Apa jadinya jika hidup seorang suami dikendalikan oleh sang ibu? Sehingga membuat rumah tangga bersama istrinya hancur begitu saja. Sikap egois ibu mertua, membuat Nabila kehilangan segalanya. Anak, suami, bahkan diusir dari rumah. Ibarat kata, sudah jatuh ditimpa tangga. Lebih kejamnya, Arsya sebagai suami Nabila hanya bisa menurut saja atas segala keinginan ibunya. Tidak ada pembelaan sama sekali untuk Nabila. Namun, setelah terusir dari rumah keluarga suami, Nabila dihadapkan dengan pengalaman yang tidak pernah ia duga, yang mampu membawanya menuju kehidupan yang sangat menarik.
view more“Mas, uang kita yang dua ratus ribu mana?”
“Tadi dipinjam sama ibu.” “Amira panas, Mas. Panasnya sangat tinggi. Kenapa kamu kasih? Mas, tolong minta lagi uang itu sama ibu. Kita harus membawa Amira ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa sama anak kita. Kita tidak punya uang lagi selain uang itu.” Arsya yang tengah meminum kopi, segera berdiri dan mendekati Nabila, istrinya yang tengah menggendong Amira, putri mereka yang baru berusia 2 bulan. “Hanya demam biasa, coba kamu kompres saja Amira, nanti juga dia bakalan sembuh,” imbuh Arsya. Nabila menggeleng pelan, jelas Amira membutuhkan penanganan dokter. Suhu tubuh Amira sudah berada di atas normal. Membuat Nabila bersikeras ingin membawanya ke dokter. “Tidak, Mas, Amira butuh pertolongan dokter. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Pokoknya kamu minta lagi uang itu dari ibu. Aku tidak mau tahu, Amira harus dibawa ke dokter,” sahut Nabila. Arsya kemudian pergi ke dapur, kemudian kembali dengan membawa rantang berisi air dan juga handuk kecil. “Sini, biar aku saja yang urus Amira. Anak hanya demam biasa, kamu malah sibuk ingin aku meminta uang itu lagi. Lagi pula, ibuku lebih membutuhkan uang itu.” Arsya kemudian mengompres dahi Amira dengan kain handuk yang telah dibasahi itu. Bukannya tangisannya mereda, tangisan Amira malah semakin kencang. Wajahnya pun semakin memerah seperti menahan sakit. Nabila kecewa dengan sikap Arsya yang menganggap hal ini sepele. Lantas ia keluar dari kamar, ia mencari ibu mertuanya untuk meminta uang itu kembali. “Bu, apa ada di dalam?” Nabila mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan sama Ibu. Tolong buka pintunya!” Lama Nabila berdiri di depan pintu kamar ibu mertuanya. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka. Setelah memastikan ibu mertuanya tidak ada di kamar, Nabila pun segera keluar untuk mencarinya. Amira yang baru saja mengenakan alas kaki. Ia melihat ibu mertuanya bersama dengan Weni yang menggendong anaknya, istri dari almarhum adik Arsya sedang berjalan sambil menenteng kantong kresek besar berisi 2 kotak susu formula berukuran besar. Tampaknya mereka habis berbelanja dari minimarket. “Bu, maaf kalau aku lancang. Bu, aku mau meminta kembali uang yang Ibu pinjam dari mas Arsya. Amira demam, dia harus secepatnya dibawa ke dokter,” ujar Nabila. “Uang? Kenapa kamu mau memintanya kembali? Lagi pula Ibu hanya meminjam. Nanti juga dibalikin, tapi tidak sekarang. Amira hanya demam, kan? Cukup dikompres saja nanti juga turun panasnya. Sudahlah, Nabila, Ibu capek Ibu habis membeli susu buat Bella. Lagi pula, uang itu Ibu gunakan untuk membeli susu formula,” sahut bu Retno. Nabila terbelalak, ia tidak menyangka jika ibu mertuanya tega berbicara seperti itu. Situasi genting seperti ini, dia masih saja bersikap pilih kasih. Padahal, Amira juga adalah cucu kandungnya. Namun, kasih sayang bu Retno lebih condong terhadap Bella. “Bu, asi Weni lancar, tidak perlu membeli susu formula. Kenapa Ibu dan Weni selalu memaksakan kehendak jika keuangan kita sedang tidak baik-baik saja?” Nabila sungguh tidak habis pikir. Di mana pikiran keluarga itu? Sehingga mereka abai saat salah satu anggota keluarganya tengah menahan sakit. Bu Retno tidak ingin perdebatan ini semakin ke mana-mana. Ia pun segera masuk menyusul Weni ke dalam rumah. Tangisan Amira semakin menjadi. Hal itu membuat Nabila semakin khawatir. Lantas ia segera berlari ke dalam kamarnya. Ia melihat Amira dibaringkan di atas kasur. Namun, Arsya dengan santainya ia tertidur pulas di samping Amira, tanpa terganggu sedikit pun oleh tangisan Amira. “Bangun, Mas. Kita harus membawa Amira ke dokter. Kita tidak bisa diam saja seperti ini. Kamu sebagai Ayah, jangan santai seperti ini. Kita pinjam uang ke tetangga atau siapa saja. Yang penting anak kita harus mendapatkan penanganan dari dokter,” ujar Nabila, ia mengguncang-guncang tubuh Arsya, supaya suaminya itu lekas bangun. “Aku ngantuk, Nabila. Sudah, kamu jangan terlalu berlebihan seperti ini. Bayi seumuran Amira memang biasa seperti ini. Kamu jangan membuat aku pusing dengan semua ocehanmu. Sekarang, sebaiknya kamu kompres lagi Amira. Aku mau tidur,” sahut Arsya. Ingin marah, rasanya percuma. Arsya seakan menganggap penyakit yang diderita Amira adalah hal biasa. Nabila pun segera menggendong Amira, kemudian membawanya keluar. Ia akan membawa Amira ke dokter, masalah biaya, ia akan meminjam kepada tetangga. “Kamu yang sabar ya, Nak. Ibu akan membawa kamu ke dokter. Kamu harus kuat,” gumam Nabila, setengah berlari ia terus berjalan ke jalan raya menuju sebuah klinik. Nabila kemudian menyetop angkutan kota, untuk mempersingkat waktu. Sementara Amira tidak hentinya menangis. Sesampainya di depan klinik, Nabila turun tergesa-gesa dari mobil. Beruntung Amira mulai tenang dan tidak menangis lagi, bahkan kini Amira tertidur begitu nyenyak. “Alhamdulillah … kamu sudah tenang, Sayang. Sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita ketemu bu dokter dulu di dalam, ya!” gumam Nabila mengajak bicara bayinya itu. “Bu, apakah demamnya sudah lama?” tanya dokter yang menangani Amira. Dokter itu tengah memeriksa detak jantung Amira. “Dari tadi pagi, Dok. Dia rewel terus dan suhu tubuhnya sangat panas. Tolong anak saya, Dok. Tolong sembuhkan anak saya,” jawab Nabila. Dokter wanita muda berhijab abu-abu itu tampak menghembuskan napas kasar. Kemudian menepuk pelan bahu Nabila. Membuat Nabila bingung dengan sikap dokter itu. “Ibu yang sabar, ya. Anak Ibu sudah berpulang,” ucap dokter. Nabila menautkan kedua alisnya, tidak mengerti dengan ucapan dokter barusan. “Ma-maksud Dokter apa? Anak saya tidak apa-apa kan, Dok? Dia hanya demam biasa, kan, dan dia bisa sembuh?” tanya Nabila. Sayangnya dokter itu menggelengkan kepalanya. Membuat Nabila terhenyak, wajahnya menyiratkan tidak percaya. “Mohon maaf, Bu. Anak Ibu tidak selamat. Anak Ibu telat mendapat penanganan,” jawab dokter. Deg! Dunia Nabila seakan berhenti. Nabila menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap wajah putrinya yang sudah tidak bernapas lagi. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipinya. “Tidak, tidak mungkin anak saya meninggal, Dok. Anak saya masih hidup. Katakan, anak saya masih hidup kan, Dok? Dia masih bernapas, kan?” Nabila memeluk tubuh Amira dengan tangisan pecah memenuhi ruangan. Ditatap wajah putrinya, wajah yang tidak berdosa itu harus kehilangan nyawa secepat itu. Seketika ia teringat akan suami, mertua dan iparnya. Tangannya refleks mengepal kuat. Merasa sudah tidak ada harapan lagi, Nabila memutuskan untuk pulang sambil kembali menggendong anaknya. Kini, dunia Nabila seakan berhenti berputar. Semua harapan hancur saat anaknya dinyatakan meninggal dunia. “Tega kalian semua, anakku mati gara-gara kalian!” gumam Nabila, sambil terus berjalan dengan air mata yang terus mengalir tak mau berhenti. Nabila menjadi pusat perhatian orang-orang saat ia berjalan. Hingga ia memutuskan menaiki ojek. Sampai di depan rumah, Nabila turun dan kembali berjalan hendak masuk. Tampak banyak sandal yang berada di depan teras, membuat Nabila heran ada apa di rumah mertuanya itu?Tatapan Laksmi lurus menatap seseorang yang tidak lain adalah Mona. Begitu pun dengan Mona, ia terpaku saat melihat Laksmi ada di tempat Gala. Namun, sebuah tepukan kecil berhasil membuatnya tersadar dari lamunannya.“Kenapa bengong? Ayok, pulang!” ajak Bayu.Laksmi kemudian melanjutkan langkahnya. Saat berpapasan dengan Mona, mereka tampak saling melirik sekilas. Setelah itu Laksmi pun keluar dari gerbang rumah Gala.Mona menatap kepergian Laksmi. Ia begitu syok melihat wanita itu. Tidak disangka setelah sekian lama, kini mereka dipertemukan lagi tanpa disengaja.“Mama kenapa, sih, kok bengong? Mama kenal sama dia?” tanya Akbar.Mona menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Lantas ia melajukan kembali langkahnya ke dalam rumah Gala. Di dalam sana, Mona langsung mendekati keluarga Gala.“Jeng Mona, kok nggak ngabarin kalau mau ke sini?” tanya Erina, ia langsung menyambut kedatangan Mona dan suaminya.Mona berdiri mematung, menatap tajam ke arah Gala dan juga Nabila yang masih mengenakan pak
Hari-H pernikahan, Gala dan Nabila telah duduk di hadapan penghulu. Serta kehadiran seluruh keluarga inti yang menjadi saksi pernikahan sederhana mereka.Dengan balutan kebaya milik Oma Nira, Nabila tampil anggun dan mempesona. Hal itu membuat Gala semakin tertarik pada wanita itu.“Sudah siap, Mas Gala?” tanya penghulu.“Siap, Pak. Kita mulai saja sekarang,” jawab Gala.Penghulu pun segera menuntun Gala untuk mengucapkan ijab qabul.“Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Putri binti Hari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu.“Sah!”Dalam satu kali tarikan napas, akhirnya Gala telah berhasil mempersunting Nabila sebagai istri.Suasana haru menyelimuti ruangan itu. Di mana dua sejoli yang saling jatuh cinta tanpa melewati masa hubungan pacaran, telah sah menjadi pasangan suami istri.Nabila mengecup tangan Gala, setelah Gala menyempatkan cincin di jari manis Nabila.“Baiklah, sepertinya tugasku menyaksikan pernikahan kalian sudah selesai
“Kenapa harus menikah sederhana? Gala kan orang kaya, banyak sekali uang, kenapa nggak menggelar pesta saja sekalian yang mewah dan ngundang artis terkenal? Aneh kamu, Nabila. Bukannya menggelar pesta, tapi malah memilih sederhana. Gini nih, didikan ibumu selalu saja kampungan. Kelakuan kamu persis sekali dengan ibumu,” cetus Laksmi.Nabila menunduk mendengar hinaan Laksmi terhadap ibunya. Ingin marah, akan tetapi Nabila tidak mungkin melakukannya. Ia tidak enak terhadap Gala.“Laksmi sebaiknya kamu diam saja! Jangan buat aku malu. Salah aku sudah menyetujui permintaan kamu untuk datang ke sini. Kasihan Nabila, hargai keputusannya,” ujar Bayu.“Hehhh … diam saja kamu, Mas! Aku tidak butuh pendapat kamu!” sahut Laksmi, menatap tajam ke ayah suaminya.Nabila menghela napas kasar. Ia merasa tidak enak terhadap Gala, karena sikap Laksmi yang seperti itu.“Maaf, Tante, tapi saya sangat menghargai keinginan Nabila. Lagi pula, ada benarnya keinginan Nabila. Yang penting kan sah, tanpa harus
Beberapa hari kemudian “Gala, coba kamu pikirkan lagi tentang niatan kamu itu. Kamu terlalu terburu-buru dalam memutuskan pernikahan ini. Kamu belum tahu siapa Nabila, kamu juga belum tahu sifat asli Nabila seperti apa. Mami sayang sama kamu, Gala. Mami ingin yang terbaik untuk kamu dan Sandi,” ujar Erina, ketika Gala tengah sibuk menatap layar laptop, mengerjakan tugas dari kantor di taman belakang.“Mam, aku tahu apa yang terbaik buat aku dan Sandi. Mami jangan melihat Nabila dengan sebelah mata saja. Coba Mami mengenal Nabila lebih dekat. Nabila wanita baik, dia sangat menyayangi Sandi. Sifat lembut Nabila, sifat keibuannya, keluguannya, kesabaran yang dia miliki, itu yang membuat aku jatuh cinta kepadanya. Mami harusnya belajar untuk menerima apa yang menjadi pilihan aku. Pliss, Mam, dukung keinginan aku. Aku hanya ingin hidupku tenang dan bahagia. Apakah Mami mau, aku terus menerus terpuruk atas meninggalnya Delima? Apa Mami mau aku terus menjalani hidup sendiri tanpa pendamping
“Ck, nggak nyaman sekali tidur di lantai. Kenapa, sih, aku harus mengalami dipenjara?” gerutu Weni, saat dirinya terpaksa tidur di atas lantai.Weni berguling ke sana kemari. Tidak ada rasa nyaman sedikit pun walau pun beberapa kali ia merubah posisi tidurnya.“Aaargh! Sial, kenapa bisa begini?” Weni pun beberapa kali menepuk jidat, tangan serta kakinya, saat nyamuk menghinggapi kulitnya.“Berisik, woy! Bisa diam, nggak?” sentak penghuni sel yang lain.Weni melirik tajam ke arah wanita yang baru saja menegurnya. Lantas ia mencoba memejamkan matanya. Namun, tetap saja ia tidak bisa tidur nyenyak. Selain dingin, di sana juga banyak nyamuk.Bu Retno hanya terdiam sambil membelakangi Weni. Tampak ia tidak peduli lagi terhadap menantunya itu.“Bu, pinjam kaos kakinya, dong!” pinta Weni.Bu Retno hanya menoleh sebentar saja, setelah itu ia lanjut tidur membelakangi.Weni yang merasa tidak dipedulikan lagi oleh bu Retno, kesal dan marah terhadap wanita tua itu.“Bu, kok Ibu malah diam saja,
“Apa? Menikah?”Dari pintu utama, Ello muncul dan mendengar niatan Gala. Ello berjalan cepat mendekat ke arah Gala, lalu menarik kerah baju yang dikenakan oleh Gala. Sehingga Gala terpaksa berdiri, dan tubuhnya setengah terangkat.“Apa maksud kamu menikah? Ingat, Nabila calon istriku. Seharusnya kemarin aku dan Nabila sudah sah menjadi suami istri. Tapi kenapa tiba-tiba kamu mau menikahi Nabila? Kamu anggap apa kakakmu ini?!” sentak Ello.Faisal berusaha melerai Ello dan Gala. Khawatir akan ada keributan besar antara kakak beradik itu.“Sudah, Ello, kita bicarakan dulu masalah ini dengan kepala dingin. Papi juga ingin mendengar penjelasan dari Gala, kenapa dia tiba-tiba ingin menikahi Nabila?” timpal Faisal.Nabila ketakutan, amarah Ello tampak kian memuncak. Namun, tidak dengan Gala, seakan tidak ada ketakutan sama sekali dari sorot matanya.“Kenapa? Cemburu? Gue memang mau menikahi Nabila, kenapa? Mau marah?” tanya Gala.“Aaa, Mas Gala!” teriak Nabila, saat pukulan keras dari tangan
Selepas keinginan Gala telah tercapai, Gala mengajak Nabila untuk pulang ke rumahnya.“Mas, apa tindakan Mas tadi ke mbak Nadin, apakah tidak akan menimbulkan masalah lain? Aku takut loh, Mas!” ujar Nabila, saat mereka berdua telah berada di dalam mobil.“Takut? Kenapa mesti takut? Seharusnya Nadin yang takut, karena telah berani bermain-main dengan kamu. Itu sama saja artinya dia telah bermain-main denganku, Nabila, kamu harus yakin, selama ada aku di dekat kamu, tidak akan terjadi apa-apa,” sahut Gala.Perjalanan yang jauh, membuat Nabila merasa lelah dan ngantuk. Gala yang menyadari itu, lantas menyuruh Nabila untuk segera tidur.“Tidur saja tidak apa-apa. Nanti setelah kita sampai, aku bangunin kamu,” ujar Gala.Nabila mengangguk, ia kemudian merubah sedikit posisi jok mobilnya menjadi posisi setengah rebahan.Gala tersenyum melihat Nabila yang nurut. Lamanya di perjalanan, akhirnya Gala telah sampai di depan gerbang rumahnya. Satpam yang berjaga, melihat mobil Gala tiba, segera
“Mas, aku … aku tunggu di dalam mobil saja, ya!” ujar Nabila, saat ia dan Gala telah sampai di halaman rumah Nadin.Gala menoleh ke arah Nabila, memberikan pengertian bahwa semua akan baik-baik saja.“Tidak apa-apa, kita turun sama-sama. Aku yang akan memberikan pelajaran untuk Nadin. Jangan buat aku kecewa, Nadin harus meminta maaf dan mencium kaki kamu,” sahut Gala.Gala keluar dari mobil, menutup pintunya lalu berputar menghampiri pintu mobil di samping Nabila dan membukakannya.“Ayok turun, tidak usah takut selama ada aku,” ajak Gala, mengulurkan tangannya.Nabila yang ragu, menatap Gala yang terus meyakinkannya.“Ayok, Sayang. Tidak apa-apa,” ajak Gala.Nabila menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian menerima uluran tangan Gala.Dengan silih bergandengan tangan, Gala dan Nabila menunggu seseorang membukakan pintu setelah Gala menekan bel.Tidak berselang lama, ART di rumah itu membukakan pintu dan menyambut kedatangan Gala.“Eh, ternyata Pak Gala. Mari masuk,
“Ada apa ini, Weni? Kenapa ada polisi di sini?” tanya Arsya, ia melangkah mendekati Weni dan beberapa polisi itu.Weni dan beberapa polisi itu menoleh ke arah Arsya. Salah satu polisi mendekati Arsya, kemudian menjelaskan perihal kedatangan mereka ke rumah Arsya.“Mohon maaf, apakah Anda suami dari Ibu Weni ini?” tanya polisi, yang disambut oleh anggukan kepala Arsya.“Iya, saya suami Weni. Ini ada apa, ya, kok kalian bisa datang ke rumah saya? Kami merasa tidak ada masalah apa-apa,” jawab Arsya.“Jadi begini, Pak. Ibu Weni ini, terdeteksi telah membeli mobil curian. Seseorang telah melaporkan kasus kehilangan mobil yang ada di depan rumah ini, dan kami telah mengerahkan tim kami, untuk mencari tahu keberadaan mobil itu. Setelah diusut, ternyata mobil itu ada di sini. Tim kami menemukan postingan foto-foto mobil itu, dari sumber akun media sosial milik Ibu Weni. Mohon maaf, Pak, kami harus membawa Ibu Weni ke kantor polisi, untuk dimintai keterangan, karena Ibu Weni ini telah menjadi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments