Bab 2
Di kamar, setelah Ibram menyelesaikan ritual mandi malamnya, Laila segera mendekati laki-laki itu. Dengan gesit, wanita itu membantu suaminya untuk mengancingkan piama yang sudah melekat di tubuh. Perut besarnya sama sekali tak membuat gerakan Laila terganggu.
"Ayo makan dulu, Mas, tadi aku sudah hangatkan makan malamnya," ucap Laila setelah Ibram selesai mengenakan bajunya.
Ibram menatap Laila intens. Wajah teduh istrinya benar-benar membuatnya tak tega jika harus mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rini. Namun, jika ia tak segera membicarakan hal itu, mau sampai kapan ia mengulur waktu? Ada Rini dan ibunya yang tengah menunggu pinangannya. Dan yang paling penting, hatinya pun sudah tak bisa menunggu lagi untuk segera menjadikan Rini sebagai istrinya.
"Mas?" Laila melambaikan tangannya di depan wajah Ibram. Ia terkekeh, merasa lucu ketika melihat Ibram yang terkejut. "Mas melamun?" tanya Laila dengan senyum manisnya.
Mendengar pertanyaan istrinya, Ibram justru menjadi salah tingkah. Ia berdehem, kemudian tanpa kata berjalan ke arah ranjang dan mendudukkan diri di sana.
"Loh, kok malah duduk? Mas tidak mau makan?" Laila terlihat bingung melihat kelakuan suaminya.
"Sini, Dek, ada yang mau Mas bicarakan." Suara Ibram terdengar lirih, ia bahkan tak berani menatap wajah istrinya.
Laila semakin bingung saja melihat tingkah Ibram. Apa Ibram sedang ada masalah? Kenapa sejak tadi tingkahnya aneh?
Tanpa perlu disuruh dua kali, Laila segera melangkahkan kakinya untuk menghampiri Ibram. Wanita yang tengah hamil besar itu segera duduk di samping suaminya dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya.
"Kenapa, Mas?" tanya Laila bingung. Ibram bilang ada yang ingin dibicarakan, tetapi setelah menit-menit berlalu, laki-laki itu justru hanya diam.
Ibram menelan salivanya gugup. Entah kenapa, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.
"Dek," panggil Ibram, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Iya, Mas. Mas Ibram sedang ada masalah di kantor, ya? Kenapa sejak tadi Adek lihat Mas seperti gelisah sekali?" tanya Laila penasaran.
"Bukan masalah kantor," jawab Ibram lirih.
"Bukan masalah kantor? Lantas kenapa?" tanya Laila khawatir. Tidak biasanya Ibram bersikap begini.
"Ini soal kita," kata Ibram.
"Soal kita?" Laila menatap intens suaminya yang terlihat tak tenang. Sungguh, melihat ekspresi Ibram, entah kenapa Laila menjadi cemas. Apa ada hal buruk yang sedang terjadi?
"Aku ... aku mau kita berpisah, Dek," ujar Ibram terdengar ragu.
Netra Laila membola mendengar kalimat yang suaminya katakan. Jantungnya seketika berhenti berdetak, untuk sedetik kemudian, detakannya menjadi sangat cepat, hingga dadanya terasa begitu sakit.
"Pi-pisah, Mas?" Laila menatap Ibram dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu yakin Ibram serius dengan ucapannya, karena memang suaminya itu bukan orang yang suka bercanda, terlebih untuk masalah sebesar ini.
Ibram mengangguk untuk menanggapi ucapan istrinya. Karena tak tega melihat wajah sedih Laila, ia terus menunduk menatap lantai keramik di bawahnya.
"Kenapa, Mas? Kenapa tiba-tiba kamu mau kita berpisah? Apa aku punya salah? Aku minta maaf kalau aku punya salah, Mas." Laila bertanya dengan suara parau. Sekuat tenaga ia menahan agar genangan air di matanya tak tumpah.
Ibram bungkam. Ia tak tega jika harus mengatakan kenyataannya pada Laila.
Selama ini Laila cukup baik saat berperan sebagai istrinya. Namun, ia rasanya tak mampu meneruskan pernikahan mereka karena cintanya tak lagi untuk wanita itu.
"Apa ada perempuan lain, Mas?" tanya Laila pelan, karena suaminya hanya membisu.
Ibram tersentak mendapatkan pertanyaan itu. Haruskah ia jujur pada Laila?
Melihat gelagat suaminya, Laila tahu jika tebakannya tepat. Sungguh, hatinya benar-benar sakit mendapati jika selama ini ternyata ia telah diduakan dan sekarang suaminya akan meninggalkannya demi wanita lain. Ibram bahkan tak berpikir jika kurang dari dua bulan lagi buah hati yang selama tujuh tahun ini mereka nantikan, akan segera hadir ke dunia.
"Pembicaraan ini, apa bisa kita lanjutkan besok, Mas? Ini terlalu mendadak, aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa," ujar Laila dengan tatapan pilu.
Ibram mengangguk. Ia tahu ini pasti tak mudah untuk istrinya.
"Kalau Mas Ibram mau makan, bisa langsung ambil saja di dapur. Tadi sudah aku hangatkan," ujar Laila mencoba tegar. "Aku mau istirahat dulu, ya, Mas. Kepalaku tiba-tiba pusing."
Lagi-lagi Ibram hanya mengangguk. Bahkan, saat dirinya telah menyakiti hati sang istri, wanita itu masih sempat-sempatnya memikirkan tentang makan malamnya. Terlalu jahatkah dia memperlakukan Laila?
Tanpa kata lagi, Laila segera mengambil posisi untuk merebahkan tubuh di atas peraduan. Ia meninggalkan Ibram yang masih duduk diam di bibir ranjang.
Tak lama, Ibram beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar. Ia memilih meninggalkan Laila supaya wanita itu bisa menenangkan diri.
Setelah Ibram tak ada lagi di dekatnya, Laila menumpahkan tangis yang sejak tadi ia tahan. Ia membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tak terdengar orang lain. Dadanya terasa sesak sekali. Kenapa Ibram begitu tega padanya?
Laila benar-benar bingung menghadapi masalah ini. Jika mereka berpisah, apa yang harus ia katakan pada keluarganya? Terlebih, ayahnya memiliki riwayat sakit jantung. Laila takut kabar buruk yang akan ia bawa bisa mempengaruhi kesehatan sang ayah.
Laila kemudian mengusap lembut perutnya, memikirkan bagaimana nasib buah hatinya nanti. Anaknya bahkan belum lahir, tapi ayahnya justru hendak menghadiahinya dengan sebuah perceraian.
Cukup lama Laila menangis di dalam kamar luas itu. Hingga akhirnya wanita hamil itu sadar, tangisannya tak akan menyelesaikan apa pun.
Dengan langkah lemah, Laila beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar itu. Ia mengambil wudu, kemudian menggelar sajadah di sisi tempat tidurnya. Selayaknya muslim pada umumnya, ketika masalah besar tengah menimpanya, Laila hanya bisa menjadikan sholat dan sabar sebagai penolongnya. Ia meminta pertolongan pada Yang Maha Kuasa atas masalah yang telah membuat hatinya hancur.
Dengan khusyuk, Laila menyerahkan diri pada Tuhannya. Wanita malang itu mendirikan salatnya dengan air mata yang terus mengalir di pipi.
"Allah, aku hanyalah hamba-Mu yang lemah. Bahkan, hanya mendengar kalimat menyakitkan dari makhluk-Mu pun hatiku sudah hancur berkeping-keping seperti ini. Dengan segala kelemahan hamba, hamba meminta pertolongan-Mu, Ya Allah. Selamatkanlah pernikahan hamba. Pupuklah kembali rasa cinta di hati suami hamba, hingga kelak kami tetap bersama hingga ke surga-Mu." Di titik terlemahnya, Laila berusah mengetuk pintu langit dan membisikan pintanya pada Yang Maha Kuasa.
Laila tahu, Ibram adalah laki-laki yang memiliki pendirian teguh. Apa yang diinginkannya sangat sulit untuk dilarang. Maka dari itu, karena Laila yakin tidak akan bisa mengubah keputusan Ibram agar tidak menceraikannya, ia pun meminta pertolongan pada Tuhannya. Jika ia tak bisa mengembalikan cinta Ibram hanya untuk dirinya, ia punya Allah yang bisa membolak-balik hati suaminya. Laila percaya, hanya Tuhannyalah sebaik-baik penolong.
Bersambung..Bab 3Pagi ini, ruang makan terasa mencekam layaknya pemakaman. Tidak ada obrolan di sela sarapan, tidak pula canda tawa yang biasanya tercipta. Kehangatan sepasang suami istri itu sirna dalam sekejap karena pernyataan sang suami tadi malam yang menginginkan perpisahan. "Mau tambah makannya, Mas?" Laila bertanya ketika melihat piring Ibram telah tandas. Sementara Laila sendiri, isi piringnya bahkan belum habis setengahnya. Ia rasanya kehilangan selera makan karena masalah yang tengah menimpa rumah tangganya. "Apa sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan yang tadi malam?" ujar Ibram serius, tanpa menggubris ucapan Laila sebelumnya.Laila terdiam, kemudian ia meletakan sendok yang dipegangnya begitu saja. Wanita itu menghala napas pelan, kemudian menatap suaminya dengan tanpa gentar. Sepertinya memang laki-laki di depannya ini sudah tidak sabar untuk melepaskan ikatan pernikahan yang terjalin di antara mereka agar bisa segera menjalin hubungan baru dengan perempuan lain. "Sebelum
Bab 4 "Assalamualaikum! Laila, Ibu datang ini!"Laila yang sejak tadi hanya berdiam diri di kamar, sedikit terkejut mendengar teriakan yang sudah sangat ia hafal suaranya. Itu Mariana, ibu kandung Ibram. "Wa ‘alaikumsalam, Bu." Cepat-cepat Laila menuju ke depan. Ibu mertuanya memang sering berkunjung ke rumah, karena memang tempat tinggal mertuanya tak terlalu jauh dari rumahnya ini. Saat membuka pintu utama, sosok ibu mertua dan adik Ibram yang bernama Amy sudah berdiri di depan pintu, menyambut Laila dengan senyuman. "Ibu." Laila menyalami tangan Mariana. Kemudian beralih menatap Amy yang berdiri di sisi ibunya. Gadis itu juga terlihat membawa paper bag berwarna coklat di tangan kanannya. "Kamu tidak kerja, My?" tanya Laila pada adik iparnya. "Cuti, Mbak. Mau liburan di rumah dulu," jawab perempuan berusia 22 tahun itu dengan kalem. Gadis muda berjilbab biru dengan motif bunga-bunga itu bekerja sebagai teller di salah satu bank syariah yang ada di kota ini. "Ini ada puding buat
Bab 5Hari berganti dan Laila tetap pada kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaatnya sebagai umat muslim, kini wanita itu tengah menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan. Di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, terdengar juga suara mesin cuci yang sedang berputar. Tujuh tahun menjadi ibu rumah tangga, membuat Laila terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah lebih dari satu secara bersamaan. "Laila, kamu mencuci baju-bajuku?" Ibram bertanya setibanya ia di dapur. Ia baru saja pulang dari masjid dan berencana akan mengumpulkan baju kotornya untuk dibawa ke tempat laundry. Dia bahkan masih menggunakan baju yang biasa ia kenakan ketika ke masjid. Laila menoleh ke arah Ibram, kemudian mengangguk. "Itu masih dicuci, Mas." Ia menunjuk ke arah kamar mandi dengan dagunya. Ibram menghela napas pelan. "Laila, dengar! Mulai sekarang kita hidup masing-masing, oke? Jangan urusi urusanku, dan aku juga tidak akan mengurusi urusanmu. Paham?" Bukan
Bab 6Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan Dokter Devita, Laila seperti orang linglung. Kesedihannya seperti merenggut sisi kewarasan wanita hamil itu. Banyak ketakutan-ketakutan yang ia pikirkan atas perceraiannya dengan Ibram. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya, mengkhawatirkan bagaimana perasaan orang tuanya, dan banyak hal yang kini menyesaki kepalanya. "Mbak! Awas!" Laila tersentak dari lamunannya ketika merasakan sebuah tarikan di tangannya. Saat menoleh ke belakang, Laila menemukan seorang pria—yang terlihat sebaya dengannya—tengah memegang pergelangan tangannya. "Maaf." Laila yang merasa tak nyaman, segera melepaskan cekalan laki-laki itu dari tangannya. "Anda melamun? Anda hampir saja menabrak tembok. Lihat itu!" Laki-laki itu menunjuk ke arah depan Laila dengan pandangan matanya.Laila mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu dan wajahnya langsung memerah ketika melihat tembok dan hidungnya hanya berjarak dua jengkal . Benar-benar memalukan. Bagaimana bisa ia melamun
Bab 7Di kamarnya, Laila merasa begitu gelisah. Wanita hamil itu terlihat mondar-mandir di dekat jendela. Sesekali ia juga menyibak tirai jendela kamarnya untuk melihat apakah Ibram sudah pulang atau belum. Entah apa yang Laila rasakan ini. Hatinya benar-benar resah. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada laki-laki yang menjadi ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu. Berkali-kali Laila menelepon nomor Ibram, tapi laki-laki itu sama sekali tak menjawab teleponnya, meski panggilannya tersambung. "Kamu baik-baik saja, kan, Mas? Kenapa perasaan aku jadi tidak tenang seperti ini?" Laila bergumam sendiri. Tak lupa, Laila juga melangitkan doa agar ayah dari calon anaknya selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.Ketika mulai lelah karena terlalu banyak berdiri, Laila memutuskan untuk mendudukkan diri di bibir ranjang. Rasa cemasnya belum hilang. Ia masih berusaha untuk menghubungi Ibram, tetapi sama saja, panggilannya tak dijawab. Namun, baru hendak meletakan ponselnya di atas nakas,
Bab 8Pagi harinya, Laila bangun kesiangan. Badanya terasa pegal karena ia tertidur dengan posisi duduk, di atas kursi yang keras pula.Saat melihat pada layar ponselnya, ternyata sudah jam lima pagi, yang berarti waktu subuh sudah terlewat sejak setengah jam yang lalu. Buru-buru wanita hamil itu mencari keberadaan mushola rumah sakit untuk melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Setelah melaksanakan sholat subuh yang terlambat itu, Laila duduk terdiam di mushola masih dengan mukena yang membalut tubuhnya.Jujur saja, wanita itu masih mengkhawatirkan keadaan Ibram. Namun, untuk mendatangi kamar rawat laki-laki itu lagi rasanya ia malu. Tadi malam Ibram sudah mengusirnya, ia tak punya keberanian untuk mendatangi laki-laki itu lagi. "Apa sebaiknya aku telepon ibu saja ya?" Laila bergumam sendiri.Selama ini, saat Ibram sakit atau saat di dalam rumah tangga mereka sedang ada masalah, Laila tak pernah menceritakan pada mertua atau orang tuanya. Laila tak pernah mau merepotkan siapa pun at
Bab 9Sekarang, Laila dan keluarga Ibram tengah duduk di ruang tengah, setelah tadi mereka makan siang bersama. Sementara Ibram sendiri memilih istirahat di kamar Laila, mengingat keluarga Ibram belum tahu jika sekarang mereka sudah pisah ranjang. "Musibah ada-ada saja memang ya. Baru saja kita bahagia karena kehamilan Laila, sekarang Ibram malah kecelakaan. Belum tahu itu kakinya yang patah kapan sembuhnya. Membawa perutmu saja sudah berat, ya, La, apalagi sekarang Ibram malah tambah membuat kamu repot." Mariana menatap Laila dengan pandangan sayu. Ia merasa begitu kasihan pada menantunya, karena Ibram tidak akan bisa berjalan dengan normal disebabkan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. "Jangan menyalahkan musibah, Bu. Laila tidak keberatan kok kalau harus merawat Mas Ibram," ujar Laila tulus. Meski sekarang Laila bukan lagi istri Ibram, wanita itu tak keberatan jika harus direpotkan dengan urusan laki-laki itu. Bagi Laila, Ibram hanya pernah sekali berbuat salah, sementara
Bab 10Sepi. Bosan. Dua hal itu terasa sangat menyebalkan bagi Ibram. Ia yang biasanya selalu sibuk di kantor, kini harus berdiam diri di rumah sepanjang hari. Belum lagi Laila yang terasa lama sekali di luar rumah. Padahal, perempuan itu sudah berangkat dari pagi, sementara ini sudah hampir memasuki waktu Ashar. Rasanya tidak mungkin jika memeriksakan kandungan hingga selama ini. Atau mungkin perempuan itu pergi ke suatu tempat terlebih dulu?"Apa Laila juga merasa seperti ini kalau menungguku pulang kerja?" tanya Ibram pada dirinya sendiri. Laki-laki itu membayangkan betapa bosannya menjadi Laila. Wanita itu hanya berdiam diri di rumah, mengurus semua yang ada di rumah ini, dan paling hanya sesekali izin keluar rumah, itu pun untuk urusan belanja atau periksa kandungan seperti hari ini. Waktu kembali bergulir dan Laila belum juga sampai rumah. Ibram mulai khawatir, tapi ia juga segan untuk menghubungi wanita itu. Dengan gelisah, Ibram duduk di kursi yang berada teras rumahnya. Pan