“Jadilah istri saya, Naina. Lepaskan suamimu.” Seperti halnya angin surga, tawaran itu menenangkan hati Naina yang berjuang menahan rasa sakit dalam hubungan pernikahan yang dia bangun 3 tahun. Sudah cukup dia menderita. Sekarang, Jake harus menerima karmanya.
View MoreTING!
__BCX Mobile :
Dana masuk melalui layanan BI-Fast sebesar Rp. 20,000,000.00
Naina hanya diam melamun.
Tak ada binar dimatanya, hanya ada tatapan kosong yang tak tersentuh disana.
Tak berselang lama, ponselnya berbunyi nyaring. Dengan tenang dia mengangkat ponselnya.
“Halo.” Jawaban Naina terdengar lemah.
“Kau sudah menerima uangnya kan? sekarang datang ke rumah sakit, Evelyn butuh donor darah lagi.”
Suara dingin penuh perintah mutlak itu membuat Naina muak, dengan memejamkan matanya dia menjawab.
“Lagi?” Kata Naina dengan pelan.
“Ya, dia sangat butuh karena kondisinya memburuk lagi.”
Naina terdiam sebentar, sudah berapa kali dia mendonorkan darah untuk kekasih masa kecil suaminya itu dalam satu bulan ini?
Karena tak ingin berdebat, dia hanya menjawab, “Oke, tapi setelah itu aku ingin menemui ayah.”
“Terserah. Tapi hanya tiga puluh menit, kata dokter jika kita ingin punya anak kau harus sehat dan banyak istirahat. Kita sudah dua tahun menikah, tapi kau selalu keguguran.” Suara dingin dan menusuk itu tak dihiraukan oleh Naina, dia hanya diam hingga Jake mengakhiri panggilannya.
Dengan pelan dia bangkit dari ranjang, memoles wajahnya sedikit dengan sentuhan make up tipis agar tak terlihat pucat.
Dua tahun ternyata berlalu sangat lama baginya. Dua tahun yang menguras isi hati dan pikirannya. Sudah banyak air mata yang jatuh selama itu? Naina sampai tak bisa menghitung, tubuh di depan cermin itu begitu mengerikan. Sangat kurus dan pucat.
Jake adalah suaminya, tapi dia lebih mementingkan kekasih masa kecilnya. Apapun itu dia selalu menjadi yang kedua setelah wanita itu.
Tak cukup hanya berkorban itu saja, dia juga dipaksa untuk mendonorkan darah setiap waktu jika wanita itu membutuhkan darah. Padahal darah yang mereka miliki tidaklah langka, tapi kenapa suaminya lebih memilih mengorbankan kesehatan istrinya hanya untuk wanita itu?
Bahkan dengan kejamnya suaminya, menjebaknya dan mendonorkan hatinya dengan paksa demi menyelamatkan kekasihnya, padahal saat itu dia tengah hamil muda.
Dia masih merasa sakit hati dengan keputusan Jake, dia menelan semua pil pahit itu sendirian.
Dan sekarang, dia masih menyalahkannya karena keguguran?
Air mata Naina langsung jatuh, tapi buru-buru dia menghapusnya.
“Ini demi ayah, Naina. Ayah butuh pengobatan.” Gumam Naina menguatkan diri ketika merasa dunia tak adil baginya.
Dengan segera dia mengambil tasnya dan pergi dengan mobilnya sendiri.
Naina mengemudikan mobilnya dengan tangan yang bergetar. Matanya fokus pada jalan, meskipun pikirannya melayang ke arah kenangan-kenangan pahit yang tak pernah bisa ia singkirkan. Setiap deru mesin terasa seperti detak waktu yang menuntunnya pada takdir yang tak ia pilih.
Saat tiba di rumah sakit, aroma khas desinfektan langsung menusuk hidungnya. Langkah kakinya berat, seakan tubuhnya enggan bergerak. Dia melirik layar ponselnya sekali lagi. Pesan terakhir dari Jake tertera dengan jelas: "Jangan lama-lama." Pesan yang dingin dan tanpa emosi.
"Nyonya Naina," seorang perawat menyapanya lembut ketika ia tiba di ruang donor. Wanita itu tampak sudah mengenal Naina, mungkin karena frekuensinya datang ke rumah sakit terlalu sering. "Kami sudah menyiapkan semuanya. Anda bisa langsung ke ruangan."
Naina hanya mengangguk, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dalam diam, ia mengikuti langkah perawat menuju ruangan tempat ia akan kembali menyerahkan tubuhnya demi seseorang yang tak pernah peduli pada keberadaannya. Tubuhnya berbaring di tempat tidur donor, dan pandangan matanya menatap langit-langit putih di atasnya.
"Ini tidak akan lama," ujar perawat itu dengan suara lembut. Jarum pun menusuk kulitnya, mengalirkan darahnya yang berharga untuk Evelyn. Wanita yang menjadi poros dari segala penderitaan ini.
****
Proses donor darah selesai, tapi rasa lelah dalam tubuhnya tak hilang. Bahkan, semakin berat.
Ketika dia meninggalkan ruangan, Jake sudah menunggu di lorong rumah sakit. Tangannya bersilang, ekspresinya dingin seperti biasanya. "Ayo," ucapnya singkat.
Naina menatapnya sejenak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi seperti biasa, semua kata-kata itu hanya tertahan di ujung lidahnya. Dia menunduk dan berjalan ke arahnya, mengikuti langkah suaminya yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Saat langkah Jake berhenti, Naina otomatis berhenti.
Jake berbalik dan menatap Naina dengan tajam.
“Kau datang terlalu lama, bagaimana jika Evelyn tak bisa bertahan?” Kata pria itu dengan dingin. Seolah tak peduli keadaan Naina yang jauh lebih membutuhkan perawatan dibandingkan Evelyn.
Naina hanya bisa menunduk, “Maaf, badanku lemas jadi aku menyetir dengan hati-hati dijalan.” Katanya dengan pelan.
“Kau selalu saja berpura-pura lemah! Mulai besok aku akan memberimu supir, jadi tak ada alasan buat terlambat!” Kata Jake lagi lalu pergi begitu saja meninggalkan Naina.
Naina hanya mendesah lelah, kemudian duduk di kursi besi yang ada di rumah sakit. Rasa pusingnya semakin kuat, tapi siapa yang peduli?
“Supir katanya?” Gumamnya dengan sarkas.
Sejak awal menikah seharusnya fasilitas menjadi nyonya rumah seperti halnya supir sudah harus diberikan oleh Jake, tapi nyatanya semua fasilitas itu diberikan pada Evelyn.
Naina tertawa pelan mengingat itu, “Dia memberikanku supir karena tak ingin aku terlambat mendonorkan darah. Apa kau benar-benar kejam seperti ini, Jake?” Gumamnya sambil menatap lantai dingin rumah sakit itu.
Dengan perlahan dia berjalan pelan menuju ke ruang tempat ayahnya di rawat. Sudah tiga tahun ayahnya sakit parah, terlebih ayahnya mengidap kanker otak dimana sulit untuk disembuhkan, obat hanya untuk menghentikan pertumbuhannya saja.
Maka dari itu biaya perawatan ayahnya sangat besar dan dia bukan dari kalangan orang berada. Selama ini Jake yang berjasa karena mau membantu membiayai rumah sakit ayahnya meskipun sangat besar.
Setidaknya itulah yang membuat Naina masih begitu mencintai Jake walaupun Jake terkadang sangat kejam padanya, karena Jake rela berkorban untuknya dan ayahnya.
“Aku harus kuat, anggap ini adalah balasan untuk kebaikan Jake selama ini. Kau harus bertahan Naina, dia hanya kekasih sedangkan kau adalah istrinya” Itu adalah kata penguat Naina setiap hari jika merasa kehidupan ini tidak adil.
Naina melangkah perlahan menuju kamar ayahnya. Meski tubuhnya terasa semakin lemah, ia tetap tersenyum saat membuka pintu kamar itu.
“Ayah...” panggilnya lembut.
Di atas ranjang rumah sakit, pria tua yang terlihat semakin rapuh menoleh perlahan. Matanya yang redup menyala sejenak saat melihat Naina. “Kamu sudah datang, Nak.”
Naina mendekat, duduk di samping tempat tidur ayahnya, lalu menggenggam tangan yang sudah lemah itu. “Bagaimana hari ini? Apa ayah merasa lebih baik?” tanyanya sambil mencoba menyembunyikan rasa letihnya.
Ayahnya hanya tersenyum tipis. “Seperti biasanya. Tidak banyak berubah, tapi aku masih bisa melihat wajahmu, dan itu sudah cukup untukku.”
Mendengar itu, dada Naina terasa sesak. Ia tahu waktu ayahnya tidak banyak, tapi ia ingin terus percaya bahwa masih ada harapan, bahwa setiap detik yang ia korbankan tidak sia-sia.
“Kamu terlihat lelah, Nak. Apa Jake baik padamu?” tanya ayahnya tiba-tiba.
Naina terdiam, pertanyaan itu selalu menjadi momok baginya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, mengungkap semua rasa sakit yang ia pendam, tapi ia tahu itu hanya akan membuat ayahnya merasa bersalah. Jadi, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
“Dia sangat baik, Ayah. Dia bahkan memberiku supir agar aku tidak terlalu lelah.”
Ayahnya tersenyum lega. “Syukurlah. Jake pria yang bertanggung jawab. Aku selalu percaya dia akan menjaga kamu.”
Kata-kata itu menghantam Naina seperti palu. Bertanggung jawab? Menjaga? Dua kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan hidupnya. Tapi ia tetap diam, menggenggam tangan ayahnya lebih erat, seolah mencoba menyerap kekuatan dari pria yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkannya.
“Jangan menyusahkan Jake ya, Nak. Jadilah istri yang patuh, jika ayah sudah tidak ada hanya Jake, suamimu, yang akan menjagamu.”
Kata-kata itu berhasil membuat Naina menangis, dia segera mencium tangan ayahnya sambil menahan isak.
‘Ayah, andai kau tahu yang sebenarnya, apakah kau akan mengatakan hal seperti itu?’ Batinnya yang tak bisa dia ungkapkan.
“Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert
“Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da
“Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka
Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek
“Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng
“Baby boy datang….” Nyonya Sisca membawa box bayi dengan semangat.Naina yang terbaring di ranjang tersenyum bahagia karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putranya setelah beberapa hari dalam perawatan.Nyonya Sisca meletakkan box bayi itu dengan hati-hati di samping ranjang Naina. “Lihatlah, dia sudah membuka matanya tadi pagi. Seperti sedang mencari-cari ibunya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca karena haru.Naina mengangkat tangannya pelan, matanya sudah basah melihat sosok mungil di dalam box itu. “Sayang… sini, peluk mama,” bisiknya lirih.Marven dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dada Naina. Tangis kecil si bayi langsung mereda saat merasakan dekapan ibunya.“Raynar Elric Tuner,” gumam Naina sambil mencium kening putranya. “Selamat datang di dunia, nak…”Marven berdiri di samping mereka, mengelus lembut kepala istrinya dan putranya. “Keluarga kita lengkap sekarang…” ucapnya pelan, penuh rasa syukur.Rosana yang menyaksikan dari pintu hanya ter
Di luar ruang operasi, ketiganya tampak berdoa masing-masing menunggu kabar baik.Setelah beberapa jam telah terlewati, mereka mendengar suara tangis bayi di dalam.Nyonya Sisca dan Rosana langsung menoleh, senyum mereka akhirnya merekah.“Bayinya selamat!” Ucap Nyonya Sisca bahagia.Namun Marven sama sekali tak merasa lega, karena dia belum melihat dokter keluar dan bagaimana keadaan istrinya di dalam.Marven berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti batu. Suara tangis bayi yang seharusnya menjadi kabar bahagia justru terasa menggantung baginya. Matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.Rosana berdiri di sampingnya, ikut terdiam saat menyadari ekspresi kakaknya tak berubah. Nyonya Sisca, yang sebelumnya tersenyum lega, kini ikut dilanda cemas lagi.Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi akhirnya terbuka.Seorang dokter keluar, wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan sikap profesional. Marven langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.“Dok,
“Sayang, hati-hati!”Suara Marven menggema cukup keras dari balik balkon, namun Naina yang sedang berjalan santai dari arah taman tidak terlalu mendengarnya. Fokusnya tertuju pada burung kecil yang bertengger di pagar, membuat langkahnya sedikit melambat.Namun tiba-tiba kakinya menginjak batu kecil yang tertanam tak rata di jalan setapak. Dalam sekejap, tubuh Naina kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh ke samping, dan suara benturan tubuhnya di tanah disertai ringisan kesakitan langsung membuat jantung Marven seakan berhenti berdetak.“Naina!”Ia langsung berlari menuruni anak tangga tanpa pikir panjang. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu pun ikut panik.“Aaahh… Marven… perutku…” suara Naina lirih namun penuh ketakutan, tangannya menggenggam erat perutnya yang besar.Ketika Marven sampai di sisinya, ia melihat noda darah mulai merembes dari balik gaun Naina. Wajahnya langsung pucat. “B-Ben! Siapkan mobil sekarang! Cepat! Kita ke rumah sakit!” teriaknya tanpa menoleh.Ben yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments