Share

Bab 5

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mas Ari telah sampai terlebih dulu saat aku pulang bersama kedua buah hatiku. Ia telah berganti baju serta wajahnya terlihat segar, nampaknya ia telah membersihkan diri.

Kami bertiga mencium punggung tangan sang ayah bergantian.

"Ayah … ayah … adik habis jajan es krim, Yah … sama Ibu, maem es krim," si bungsu bercerita dengan antusias tanpa ditanya.

"Oh, ya? Enak dong, ya, jajan terus kalian."

Mas Ari berkata sambil melirikku.

Entah kenapa aku merasa tatapan matanya tajam. Atau mungkin hanya perasaanku saja, ataukah tidak?

"Iya, Yah, Ibu juga maem es krim tadi. Seneng lho, Yah … maem tiga, gini," si kakak menimpali dengan menunjukkan ketiga jari tangan kanannya.

"Wah, luar biasa. O iya, tumben ada ayam goreng, Bu. Biasanya cuma tahu tempe aja?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis.

Tentu saja ada, Mas. Lihat saja, meski nafkah untukku kau potong, aku tetap bisa menghidangkan lauk yang bergizi untuk anak-anakku.

***

"Ayah … Ayah, Kakak mau sepeda, Yah … , itu seperti punya Kak Sinta yang ada boncengannya."

Tiba-tiba saja gadis kecilku menyampaikan keinginannya menjelang tidur malam ini.

Sinta teman sepermainan yang sering bermain bersama kedua anakku. Aku memang melihat ia memakai sepeda baru kemarin, saat sedang memetik cabe di halaman.

Ia juga berkali-kali diajak naik sepeda oleh Rosi yang tinggal di dekat lapangan.

"Ayo, kamu naik, nanti aku yang dorong," ucap Rosi suatu sore.

Sejak saat itu, Arsy anakku makin rajin mengajakku ke lapangan, karena senang sekali belajar sepeda. Aku sebagai ibu tentu saja ingin membeli satu untuknya, supaya bisa puas naik sepeda sendiri tanpa meminjam. Namun, semua benda yang dibeli di rumah ini, harus atas ijin Mas Ari. Pun, jika membeli sesuatu, tak bisa satu karena kedua bocil itu pasti akan berebut.

Aku bisa apa, sebab memang tak memiliki andil dalam keuangan di rumah ini. Tapi, itu beberapa Minggu yang lalu. Untuk saat ini, aku sudah punya tabungan, meski baru sedikit.

"Emang kamu bisa naik sepeda?" Mas Ari nampak menjawab dengan mata terpejam.

"Bisa dong, Yah. Kemarin kakak naik sepeda Kak Sinta, didorong lho, Yah. Terus sepedanya jalan. Kenceng … deh," putri kecilku terdengar bersemangat saat bercerita.

"Beliin, ya, Yah … biar Kakak bisa main sama-sama. Nggak minjam lagi," pintanya lagi.

"Iya, nanti dibelikan kalau Ayah dapat rejeki, sabar ya," ujar Mas Ari, mulai membuka mata lagi.

"Yang ada boncengannya ya, Yah?" rajuk putriku.

"Iya, ayo sekarang bobok dulu anak cantik. Itu adek sudah bobok duluan, lho."

"Iya, Yah. Ngaji dulu, Yah," pintanya sebelum memejamkan mata.

Anak pintar, selalu punya cara supaya sang Ayah mau mengaji. Aku tersenyum melihat ia yang mulai memejamkan mata setelah membaca do'a sebelum tidur.

Mas Ari mengusap kepalanya perlahan hingga ia benar-benar terlelap. Ingin rasanya mengatakan kalau uangnya ada.

Uang jajan anak-anak yang dikumpulkan saat lebaran maupun saat berkunjung ke rumah nenek, cukup untuk membeli sepeda. Tapi niat itu diurungkan, sebab Mas Ari sudah terlelap.

Aku beranjak mengambil minyak telon, kemudian membalurkan ke tangan dan kaki bungsuku, juga pada gadis kecilku yang mulai terlelap. Kaki dan tangan Mas Ari juga kubaluri sekalian.

Kini saatnya aku memeriksa toko online. Meski hari sudah gelap, tak menyurutkan niatku untuk terus berdagang.

Terkadang aku menyesal kenapa nggak dari dulu berjualan online, padahal bisa sambil momong anak-anak.

Pelan tapi pasti, pelangganku bertambah karena merasa puas dengan produk yang kujual, meski harganya lumayan tinggi. Namun, sesuai dengan kualitas barang yang dijual.

***

Jam di dinding telah menunjuk angka sepuluh, tapi mata ini belum mau terpejam. Aku memutuskan untuk menyetrika baju seragam kerja Mas Ari.

Giliran celana kerja Mas Ari, sepertinya ada sesuatu di dalam saku celana ini. Aku bergegas memeriksa, dan benar sesuai dugaanku, ada beberapa lembar uang di sana. Senyumku langsung merekah.

Aku menganggap ini sebagai bonus. Saat awal menikah dulu, aku pasti mengembalikan pada pemiliknya jika menemukan uang di dalam saku baju maupun celana miliknya.

Akan tetapi, semakin ke sini, aku menyimpan sendiri uang yang kutemukan dari saku Mas Ari ke dalam sebuah dompet khusus.

Uang itulah yang kupakai jika ada keperluan mendadak. Beruntung pemiliknya tak pernah bertanya tentang isi kantongnya yang raib.

Rasanya, ini waktu yang tepat untuk menggunakan uang itu. Ada beberapa keperluan yang harus dibeli, termasuk pakaian anak-anak.

Aku tak mau lagi melihat mereka kekurangan pakaian ganti jika musim hujan tiba. Tak jarang aku menangisi cucian yang tak kunjung kering. Karena lemari anak-anak akan langsung kosong jika hujan turun berturut-turut.

.

Drrt …

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Ibu?

"Lisa, ibu kangen sama cucu Ibu, kalau kamu longgar, tolong ajak mereka main ke sini, ya?"

"Iya Bu, nanti Lisa minta ijin dulu sama ayahnya, ya," balasku.

Rindu itu menyeruak begitu saja, meski sering berkomunikasi lewat ponsel. Namun, tetap saja tak bisa sepenuhnya mengobati rindu. Entah sudah berapa bulan aku belum menengok Ibu.

Sebenarnya, jarak ke sana tidaklah jauh. Akan tetapi, aku tak bisa berkunjung sesuka hatiku, karena ada hati yang harus ku jaga.

Terkadang ingin mengunjungi Ibu bersama anak-anak tanpa Mas Ari. Tapi, apa kata orang nanti? Sedangkan jika mengajak Mas Ari, aku sering tak tega saat melihat wajah lelahnya setelah pulang kerja.

Belakangan ini, setelah Mas Ari meminta aku bekerja supaya memiliki uang sendiri, aku justru ingin melesat ke rumah Ibu. Bukan, bukan aku hendak mengadu, tetapi aku ingin berbagi, seperti dulu saat aku masih gadis dan bekerja. Aku bisa menyisihkan untuk Ibu meski tak banyak.

Biarlah nanti aku ijin pada Mas Ari, syukur-syukur ia mau mengantar. Aku juga sudah kangen sama Ibu. Anak-anak juga beberapa kali mengajak ke sana.

***

Serba salah, ya, jadi Lisa, mau beli untuk anak saja dibatasi. Kira-kira, Mas Ari bakal kasih ijin buat Lisa apa enggak, ya, buat mengunjungi ibunya?

Bab terkait

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 6

    Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku."Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat WA. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status WhatsApp milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? Sirup untuk Ibu, nanti ak

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 7

    Sabtu pagi, aku melihat Mas Ari masih santai, nampaknya hari ini ia libur. Ya, hari kerja Mas Ari terkadang hanya lima hari saja. Jika pekerjaan sedang banyak, barulah ia berangkat, itupun tak sampai sore. "Ke rumah Ibu? Mau ngapain?" tanya Mas Ari sambil menautkan kedua alisnya.Ah … akan alot soal perijinan ini kalau Mas Ari sudah bertanya mau ngapain. Aku nggak mau nyerah, ayok rayu lagi Lisa!"Silaturahmi Mas, aku kan juga kangen sama Ibu, Ibu juga kangen sama cucu-cucunya. Sudah lama lho, Mas, kita nggak ke sana. Padahal kan dekat, nggak sampai sejam naik motor," aku mulai mengerucutkan bibir."Hm … kangen, ya?" tanyanya, nampak berpikir."Iya, Mas, boleh, ya?" pintaku, dengan memasang wajah memelas."Ya, sudah, ayok siap-siap!" titahnya kemudian."Asyik, alhamdulillah, makasih ya, Mas. Aku siapkan anak-anak dulu," ujarku kegirangan."Siapkan apa? Udah, nggak usah mandi, nanti mandi di sana aja biar puas nyemplung sungai."Wah, ini sungguh kejutan. Tak biasanya begini. Ini seben

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 8

    "Sa, hati-hati ya, kalau punya uang, disimpan, gunakan seperlunya, jangan dikasih tau itu, suami kamu."Aku mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Imam, kakakku satu-satunya. Apa dia tau kalau aku baru saja diberi hadiah oleh ibu? Kenapa Mas Ari tak boleh dikasih tau?"Iya Mas, makasih ya. Iya, Lisa akan hati-hati. Oiya, kenapa Mas Ari nggak boleh dikasih tau, Mas?"Pesanku langsung centang biru. Aku menunggu balasan, tapi tak kunjung dibalas. Kenapa lagi Mas Imam ini?Sedang bertanya-tanya dengan keanehan pesan Kakakku, tiba-tiba adikku sudah muncul di depan pintu. Ia membawa pucuk daun singkong dalam gendongan. Ada lagi satu ember hitam entah apa isinya."Nih, Mbak, masih suka daun singkong nggak?" tanyanya setelah mengucap salam.Daun singkong itulah penolong kami kala masih sama-sama bocah. Di sawah Ibu, banyak ditanami singkong sehingga kami bisa memetik dan menjualnya dalam bentuk buntil daun singkong. Itulah menu

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 9

    Malam semakin pekat, namun kedua netra ini tak kunjung terpejam. Aku terbaring di antara kedua anak dan suami, lantas memandang wajah lelah mereka satu per satu dalam cahaya kamar yang remang-remang. Wajah mereka nampak manis sekali saat sedang terlelap seperti ini.Mengecup wajah mereka satu per satu, kemudian aku bangkit berdiri untuk melaksanakan sholat malam, mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan. Ingin menumpahkan segala kesah dalam diri ini di atas sajadah, serta mohon petunjuk langkah apa yang harus diambil untuk hari esok.Aku masih shock setelah menerima tabungan yang jumlahnya tak sedikit dari Ibu. Seumur hidup, aku belum pernah memiliki tabungan sebanyak itu. Mau cerita sama Mas Ari, tapi ingat pesan Mas Imam, jadi urung. Juga sikap misterius yang ia tunjukkan kemarin membuat aku berpikir dua kali untuk blak-blakan seperti selama ini.Teringat tingkah aneh Mas Ari kemarin saat di rumah Ibu, aku mencari keberadaan ponsel hitam milikn

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 10

    Apapun kesibukan di rumah, aku berusaha semua selesai sebelum Mas Ari pulang. Jam menunjuk pukul setengah empat sore, aku harus bergegas."Ayah … Ayah … ."Teriakan kedua anakku terdengar saat suara motor yang khas berhenti di depan rumah.Lah, belum juga selesai kok sudah pulang si Ayah?."Pakeett … ."Teriakan petugas pengirim paket membuat aku terlonjak, juga kedua anakku yang sedang asyik menonton film kartun kesayangan. Aku bergegas ke luar kamar untuk meraih amplop yang sudah kusiapkan. Di sana tertera keterangan jumlah uang dan keperluan, berjaga-jaga supaya uang sudah siap saat paket datang.Petugas paket segera pamit setelah serah terima barang dan uang. Anak-anak sudah mengekor di belakang dan berebut kotak besar yang ada di tanganku."Ini apa Bu?""Ayo kita lihat sama-sama ya. Kakak, tolong ambilkan gunting ya, sayang.""Oke Bu.""Wah, baju Bu, buat siapa?"Mereka terkagum-kagum melihat pakaian yang banyak di depan mereka."Ini buat kamu berdua, ini buat Ayah, ini buat Ibu

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 11

    Buat Mama Mana?Hari kian gelap. Anak-anak sudah terlelap ditemani sang Ayah. Aku melanjutkan memilah pakaian yang sudah tak layak untuk diganti dengan yang baru. Kardus mi instan bahkan tak cukup untuk menampung sortiran pakaian ini.Terdengar suara langkah kaki mendekat, ternyata Mas Ari."Dek, kamu ngapain belanja sebanyak ini? Ini tuh calon keset, beli banyak-banyak buat apa?"Astaghfirullah, hatiku sungguh teriris mendengar tutur kata Mas Ari. Berkali-kali aku mengucap istighfar. Sesekali aku melihat ke arah kamar di mana anak-anak sedang terlelap. Takut kalau suara Mas Ari membangunkan mereka."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku kemudian, setelah memastikan kalau keduanya tak terganggu."Ya, ini. Ini belanjaan yang kamu posting tadi siang, kan?"Ia menunjuk pakaian yang tertumpuk rapi di atas dipan di kamar belakang."Iya Mas, kamu benar, ini belanjaan yang aku posting tadi siang. Apa salahnya sih Mas, sampai

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 12

    Hari itu pun tiba. Hari di mana aku dan anak-anak dibawa berkunjung ke rumah Mama mertua. "Kita mampir di sini dulu ya, Dek."Mas Ari menghentikan sepeda motor di depan sebuah butik terkenal di kota ini. Apa dia mau membeli gamis itu di sini?"Tunggu di sini ya, Mas ke dalam dulu.""Iya Mas."Terserah kamu Mas, aku malas berdebat."Ayah, Kakak ikut … .""Adek ikut Yah, ikut … ."Bagus Nak, ikuti ayahmu biar nggak semena-mena lagi."Kakak sama adik di sini saja ya, cuma sebentar kok," ujarnya, berusaha membujuk. "Dek?"Aku tahu ia tak mau diganggu. Tapi aku bergeming."Dek, tolong pegang anak-anak dulu, itu ada yang jual es krim, kamu ajak mereka ke sana ya."Aku memutar bola mata malas. "Mana duitnya?"Sengaja aku menadahkan tangan. Ia belum memberikan uang gajinya bulan ini."Ke sana dulu, nanti Mas susul," jawabnya enteng, sambil daguny

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 13

    PeluangRista baru pulang menjelang siang. Ia langsung menghambur memeluk dan menciumi kedua keponakan yang masih asyik memberi makan ikan. Di samping rumah Mama ada kolam kecil, berisi ikan nila yang berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa."Tante, lihat! Ikannya makan," ucap si kakak setelah melepaskan diri dari pelukan tantenya."Iya, Sayang. Makan apa ya, ikannya?""Makan ini, Tante, kata ayah namanya pelet ya?""Hehe, bener sayang namanya pelet.""Yuk, masuk yuk, ikannya sudah kenyang tuh. Gantian kakak sama adik ya yang makan. Nanti Tante suapain, deh.""Mau … mau … ."Keduanya menghambur masuk mengikuti tantenya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka."Mbak, mana, katanya mau traktir aku?"Masih ingat rupanya tentang obrolan tempo hari di WhatsApp."Gampang itu.""Itu Ria, gamis kamu tadi disimpan sama Mama," Mas Ari menimpali."Wah, benarkah? Makasi

Bab terbaru

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ekstra part

    Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ending

    Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 131. Jelang Ending

    Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 130. Terjebak

    "Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 129. Reuni

    Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 128. Penasaran

    Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 127. Bukan Kebetulan

    Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 126. Yang Kedua

    Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 125. Sabar Adikku

    Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene

DMCA.com Protection Status