“Ada apa ini?” tanya Nabila, saat melihat banyak orang tengah makan-makan.
Ada banyak makanan siap saji di rumah itu. Ada juga kue ulang tahun yang tidak terlalu besar berada di atas meja. “Eh, Mbak Nabila sudah pulang. Ini ada teman-teman aku datang ngucapin selamat karena aku ulang tahun. Aku saja baru ingat kalau hari ini aku ulang tahun. Jadi, tidak ada persiapan sama sekali untuk menjamu mereka. Jadi Mas Arsya dan ibu membeli semua makanan siap saji ini,” jawab Weni. Nabila terbelalak, ia heran atas sikap Arsya. Yang katanya keuangan sedang tidak baik-baik saja. Namun, ia masih bisa membeli makanan banyak untuk menjamu teman-teman Weni. “Mana mas Arsya dan ibu?” tanya Nabila, ia tampak menahan emosi yang hampir meledak. “Ibu ada di belakang dan mas Arsya sepertinya ada di kamarnya,” jawab Weni. Nabila kemudian berjalan cepat menuju kamarnya. Brak! Nabila membanting pintu kamarnya, membuat semua tamu Weni terkejut. Bahkan bu Retno pun yang berada di belakang, mendengarnya dan berlari ke arah kamar Nabila. “Apa-apaan ini, Nabila? Kenapa kamu membanting pintu kamar? Lihat, di sini sedang banyak tamu. Kamu sangat tidak sopan, Nabila!” tegur bu Retno. Arsya pun keluar dari kamarnya, kemudian menghampiri Nabila dengan tatapan heran. “Kamu kenapa pakai acara banting-banting pintu segala? Aku sampai kaget mendengarnya,” ujar Arsya. Nabila merasa geram kepada mereka. Bahkan dari mereka, tak satu pun menanyakan dari mana Nabila, dan bagaimana keadaan Amira. Seolah nyawa Amira tidak ada artinya bagi mereka. “Kalian tanya kenapa aku banting-banting pintu? Kalian pikir sendiri, pikir pakai otak kalian. Aku memohon-mohon kepada kamu, Mas, untuk membawa Amira ke dokter. Dan aku meminta Ibu mengembalikan uangku, untuk biaya Amira ke dokter, tapi kalian tidak ada satu pun peduli terhadap Amira. Kalian mengabaikan kesehatan anakku, seolah dia bukan keluarga kalian. Lihat anak ini! Lihat dia, anakku mati karena kelalaian kalian! Anakku menghembuskan nafas terakhir, tapi kalian malah enak-enakan merayakan ulang tahun Weni. Di mana otak kalian semua, hah?” bentak Nabila, ia telah habis kesabaran. Arsya dan Bu Retno, begitu pun dengan Weni terkejut mendengar kabar Amira meninggal. Bahkan tamu Weni pun tampak tak enak mendengar pertengkaran di rumah itu. “Meninggal? Maksud kamu, Amira meninggal?” tanya Arsya, ia tampak syok. “Ya, dan ini semua gara-gara kalian. Aku sudah meminta Amira untuk dibawa ke dokter. Tapi apa? Kalian justru egois. Ibu lebih mementingkan membeli susu formula untuk Bella. Padahal, yang lebih membutuhkan uang itu adalah Amira. Dan sekarang, kalian merayakan ulang tahun Weni, padahal yang aku tahu, keuangan kita sedang tidak baik-baik saja,” jawab Nabila. Arsya terduduk di lantai, ia tidak menyangka jika umur anaknya sangat pendek. “Maaf, Nabila. Aku membeli semua ini hasil dari meminjam dari teman kerjaku. Keuangan kita memang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku tidak enak dengan tamu-tamu Weni. Jadi, terpaksa aku mencari pinjaman,” ucap Arsya. Darah Nabila seakan mendidih. Bahkan Arsya pun lebih mementingkan Weni dari pada dirinya. Manusia macam apa Arsya, sehingga tidak bisa menghargai seorang istri, yang baru saja memperjuangkan hidup anaknya. Satu persatu teman-teman Weni pulang. Namun, warga yang mendengar tangisan Nabila yang begitu menggema, berbondong-bondong masuk ke dalam rumah bu Retno. **** Prosesi pemakaman Amira telah selesai dilangsungkan. Nabila duduk di samping makam Amira dengan air mata yang terus-menerus keluar dari matanya. Pada saat malam hari, Nabila hanya bisa meratapi nasib kehilangan anaknya. Ia duduk seorang diri di depan jendela, menatap langit malam yang sama sekali tidak menampakkan bintang satu pun. Tampaknya langit pun ikut bersedih. Pintu pun terbuka, bu Retno masuk dengan menggendong Bella yang sedang menghisap empeng. “Sudahlah, Nabila. Kematian Amira adalah takdir. Lagi pula, masih ada Bella kalau kamu masih mau mengurus anak,” ujar bu Retno. Nabila melirik tajam ke arah bu Retno. Ia tidak semangat untuk mengobrol. “Kenapa lihatnya seperti itu? Hei, jangan terus menerus menyalahkan Ibu, ya. Dalam hal ini, kamu juga ikut bersalah. Kamu sebagai Ibunya Amira, tapi kamu tidak becus menjaga anakmu dengan baik,” celetuk bu Retno. Mata Nabila membeliak, mendengar ucapan mertuanya barusan. Bisa-bisanya ibu mertuanya menyalahkan Nabila. Namun, dirinya sendiri tidak ingin disalahkan. “Loh, kok Ibu malah nyalahin aku. Aku sudah berusaha yang terbaik untuk kesembuhan anakku. Justru kalian yang lalai. Giliran ulang tahun Weni saja, kalian pentingkan. Ingat, Bu, Amira juga cucu kandung Ibu, bukan hanya Bella,” sanggah Nabila. “Jelas kamu salah, Nabila. Kalau kamu Ibu yang baik, tidak mungkin anak kamu sampai sakit seperti tadi. Jangan bisanya nyalahin mertua dan suami kamu. Mana kami tahu kalau umur Amira pendek. Justru kamu sendiri yang harusnya ngaca. Lagi pula, Weni adalah istri mendiang Arka. Arka mengamanahkan mereka untuk kami urus dan bahagiakan. Apalagi Bella, dia anak yatim. Besar pahalanya jika kita menyayanginya dan mengurusnya,” sahut bu Retno menceramahi. Nabila menghembuskan napas kasar. Bisa-bisa ia gila terus menerus berada di keluarga itu. Jika saja ada pilihan untuk pindah dari rumah itu, sudah pasti Nabila akan memilih pindah. Hanya saja, Arsya tidak mau pindah dari rumah itu. Apalagi bu Retno memang melarangnya untuk pindah. Bu Retno kemudian keluar dari kamar Nabila. Nabila mengacak rambutnya dengan kasar. “Aw! Sakit sekali,” pekik Nabila tiba-tiba. Asinya merembes keluar dan membasahi baju yang ia pakai. Nabila segera memompa asinya, untuk mengurangi rasa sakitnya. Tak berselang lama, Arsya masuk ke dalam kamar. Ia melihat apa yang dilakukan oleh istrinya. Dari belakang, Arsya memeluk tubuh Nabila. Nabila mengerti, apa yang diinginkan oleh suaminya itu. Namun, haruskah ia mengabulkan keinginan suaminya, sementara hatinya masih sakit karena ditinggal oleh Amira? “Mas, jangan dulu, ya. Aku masih berkabung kehilangan Amira. Aku belum ada keinginan untuk itu. Tunggu sampai sedihku hilang. Aku harap kamu mengerti,” ucap Nabila berusaha menolak. Arsya mendengus kesal, ia tidak mengindahkan permintaan Nabila. “Berdosa jika kamu menolak ajakan suami,” sahut Arsya. Nabila terdiam, kesal dengan sikap Arsya yang seolah-olah tidak merasa kehilangan Amira sama sekali dan hanya mementingkan keinginannya semata. Arsya mulai melakukan apa yang ia inginkan. Nabila hanya bisa pasrah walau pun sebenarnya masih ada rasa marah terhadap suaminya itu. Nabila memejamkan mata, berusaha sabar dengan apa yang dihadapinya. Brak! Brak! Brak! Baru juga hendak memulai, terdengar suara pintu digedor dari luar. “Arsya, tolong … tolong kami, Arsya!” teriak bu Retno dari luar kamar. Arsya dan Nabila yang sudah tidak mengenakan sehelai benang pun, dengan cepat mereka kembali memakai baju. Lantas Arsya segera membuka pintu, dan terlihat bu Retno tengah menangis di ambang pintu.“Ada apa, Bu? Kenapa Ibu nangis?” tanya Arsya.Bu Retno menunjuk-nunjuk kamar Weni. Kemudian menarik tangan Arsya, membawanya masuk ke dalam kamar Weni.Nabila begitu bingung, apa sebenarnya yang terjadi? Lantas ia pun segera mengikuti mereka masuk ke dalam kamar Weni. Terlihat pula Weni tengah sibuk menggendong Bella.“Bella nangis terus, Arsya. Suhu tubuhnya sampai panas begini. Ayok kita bawa dia ke dokter. Ibu takut terjadi apa-apa dengan Bella. Sudah cukup Ibu kehilangan Arka, Ibu tidak ingin kehilangan Bella juga,” ajak bu Retno.Nabila menatap tajam ke arah bu Retno. Melihatnya begitu khawatir terhadap Bella. Sedangkan kepada Amira, bu Retno seakan tutup mata hingga akhirnya Amira menghembuskan napas terakhir.Nabila tidak mempermasalahkan Bella untuk dibawa ke dokter. Nabila juga menyayangi Bella. Namun, sikap mereka yang pilih kasih, membuatnya sakit hati. Semuanya untuk Weni dan Bella. Hingga nafkah Arsya yang seharusnya sepenuhnya menjadi miliknya, Nabila harus membaginya k
Nabila yang baru saja sampai di depan pintu kamar, harus mendengar ucapan yang begitu menyakitkan dari mulut mertuanya.Nabila membuka pintu itu cukup kencang, membuat mereka terkejut dan menatap tajam ke arahnya.“Nabila, kebiasaan sekali kamu, ya. Kalau buka pintu itu pelan-pelan. Untung Bella tidak terbangun gara-gara kamu,” ujar bu Retno terlihat kesal.Nabila bergegas masuk ke dalam kamar. Ia mendekati mereka dengan perasaan sakit hati.“Apa maksud Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni? Apa Ibu kurang puas menyakitiku?” tanya Nabila.Bu Retno gelagapan begitu juga dengan Arsya. Sementara Weni, ia hanya terdiam di dekat ranjang anaknya.“Kamu ngomong apa, sih, nggak jelas sekali?” sanggah bu Retno.“Aku tidak tuli, Bu. Aku dengar semuanya, Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni. Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega menyakitiku?” tanya Nabila.“Ibu hanya ingin menjalankan amanah saja. Mereka itu peninggalan Arka. Arka ingin kita membahagiakan mereka. Dengan cara menikahi Weni, mungkin Be
Nabila yang penasaran, menempelkan sebelah telinganya pada daun pintu. Matanya terbelalak, napasnya tiba-tiba memburu.Nabila sangat hafal dengan suara itu. Jelas itu suara Weni. Namun, yang membuat Nabila tak habis pikir, suara pria yang ada di dalam kamar itu, sama persis dengan suara Arsya.Semakin didengarkan, semakin yakin Nabila dengan kecurigaannya. Nabila ingin melihat sendiri apakah kecurigaannya benar? Jika iya, sangat keterlaluan mereka.Nabila memutar pelan kenop pintu itu. Namun, sayangnya pintu dikunci dari dalam.Semakin jelas terdengar suara rintihan itu. Semakin sesak dada Nabila. Mereka begitu menikmati apa yang mereka lakukan. Sebagai wanita dewasa yang telah menikah, tentu Nabila mengerti apa yang mereka lakukan saat ini.Nabila melangkah mundur, dengan kepala menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipi. Langkah mundurnya berhenti, saat matanya menangkap suatu benda di sudut ruangan itu.Nabila mendekati meja bundar kecil tempat meny
“Mas Rocky mau apa?” tanya Nabila, ia berdiri di ambang pintu, menatap Rocky yang masuk ke dalam kamarnya.Rocky menatap Nabila dengan sebelah alis yang terangkat. Ia kemudian menyimpan satu buah tas bedcover dan menyimpannya di atas tempat tidur.“Maaf, Nabila, jangan salah paham dulu. Aku ke sini cuma mau memberikan ini sama kamu, Nadya yang nyuruh. Nadya sangat mengantuk jadi dia nyuruh aku,” jawab Rocky.Nabila terdiam. Namun, ia kemudian menganggukkan kepala, setelah melihat Rocky membawakan sprei, selimut dan sarung bantal untuknya.“Aku disuruh Nadya supaya memberikan sprei, sarung bantal dan selimut ini sama kamu, karena sprei, selimut dan bantal yang itu belum diganti. Takutnya kotor dan kamu gatal-gatal,” jelas Rocky.Mendengar penjelasan Rocky, membuat Nabila merasa malu sendiri. Bisa-bisanya ia berpikir buruk tentang suami temannya itu.“Em … aku minta maaf, Mas. Aku tidak bermaksud-”“Tidak apa-apa, sebaiknya kamu segera ganti spreinya sebelum kamu tidur. Aku juga mau bal
“Hai, Mbak! Kenapa nggak masuk?” tanya Weni, ia berada di dalam angkutan kota itu.Nabila menghembuskan napas kasar, lalu segera menaiki angkutan kota itu. Walau pun ia merasa malas jika harus berhadapan lagi dengan Weni. Namun, tak ada pilihan lain. Nabila ingin cepat mencari pekerjaan dan tidak mau berlama-lama berdiam diri di rumah Nadya.Nabila duduk di seberang Weni. Penumpang dalam angkutan kota itu hanya ada mereka berdua saja. Jadi, Nabila sengaja duduk di seberang Weni karena tak ingin berdekatan dengan wanita yang telah merebut suaminya itu.“Mau ke mana, Mbak?” tanya Weni.“Bukan urusan kamu, kita sudah bukan siapa-siapa,” jawab Nabila.Weni yang sedari tadi menenteng rantang berisi makanan, tersenyum dan terus menatap Nabila.“Kenapa, Mbak? Masih sakit hati karena aku yang berhasil menjadi istri satu-satunya mas Arsya?” bisik Weni mendekatkan wajahnya ke arah Nabila.Nabila terbelalak, ia menatap tajam ke arah Weni.“Aku? sakit hati? Kamu merasa menang menjadi istri satu-s
Nabila menatap baju yang diberikan Terry. Kedua alisnya saling bertaut, kemudian menoleh ke arah Terry.“Maaf, Terry. Ini bajunya sepertinya kekecilan dan terlalu terbuka di badan aku. Adakah baju yang agak besar dan tertutup?” tanya Nabila.“Di sini tidak ada baju seperti yang kamu inginkan. Sudah, kamu tidak perlu banyak berpikir. Kamu pakai saja baju ini, ini baju sangat bagus. Apalagi kamu yang pakai, cocok dengan tubuh dan warna kulit kamu. Ayok cepat pakai bajunya. Jangan sampai membuat tamu kita menunggu lama dan kecewa,” jawab Terry.Nabila masih terdiam sambil menatap baju tersebut. Ia tidak pernah mengenakan baju yang sangat minim bahan seperti itu. Selain risih, ia berpikir mungkin jika dipakai akan terasa tidak nyaman.“Em … Terry, aku kan di sini mau jadi asisten rumah tangga. Yang aku tahu, asisten rumah tangga itu penampilannya bukan seperti ini,” ujar Nabila.Terry mendelik ke atas, ia sempat geleng-geleng kepala mendengar Nabila yang terus menerus berbicara.“Kamu pak
Nabila terkejut setelah membaca surat dari Rena tersebut. Tak menyangka, jika ternyata dirinya dijebak oleh orang-orang jahat yang mau memanfaatkan kepolosannya. Pantas saja, pakaian yang diberikan Terry sangat minim bahan. Ternyata pekerjaan yang mereka berikan, adalah pekerjaan tidak baik.“Aku harus bisa keluar dari sini. Aku tidak mau menjadi budak penghasil uang untuk mereka.” Nabila menatap sekeliling kamar mandi itu.Hanya ada jendela jika Nabila ingin kabur dari kamar mandi itu. Namun, sayangnya jendela itu cukup tinggi untuk Nabila panjat.“Nabila, cepat! Kenapa lama sekali, sih?” Dari luar, Terry mengetuk pintu.“I-iya sebentar, perutku sakit!” Nabila menyalakan kran air untuk mengelabuhi Terry.Nabila berpikir keras untuk mencari cara supaya bisa pergi dari rumah itu. Entah bagaimana caranya, Nabila belum tahu. Nabila mulai panik, pikirannya tiba-tiba buntu.Beberapa kali, Terry lagi dan lagi mengetuk pintu. Membuat Nabila mau tidak mau harus membuka pintu. Nabila harus bis
“Ya Tuhan, aku kira nggak ada kamu di sini, Rena. Mereka … mereka lagi ngejar aku. Mereka tahu kalau aku mau kabur dari sini,” ujar Nabila.Rena yang tengah duduk di ruangan itu, dengan sigap memberikan air minum kepada Nabila.“Minum dulu, aku akan cari solusi supaya kamu bisa keluar dari sini,” sahut Rena.Nabila mengangguk, lantas menerima satu gelas berisi air putih tersebut. Setelah meneguk air putih itu hingga tak bersisa, Nabila mulai merasa sedikit tenang.“Pokoknya kamu harus tenang, aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu dan menjadikanmu budak penghasil uang untuk mereka,” imbuh Rena.Rena kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.“Kamu masuk ke dalam lemari itu, kamu akan aman ada di dalam sana,” tunjuk Rena.“Tapi-”“Sudah cepat masuk, mereka semakin mendekat.” Rena mendorong tubuh Nabila untuk masuk ke dalam lemari lalu menutupnya hingga rapat.Rena kemudian duduk santai sambil menyeruput satu gelas kopi di depan sebuah laptop.Pintu pun terbuka le
“Mas-mas, ke sini!” Nadin memanggil salah satu pelayan catering yang kebetulan lewat di hadapannya.“Iya, ada apa, Mbak?” tanya pelayan catering itu, setelah menghampiri Nadin.Nadin kemudian membisikkan sesuatu di telinga pelayan catering itu. Lantas memberikan sejumlah uang kepadanya.“Wah … siap, Mbak. Terima kasih banyak telah mempercayakan kepada saya. Kalau begitu, akan saya laksanakan sekarang,” ucap pelayan catering, kemudian membawa dua gelas minuman ke arah Gala dan Nabila.Dari kejauhan, Nadin memantau Gala dan Nabila yang menerima minuman itu.“Huh, sebentar lagi, Nabila. Sebentar lagi kamu akan merasakan akibatnya. Dan mas Gala, akan membenci kamu!” seru Nadin.Nadin kemudian melangkahkan kakinya hendak pergi dari tempat itu. Namun, karena sebelah hak sepatunya yang patah, membuatnya nyaris terjatuh.“Aaa!”Beruntung seseorang berhasil menahan tubuh Nadin. Sehingga Nadin tak jadi jatuh.“Kak Ello ya ampun, terima kasih banyak sudah menolongku. Aku nggak tahu kalau misal n
Nabila menatap kue itu di lantai, lantas mengangkat wajahnya menatap Nadin yang berdiri di hadapannya.“Mbak Nadin,” batin Nabila.“Enak makanannya?” tanya Nadin.“Kenapa Mbak Nadin melempar makanan saya?” tanya Nabila balik.“Kenapa? Mau marah? Asal kamu ingat ya, Nabila. Kamu harus sadar sama batasan kamu di sini. Tidak usah tebar pesona seperti tadi. Untuk apa? Untuk mencari perhatian banyak orang? Khususnya mas Gala?” tanya Nadin.Nabila menggelengkan kepalanya pelan. Menepis tuduhan yang dilontarkan Nadin.“Maaf, Mbak Nadin. Saya tidak ada niat tebar pesona. Saya hanya menjalankan tugas. Saya di sini hanya bekerja, tidak lebih,” ucap Nabila berusaha menyangkal.Nadin melipat kedua tangannya di depan dada. Mendelikkan matanya ke atas, seakan tidak menghiraukan ucapan Nabila yang berusaha membela diri.“Dengan penampilan seperti itu, apakah saya harus percaya kalau kamu tidak tebar pesona? Tapi … tunggu-tunggu, saya sepertinya kenal dengan baju yang kamu pakai ini. Coba kamu berdir
“Oma, aku malu. Aku nggak biasa dandan seperti ini,” ujar Nabila.“Kenapa mesti malu? Kamu cantik, Oma juga pangling lihat kamu. Pokoknya, mereka semua yang menertawakan kamu, harus bungkam saat melihat kecantikan kamu,” sahut Oma Nira.Saat melangkahkan kaki ke halaman tempat diadakannya acara pesta pertunangan, di saat yang bersamaan, keluarga calon tunangan Ello pun datang.Keluarga Ello menyambut kedatangan Angel, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangan Ello.“Oma, apakah itu tunangan Pak Ello? Cantik, ya orangnya!” tunjuk Nabila merasa takjub.“Ah, iya … ternyata Angel sudah datang. Ayok, Nabila, sebaiknya kita ke sana. Oma mau bergabung dengan keluarga Oma. Kamu juga bergabung dengan pekerja yang lain,” sahut oma Nira.Nabila mengangguk, lantas wanita berbeda usia itu kemudian melangkahkan kakinya hendak menyambut kedatangan keluarga Angel.“Eh, lihat! Bukankah itu wanita yang memakai baju bolong tadi?” bisik salah satu tamu undangan.“Ternyata dia cantik, ya.”“Iya, pen
Suara tawa Weni yang lantang, membuat para tamu undangan yang lain, kompak tertawa lepas. Yang tadinya mereka menahan tawa karena tidak enak, kini mereka bebas tertawa lepas melihat penampilan Nabila.“Mbok Min, apakah ada yang salah dengan bajuku?” tanya Nabila.Mbok Min lantas memutar tubuh Nabila. Mbok Min terbelalak, saat melihat baju bagian belakang yang Nabila kenakan, terdapat lubang sebesar bulatan lubang gelas.“Nabila, baju kamu bolong di bagian belakang. Pantas saja mereka seperti menahan tawa. Ternyata ada yang salah sama baju kamu,” bisik mbok Min.Nabila merasa malu, lantas meminta mbok Min untuk membantu menutupi bagian belakangnya. Namun, beruntung Nabila mengenakan celana legging. Akan tetapi walau pun begitu, tetap saja Nabila merasa malu.Wajah Nabila berubah merah menahan malu. Sandi yang tengah anteng pun, merasa terganggu atas riuh ramainya orang-orang tertawa lepas.“Mbak, sayang sekali, ya. Sepertinya itu baju bekas. Kamu memang cocok memakai baju itu,” celetuk
Di dalam kamar, Nabila yang penasaran dengan kotak hadiah pemberian Gala, segera membukanya.“Wah … cantik sekali,” gumam Nabila setelah kotak itu terbuka.Di dalam kotak itu, terdapat sebuah jepitan rambut dan sebuah ikat rambut. Jepitan rambut itu begitu cantik dengan motif kupu-kupu yang terlihat sangat menarik.“Surat?”Di dalam kotak itu pula, tersimpan sebuah surat yang entah apa isinya. Lantas Nabila membuka surat itu, dan mulai membacanya.“Semoga kamu suka dengan hadiah kecil ini. Memang tidak seberapa dan tidak mahal, tapi saya harap kamu mau memakainya. Hadiah ini saya berikan, sebagai tanda permintaan maaf saya karena ucapan saya yang telah menyakiti hati kamu waktu itu. Mungkin hanya dengan ucapan minta maaf saja, itu tidak akan cukup. Dengan hadiah ini, saya mohon kamu mau memaafkan saya dengan sepenuh hati kamu. Saya juga ingat, ikat rambut kamu putus, kan? Biar tidak gerah dan mengganggu pekerjaanmu, pakailah.”Nabila melipat kembali surat itu. Tersenyum kecil atas sik
“Ello!”Seseorang berteriak memanggil nama Ello dengan suara cukup kencang. Membuat perhatian Ello teralihkan.“Ello, kamu di mana?” panggil oma Nira dari ruang keluarga.Mendengar suara oma Nira memanggil nama Ello. Hal itu menjadi sebuah kesempatan untuk Nabila bisa terlepas dari jerat menakutkan Ello. Selagi perhatian Ello teralih pada oma Nira, dengan cepat Nabila mendorong tubuhnya dengan kencang. Membuat lelaki itu mundur beberapa langkah.Nabila berlari keluar dari kamar Sandi. Bergegas ia mendekati pintu, lalu masuk ke dalam kamarnya dan mengunci rapat pintunya.“Shit! Kenapa oma ganggu saja, sih!” gerutu Ello, kemudian keluar dari dalam kamar Sandi.“Ya Tuhan, kenapa selalu seperti ini? Aku ingin hidupku tenang, ya Tuhan,” batin Nabila.Nabila kemudian duduk di pinggiran ranjang, menatap pantulan wajah yang terpampang dari depan cermin.“Apa yang menarik dariku sebenarnya? Aku jarang dandan, aku juga lupa kapan terakhir aku memakai make-up. Aku tidak menarik tapi kenapa pak E
Beberapa hari kemudian, oma Nira dan Nabila tengah duduk di ruang keluarga sambil melihat-lihat baju-baju berwarna senada untuk para pekerja. Rencananya, baju-baju itu akan dipakai di hari pertunangan Ello.“Bagus sekali ya, Nabila. Nanti kamu bagiin, ya, baju-baju ini kepada yang lain,” titah oma Nira.“Baik, Oma, nanti saya bagikan pada yang lain,” sahut Nabila sambil tersenyum ramah.Hari pertunangan akan dilaksanakan besok malam di rumah itu. Segala persiapan dimulai dari dekorasi, dan yang lain pun tengah dikerjakan dari mulai sekarang.Orang-orang di rumah itu tampak tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak terkecuali Nabila, sembari menggendong Sandi, Nabila pun membantu oma Nira membagikan baju-baju itu untuk pekerja yang lain.“Mbok, ini baju buat kita-kita. Bagus ya, Mbok. Aku sangat menyukainya,” ujar Nabila sambil memberikan satu baju untuk mbok Min.Mbok Min menerimanya, lantas melihat baju itu dengan takjub.“Pasti harganya mahal ya, Bil. Memang, ya, keluarga ini
Setelah mengakhiri obrolannya di telepon, Nadin pun segera mengirimkan pesan kepada Erina.“Sepertinya ideku akan berhasil. Cukup akan membuat Nabila dipermalukan,” gumam Nadin.Nadin melirik ke arah jam dinding. Nadin kemudian duduk di depan cermin di dalam kamarnya. Nadin hendak melakukan perawatan pada wajahnya sebelum tidur.“Ya … krim malamnya tinggal sedikit lagi. Ish … nyebelin banget. Coba kalau masih ada kak Delima, pasti apa-apa lebih gampang. Jangankan skincare, beli tas saja gampang,” gumam Nadin, ia mengeluh dengan keadaannya sambil memegangi skincare miliknya yang hampir habis.Nadin kemudian meraih ponselnya yang baru saja ia letakkan di atas nakas. Lantas ia segera mengetikkan sesuatu pada pesan yang akan ia kirim kepada Erina.“Tante, aduh gimana, ya ngomongnya. Tiba-tiba kepala aku sakit, mau beli obat tapi aku nggak ada uang. Mama sama papa aku sedang nggak ada di rumah. Cuma aku sendirian di rumah. Mana ini sudah malam, lagi. Aku takut pas hari pertunangan kak Ello
“Hei, saya sepertinya pernah melihat kamu,” ujar Faisal kepada Nabila.Nabila mengangkat wajahnya, ia menatap pria paruh baya itu dengan lekat. Orang-orang di sekitarnya pun, mereka tampak penasaran, kenapa Faisal berbicara seperti itu? Apakah Faisal dan Nabila pernah bertemu?“Oh ya, Pak? Memangnya Bapak siapa? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Nabila.Faisal tampak berpikir keras. Namun, selang beberapa saat ia pun mengingat sesuatu.“Nah, iya saya baru ingat. Kamu yang menolong saya yang hampir kecopetan, kan? Kamu ingat?” tanya Faisal.Nabila pun mengingat-ingat, seketika Nabila pun teringat akan hal itu. Sementara yang lain hanya bengong sambil memperhatikan Faisal dan Nabila.“Ah iya, maaf saya lupa dengan wajah Bapak. Maklum, saya tidak begitu memperhatikan wajah Bapak. Kok Bapak bisa ada di sini? Apakah Bapak anggota keluarga ini?” tanya Nabila.Erina memejamkan matanya sesaat. Tangannya merangkul pinggang Faisal di hadapan Nabila.“Dia Faisal, suami saya. Saya Nyo