat jika ia belum mengepel rumah dan berbenah. Padahal Laila tahu jika ibu mertuanya sangat suka kebersihan.
"Kamu sakit, La? Ya ampun, terus kenapa tidak langsung ke klinik? Ibram juga, sudah tahu istrinya sakit malah tetap berangkat kerja. Harusnya dia antar dulu istrinya berobat. Kamu jangan minum obat aneh-aneh ya, Laila. Ingat, kamu itu sedang hamil." Mariana berkata panjang lebar, membuat sang menantu merasa begitu terharu karena perhatiannya yang memang tiada tanding. Meski terkenal cerewet, orang-orang terdekatnya tahu jika Mariana adalah wanita yang baik dan perhatian.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Ini juga sudah lebih baik. Mungkin karena kandunganku yang makin besar, jadi makin mudah lelah walaupun cuma bergerak sedikit," ujar Laila menenangkan ibu mertuanya.
"Coba bapak dan Amy mau ditinggal, Ibu pasti bisa tinggal di sini untuk bantu-bantu kamu. Kasihan Ibu lihat kamu, La. Badan kecilmu ini harus membawa cucu Ibu ke mana-mana, pantas saja susah bergerak. Ini Amy juga tidak mau disuruh tinggal di sini untuk bantu-bantu. Memang anak ini susah sekali dimintai tolong." Mariana menepuk keras paha anak gadisnya, membuat si empunya mengerang kesakitan.
"Ihh Ibu, sakit." Amy mengusap-usap bekas pukulan ibunya. "Lagian ya, Bu, kalau aku di sini bukannya membantu meringankan pekerjaan rumah Mbak Laila, aku justru hanya menambah beban saja. Tahu sendiri kan, Bu, aku kan tidak bisa apa-apa."
Mariana mendengus kasar mendengar ucapan anak bungsunya. "Kalau tidak bisa ya belajar, Amy. Kamu tidak bisa malah bangga."
Laila tersenyum lebar melihat perdebatan mertua dan adik iparnya. Ia merasa begitu beruntung berada di tengah-tengah keluarga Ibram yang begitu hangat dan saling peduli satu sama lain. Sayang sekali, hari ini ia telah kehilangan statusnya sebagai istri Ibram. Ia tak tahu apakah sikap keluarga Ibram akan tetap sebaik ini
atau tidak jika tahu sekarang ia bukan lagi bagian dari keluarga mereka.Perbincangan ketiganya terus berlanjut, membahas hal-hal random yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Baru setelah matahari mulai berada di atas kepala, Mariana dan Amy pamit pulang.
Laila kembali sendiri di rumah dan merasa begitu sepi.
***
Malamnya, Ibram lagi-lagi pulang terlambat. Laki-laki yang baru tadi pagi mengganti statusnya menjadi seorang duda itu baru sampai di rumah pukul sepuluh malam.
Laila yang ingat jika beberapa bulan ini Ibram memang sering pulang terlambat, merasa begitu bodoh. Sebelumnya ia percaya saja saat Ibram beralasan jika pekerjaan di kantor sangat banyak, sehingga mengharuskan para karyawan untuk sering mengambil lembur. Baru sekarang Laila paham jika keterlambatan Ibram ini kemungkinan besar karena laki-laki itu terlebih dulu menghabiskan waktu bersama kekasihnya sebelum pulang ke rumah.
"Di mana baju-bajuku?" Ibram bertanya pada Laila sesaat setelah ia memasuki kamar. Rencananya, setelah pulang dari kantor laki-laki itu akan langsung membereskan bajunya dan pindah ke kamar tamu, seperti ucapannya pada Laila tadi pagi.
Laila yang masih terjaga di atas tempat tidur seraya membaca buku panduan ibu hamil, menoleh ke arah Ibram ketika mendengar pertanyaan laki-laki itu.
"Aku sudah memindahkan semua barang Mas Ibram ke kamar tamu," ucap wanita berjilbab coklat itu tenang.
Jika biasanya Laila selalu membuka jilbabnya ketika sedang berdua saja dengan Ibram, kali ini ia tak melakukan itu. Mengingat sekarang status mereka bukan lagi suami istri, Laila harus menjaga auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari bayi yang sedang ia kandung tersebut.
"Bukannya aku sudah bilang akan membereskannya sendiri?" Ibram menatap Laila tak suka.
Namun, Laila justru tersenyum melihat Ibram yang seperti sedang mengintimidasinya. "Tadi pekerjaan rumahku tidak terlalu banyak, jadi dari pada bosan, sekalian saja aku membereskan baju Mas Ibram. Toh aku atau Mas Ibram yang membereskan baju-baju itu hasilnya sama saja, kan?"
Ibram mendengus kasar mendengar jawaban Laila.
"Tadi aku juga memasak makanan kesukaan Mas Ibram. Kalau Mas Ibram belum makan, bisa langsung ambil di dapur saja," kata Laila lagi.
"Laila, kamu tidak lupa dengan status kita sekarang, kan?" Mata Ibram memicing ke arah Laila.
"Tentu saja tidak." Laila justru terkekeh mendengar ucapan Ibram. "Baru tadi pagi Mas Ibram memberiku talak, tidak mungkin aku sudah melupakannya."
"Lantas, kenapa sikapmu masih seperti ini? Kamu masih berharap kita kembali lagi?" Ibram memandang tak suka pada perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
"Mas, tolong jangan salah paham. Aku melakukan semua ini tanpa ada maksud apa-apa. Aku akan tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tapi itu bukan karena aku ingin menarik perhatian Mas Ibram. Anggap saja ini bayaran dariku karena Mas Ibram masih sudi menampungku di rumah ini," kata Laila memberi penjelasan.
Ibram terdiam dengan memandang tajam mantan istrinya. Lalu, tanpa kata laki-laki itu segera meninggalkan kamar yang sebelumnya menjadi tempatnya memadu kasih bersama Laila.
Setelah kepergian Ibram, setitik air jatuh dari mata Laila. Sungguh, Laila tak sekuat apa yang ia perlihatkan di hadapan Ibram. Wanita itu merasa begitu hancur, karena hubungan yang sebelumnya ia kira baik-baik saja, kini telah berubah sedemikian rupa.
"Maaf, Mas, aku tidak bisa membunuh rasa peduliku untukmu begitu saja," bisik Laila, yang langsung menguap di udara.
Padahal, mengingat perlakuan Ibram yang sudah begitu kejam padanya, harusnya Laila bersikap abai atau justru marah pada laki-laki itu. Namun, ternyata wanita itu tidak bisa. Laila masih khawatir jika Ibram belum makan malam, sehingga ia berinisiatif untuk memasakan makanan kesukaan laki-laki itu. Laila juga takut Ibram kelelahan setelah seharian beraktivitas di luar rumah, sehingga tanpa diminta ia membereskan barang-barang Ibram, sekaligus membersihkan kamar tamu yang akan ditempati laki-laki itu.
Sungguh, perbuatannya ini bukan karena ia ingin menarik perhatian Ibram, karena setelah tadi pagi ia memutuskan untuk menerima talak dari laki-laki itu, Laila sudah memantapkan hati untuk ikhlas kehilangan suaminya. Ini hanya bentuk perhatian Laila untuk laki-laki yang selama tujuh tahun ini telah membersamainya dalam suka dan duka.
Bersambung..
Bab 5Hari berganti dan Laila tetap pada kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaatnya sebagai umat muslim, kini wanita itu tengah menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan. Di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, terdengar juga suara mesin cuci yang sedang berputar. Tujuh tahun menjadi ibu rumah tangga, membuat Laila terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih dari satu secara bersamaan. "Laila, kamu mencuci baju-bajuku?" Ibram bertanya setibanya ia di dapur. Ia baru saja pulang dari masjid dan berencana akan mengumpulkan baju kotornya untuk dibawa ke tempat laundry. Dia bahkan masih menggunakan baju yang biasa ia kenakan ketika ke masjid. Laila menoleh ke arah Ibram, kemudian mengangguk. "Itu masih dicuci, Mas." Ia menunjuk ke arah kamar mandi dengan dagunya. Ibram menghela napas pelan. "Laila, dengar! Mulai sekarang kita hidup masing-masing, oke? Jangan urusi urusanku, dan aku juga tidak akan mengurusi urusanmu. Paham?" Bukan
Bab 6Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. "Mbak! Awas!" Laila tersentak dari lamunannya ketika merasakan sebuah tarikan di tangannya. Saat menoleh ke belakang, Laila menemukan seorang pria—yang terlihat sebaya dengannya—tengah memegang pergelangan tangannya. "Maaf." Laila yang merasa tak nyaman, segera melepaskan cekalan laki-laki itu dari tangannya. "Anda melamun? Anda hampir saja menabrak tembok. Lihat itu!" Laki-laki itu menunjuk ke arah depan Laila dengan pandangan matanya.Laila mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu dan wajahnya langsung memerah ketika melihat tembok dan hidungnya hanya berjarak dua jengkal . Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa ia melamun
Bab 7Di kamarnya, Laila merasa begitu gelisah. Wanita hamil itu terlihat mondar-mandir di dekat jendela. Sesekali ia juga menyibak tirai jendela kamarnya untuk melihat apakah Ibram sudah pulang atau belum. Entah apa yang Laila rasakan ini. Hatinya benar-benar resah. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki yang menjadi ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu. Berkali-kali Laila menelepon nomor Ibram, tapi laki-laki itu sama sekali tak menjawab teleponnya, meski panggilannya tersambung. "Kamu baik-baik saja, kan, Mas? Kenapa perasaan aku jadi tidak tenang seperti ini?" Laila bergumam sendiri. Tak lupa, Laila juga melangitkan doa agar ayah dari calon anaknya selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.Ketika mulai lelah karena terlalu banyak berdiri, Laila memutuskan untuk mendudukkan diri di bibir ranjang. Rasa cemasnya belum hilang. Ia masih berusaha untuk menghubungi Ibram, tetapi sama saja, panggilannya tak dijawab. Namun, baru hendak meletakan ponselnya di atas nakas,
Bab 8Pagi harinya, Laila bangun kesiangan. Badanya terasa pegal karena ia tertidur dengan posisi duduk, di atas kursi yang keras pula.Saat melihat pada layar ponselnya, ternyata sudah jam lima pagi, yang berarti waktu subuh sudah terlewat sejak setengah jam yang lalu. Buru-buru wanita hamil itu mencari keberadaan mushola rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah melaksanakan sholat subuh yang terlambat itu, Laila duduk terdiam di mushola masih dengan mukena yang membalut tubuhnya.Jujur saja, wanita itu masih mengkhawatirkan keadaan Ibram. Namun, untuk mendatangi kamar rawat laki-laki itu lagi rasanya ia malu. Tadi malam Ibram sudah mengusirnya, ia tak punya keberanian untuk mendatangi laki-laki itu lagi. "Apa sebaiknya aku telepon ibu saja ya?" Laila bergumam sendiri.Selama ini, saat Ibram sakit atau saat di dalam rumah tangga mereka sedang ada masalah, Laila tak pernah menceritakan pada mertua atau orang tuanya. Laila tak pernah mau merepotkan siapa pun at
Bab 9Sekarang, Laila dan keluarga Ibram tengah duduk di ruang tengah, setelah tadi mereka makan siang bersama. Sementara Ibram sendiri memilih istirahat di kamar Laila, mengingat keluarga Ibram belum tahu jika sekarang mereka sudah pisah ranjang. "Musibah ada-ada saja memang ya. Baru saja kita bahagia karena kehamilan Laila, sekarang Ibram malah kecelakaan. Belum tahu itu kakinya yang patah kapan sembuhnya. Membawa perutmu saja sudah berat, ya, La, apalagi sekarang Ibram malah tambah membuat kamu repot." Mariana menatap Laila dengan pandangan sayu. Ia merasa begitu kasihan pada menantunya, karena Ibram tidak akan bisa berjalan dengan normal disebabkan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. "Jangan menyalahkan musibah, Bu. Laila tidak keberatan kok kalau harus merawat Mas Ibram," ujar Laila tulus. Meski sekarang Laila bukan lagi istri Ibram, wanita itu tak keberatan jika harus direpotkan dengan urusan laki-laki itu. Bagi Laila, Ibram hanya pernah sekali berbuat salah, sementara
Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan
Bab 11Sehari, dua hari, bahkan hingga dua minggu berlalu, Ibram merasa keadaannya tak kunjung membaik. Laki-laki itu memang sekarang sudah tak kesulitan lagi menjaga keseimbangan tubuhnya saat menggunakan tongkat. Namun, jelas ia tak terkesan sama sekali dengan kemajuan yang itu. Ia menginginkan kesembuhan pada kakinya supaya ia dapat beraktivitas dengan normal kembali. Ibram rindu dengan pekerjaannya, rindu berkumpul dengan rekan-rekan di kantor, dan yang paling ia rindukan adalah Rini, kekasihnya. Entah bagaimana kabar wanita itu sekarang.Pagi ini, orang tua Ibram berkunjung ke rumah, karena memang ini hari Minggu, jadi ayah Ibram tak bekerja. Selain untuk melihat keadaan Ibram, mereka juga sekalian mengantarkan keperluan calon anak Ibram dan Laila yang diperkirakan akan lahir satu bulang lagi. "Padahal seharusnya Ibu dan Ayah tidak usah repot-repot seperti ini. Laila juga sudah beli keperluan untuk dedek bayi, kok, Bu, Yah." Laila berucap tak enak hati karena mertuanya membawaka
Bab 12(Tak Lagi Peduli)Baru juga mobil yang membawa Mariana pergi, sebuah mobil berwarna hitam mengkilat tiba-tiba memasuki halaman rumah Ibram dan berhenti di sana. Ibram mengernyitkan dahi melihat mobil itu. Siapa yang datang? Rasa-rasanya ia tak familiar dengan mobil tersebut. "Pak Nugie?" Mata Ibram membulat saat melihat HRD di kantornya keluar dari mobil tersebut.Ada apa lelaki itu datang ke rumahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ibram yang sudah lama tidak datang ke kantor? Ah, Ibram yakin, pasti karena itu. Ia bahkan lupa mengabari orang kantor jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Karena biasanya saat ia sakit, selalu Laila yang mengurus izin pada orang kantor. Ibram lupa jika sekarang Laila tak mungkin melakukan hal itu lagi, karena status mereka kini telah berubah."Selamat siang, Pak Ibram." Laki-laki bernama Nugie itu menyapa Ibram dengan ramah, begitu jarak mereka telah dekat. "Siang, Pak Nugie. Tumben mampir ke rumah saya," ujar Ibram dengan kikuk. Sebenar