Share

BAB 3

Penulis: Mayasa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 19:57:15

BYUR!!!

Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.

Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.

Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.

“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.

Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.

Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.

Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban. 

"Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu staf rumah sakit. Kau menyebarkan rumor tentangnya!"

Naina menggeleng lagi, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak pernah melakukan itu, Jake. Aku bahkan tidak punya alasan untuk mengatakan hal seperti itu."

Evelyn melangkah maju, suaranya terdengar patah-patah di antara isakan. "Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mendengar sesuatu seperti itu dari Naina… seseorang yang seharusnya memahami perasaanku… itu sangat menyakitkan." Dia menutup wajahnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan air matanya yang jatuh.

Jake mendengus keras, wajahnya semakin memerah. "Kau benar-benar keterlaluan, Naina. Setelah semua yang telah aku lakukan untukmu dan ayahmu, kau masih tega menyakiti Evelyn!"

Naina terdiam, tubuhnya gemetar karena rasa sakit di pipi dan hatinya. Suara Jake terus bergema di telinganya, menyayat hati. Namun di dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah manipulasi yang dimainkan Evelyn untuk membuatnya terlihat buruk di mata Jake. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bahkan suaminya sendiri lebih memilih untuk percaya pada orang lain daripada dirinya.

Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Naina mencoba bicara. "Jake, aku tidak melakukannya. Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti itu."

Namun Jake hanya mengibaskan tangan, mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin mendengar apa pun lagi. "Aku tidak ingin mendengar alasanmu, Naina. Aku sudah lelah dengan drama ini. Mulai sekarang kau harus memperlakukan Evelyn jauh lebih baik, dia sakit tidak sepertimu yang sehat!"

Setelah mengatakan itu, Jake menggandeng tangan Evelyn dengan lembut, membawanya keluar dari kamar Naina tanpa memberi kesempatan bagi Naina untuk membela diri lebih jauh. 

Naina duduk di tempat tidur, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Hingga tak lama sebuah pesan dari Evelyn langsung membuat Naina terdiam.

“Bagaimana? enak di tampar? Makanya jangan bermain-main denganku, Naina.”

Pesan itu membuat Naina tersenyum muak, “Wanita licik.” Gumamnya dengan pelan.

******

“Kau sudah makan?” 

Pertanyaan dari Jake itu sukses membuat Naina menoleh, sejak tadi pagi dia baru keluar dari kamarnya siang ini. Dia cukup terkejut melihat Jake tidak pergi ke kantornya.

“Ini aku mau makan.” Kata Naina dengan pelan.

“Oke, sore ini ulang tahun kakek. Aku harap kau tak membuat masalah lagi seperti tahun kemarin.” Kata Jake kemudian berlalu pergi ke ruang kerjanya.

Naina hanya diam, kemudian mengambil nasi dan telur yang tersisa di meja.

Dia makan dengan lahap karena sejak semalam dia bahkan belum sempat makan. Berjuang juga butuh energi, terlebih menghadapi suaminya dan kekasih masa kecilnya.

Mengingat nanti dia datang ke acara ulang tahun tuan besar Vesper membuat Naina menghela nafas berat. Tahun lalu dia seperti pelayan dibanding menantu disana.

‘Apakah nanti akan berakhir sama?’ Gumamnya.

****

Pesta ulang tahun mewah yang diadakan di rumah tua Vesper di datangi oleh tamu-tamu besar yang hadir.

Naina dengan gaun biru cerahnya tampak cantik meskipun terlihat pucat, disampingnya ada Jake yang menggandeng tangan Naina seperti pasangan suami istri yang saling mencintai.

Di tengah gemerlap pesta dan denting gelas kristal, Naina berdiri dengan senyuman tipis di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya. Gaun biru cerah yang ia kenakan membuatnya terlihat anggun, tetapi tatapan kosong di matanya tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.

Jake menggandeng tangannya dengan erat, seolah-olah mereka adalah pasangan yang sempurna. Namun, Naina tahu, genggaman itu hanyalah formalitas—sebuah sandiwara untuk menjaga citra keluarga di depan para tamu.

“Ayo menyapa kakek.” Ajak Jake dengan dingin.

Naina mengangguk dan menghampiri kursi kebesaran kakek Jake, pria yang sudah berumur sembilan puluh tahun itu masih terlihat sehat dengan tongkat kayu langkanya yang tak pernah lepas dari tangan.

“Selamat ulang tahun, kakek. Semoga berumur panjang dan sehat selalu. Semoga kejayaan terus menyertaimu.” Kata mereka dengan seirama.

Tuan besar Vesper mengangguk, “Ya, terima kasih.” Jawabnya dengan datar.

“Istrimu kapan hamil? Sudah dua tahun aku menunggu keturunan darimu.” Kata pria tua itu dengan dingin.

Naina hanya diam, tak berani menjawab. Dia tak tahu akan semurka apa kakeknya jika tahu sebelumnya dia hamil, namun karena mendonorkan hati untuk kekasih masa kecil Jke dia harus mengalami keguguran.

“Kami masih berusaha, kek.” Jawab Jake dengan tenang, seolah merasa tak bersalah telah menghilangkan nyawa anak mereka.

Naina hanya bisa menahan itu semua, dan berpura-pura tersenyum.

Tuan besar Vesper menatap Naina dengan tajam, seolah-olah semua beban harapan keluarga itu sepenuhnya berada di pundaknya. "Berusaha? Berapa lama lagi? Usia bukan hal yang bisa kau beli, Jake. Aku ingin melihat cucuku sebelum aku mati," ujarnya, suaranya tajam namun penuh wibawa.

Jake mengangguk kecil, wajahnya tetap tenang. "Kami akan berusaha lebih keras, Kek. Aku janji."

Naina ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa ia sudah berusaha lebih dari cukup—lebih dari yang bisa ditanggung oleh tubuh dan hatinya. Namun, lidahnya kelu. Ia tahu, kata-katanya tidak akan ada artinya di sini.

“Ayah, jangan menyalahkan anakku. Mungkin karena menantu miskin itu yang bermasalah. Dia selalu membuat bencana di keluarga kita.” Suara ibu mertuanya muncul dari belakang, Naina hanya menunduk takut. Ingatannya tak begitu bagus jika menatap wajah wanita paruhbaya itu.

“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.

Serina menatap sinis menantunya itu, “Cih, sana pergi ke dapur bantu para pelayan untuk cuci piring!”

Naina berdiri terpaku, tubuhnya terasa kaku di bawah tatapan dingin ibu mertuanya, Serina. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tamparan mana pun. Seolah kehadirannya di pesta ini, bahkan dalam keluarga ini, hanyalah sebuah kesalahan.

"Pergi!" desis Serina lagi, suaranya rendah tetapi penuh ancaman, membuat para tamu terdekat yang mendengar tersenyum kecil, menikmati penghinaan itu sebagai hiburan.

Jake tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghindari tatapan Naina, pura-pura sibuk dengan segelas anggur di tangannya. Itu lebih menyakitkan daripada kata-kata Serina. Bahkan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya tidak menganggapnya cukup berarti untuk dibela.

"Maaf," gumam Naina sekali lagi, sebelum berbalik dan melangkah ke dapur. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang siap tumpah. Di belakangnya, ia masih bisa mendengar bisikan para tamu, dan gelak tawa kecil yang memperolok dirinya. 

Di dapur, ia mendapati beberapa pelayan yang sibuk membersihkan piring dan mengatur hidangan berikutnya. Mereka menatapnya dengan campuran kasihan dan kebingungan. Namun, Naina tidak peduli. Ia mengambil selembar celemek dan mulai mencuci piring tanpa berkata sepatah kata pun.

Setelah pesta selesai, Naina langsung masuk ke dalam aula pesta, namun tak melihat Jake dimanapun.

“Apa dia sudah pulang?” Gumamnya dengan bingung.

Dia akhirnya mengecek mobil Jake di luar, namun nihil. Dia benar-benar tak menemukan mobil suaminya.

Dia kemudian melepas sepatu hak tingginya dan jalan kaki, ponselnya mati hingga dia tak bisa memesan taxi.

Dengan pelan dia berjalan di trotoar sambil melamun, namun dia melihat mobil suaminya yang melewatinya. Wajahnya langsung cerah dan ingin memanggil suaminya, tapi langsung diam saat dia melihat suaminya sedang bersama Evelyn di dalam mobil.

Dia tersenyum getir dan air matanya tumpah begitu saja, dia memilih berjalan lagi sambil melihat mobil itu semakin menjauh.

Hujan mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga saat dia akan jatuh tiba-tiba seseorang menangkapnya.

Mata mereka saling bertemu, untuk pertama kalinya Naina terpana dengan ketampanan seorang pria asing. Namun, aura gelap dan mendominasi dari pria itu membuat hatinya bergetar takut.

Apakah dia malaikat maut? Apa kematianku sudah dekat?

Hingga kesadarannya mulai hilang, semua terasa gelap namun samar-samar dia mendengar suara.

“Wanita cantik sepertimu tak pantas menderita.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Marlina Yulita
wow mantap
goodnovel comment avatar
Jumaini
ada harapan
goodnovel comment avatar
Linda Torun
mantap seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 4

    “Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.Jake langsung mencengkram dagu Naina sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 5

    “Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 6

    Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 7

    Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 8

    “Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 9

    Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 10

    Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 11

    “Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 172

    “Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 171

    “Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 170

    Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 169

    Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 168

    “Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 167

    “Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 166

    “Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 165

    “Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 164

    “Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status