Hujan mengguyur kota.
Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.
Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.
Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.
“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.
Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.
Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.
Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”
Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.
Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”
Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol tubuh Naina hingga wanita itu tersungkur.
Naina mengepalkan tangannya di karpet basah itu, giginya gemeretak menahan amarah.
“Jake, Evelyn. Aku akan membalaskan dendamku. Jika ayahku mati, aku tak akan membiarkan hidup bebas!!!” Gumamnya dengan bibir gemetar.
Tapi dia sadar, jika dia langsung melawan dia akan kalah. Dia hanya wanita lemah sekarang, tak punya kuasa untuk membalas Jake.
Tapi sekelebatan ingatan membuat matanya berkilat.
Kartu nama itu.
Dia kemudian bangkit, langkahnya yang lemah mulai pergi ke kamarnya. Dia harus mencari kartu nama itu.
“Aku harus mencari pria itu. Yaa.. aku yakin dia bisa membantuku.”
********
“Makanan kalian sudah siap, apa aku boleh pergi?” Pertanyaan itu muncul kala Naina selesai membuatkan sarapan.
Wajahnya tampak tak sabar, dia ingin segera pergi untuk menemui seseorang pagi ini.
Jake yang melihat tampilan Naina sedikit rapi pagi ini langsung tak tahan untuk bertanya, “Kemana kau pergi?”
“Aku ingin menjaga ayah, kondisinya semakin memburuk jadi aku ingin merawatnya.” Kata Naina berbohong.
Jika tidak seperti itu tentu dia tak akan diizinkan pergi.
Jake akhirnya mengangguk, “Oke, jam empat sudah harus dirumah. Makan malam ini Evelyn ingin makan seafood buatanmu.”
Naina segera mengangguk, dan tanpa pikir panjang dia segera melepaskan apronnya dan mengambil tasnya lalu pergi.
Dia tak peduli tatapan Jake yang terlihat mencurigainya, yang terpenting dia harus menemui pria itu.
Dia berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus selanjutnya datang. Perjalanannya cukup panjang hari ini terlebih dia tak mampu menyewa taxi karena seluruh tabungannya dia berikan untuk pengobatan ayahnya.
Tapi tak masalah, asal dia punya sedikit saja bantuan dari pria yang bernama Marven Tuner itu, dia bisa melalui ini dengan mudah.
Perjalanan yang harus dia tepuh adalah dua jam, dan selama itu dia harus berganti bus sebanyak empat kali. Cukup melelahkan tapi tak ada pilihan.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dia akhirnya tiba di depan gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan Tuner Group. Bangunan itu tampak megah dan mendominasi cakrawala kota, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari dan memberikan kesan elegan serta modern.
Dia berdiri di depan pintu masuk, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Begitu pintu otomatis terbuka, dia disambut oleh suasana sibuk. Lobi besar itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal yang berjalan cepat, membawa dokumen, atau berbicara melalui ponsel mereka.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“S-selamat pagi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Marven Tuner? Menurut kartu nama ini beliau bekerja disini.” Kata Naina dengan sopan, namun terasa kikuk.
Dia juga tak tahu sebagai apa Marven Tuner di gedung besar ini, tapi melihat kartu nama mewah itu seharusnya paling tidak menjabat sebagai orang penting seperti manajer atau direktur.
“Mohon maaf, apakah anda sudah membuat janji temu?” Resepsionis itu sedikit curiga, terlebih Naina seperti bukan orang penting yang bisa bertemu dengan Marven Tuner dijalan.
“Belum, apakah harus membuat janji temu, ?”
Resepsionis itu tersenyum profesional"Ya, biasanya untuk bertemu dengan Tuan Tuner diperlukan janji temu sebelumnya, terutama karena beliau adalah pribadi yang sangat sibuk," jelasnya dengan nada profesional.
Naina mendengar itu mengerti jika Marven Tuner tidak mungkin sembarangan bisa ia temui, segera dia mengeluarkan kartu nama yang dia simpan dengan baik. Tatapannya berharap bisa bertemu dengan kartu ini. "Ini, kartu nama yang beliau berikan. Sepertinya beliau juga ingin saya menemuinya. Apakah saya boleh bertemu dengan beliau?"
Resepsionis itu mengangkat alis dengan sikap yang perlahan berubah dingin. Senyum profesionalnya memudar, tergantikan dengan ekspresi sinis. "Kartu nama?" tanyanya sambil melirik Naina dari atas ke bawah, seolah meragukan keabsahan ucapannya. "Biasanya, hanya orang-orang penting yang menerima kartu nama langsung dari Tuan Tuner."
Naina menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tetap mengulurkan kartu nama itu kepada resepsionis. "Iya, ini kartu namanya. Beliau sendiri yang memberikannya," ucapnya dengan nada rendah, mencoba terdengar meyakinkan meskipun merasa terintimidasi.
“Maaf saya tak bisa membawa anda masuk. Silahkan pergi atau saya panggilkan satpam.” Kata Resepsionis itu dengan dingin lalu melemparkan kartu nama itu ke Naina.
Naina tersentak, apa dia terlihat tak meyakinkan untuk bertemu dengan Marven Tuner?
Tapi dia tak menyerah, dia tetap kekeh disana. “Maaf, tapi saya punya kepentingan dengan beliau.”
Perdebatan antara Naina dan resepsionis itu memancing para karyawan lain untuk melihat, mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba karyawan yang sibuk mendengar perdebatan itu langsung terkejut kala Ben, asisten tuan Marven berada di belakang mereka.
“I-itu Pak Ben, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan Marven.”
Mendengar perkataan itu, Ben langsung melihat ke arah meja resepsionis lalu mendekati mereka.
“Ini ada apa?”
Resepsionis yang sebelumnya bersikap sinis langsung berubah canggung ketika melihat Ben mendekat. Wajahnya memucat, jelas tidak menyangka bahwa asistennya Marven akan mendengar seluruh percakapan itu.
Ben melirik sekilas ke arah Naina yang terlihat memegang kartu nama dengan tangan gemetar, lalu pandangannya beralih ke resepsionis. "Ada masalah?" tanyanya dengan nada rendah, namun cukup tajam untuk membuat resepsionis itu gelagapan.
"N-nona ini... ingin bertemu dengan Tuan Tuner, tapi tidak memiliki janji temu," jawab resepsionis itu sambil berusaha mengontrol nada suaranya. "Saya hanya menjalankan prosedur, Pak Ben."
Ben mendengus pelan, lalu mendekati Naina. "Siapa nama anda?”
“N-naina Rosely, apakah anda tuan Marven Tuner?” Tanya Naina dengan ragu, karena ingatannya tak begitu jelas dengan wajah Marven yang menolongnya.
Ben menggeleng, “Saya asisten beliau. Boleh saya lihat kartu nama di tangan anda?” Tanya Ben.
Naina yang mendengar itu segera memberikan kartu nama itu dan Ben langsung mengeceknya.
Asli. Itu yang dipikiran Ben setelah mengeceknya
“Tunggu disini, saya akan mengkonfirmasi pada tuan.” Katanya dengan sopan lalu berbalik pergi.
Naina sedikit mendapat pencerahan, namun sang resepsionis tersenyum sinis. “Lihat wajah pak Ben berubah, pasti kartu nama itu palsu.” Katanya sambil melipat kedua tangannya.
Naina hanya diam, dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. Tapi setelah lima belas menit berlalu, Ben juga tak kunjung kembali.
Resepsionis itu kembali mencemoohnya, “Sudah saya bilang, lebih baik anda pergi! Anda mengotori kantor kami!”
Naina merasa tubuhnya menegang mendengar cemoohan itu, namun dia menahan diri untuk tidak membalas. Baginya, tujuan utamanya adalah bertemu dengan Marven Tuner, bukan berdebat dengan resepsionis yang tampaknya sangat ingin merendahkannya.
"Kalau kartu itu palsu, kenapa Pak Ben repot-repot memeriksanya?" Naina berkata pelan, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit gemetar. Ia menatap resepsionis itu dengan tajam, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan.
“Dasar tak tahu diri! Pasti kau sama dengan wanita jalang rendahan yang ingin menggoda tuan kami. Satpam! Seret dia keluar!!” Resepsionis itu langsung memerintahkan satpam untuk membawa Naina kelar karena sudah kesal dengan wanita kurus dan tampak menyedihkan itu.
Satpam yang mendengar itu bergegas mendekat dan memegang tangan Naina untuk membawanya keluar. Naina berusaha memberontak.
“Anda tak bisa melakukan ini, Pak Ben tadi menyuruh saya menunggu!”
Karena geram, resepsionis itu menatap tajam dan mendekati Naina. “Jalang kurang ajar!” Tangan resepsionis itu hampir menampar Naina.
Namun, sebuah tangan besar menahan tangan kecil resepsionis itu. “Siapa yang kamu sebut jalang tadi?” Suara dingin penuh otoritas itu terdengar marah.
Semua orang di lobi membeku ketika suara itu menggema. Resepsionis yang tadi penuh amarah mendongak dengan wajah kaget, dan tangannya yang tertahan mulai gemetar. Tuan Marven Tuner berdiri di sana, tinggi, berwibawa, dan dengan ekspresi yang begitu dingin hingga membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.
"T-tuan Tuner... saya... saya tidak bermaksud..." Resepsionis itu tergagap, wajahnya langsung pucat pasi.
Marven perlahan melepaskan cengkeramannya dari tangan resepsionis, namun tatapannya tetap tajam. "Jadi ini cara kamu memperlakukan tamu yang datang ke sini, ya?" katanya dengan nada rendah, tapi berbahaya.
Resepsionis itu langsung menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Marven. "Saya... saya pikir dia hanya wanita rendahan yang ingin mencari masalah, Tuan," katanya dengan suara kecil, mencoba membela diri.
Marven mendengus, lalu menoleh ke arah Naina yang terlihat shock namun tetap berdiri tegak. "Nona ini tamu saya. Apa kamu tahu apa artinya itu?" tanyanya, matanya kembali tertuju pada resepsionis.
Resepsionis itu menggeleng cepat. "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan... saya hanya..."
Marven tak ingin dengar alasan, “Ben, pindahkan resepsionis tak punya sopan santun ini ke kantor cabang kita. Dia tak pantas berada disini!”
“Baik, tuan.” Ben mengangguk patuh.
“T-tuan.. S-saya mohon ampuni saya. Saya salah, tolong jangan pindahkan saya,” Resepsionis itu bersimpuh dihadapan Marven, tapi Marven segera melirik Ben untuk membereskan wanita itu dan kemudian dia menatap kembali ke arah Karina yang sedikit bingung.
“Na- Nona Naina, mari ikut saya.” Kata Marven dengan ramah.
Naina yang tadinya menatap resepsionis itu yang diseret oleh satpam dan Ben terkejut kala mendengar suara rendah itu.
“A-anda berbicara dengan saya?” Tanya Naina karena tidak terlalu mendengar ucapan pria itu.
Marven tersenyum tipis, hal itu membuat Karyawan lain kembali terkejut. Senyum yang tak pernah ditampilkan didepan publik kini muncul di hadapan wanita biasa itu.
“Saya akan membawa ke tempat yang lebih nyaman, mari.”
Naina merasa canggung karena sikap pria itu terlalu baik padanya, “B-baik.”
Marven memimpin langkah ke arah lift khusus yang hanya bisa diakses oleh staf eksekutif. Naina mengikuti dengan langkah ragu, masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapan karyawan lain mengikuti mereka, penuh rasa penasaran dan bisik-bisik.
Siapa wanita itu? Apa dia kekasih tuan Marven Tuner???
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem
“Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya
“Tuan, ada kabar buruk. Nyonya Naina koma.” Suara Ben yang menggelegar memecah keheningan, langsung membuat suasana di ruang kerja Marven berubah tegang.“Apa?!” Marven langsung berdiri dari kursinya, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben.Ben mengangguk cepat, wajahnya menunjukkan rasa cemas. “Tim belum memberikan informasi detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisi Nyonya Naina saat ini kritis.”Marven mengepalkan tangannya dengan geram, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meluap. Matanya tajam, penuh determinasi.“Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.********Di kamarnya, Evelyn menatap Jake dengan mata berkaca-kaca, ekspresi wajahnya penuh kepura-puraan. "Jake... Kau tidak marah padaku, kan? Aku tidak bermaksud membuat Naina koma. Aku hanya... aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku hanya ingin hidup," ucapnya dengan suara lemah, seolah-olah dia adalah korban dalam situasi ini.Jake menghela napas pa
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N