Berawal dari tetangga yang memesan masakannya tak sampai lima ratus ribu, entah kenapa suaminya justru mengurangi uang belanja dapur sampai setengah. Lebih parahnya, Lisa sampai diminta bekerja jika ingin memiliki uang! Demi anak-anaknya, Lisa pun membuktikan pada sang suami kalau ia bisa memiliki penghasilan tanpa bergantung pada uang belanja pemberian suami, bahkan lebih!
view moreNafkah yang Disunat
"Dek, maaf ya, bulan ini gaji Mas dipotong, soalnya sering terlambat datang, jadi presensinya nggak masuk."Mas Ari menyerahkan sejumlah uang yang kuterima dengan senyum manis. "Iya Mas, tidak apa-apa, makasih ya Mas," aku menerima uang tersebut dengan tetap tersenyum. Bagaimana pun juga, Mas Ari telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami."Anak-anak suka rewel sih kalau ayah mau kerja, jadi terlambat, gaji dipotong lagi." Kali ini Mas Ari berkata sambil duduk di bangku dapur. Aku yang sedang menyimpan uang di lemari kamar, tak urung mengernyitkan dahi. Kenapa seakan Mas Ari menyalahkan anak-anak?"Yang bener Mas, kamu bilang nggak apa-apa kalau telat, yang penting kerjaan beres?"Aku masih belum percaya, karena berkali-kali ia katakan kalau kesiangan berangkat kerja tidak apa-apa, asalkan pekerjaan selesai dengan baik. Gajinya juga tak pernah dipotong meski ia sering terlambat. "Lagian kan kamu sendiri yang nurutin anak-anak jalan-jalan pagi sebelum kamu kerja, kenapa nyalahin mereka?"Kedua anakku memang sangat dekat dengan sang ayah, bahkan setiap pagi selalu meminta naik motor keliling komplek kemudian membeli jajanan. Jika sudah dipenuhi maka baru diijinkan untuk berangkat kerja. Namun jika tidak, maka mereka akan menangis.Aku sudah sering mengingatkan Mas Ari, supaya tak terlalu memanjakan anak-anak dengan memenuhi semua keinginan mereka, tapi Mas Ari seakan tak peduli. Baginya, asal anak diam, maka minta apa pun tak masalah. Namun, kini justru seperti bumerang, karena mereka justru tantrum jika keinginannya tidak terpenuhi."Udahlah Dek, Mas males berdebat, kalau uangnya kurang, ya pakai dulu uangmu. Habis dapat orderan kemarin uangnya masih ada, kan?" Tak ada raut bersalah sama sekali dalam wajahnya saat berkata. Membuat aku tak habis pikir dengan jalan pikiran suamiku ini."Apa Mas? Nggak salah kamu? Orderan baru sekali masak uang belanja dipotong separo, tega kamu Mas!" ujarku dengan menahan gemuruh di dada.Kenalkan, namaku Lisa, ibu dari dua anak berusia tiga dan empat tahun. Ini tahun kelima aku menjadi istri dari mas Ari. Ya, aku diberi kemudahan rejeki berupa anak, sehingga aku sudah memiliki bayi mungil di tahun pertama pernikahan. Usia bayiku enam bulan saat aku kembali hamil anak kedua.Memiliki anak dengan jarak dekat, membuatku tidak bisa berkutik. Terlebih lagi kedua anakku tidak memakai popok sekali pakai. Tahun kelima inilah aku baru memiliki waktu agak longgar karena anak-anak sudah mau bermain berdua, atau bersama teman satu gang yang seumuran.Semua berawal saat anakku ulang tahun. Aku membuat nasi biru, sesuai permintaan anakku. Nasi yang kumasak dengan bunga telang, kemudian kubagikan kepada tetangga sekitar. Aku tidak mengadakan pesta, hanya membuat syukuran kecil-kecilan.Satu minggu kemudian, seorang tetangga memesan menu persis seperti yang ku buat untuk ulang tahun anakku. Itulah pesanan pertama semenjak aku menjadi ibu. Nilainya tak sampai lima ratus ribu, tapi entah kenapa justru uang belanja dapur dikurangi sampai setengah. "Terserah Mas dong, mau kasih berapa, uang Mas sendiri juga. Kalau mau punya uang, ya kerja dong!"Mataku membola mendengar kalimat yang meluncur tanpa beban dari ia yang kusebut suami. Entah mengapa aku menangkap kesan bahwa ia tak ikhlas memberi nafkah. Selama ini aku memang mengandalkan uang gaji Mas Ari untuk kebutuhan sehari-hari. Aku berhenti bekerja juga atas permintaan suamiku. Ia menyanggupi memenuhi semua kebutuhan asal aku fokus di rumah mengurus suami. Tentu saja aku setuju, karena tujuanku menikah untuk beribadah, dan menuruti permintaan suami, sebagai bentuk taatku sebagai seorang istri. Selama ini, ia selalu memenuhi kebutuhan kami."Kok, kamu gitu sih Mas, kan kamu sendiri yang dulu minta aku berhenti kerja, supaya fokus sama keluarga. Kenapa sekarang tiba-tiba minta aku kerja supaya aku punya uang? Apa kamu nggak ikhlas memberi uang belanja Mas?"Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa kucegah. "Ini Mas, uang ini aku kembalikan kalau kamu nggak ikhlas."Uang sepuluh lembar yang ia berikan, aku letakkan lagi di tangan kanannya. Hatiku terlanjur sakit mendengar kata-katanya. Biarlah aku menggunakan tabunganku yang tak ia ketahui untuk kebutuhanku dan anak-anak.***Hari-hari berikutnya, aku benar-benar memangkas pengeluaran, terutama untuk belanja sayur. Aku bersyukur tanaman sayur serta cabe di halaman rumah tumbuh subur, sehingga bisa digunakan untuk masak sehari-hari. Aku juga menggunakan ilmu meramban yang pernah ku pelajari.Aku menggunakan uang tabungan dari sisa uang belanja yang disimpan tanpa sepengetahuan Mas Ari. Aku tak lagi pusing hendak menyediakan makan apa, karena Mas Ari jarang menikmati masakanku. Ya, mungkin ia bosan hanya disajikan tahu tempe serta sayur dari halaman rumah. Pun Mas Ari sering memasak lauk sendiri tanpa meminta bantuanku. Bukan tak mau melayani, hanya saja, jika menawarkan diri untuk memasak lauk, ia selalu menolak.***Aku terbangun pukul sebelas malam setelah menidurkan kedua buah hatiku. Aku bergegas mengerjakan sholat Isya yang belum dikerjakan. Saat sedang merapikan mukena, aku melihat sebuah kertas kecil tersembul dari dalam dompet Mas Ari yang tergeletak begitu saja di atas tas kerja. "Kertas apa ya, kok tumben Mas Ari naruh dompet di sini," aku bergumam sendiri sambil meraih kertas itu. Kedua netraku membola melihat tulisan dalam kertas itu."Ini kan, slip gaji bulan ini, jumlahnya sama seperti bulan kemarin, tapi kenapa Mas Ari bilang gajinya dipotong?"Sebuah prasangka melintas begitu saja, tapi berusaha kutepis. Aku berharap prasangka ini tak benar.***Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Mas Ari, ya?Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments