BYUR!!!
Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.
Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.
Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.
“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.
Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.
Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.
Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban.
"Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu staf rumah sakit. Kau menyebarkan rumor tentangnya!"
Naina menggeleng lagi, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak pernah melakukan itu, Jake. Aku bahkan tidak punya alasan untuk mengatakan hal seperti itu."
Evelyn melangkah maju, suaranya terdengar patah-patah di antara isakan. "Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mendengar sesuatu seperti itu dari Naina… seseorang yang seharusnya memahami perasaanku… itu sangat menyakitkan." Dia menutup wajahnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan air matanya yang jatuh.
Jake mendengus keras, wajahnya semakin memerah. "Kau benar-benar keterlaluan, Naina. Setelah semua yang telah aku lakukan untukmu dan ayahmu, kau masih tega menyakiti Evelyn!"
Naina terdiam, tubuhnya gemetar karena rasa sakit di pipi dan hatinya. Suara Jake terus bergema di telinganya, menyayat hati. Namun di dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah manipulasi yang dimainkan Evelyn untuk membuatnya terlihat buruk di mata Jake. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bahkan suaminya sendiri lebih memilih untuk percaya pada orang lain daripada dirinya.
Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Naina mencoba bicara. "Jake, aku tidak melakukannya. Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti itu."
Namun Jake hanya mengibaskan tangan, mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin mendengar apa pun lagi. "Aku tidak ingin mendengar alasanmu, Naina. Aku sudah lelah dengan drama ini. Mulai sekarang kau harus memperlakukan Evelyn jauh lebih baik, dia sakit tidak sepertimu yang sehat!"
Setelah mengatakan itu, Jake menggandeng tangan Evelyn dengan lembut, membawanya keluar dari kamar Naina tanpa memberi kesempatan bagi Naina untuk membela diri lebih jauh.
Naina duduk di tempat tidur, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Hingga tak lama sebuah pesan dari Evelyn langsung membuat Naina terdiam.
“Bagaimana? enak di tampar? Makanya jangan bermain-main denganku, Naina.”
Pesan itu membuat Naina tersenyum muak, “Wanita licik.” Gumamnya dengan pelan.
******
“Kau sudah makan?”
Pertanyaan dari Jake itu sukses membuat Naina menoleh, sejak tadi pagi dia baru keluar dari kamarnya siang ini. Dia cukup terkejut melihat Jake tidak pergi ke kantornya.
“Ini aku mau makan.” Kata Naina dengan pelan.
“Oke, sore ini ulang tahun kakek. Aku harap kau tak membuat masalah lagi seperti tahun kemarin.” Kata Jake kemudian berlalu pergi ke ruang kerjanya.
Naina hanya diam, kemudian mengambil nasi dan telur yang tersisa di meja.
Dia makan dengan lahap karena sejak semalam dia bahkan belum sempat makan. Berjuang juga butuh energi, terlebih menghadapi suaminya dan kekasih masa kecilnya.
Mengingat nanti dia datang ke acara ulang tahun tuan besar Vesper membuat Naina menghela nafas berat. Tahun lalu dia seperti pelayan dibanding menantu disana.
‘Apakah nanti akan berakhir sama?’ Gumamnya.
****
Pesta ulang tahun mewah yang diadakan di rumah tua Vesper di datangi oleh tamu-tamu besar yang hadir.
Naina dengan gaun biru cerahnya tampak cantik meskipun terlihat pucat, disampingnya ada Jake yang menggandeng tangan Naina seperti pasangan suami istri yang saling mencintai.
Di tengah gemerlap pesta dan denting gelas kristal, Naina berdiri dengan senyuman tipis di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya. Gaun biru cerah yang ia kenakan membuatnya terlihat anggun, tetapi tatapan kosong di matanya tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Jake menggandeng tangannya dengan erat, seolah-olah mereka adalah pasangan yang sempurna. Namun, Naina tahu, genggaman itu hanyalah formalitas—sebuah sandiwara untuk menjaga citra keluarga di depan para tamu.
“Ayo menyapa kakek.” Ajak Jake dengan dingin.
Naina mengangguk dan menghampiri kursi kebesaran kakek Jake, pria yang sudah berumur sembilan puluh tahun itu masih terlihat sehat dengan tongkat kayu langkanya yang tak pernah lepas dari tangan.
“Selamat ulang tahun, kakek. Semoga berumur panjang dan sehat selalu. Semoga kejayaan terus menyertaimu.” Kata mereka dengan seirama.
Tuan besar Vesper mengangguk, “Ya, terima kasih.” Jawabnya dengan datar.
“Istrimu kapan hamil? Sudah dua tahun aku menunggu keturunan darimu.” Kata pria tua itu dengan dingin.
Naina hanya diam, tak berani menjawab. Dia tak tahu akan semurka apa kakeknya jika tahu sebelumnya dia hamil, namun karena mendonorkan hati untuk kekasih masa kecil Jke dia harus mengalami keguguran.
“Kami masih berusaha, kek.” Jawab Jake dengan tenang, seolah merasa tak bersalah telah menghilangkan nyawa anak mereka.
Naina hanya bisa menahan itu semua, dan berpura-pura tersenyum.
Tuan besar Vesper menatap Naina dengan tajam, seolah-olah semua beban harapan keluarga itu sepenuhnya berada di pundaknya. "Berusaha? Berapa lama lagi? Usia bukan hal yang bisa kau beli, Jake. Aku ingin melihat cucuku sebelum aku mati," ujarnya, suaranya tajam namun penuh wibawa.
Jake mengangguk kecil, wajahnya tetap tenang. "Kami akan berusaha lebih keras, Kek. Aku janji."
Naina ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa ia sudah berusaha lebih dari cukup—lebih dari yang bisa ditanggung oleh tubuh dan hatinya. Namun, lidahnya kelu. Ia tahu, kata-katanya tidak akan ada artinya di sini.
“Ayah, jangan menyalahkan anakku. Mungkin karena menantu miskin itu yang bermasalah. Dia selalu membuat bencana di keluarga kita.” Suara ibu mertuanya muncul dari belakang, Naina hanya menunduk takut. Ingatannya tak begitu bagus jika menatap wajah wanita paruhbaya itu.
“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.
Serina menatap sinis menantunya itu, “Cih, sana pergi ke dapur bantu para pelayan untuk cuci piring!”
Naina berdiri terpaku, tubuhnya terasa kaku di bawah tatapan dingin ibu mertuanya, Serina. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tamparan mana pun. Seolah kehadirannya di pesta ini, bahkan dalam keluarga ini, hanyalah sebuah kesalahan.
"Pergi!" desis Serina lagi, suaranya rendah tetapi penuh ancaman, membuat para tamu terdekat yang mendengar tersenyum kecil, menikmati penghinaan itu sebagai hiburan.
Jake tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghindari tatapan Naina, pura-pura sibuk dengan segelas anggur di tangannya. Itu lebih menyakitkan daripada kata-kata Serina. Bahkan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya tidak menganggapnya cukup berarti untuk dibela.
"Maaf," gumam Naina sekali lagi, sebelum berbalik dan melangkah ke dapur. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang siap tumpah. Di belakangnya, ia masih bisa mendengar bisikan para tamu, dan gelak tawa kecil yang memperolok dirinya.
Di dapur, ia mendapati beberapa pelayan yang sibuk membersihkan piring dan mengatur hidangan berikutnya. Mereka menatapnya dengan campuran kasihan dan kebingungan. Namun, Naina tidak peduli. Ia mengambil selembar celemek dan mulai mencuci piring tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah pesta selesai, Naina langsung masuk ke dalam aula pesta, namun tak melihat Jake dimanapun.
“Apa dia sudah pulang?” Gumamnya dengan bingung.
Dia akhirnya mengecek mobil Jake di luar, namun nihil. Dia benar-benar tak menemukan mobil suaminya.
Dia kemudian melepas sepatu hak tingginya dan jalan kaki, ponselnya mati hingga dia tak bisa memesan taxi.
Dengan pelan dia berjalan di trotoar sambil melamun, namun dia melihat mobil suaminya yang melewatinya. Wajahnya langsung cerah dan ingin memanggil suaminya, tapi langsung diam saat dia melihat suaminya sedang bersama Evelyn di dalam mobil.
Dia tersenyum getir dan air matanya tumpah begitu saja, dia memilih berjalan lagi sambil melihat mobil itu semakin menjauh.
Hujan mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga saat dia akan jatuh tiba-tiba seseorang menangkapnya.
Mata mereka saling bertemu, untuk pertama kalinya Naina terpana dengan ketampanan seorang pria asing. Namun, aura gelap dan mendominasi dari pria itu membuat hatinya bergetar takut.
Apakah dia malaikat maut? Apa kematianku sudah dekat?
Hingga kesadarannya mulai hilang, semua terasa gelap namun samar-samar dia mendengar suara.
“Wanita cantik sepertimu tak pantas menderita.”
“Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.Jake langsung mencengkram dagu Naina sa
“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdu
Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalan
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim
“Marven, dengarkan saya dulu.”“Apa, Naina? Saya benar-benar tak ingin kamu mengikuti jejak bibi. Saya bisa memberikan semua yang kamu butuhkan, harta, status dan juga jabatan yang kamu inginkan. Apalagi yang kurang?” Kata Marven dengan serius.Naina menatap Marven dengan sorot yang sulit diartikan. Hatinya terasa sesak mendengar kata-kata itu.“Marven, saya tidak butuh harta, status, atau jabatan dari kamu,” katanya pelan, tapi tegas.”Tapi saya ingin pantas. Pantas berada disisimu tanpa direndahkan oleh orang lain.”Marven terdiam, tatapannya melembut saat melihat ketulusan di mata Naina. “Kamu tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, Naina,” katanya lirih. Naina menggeleng, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan untuk mereka, Marven. Tapi untuk saya sendiri. Saya ingin berdiri di sampingmu sebagai seseorang yang setara, bukan hanya sebagai wanita yang berlindung di balik namamu.” Marven mengepalkan tangannya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Nyonya Sisca langsung buru-buru mendekati Marven, dia takut jika ponakannya itu mengacaukan semuanya.“Marven, kau datang.” katanya dengan ramah, berusaha meredakan aura kemarahan yang tiba-tiba muncul.Marven mengabaikan Nyonya Sisca begitu saja, tapi wanita itu langsung memegang tangannya dan menggeleng.“Biarkan dia menyelesaikan sambutannya dulu.” katanya penuh permohonan, karena ini juga demi kebaikan mereka.Marven menatap Nyonya Sisca dengan tajam, rahangnya mengeras. Namun, setelah beberapa detik, dia menarik napas dalam dan menoleh ke arah podium. Naina masih berdiri di sana, berbicara dengan percaya diri di hadapan para tamu. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun mewah itu, suaranya tenang namun penuh wibawa. Marven mengepalkan tangannya. ‘Seharusnya dia yang melindungi Naina, bukan membiarkan wanita itu menghadapi semua ini sendirian.’Di sampingnya, Nyonya Sisca berbisik pelan, “Aku tahu kau marah, tapi lihatlah dia, Marven. Naina bukan wanita lemah. Dia bisa menghada