Nabila yang baru saja sampai di depan pintu kamar, harus mendengar ucapan yang begitu menyakitkan dari mulut mertuanya.
Nabila membuka pintu itu cukup kencang, membuat mereka terkejut dan menatap tajam ke arahnya. “Nabila, kebiasaan sekali kamu, ya. Kalau buka pintu itu pelan-pelan. Untung Bella tidak terbangun gara-gara kamu,” ujar bu Retno terlihat kesal. Nabila bergegas masuk ke dalam kamar. Ia mendekati mereka dengan perasaan sakit hati. “Apa maksud Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni? Apa Ibu kurang puas menyakitiku?” tanya Nabila. Bu Retno gelagapan begitu juga dengan Arsya. Sementara Weni, ia hanya terdiam di dekat ranjang anaknya. “Kamu ngomong apa, sih, nggak jelas sekali?” sanggah bu Retno. “Aku tidak tuli, Bu. Aku dengar semuanya, Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni. Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega menyakitiku?” tanya Nabila. “Ibu hanya ingin menjalankan amanah saja. Mereka itu peninggalan Arka. Arka ingin kita membahagiakan mereka. Dengan cara menikahi Weni, mungkin Bella tidak akan kehilangan sosok seorang ayah. Nabila, kamu jangan egois, Arsya anakku, aku yang berhak menentukan jalan hidupnya. Kamu harus ingat, Nabila. Di dunia ini, tidak ada yang namanya mantan ibu dan anak. Sementara istri, dalam sekejap saja bisa menjadi mantan. Jadi, bisa dilihat dari sini, bahwa akulah yang lebih berhak terhadap Arsya,” jawab bu Retno. Nabila menggelengkan kepalanya, tidak menyangka jika semua akan seperti ini. “Mas, apakah kamu setuju dengan permintaan Ibu kamu? Lihat aku, Mas, aku istri kamu. Kita baru saja kehilangan anak kita. Kamu jangan diam saja. Aku juga punya hak melarang kamu menikah lagi. Ayok bicara, Mas, tolak permintaan Ibu!” ujar Nabila. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Arsya terdiam mematung, pria itu sungguh kurang tegas atas hidupnya. Apa pun yang dilakukannya, selalu disetir oleh ibunya. Tak mendapatkan jawaban dari Arsya, Nabila pun membalikkan badan menatap Weni. “Katakan, Weni. Kamu tolak permintaan Ibu. Kita sama-sama wanita, kamu tidak mungkin tega menyakitiku, kan? Apalagi aku baru saja kehilangan anakku. Coba kamu memposisikan diri sebagai diriku sebentar saja. Aku butuh support dari kalian saat aku terpuruk seperti ini. Tapi kalian malah merencanakan hal lain, yang justru akan membuatku semakin jatuh terpuruk,” ujar Nabila. Mendengar kegaduhan di kamar itu, Bella pun terbangun dan menangis begitu kencang. Hal itu membuat bu Retno marah dan menyuruh Nabila keluar dari dalam kamar. “Sudah, Nabila. Lihat apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuh cucuku? Kalau kamu tidak bisa membuat cucuku sembuh, lebih baik kamu keluar dari sini. Adanya kamu di sini, hanya membuat situasi ini kacau saja. Keluar sekarang juga!” usir bu Retno. Nabila membeliak, harusnya yang marah adalah dirinya, bukan mertuanya. Dirinya yang disakiti, dirinya pula yang diusir. “Mas-” “Kamu pulang, Nabila. Kita selesaikan semuanya di rumah saja. Kamu jangan egois, pikirkan Bella juga. Kasihan dia masih kecil dia lagi sakit. Bella harus istirahat, kamu di sini sangat berisik,” potong Arsya. Nabila semakin sakit, sikap suaminya pun lebih condong terhadap Bella. Apakah Nabila sudah tidak ada artinya lagi bagi Arsya, sehingga tak ada pembelaan sedikit pun darinya? Napas Nabila semakin memburu, dadanya naik turun menahan amarah. Namun, ia tak mungkin meluapkan amarah itu di hadapan Bella. Terpaksa Nabila keluar dari kamar Bella dan berniat untuk pulang. Sesampainya di rumah, Nabila masuk ke dalam kamar. Menangis di keheningan malam tanpa adanya pelipur lara yang bersedia mengobati kesakitan hati itu. Wajah Nabila memucat, kepalanya sedikit pusing karena menahan asinya yang merembes keluar sedari tadi. Nabila kembali memompa asinya sambil menangis. Kehilangan anak dan kehilangan kepedulian dari suami membuatnya merasa hidup sendirian di rumah itu, hingga Nabila terlelap tidur. Namun, Arsya tak kunjung pulang. Pada keesokan harinya, Nabila telah berkutat di dapur. Membuat sarapan pagi sambil menunggu suaminya pulang. Namun, ternyata yang terjadi meleset dari perkiraannya. Ternyata siang menjelang, Arsya dan yang lain belum kunjung pulang. Nabila mencoba menghubungi nomor Arsya. Akan tetapi nomornya tidak bisa dihubungi. Tidak hanya itu, Nabila pun menghubungi nomor ibu mertuanya dan juga Weni. Hal yang sama terjadi, nomor mereka kompak tidak bisa dihubungi. Siang pun telah berganti sore, Arsya dan yang lain masih belum kunjung pulang. Membuat Nabila bosan menunggu. Nabila pun kemudian berganti pakaian, ia berniat untuk kembali mendatangi klinik tempat Bella dirawat. Setelah bersiap diri, lekas Nabila segera berjalan menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti saat telinganya mendengar suara langkah kaki beriringan dan juga suara seseorang yang tengah mengobrol. Nabila pun membuka pintu. Arsya, bu Retno dan Weni telah berada di depan pintu. “Kamu mau ke mana, Mbak? Kok sudah rapi saja?” tanya Weni, ia tengah membawa tas yang berisi pakaian dan susu formula Bella. Sementara Bella, ia tengah digendong oleh Arsya. Mereka tampak seperti sepasang suami istri dengan satu orang anak. “Ah, ini, aku tadinya mau menyusul kalian lagi. Aku kira Bella masih harus dirawat. Tapi syukurlah, Bella sudah bisa dibawa pulang. Sini, Mas, biar aku saja yang gendong Bella,” jawab Nabila, kemudian mengambil alih Bella dari tangan Arsya dan membawanya ke ruang keluarga. “Mas, aku pikir semalam kamu pulang dulu. Tapi ternyata tidak, oh iya, kamu mau mandi? Biar aku siapkan baju gantinya,” imbuh Nabila. “Ya, aku mau mandi. Aku juga lapar mau makan. Ibu dan Weni juga pasti sangat lapar. Kami belum makan sore ini. Kamu masak, kan?” tanya Arsya. “Iya, Mas, aku sudah masak. Ya sudah, aku tidurkan dulu Bella di kamarnya.” Nabila membawa Bella ke dalam kamar. Di dalam kamar, tampak Weni tengah duduk di depan cermin. Ia tersenyum menatap pantulan wajahnya. Tampak ia sangat mengagumi wajahnya yang cantik. “Ehem … Weni, ini Bella tidurkan dulu. Aku mau menyiapkan baju ganti untuk mas Arsya,” ujar Nabila. Weni menoleh ke arah Nabila, kemudian ia mengambil Bella dari tangan Nabila. Namun, saat Weni ingin mengangkat tubuh Bella, tiba-tiba Bella menangis. Nabila pun menimang Bella sebentar, Bella pun kembali tenang berada di gendongan Nabila. “Mbak, sepertinya Bella sangat nyaman digendong sama Mbak Nabila. Mbak, aku minta tolong, jangan dulu melepaskan Bella dari gendongan Mbak, ya! Kasihan kalau Bella nangis lagi, bisa-bisa dia demam lagi. Em … gini saja, biar aku saja yang menyiapkan baju ganti mas Arsya,” ujar Weni. “Loh, kok jadi kamu yang siapin bajunya? Biar aku sa-” Belum juga Nabila selesai berbicara, Weni telah keluar dan menutup pintu kamarnya. Nabila kembali menimang Bella, hingga akhirnya Bella terlelap tidur. Malam hari seusai makan. Nabila dan Arsya masuk ke dalam kamar. Mereka membaringkan tubuhnya bersama di atas tempat tidur. Baru saja Nabila hendak terlelap. Suara notifikasi pesan di ponsel Arsya berhasil membuatnya terbangun. Nabila memperhatikan Arsya yang tengah membaca pesan tersebut. “Nabila, teman aku mengalami kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit. Aku mau ke sana sebentar, ingin melihat keadaannya,” pamit Arsya terlihat panik. “Ya ampun, kasihan sekali teman kamu. Iya tidak apa-apa, Mas. Tapi jangan lama-lama,” sahut Nabila. Arsya pun keluar dari dalam kamar. Kini, hanya tersisa Nabila yang terbaring di atas tempat tidur seorang diri. Jam telah menunjukkan pukul 01.00. Arsya belum kunjung pulang. Sudah terlalu lama Arsya keluar. Hal itu membuat Nabila tidak bisa tidur. “Haus, mana air sudah habis, lagi!” gumam Nabila, saat tenggorokannya terasa kering. Terpaksa Nabila harus ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah melepas rasa dahaga, Nabila kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat ia melewati kamar Weni. Tidak sengaja telinga Nabila menangkap suara rintihan pria dan wanita yang saling bersahutan di dalam kamar itu.Nabila yang penasaran, menempelkan sebelah telinganya pada daun pintu. Matanya terbelalak, napasnya tiba-tiba memburu.Nabila sangat hafal dengan suara itu. Jelas itu suara Weni. Namun, yang membuat Nabila tak habis pikir, suara pria yang ada di dalam kamar itu, sama persis dengan suara Arsya.Semakin didengarkan, semakin yakin Nabila dengan kecurigaannya. Nabila ingin melihat sendiri apakah kecurigaannya benar? Jika iya, sangat keterlaluan mereka.Nabila memutar pelan kenop pintu itu. Namun, sayangnya pintu dikunci dari dalam.Semakin jelas terdengar suara rintihan itu. Semakin sesak dada Nabila. Mereka begitu menikmati apa yang mereka lakukan. Sebagai wanita dewasa yang telah menikah, tentu Nabila mengerti apa yang mereka lakukan saat ini.Nabila melangkah mundur, dengan kepala menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipi. Langkah mundurnya berhenti, saat matanya menangkap suatu benda di sudut ruangan itu.Nabila mendekati meja bundar kecil tempat meny
“Mas Rocky mau apa?” tanya Nabila, ia berdiri di ambang pintu, menatap Rocky yang masuk ke dalam kamarnya.Rocky menatap Nabila dengan sebelah alis yang terangkat. Ia kemudian menyimpan satu buah tas bedcover dan menyimpannya di atas tempat tidur.“Maaf, Nabila, jangan salah paham dulu. Aku ke sini cuma mau memberikan ini sama kamu, Nadya yang nyuruh. Nadya sangat mengantuk jadi dia nyuruh aku,” jawab Rocky.Nabila terdiam. Namun, ia kemudian menganggukkan kepala, setelah melihat Rocky membawakan sprei, selimut dan sarung bantal untuknya.“Aku disuruh Nadya supaya memberikan sprei, sarung bantal dan selimut ini sama kamu, karena sprei, selimut dan bantal yang itu belum diganti. Takutnya kotor dan kamu gatal-gatal,” jelas Rocky.Mendengar penjelasan Rocky, membuat Nabila merasa malu sendiri. Bisa-bisanya ia berpikir buruk tentang suami temannya itu.“Em … aku minta maaf, Mas. Aku tidak bermaksud-”“Tidak apa-apa, sebaiknya kamu segera ganti spreinya sebelum kamu tidur. Aku juga mau bal
“Hai, Mbak! Kenapa nggak masuk?” tanya Weni, ia berada di dalam angkutan kota itu.Nabila menghembuskan napas kasar, lalu segera menaiki angkutan kota itu. Walau pun ia merasa malas jika harus berhadapan lagi dengan Weni. Namun, tak ada pilihan lain. Nabila ingin cepat mencari pekerjaan dan tidak mau berlama-lama berdiam diri di rumah Nadya.Nabila duduk di seberang Weni. Penumpang dalam angkutan kota itu hanya ada mereka berdua saja. Jadi, Nabila sengaja duduk di seberang Weni karena tak ingin berdekatan dengan wanita yang telah merebut suaminya itu.“Mau ke mana, Mbak?” tanya Weni.“Bukan urusan kamu, kita sudah bukan siapa-siapa,” jawab Nabila.Weni yang sedari tadi menenteng rantang berisi makanan, tersenyum dan terus menatap Nabila.“Kenapa, Mbak? Masih sakit hati karena aku yang berhasil menjadi istri satu-satunya mas Arsya?” bisik Weni mendekatkan wajahnya ke arah Nabila.Nabila terbelalak, ia menatap tajam ke arah Weni.“Aku? sakit hati? Kamu merasa menang menjadi istri satu-s
Nabila menatap baju yang diberikan Terry. Kedua alisnya saling bertaut, kemudian menoleh ke arah Terry.“Maaf, Terry. Ini bajunya sepertinya kekecilan dan terlalu terbuka di badan aku. Adakah baju yang agak besar dan tertutup?” tanya Nabila.“Di sini tidak ada baju seperti yang kamu inginkan. Sudah, kamu tidak perlu banyak berpikir. Kamu pakai saja baju ini, ini baju sangat bagus. Apalagi kamu yang pakai, cocok dengan tubuh dan warna kulit kamu. Ayok cepat pakai bajunya. Jangan sampai membuat tamu kita menunggu lama dan kecewa,” jawab Terry.Nabila masih terdiam sambil menatap baju tersebut. Ia tidak pernah mengenakan baju yang sangat minim bahan seperti itu. Selain risih, ia berpikir mungkin jika dipakai akan terasa tidak nyaman.“Em … Terry, aku kan di sini mau jadi asisten rumah tangga. Yang aku tahu, asisten rumah tangga itu penampilannya bukan seperti ini,” ujar Nabila.Terry mendelik ke atas, ia sempat geleng-geleng kepala mendengar Nabila yang terus menerus berbicara.“Kamu pak
Nabila terkejut setelah membaca surat dari Rena tersebut. Tak menyangka, jika ternyata dirinya dijebak oleh orang-orang jahat yang mau memanfaatkan kepolosannya. Pantas saja, pakaian yang diberikan Terry sangat minim bahan. Ternyata pekerjaan yang mereka berikan, adalah pekerjaan tidak baik.“Aku harus bisa keluar dari sini. Aku tidak mau menjadi budak penghasil uang untuk mereka.” Nabila menatap sekeliling kamar mandi itu.Hanya ada jendela jika Nabila ingin kabur dari kamar mandi itu. Namun, sayangnya jendela itu cukup tinggi untuk Nabila panjat.“Nabila, cepat! Kenapa lama sekali, sih?” Dari luar, Terry mengetuk pintu.“I-iya sebentar, perutku sakit!” Nabila menyalakan kran air untuk mengelabuhi Terry.Nabila berpikir keras untuk mencari cara supaya bisa pergi dari rumah itu. Entah bagaimana caranya, Nabila belum tahu. Nabila mulai panik, pikirannya tiba-tiba buntu.Beberapa kali, Terry lagi dan lagi mengetuk pintu. Membuat Nabila mau tidak mau harus membuka pintu. Nabila harus bis
“Ya Tuhan, aku kira nggak ada kamu di sini, Rena. Mereka … mereka lagi ngejar aku. Mereka tahu kalau aku mau kabur dari sini,” ujar Nabila.Rena yang tengah duduk di ruangan itu, dengan sigap memberikan air minum kepada Nabila.“Minum dulu, aku akan cari solusi supaya kamu bisa keluar dari sini,” sahut Rena.Nabila mengangguk, lantas menerima satu gelas berisi air putih tersebut. Setelah meneguk air putih itu hingga tak bersisa, Nabila mulai merasa sedikit tenang.“Pokoknya kamu harus tenang, aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu dan menjadikanmu budak penghasil uang untuk mereka,” imbuh Rena.Rena kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.“Kamu masuk ke dalam lemari itu, kamu akan aman ada di dalam sana,” tunjuk Rena.“Tapi-”“Sudah cepat masuk, mereka semakin mendekat.” Rena mendorong tubuh Nabila untuk masuk ke dalam lemari lalu menutupnya hingga rapat.Rena kemudian duduk santai sambil menyeruput satu gelas kopi di depan sebuah laptop.Pintu pun terbuka le
“Diam, kamu aman di sini,” bisik seseorang dari belakang Nabila.Nabila merasa familiar dengan suara itu, ia pun terdiam saat pria yang mengejarnya itu mencarinya di sekitaran tempat ia bersembunyi.“Sial, ke mana perginya dia?” ujar pria itu, kemudian pergi dan kembali memasuki mobilnya.Nabila bisa bernapas lega, ia kemudian membalikkan badannya ke belakang.“Mas Rocky,” gumam Nabila, saat melihat orang yang telah menyelamatkannya ternyata adalah suami temannya.“Iya, Nabila, ini aku. Syukurlah kamu tidak apa-apa dan aku menemukan kamu di saat waktu yang tepat. Kenapa kamu bisa di kejar-kejar orang itu? Apakah kamu ada masalah dengannya? Dan ini ….” Rocky menatap Nabila dari atas hingga ke bawah. Membuat Nabila risih karena penampilannya yang terbuka.“Em … aku dijebak sama orang yang memanfaatkanku yang sedang kebingungan mencari pekerjaan. Tapi aku berhasil lolos, ngomong-ngomong, terima kasih Mas Rocky sudah mau menolong aku. Aku mau pulang,” sahut Nabila.“Syukurlah kalau begitu
“Mas, uang kita yang dua ratus ribu mana?” “Tadi dipinjam sama ibu.”“Amira panas, Mas. Panasnya sangat tinggi. Kenapa kamu kasih? Mas, tolong minta lagi uang itu sama ibu. Kita harus membawa Amira ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa sama anak kita. Kita tidak punya uang lagi selain uang itu.”Arsya yang tengah meminum kopi, segera berdiri dan mendekati Nabila, istrinya yang tengah menggendong Amira, putri mereka yang baru berusia 2 bulan.“Hanya demam biasa, coba kamu kompres saja Amira, nanti juga dia bakalan sembuh,” imbuh Arsya.Nabila menggeleng pelan, jelas Amira membutuhkan penanganan dokter. Suhu tubuh Amira sudah berada di atas normal. Membuat Nabila bersikeras ingin membawanya ke dokter.“Tidak, Mas, Amira butuh pertolongan dokter. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Pokoknya kamu minta lagi uang itu dari ibu. Aku tidak mau tahu, Amira harus dibawa ke dokter,” sahut Nabila.Arsya kemudian pergi ke dapur, kemudian kembali dengan membawa rantang berisi air dan juga ha
“Diam, kamu aman di sini,” bisik seseorang dari belakang Nabila.Nabila merasa familiar dengan suara itu, ia pun terdiam saat pria yang mengejarnya itu mencarinya di sekitaran tempat ia bersembunyi.“Sial, ke mana perginya dia?” ujar pria itu, kemudian pergi dan kembali memasuki mobilnya.Nabila bisa bernapas lega, ia kemudian membalikkan badannya ke belakang.“Mas Rocky,” gumam Nabila, saat melihat orang yang telah menyelamatkannya ternyata adalah suami temannya.“Iya, Nabila, ini aku. Syukurlah kamu tidak apa-apa dan aku menemukan kamu di saat waktu yang tepat. Kenapa kamu bisa di kejar-kejar orang itu? Apakah kamu ada masalah dengannya? Dan ini ….” Rocky menatap Nabila dari atas hingga ke bawah. Membuat Nabila risih karena penampilannya yang terbuka.“Em … aku dijebak sama orang yang memanfaatkanku yang sedang kebingungan mencari pekerjaan. Tapi aku berhasil lolos, ngomong-ngomong, terima kasih Mas Rocky sudah mau menolong aku. Aku mau pulang,” sahut Nabila.“Syukurlah kalau begitu
“Ya Tuhan, aku kira nggak ada kamu di sini, Rena. Mereka … mereka lagi ngejar aku. Mereka tahu kalau aku mau kabur dari sini,” ujar Nabila.Rena yang tengah duduk di ruangan itu, dengan sigap memberikan air minum kepada Nabila.“Minum dulu, aku akan cari solusi supaya kamu bisa keluar dari sini,” sahut Rena.Nabila mengangguk, lantas menerima satu gelas berisi air putih tersebut. Setelah meneguk air putih itu hingga tak bersisa, Nabila mulai merasa sedikit tenang.“Pokoknya kamu harus tenang, aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu dan menjadikanmu budak penghasil uang untuk mereka,” imbuh Rena.Rena kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.“Kamu masuk ke dalam lemari itu, kamu akan aman ada di dalam sana,” tunjuk Rena.“Tapi-”“Sudah cepat masuk, mereka semakin mendekat.” Rena mendorong tubuh Nabila untuk masuk ke dalam lemari lalu menutupnya hingga rapat.Rena kemudian duduk santai sambil menyeruput satu gelas kopi di depan sebuah laptop.Pintu pun terbuka le
Nabila terkejut setelah membaca surat dari Rena tersebut. Tak menyangka, jika ternyata dirinya dijebak oleh orang-orang jahat yang mau memanfaatkan kepolosannya. Pantas saja, pakaian yang diberikan Terry sangat minim bahan. Ternyata pekerjaan yang mereka berikan, adalah pekerjaan tidak baik.“Aku harus bisa keluar dari sini. Aku tidak mau menjadi budak penghasil uang untuk mereka.” Nabila menatap sekeliling kamar mandi itu.Hanya ada jendela jika Nabila ingin kabur dari kamar mandi itu. Namun, sayangnya jendela itu cukup tinggi untuk Nabila panjat.“Nabila, cepat! Kenapa lama sekali, sih?” Dari luar, Terry mengetuk pintu.“I-iya sebentar, perutku sakit!” Nabila menyalakan kran air untuk mengelabuhi Terry.Nabila berpikir keras untuk mencari cara supaya bisa pergi dari rumah itu. Entah bagaimana caranya, Nabila belum tahu. Nabila mulai panik, pikirannya tiba-tiba buntu.Beberapa kali, Terry lagi dan lagi mengetuk pintu. Membuat Nabila mau tidak mau harus membuka pintu. Nabila harus bis
Nabila menatap baju yang diberikan Terry. Kedua alisnya saling bertaut, kemudian menoleh ke arah Terry.“Maaf, Terry. Ini bajunya sepertinya kekecilan dan terlalu terbuka di badan aku. Adakah baju yang agak besar dan tertutup?” tanya Nabila.“Di sini tidak ada baju seperti yang kamu inginkan. Sudah, kamu tidak perlu banyak berpikir. Kamu pakai saja baju ini, ini baju sangat bagus. Apalagi kamu yang pakai, cocok dengan tubuh dan warna kulit kamu. Ayok cepat pakai bajunya. Jangan sampai membuat tamu kita menunggu lama dan kecewa,” jawab Terry.Nabila masih terdiam sambil menatap baju tersebut. Ia tidak pernah mengenakan baju yang sangat minim bahan seperti itu. Selain risih, ia berpikir mungkin jika dipakai akan terasa tidak nyaman.“Em … Terry, aku kan di sini mau jadi asisten rumah tangga. Yang aku tahu, asisten rumah tangga itu penampilannya bukan seperti ini,” ujar Nabila.Terry mendelik ke atas, ia sempat geleng-geleng kepala mendengar Nabila yang terus menerus berbicara.“Kamu pak
“Hai, Mbak! Kenapa nggak masuk?” tanya Weni, ia berada di dalam angkutan kota itu.Nabila menghembuskan napas kasar, lalu segera menaiki angkutan kota itu. Walau pun ia merasa malas jika harus berhadapan lagi dengan Weni. Namun, tak ada pilihan lain. Nabila ingin cepat mencari pekerjaan dan tidak mau berlama-lama berdiam diri di rumah Nadya.Nabila duduk di seberang Weni. Penumpang dalam angkutan kota itu hanya ada mereka berdua saja. Jadi, Nabila sengaja duduk di seberang Weni karena tak ingin berdekatan dengan wanita yang telah merebut suaminya itu.“Mau ke mana, Mbak?” tanya Weni.“Bukan urusan kamu, kita sudah bukan siapa-siapa,” jawab Nabila.Weni yang sedari tadi menenteng rantang berisi makanan, tersenyum dan terus menatap Nabila.“Kenapa, Mbak? Masih sakit hati karena aku yang berhasil menjadi istri satu-satunya mas Arsya?” bisik Weni mendekatkan wajahnya ke arah Nabila.Nabila terbelalak, ia menatap tajam ke arah Weni.“Aku? sakit hati? Kamu merasa menang menjadi istri satu-s
“Mas Rocky mau apa?” tanya Nabila, ia berdiri di ambang pintu, menatap Rocky yang masuk ke dalam kamarnya.Rocky menatap Nabila dengan sebelah alis yang terangkat. Ia kemudian menyimpan satu buah tas bedcover dan menyimpannya di atas tempat tidur.“Maaf, Nabila, jangan salah paham dulu. Aku ke sini cuma mau memberikan ini sama kamu, Nadya yang nyuruh. Nadya sangat mengantuk jadi dia nyuruh aku,” jawab Rocky.Nabila terdiam. Namun, ia kemudian menganggukkan kepala, setelah melihat Rocky membawakan sprei, selimut dan sarung bantal untuknya.“Aku disuruh Nadya supaya memberikan sprei, sarung bantal dan selimut ini sama kamu, karena sprei, selimut dan bantal yang itu belum diganti. Takutnya kotor dan kamu gatal-gatal,” jelas Rocky.Mendengar penjelasan Rocky, membuat Nabila merasa malu sendiri. Bisa-bisanya ia berpikir buruk tentang suami temannya itu.“Em … aku minta maaf, Mas. Aku tidak bermaksud-”“Tidak apa-apa, sebaiknya kamu segera ganti spreinya sebelum kamu tidur. Aku juga mau bal
Nabila yang penasaran, menempelkan sebelah telinganya pada daun pintu. Matanya terbelalak, napasnya tiba-tiba memburu.Nabila sangat hafal dengan suara itu. Jelas itu suara Weni. Namun, yang membuat Nabila tak habis pikir, suara pria yang ada di dalam kamar itu, sama persis dengan suara Arsya.Semakin didengarkan, semakin yakin Nabila dengan kecurigaannya. Nabila ingin melihat sendiri apakah kecurigaannya benar? Jika iya, sangat keterlaluan mereka.Nabila memutar pelan kenop pintu itu. Namun, sayangnya pintu dikunci dari dalam.Semakin jelas terdengar suara rintihan itu. Semakin sesak dada Nabila. Mereka begitu menikmati apa yang mereka lakukan. Sebagai wanita dewasa yang telah menikah, tentu Nabila mengerti apa yang mereka lakukan saat ini.Nabila melangkah mundur, dengan kepala menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipi. Langkah mundurnya berhenti, saat matanya menangkap suatu benda di sudut ruangan itu.Nabila mendekati meja bundar kecil tempat meny
Nabila yang baru saja sampai di depan pintu kamar, harus mendengar ucapan yang begitu menyakitkan dari mulut mertuanya.Nabila membuka pintu itu cukup kencang, membuat mereka terkejut dan menatap tajam ke arahnya.“Nabila, kebiasaan sekali kamu, ya. Kalau buka pintu itu pelan-pelan. Untung Bella tidak terbangun gara-gara kamu,” ujar bu Retno terlihat kesal.Nabila bergegas masuk ke dalam kamar. Ia mendekati mereka dengan perasaan sakit hati.“Apa maksud Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni? Apa Ibu kurang puas menyakitiku?” tanya Nabila.Bu Retno gelagapan begitu juga dengan Arsya. Sementara Weni, ia hanya terdiam di dekat ranjang anaknya.“Kamu ngomong apa, sih, nggak jelas sekali?” sanggah bu Retno.“Aku tidak tuli, Bu. Aku dengar semuanya, Ibu meminta suamiku untuk menikahi Weni. Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega menyakitiku?” tanya Nabila.“Ibu hanya ingin menjalankan amanah saja. Mereka itu peninggalan Arka. Arka ingin kita membahagiakan mereka. Dengan cara menikahi Weni, mungkin Be
“Ada apa, Bu? Kenapa Ibu nangis?” tanya Arsya.Bu Retno menunjuk-nunjuk kamar Weni. Kemudian menarik tangan Arsya, membawanya masuk ke dalam kamar Weni.Nabila begitu bingung, apa sebenarnya yang terjadi? Lantas ia pun segera mengikuti mereka masuk ke dalam kamar Weni. Terlihat pula Weni tengah sibuk menggendong Bella.“Bella nangis terus, Arsya. Suhu tubuhnya sampai panas begini. Ayok kita bawa dia ke dokter. Ibu takut terjadi apa-apa dengan Bella. Sudah cukup Ibu kehilangan Arka, Ibu tidak ingin kehilangan Bella juga,” ajak bu Retno.Nabila menatap tajam ke arah bu Retno. Melihatnya begitu khawatir terhadap Bella. Sedangkan kepada Amira, bu Retno seakan tutup mata hingga akhirnya Amira menghembuskan napas terakhir.Nabila tidak mempermasalahkan Bella untuk dibawa ke dokter. Nabila juga menyayangi Bella. Namun, sikap mereka yang pilih kasih, membuatnya sakit hati. Semuanya untuk Weni dan Bella. Hingga nafkah Arsya yang seharusnya sepenuhnya menjadi miliknya, Nabila harus membaginya k