Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem
“Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya
“Tuan, ada kabar buruk. Nyonya Naina koma.” Suara Ben yang menggelegar memecah keheningan, langsung membuat suasana di ruang kerja Marven berubah tegang.“Apa?!” Marven langsung berdiri dari kursinya, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben.Ben mengangguk cepat, wajahnya menunjukkan rasa cemas. “Tim belum memberikan informasi detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisi Nyonya Naina saat ini kritis.”Marven mengepalkan tangannya dengan geram, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meluap. Matanya tajam, penuh determinasi.“Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.********Di kamarnya, Evelyn menatap Jake dengan mata berkaca-kaca, ekspresi wajahnya penuh kepura-puraan. "Jake... Kau tidak marah padaku, kan? Aku tidak bermaksud membuat Naina koma. Aku hanya... aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku hanya ingin hidup," ucapnya dengan suara lemah, seolah-olah dia adalah korban dalam situasi ini.Jake menghela napas pa
“Kau… siapa?” Marven, yang mendengar pertanyaan itu, hanya melirik sekilas ke arah sumber suara. Tatapannya tajam, penuh wibawa, tetapi ia sama sekali tidak berniat menjawab. Setelah sesaat, ia mengalihkan perhatian kembali ke dokter, seolah Jake hanyalah angin lalu.“Bagaimana keadaannya?” tanya Marven dengan nada tegas dan dingin. “Saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi sekarang.”“Anda?” Dokter menggantungkan pertanyaannya, wajahnya tampak terlihat bingung.“Saya orang terdekatnya.” Kata Marven tegas.Jake yang mendengar pernyataan Marven langsung melangkah maju dengan ekspresi penuh kemarahan. “Orang terdekatnya? Kau bercanda? Aku suaminya! Siapa kau yang tiba-tiba muncul mengaku orang terdekat istriku.” Marven menoleh perlahan, matanya yang dingin dan penuh otoritas menatap langsung ke arah Jake. “Suami?” ucapnya dengan nada rendah namun menusuk. “Lalu, apa yang kamu lakukan hingga dia sekarang berada dalam kondisi seperti ini? Seorang suami seharusnya melindungi, bukan meng
BRAK!Suara pintu yang dibuka kasar oleh seseorang membuat Naina dan Marven yang ada di dalam ruangan terkejut.Disana, Jake terlihat berwajah kusut menahan amarah. Naina segera bangkit dari tidurnya namun Marven mencegahnya.“Tidur lagi saja, jangan pedulikan.” Kata Marven dengan tenang.Naina bingung, “Tapi–”“NAINA!! Bagus ya, kau ternyata berselingkuh di belakangku? Pantas saja aku curiga, ternyata bajingan ini adalah selingkuhanmu!!” Emosi Jake meledak seketika melihat Marven yang sangat peduli pada Naina.“Apa yang kau katakan. Aku tidak berselingkuh!” Naina yang dituduh tidak terima, apalagi yang Jake tuduh adalah bos-nya sendiri.“Lalu dia siapa? Dia mengaku orang terdekatmu tadi, aku benar-benar tak percaya. Kau ternyata rubah licik yang memanfaatkan aku untuk kesembuhan ayahmu dan kau malah berselingkuh dengan pria jalanan yang tak jelas!”Naina yang mendengar itu benar-benar tak percaya, ingin sekali dia meludahi Jake sekarang karena mengaku jika dimanfaatkan olehnya. Tapi
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N