BYUR!!!
Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.
Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.
Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.
“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.
Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.
Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.
Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban.
"Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu staf rumah sakit. Kau menyebarkan rumor tentangnya!"
Naina menggeleng lagi, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak pernah melakukan itu, Jake. Aku bahkan tidak punya alasan untuk mengatakan hal seperti itu."
Evelyn melangkah maju, suaranya terdengar patah-patah di antara isakan. "Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mendengar sesuatu seperti itu dari Naina… seseorang yang seharusnya memahami perasaanku… itu sangat menyakitkan." Dia menutup wajahnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan air matanya yang jatuh.
Jake mendengus keras, wajahnya semakin memerah. "Kau benar-benar keterlaluan, Naina. Setelah semua yang telah aku lakukan untukmu dan ayahmu, kau masih tega menyakiti Evelyn!"
Naina terdiam, tubuhnya gemetar karena rasa sakit di pipi dan hatinya. Suara Jake terus bergema di telinganya, menyayat hati. Namun di dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah manipulasi yang dimainkan Evelyn untuk membuatnya terlihat buruk di mata Jake. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bahkan suaminya sendiri lebih memilih untuk percaya pada orang lain daripada dirinya.
Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Naina mencoba bicara. "Jake, aku tidak melakukannya. Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti itu."
Namun Jake hanya mengibaskan tangan, mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin mendengar apa pun lagi. "Aku tidak ingin mendengar alasanmu, Naina. Aku sudah lelah dengan drama ini. Mulai sekarang kau harus memperlakukan Evelyn jauh lebih baik, dia sakit tidak sepertimu yang sehat!"
Setelah mengatakan itu, Jake menggandeng tangan Evelyn dengan lembut, membawanya keluar dari kamar Naina tanpa memberi kesempatan bagi Naina untuk membela diri lebih jauh.
Naina duduk di tempat tidur, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Hingga tak lama sebuah pesan dari Evelyn langsung membuat Naina terdiam.
“Bagaimana? enak di tampar? Makanya jangan bermain-main denganku, Naina.”
Pesan itu membuat Naina tersenyum muak, “Wanita licik.” Gumamnya dengan pelan.
******
“Kau sudah makan?”
Pertanyaan dari Jake itu sukses membuat Naina menoleh, sejak tadi pagi dia baru keluar dari kamarnya siang ini. Dia cukup terkejut melihat Jake tidak pergi ke kantornya.
“Ini aku mau makan.” Kata Naina dengan pelan.
“Oke, sore ini ulang tahun kakek. Aku harap kau tak membuat masalah lagi seperti tahun kemarin.” Kata Jake kemudian berlalu pergi ke ruang kerjanya.
Naina hanya diam, kemudian mengambil nasi dan telur yang tersisa di meja.
Dia makan dengan lahap karena sejak semalam dia bahkan belum sempat makan. Berjuang juga butuh energi, terlebih menghadapi suaminya dan kekasih masa kecilnya.
Mengingat nanti dia datang ke acara ulang tahun tuan besar Vesper membuat Naina menghela nafas berat. Tahun lalu dia seperti pelayan dibanding menantu disana.
‘Apakah nanti akan berakhir sama?’ Gumamnya.
****
Pesta ulang tahun mewah yang diadakan di rumah tua Vesper di datangi oleh tamu-tamu besar yang hadir.
Naina dengan gaun biru cerahnya tampak cantik meskipun terlihat pucat, disampingnya ada Jake yang menggandeng tangan Naina seperti pasangan suami istri yang saling mencintai.
Di tengah gemerlap pesta dan denting gelas kristal, Naina berdiri dengan senyuman tipis di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya. Gaun biru cerah yang ia kenakan membuatnya terlihat anggun, tetapi tatapan kosong di matanya tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Jake menggandeng tangannya dengan erat, seolah-olah mereka adalah pasangan yang sempurna. Namun, Naina tahu, genggaman itu hanyalah formalitas—sebuah sandiwara untuk menjaga citra keluarga di depan para tamu.
“Ayo menyapa kakek.” Ajak Jake dengan dingin.
Naina mengangguk dan menghampiri kursi kebesaran kakek Jake, pria yang sudah berumur sembilan puluh tahun itu masih terlihat sehat dengan tongkat kayu langkanya yang tak pernah lepas dari tangan.
“Selamat ulang tahun, kakek. Semoga berumur panjang dan sehat selalu. Semoga kejayaan terus menyertaimu.” Kata mereka dengan seirama.
Tuan besar Vesper mengangguk, “Ya, terima kasih.” Jawabnya dengan datar.
“Istrimu kapan hamil? Sudah dua tahun aku menunggu keturunan darimu.” Kata pria tua itu dengan dingin.
Naina hanya diam, tak berani menjawab. Dia tak tahu akan semurka apa kakeknya jika tahu sebelumnya dia hamil, namun karena mendonorkan hati untuk kekasih masa kecil Jke dia harus mengalami keguguran.
“Kami masih berusaha, kek.” Jawab Jake dengan tenang, seolah merasa tak bersalah telah menghilangkan nyawa anak mereka.
Naina hanya bisa menahan itu semua, dan berpura-pura tersenyum.
Tuan besar Vesper menatap Naina dengan tajam, seolah-olah semua beban harapan keluarga itu sepenuhnya berada di pundaknya. "Berusaha? Berapa lama lagi? Usia bukan hal yang bisa kau beli, Jake. Aku ingin melihat cucuku sebelum aku mati," ujarnya, suaranya tajam namun penuh wibawa.
Jake mengangguk kecil, wajahnya tetap tenang. "Kami akan berusaha lebih keras, Kek. Aku janji."
Naina ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa ia sudah berusaha lebih dari cukup—lebih dari yang bisa ditanggung oleh tubuh dan hatinya. Namun, lidahnya kelu. Ia tahu, kata-katanya tidak akan ada artinya di sini.
“Ayah, jangan menyalahkan anakku. Mungkin karena menantu miskin itu yang bermasalah. Dia selalu membuat bencana di keluarga kita.” Suara ibu mertuanya muncul dari belakang, Naina hanya menunduk takut. Ingatannya tak begitu bagus jika menatap wajah wanita paruhbaya itu.
“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.
Serina menatap sinis menantunya itu, “Cih, sana pergi ke dapur bantu para pelayan untuk cuci piring!”
Naina berdiri terpaku, tubuhnya terasa kaku di bawah tatapan dingin ibu mertuanya, Serina. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tamparan mana pun. Seolah kehadirannya di pesta ini, bahkan dalam keluarga ini, hanyalah sebuah kesalahan.
"Pergi!" desis Serina lagi, suaranya rendah tetapi penuh ancaman, membuat para tamu terdekat yang mendengar tersenyum kecil, menikmati penghinaan itu sebagai hiburan.
Jake tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghindari tatapan Naina, pura-pura sibuk dengan segelas anggur di tangannya. Itu lebih menyakitkan daripada kata-kata Serina. Bahkan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya tidak menganggapnya cukup berarti untuk dibela.
"Maaf," gumam Naina sekali lagi, sebelum berbalik dan melangkah ke dapur. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang siap tumpah. Di belakangnya, ia masih bisa mendengar bisikan para tamu, dan gelak tawa kecil yang memperolok dirinya.
Di dapur, ia mendapati beberapa pelayan yang sibuk membersihkan piring dan mengatur hidangan berikutnya. Mereka menatapnya dengan campuran kasihan dan kebingungan. Namun, Naina tidak peduli. Ia mengambil selembar celemek dan mulai mencuci piring tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah pesta selesai, Naina langsung masuk ke dalam aula pesta, namun tak melihat Jake dimanapun.
“Apa dia sudah pulang?” Gumamnya dengan bingung.
Dia akhirnya mengecek mobil Jake di luar, namun nihil. Dia benar-benar tak menemukan mobil suaminya.
Dia kemudian melepas sepatu hak tingginya dan jalan kaki, ponselnya mati hingga dia tak bisa memesan taxi.
Dengan pelan dia berjalan di trotoar sambil melamun, namun dia melihat mobil suaminya yang melewatinya. Wajahnya langsung cerah dan ingin memanggil suaminya, tapi langsung diam saat dia melihat suaminya sedang bersama Evelyn di dalam mobil.
Dia tersenyum getir dan air matanya tumpah begitu saja, dia memilih berjalan lagi sambil melihat mobil itu semakin menjauh.
Hujan mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga saat dia akan jatuh tiba-tiba seseorang menangkapnya.
Mata mereka saling bertemu, untuk pertama kalinya Naina terpana dengan ketampanan seorang pria asing. Namun, aura gelap dan mendominasi dari pria itu membuat hatinya bergetar takut.
Apakah dia malaikat maut? Apa kematianku sudah dekat?
Hingga kesadarannya mulai hilang, semua terasa gelap namun samar-samar dia mendengar suara.
“Wanita cantik sepertimu tak pantas menderita.”
“Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.Jake langsung mencengkram dagu Naina sa
“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdu
Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
“Aku ada perjalanan dinas selama tiga hari.” Kata Naina sambil meletakkan kopi pagi di depan Jake. Hal itu membuat Jake yang sedang bekerja di depan laptopnya langsung mengalihkan perhatiannya, “Aku rasa kau baru saja bekerja, kenapa sudah diajak perjalanan dinas?” Tanyanya dengan curiga.Naina masih bersikap tenang, seolah dia tak membohongi Jake. “Ada karyawan lama yang sedang cuti melahirkan, jadi atasan menyuruhku untuk ikut sambil belajar.” Jake yang mendengar itu ragu, “Oke, hanya tiga hari kan?” Tanya Jake dengan santai.Naina yang mendengar itu langsung mengangguk, dia sedikit bersemangat kala melihat Jake tak mempersulitnya.Jake menyesap kopi yang disajikan Naina sambil tetap menatapnya penuh selidik. "Kau pergi dengan siapa saja?" tanyanya lagi.Naina tersenyum tipis. "Dengan tim kantor, tentu saja," jawabnya ringan, menghindari menyebut nama Marven secara langsung.Jake mengangguk, seolah menerima jawaban itu. Namun, sorot matanya tetap tajam, seakan ingin mencari celah
BRAK!!Suara pintu yang terbanting membuat Naina sedikit tersentak, setelah mereka kembali ke apartemen amarah Jake masih belum mereda.Naina menghela nafasnya kemudian masuk ke dalam kamar, lalu mulai melepaskan semua perhiasan yang dia pakai.Dan pada saat itu juga Jake ikut masuk ke dalam kamar, namun hal yang tak Naina duga, pria itu langsung mencekiknya.Naina terkejut, tangannya secara refleks mencengkram pergelangan tangan Jake, mencoba melepaskan cekikannya. Matanya membelalak, dada terasa sesak, sementara napasnya mulai tersengal. "Ka—kau gila...!" desisnya dengan suara tercekik, berusaha keras untuk melepaskan diri. Mata Jake merah penuh amarah. "Kau mempermalukanku, Naina! Di depan semua orang! Kau menamparku demi pria lain!" suaranya dipenuhi kebencian, cengkeramannya semakin erat. Naina mulai kehilangan tenaga. Kepalanya terasa pusing, pandangannya mulai buram. Jika ini terus berlanjut, dia bisa kehabisan napas. Namun, di saat kesadarannya hampir hilang, tiba-tiba
“Selamat datang tuan Marven Tuner!”Semua orang membungkuk dengan hormat kecuali Jake yang terpaku pada sosok yang berjalan dengan langkah tegas memasuki ballroom.Tuan Dasman yang melihat itu buru-buru menarik tangan Jake untuk segera membungkuk, Jake yang masih linglung langsung membungkuk namun tatapannya masih tetap berada pada pria itu.“Marven Tuner?” Gumamnya bingung.Bukankah pria itu….Jake langsung menatap ke arah Naina yang ikut membungkuk disana, namun raut wajah istrinya itu tampak biasa seolah sudah mengetahui hal ini.Jake masih tidak ingin menerima hal ini, apa mungkin dia palsu? Tidak mungkin pria sepertinya adalah Marven Tuner yang merupakan elite di ibukota.Jake merasa dadanya sesak. Matanya terus menatap ke arah Marven, mencari-cari sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Namun, semakin lama dia memperhatikan, semakin jelas baginya bahwa pria yang berdiri dengan penuh wibawa di tengah ballroom itu memang benar Marven Tuner—tokoh berpeng
“Sudah siap?” Tanya Jake dengan lembut kala menghampiri Naina di kamarnya yang tengah bersiap.Naina yang selesai berdandan langsung berbalik, “sebentar aku ingin memakai anting.” Katanya dengan tenang.Jake mengangguk kemudian menunggu di ruang tamu.Naina yang melihat Jake keluar langsung mengeluarkan anting berlian yang diberikan oleh Marven kemarin.“Sangat indah, cocok dengan gaun ini.” Gumam Naina dan memutuskan untuk mengenakan anting itu hari ini.Begitu Naina keluar dari kamar, langkahnya anggun dengan gaun yang membalut tubuhnya sempurna. Setiap detail dari penampilannya terlihat memukau, membuat siapapun yang melihatnya terpikat, termasuk Jake. Jake yang tengah menyesap minuman di ruang tamu refleks berhenti. Matanya membesar sedikit, terpesona oleh sosok istrinya yang begitu memesona malam itu. Gaun itu memang indah, tapi yang lebih mencuri perhatiannya adalah aura percaya diri yang terpancar dari Naina. Ditambah dengan kilauan anting berlian di telinganya, wanita itu ta
“Kamu ingin pulang, Naina?” Suara Marven mengejutkan Naina yang tengah merapikan barang-barangnya. “Eh, benar, Tuan. Apakah Anda ada perlu dengan saya?” tanyanya sopan. Marven menggeleng. “Kita searah, ayo saya antar pulang,” katanya dengan tenang. Namun, Naina tersenyum sopan dan menolak. “Saya tidak langsung pergi ke apartemen, Tuan, tapi ke butik. Suami saya meminta saya untuk ke sana hari ini,” ujarnya halus. “Butik?” Marven mengernyit. Naina mengangguk. “Katanya besok ada acara penting, jadi saya harus ikut.” Mendengar itu, Marven langsung menyadari acara penting yang dimaksud Naina. Sudah pasti itu adalah makan malam pebisnis ibu kota yang akan diadakan besok. “Baiklah kalau begitu,” katanya dengan senyum ramah, tak memaksa Naina untuk pulang bersamanya. Naina mengangguk, tersenyum sopan, lalu meminta izin pergi. Marven hanya bisa menatap punggung kecil itu dengan tatapan dalam, seolah memikirkan sesuatu. Sesampainya di butik, Naina tampak menghela nafas kala
“Kopi anda, tuan.” Kata Naina sambil menyajikan kopi hitam untuk Marven.“Hm.” Jawab Marven sambil mengangguk kemudian fokus pada pekerjaannya.Naina hanya diam berdiri disana sambil menunggu instruksi selanjutnya, meskipun dia bingung kenapa tuannya kembali begitu cepat saat pekerjaannya menumpuk.“Nyonya Naina, boleh saya minta kopi juga?” Tanya Ben yang sebelumnya tidak ada di ruangan itu, namun saat Naina kembali ternyata Ben sudah duduk disana.Naina langsung mengangguk, “Baik.”Namun Marven langsung menatap Ben dengan tajam, “Kamu punya kaki untuk membuatnya sendiri.” Katanya dengan datar.Ben langsung terdiam, lalu tertawa kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Tuan, saya hanya bercanda. Tidak perlu menatap saya seperti ingin membunuh.” Naina menahan senyum, sedikit bingung dengan suasana ini. Biasanya, Marven selalu tenang dan serius, tapi kali ini dia terlihat lebih... protektif? Marven kembali menyesap kopinya tanpa menanggapi lebih lanjut. Namun, sesekali matanya mel
“Aku mengijinkan kau bekerja, terserah kau mau bekerja apa. Ini ijazahmu yang aku bawa.” Kata Jake dengan datar pada Naina yang tengah sibuk menata buku di rak.Tangan Naina berhenti di udara, lalu menatap ijazah sarjananya yang ada di tangan Jake.Lalu dengan wajah datar dia kembali menyusun buku yang ada di tangannya, “Kenapa tiba-tiba?” Katanya dengan datar seolah tak peduli.Jake menghela napas, meletakkan ijazah itu di meja. “Aku hanya berpikir ini yang terbaik untuk kita berdua,” katanya, berusaha terdengar tenang. Naina hanya tersenyum sinis tanpa menoleh ke arah Jake. “Terbaik untuk siapa? Untukku, atau untukmu?” Jake terdiam, tidak langsung menjawab. Naina akhirnya menatapnya, tatapannya tajam. “Kenapa? Apakah uangmu sudah habis membiayai seseorang sampai akhirnya kau sadar aku bisa menghasilkan uang sendiri?” Jake menggeram pelan. “Naina, aku memberimu kebebasan. Kenapa kau malah mencurigai niatku?” Naina tertawa kecil, tapi dingin. “Kebebasan?” Dia berjalan mende
“Bulan ini kebutuhan rumah hanya ada sepuluh juta.” Kata Jake dengan santai saat mereka makan malam bersama.Naina yang mendengar itu langsung menghentikan sendoknya di udara dan kembali menaruhnya di piring, “Apa kau tahu listrik bulanan kita berapa? biaya makan kita berapa? Bahkan mobil ibumu masih belum lunas dan harus dibayar bulan ini. Kau pikir sepuluh juta cukup?” Kata Naina.Jake menghela napas panjang, meletakkan sendoknya dengan sedikit kesal. “Naina, aku bukan mesin pencetak uang. Aku sudah berusaha sekeras mungkin, dan aku rasa sepuluh juta cukup kalau kau bisa mengatur pengeluaran dengan lebih baik.”Naina tertawa kecil, tapi tawanya penuh dengan sindiran. “Oh, jadi sekarang aku yang harus belajar mengatur keuangan, ya? Sementara kau dengan mudahnya menghamburkan uang entah ke mana? Mungkin untuk membelikan seseorang dress merah, ya?”Jake langsung menegang, ekspresinya berubah. “Naina, jangan mulai,” katanya dengan nada memperingatkan. “Ibu sudah menghabiskan uang hampir
“Terima kasih untuk hari ini,” Kata Marven dengan lembut pada Naina.Naina tersenyum tipis, “Sama-sama, tuan. Senang bisa membantu anda. Apa anda langsung kembali ke ibukota?” Tanya Naina basa-basi.Marven melihat ke arah jam di tangannya, kemudian kembali menatap Naina. “Sepertinya saya menginap di hotel saja. Besok juga tak ada rapat pagi.” Katanya dengan tenang.Naina hanya mengangguk, “Jika begitu saya akan masuk ke dalam.” Kata Naina dengan sopan.“Tunggu Naina.” Tiba-tiba Marven mencegah Naina.Naina akhirnya berhenti dan menatap Marven yang seperti mengambil sesuatu dari sakunya.Marven mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari sakunya. Dengan perlahan, dia membukanya, memperlihatkan sepasang anting berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. "Ini untukmu," kata Marven, suaranya tenang namun dalam. Naina terkejut, matanya membesar saat melihat hadiah itu. "Tuan... ini terlalu berlebihan. Saya tidak bisa menerimanya," katanya dengan ragu, menatap Marven de