Share

BAB 6

Penulis: Mayasa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-01 09:53:02

Hujan mengguyur kota.

Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.

Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.

Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.

“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.

Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.

Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.

Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”

Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.

Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”

Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol tubuh Naina hingga wanita itu tersungkur.

Naina mengepalkan tangannya di karpet basah itu, giginya gemeretak menahan amarah.

“Jake, Evelyn. Aku akan membalaskan dendamku. Jika ayahku mati, aku tak akan membiarkan hidup bebas!!!” Gumamnya dengan bibir gemetar. 

Tapi dia sadar, jika dia langsung melawan dia akan kalah. Dia hanya wanita lemah sekarang, tak punya kuasa untuk membalas Jake.

Tapi sekelebatan ingatan membuat matanya berkilat.

Kartu nama itu.

Dia kemudian bangkit, langkahnya yang lemah mulai pergi ke kamarnya. Dia harus mencari kartu nama itu. 

“Aku harus mencari pria itu. Yaa.. aku yakin dia bisa membantuku.”

********

“Makanan kalian sudah siap, apa aku boleh pergi?” Pertanyaan itu muncul kala Naina selesai membuatkan sarapan.

Wajahnya tampak tak sabar, dia ingin segera pergi untuk menemui seseorang pagi ini.

Jake yang melihat tampilan Naina sedikit rapi pagi ini langsung tak tahan untuk bertanya, “Kemana kau pergi?”

“Aku ingin menjaga ayah, kondisinya semakin memburuk jadi aku ingin merawatnya.” Kata Naina berbohong.

Jika tidak seperti itu tentu dia tak akan diizinkan pergi.

Jake akhirnya mengangguk, “Oke, jam empat sudah harus dirumah. Makan malam ini Evelyn ingin makan seafood buatanmu.”

Naina segera mengangguk, dan tanpa pikir panjang dia segera melepaskan apronnya dan mengambil tasnya lalu pergi.

Dia tak peduli tatapan Jake yang terlihat mencurigainya, yang terpenting dia harus menemui pria itu.

Dia berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus selanjutnya datang. Perjalanannya cukup panjang hari ini terlebih dia tak mampu menyewa taxi karena seluruh tabungannya dia berikan untuk pengobatan ayahnya.

Tapi tak masalah, asal dia punya sedikit saja bantuan dari pria yang bernama Marven Tuner itu, dia bisa melalui ini dengan mudah.

Perjalanan yang harus dia tepuh adalah dua jam, dan selama itu dia harus berganti bus sebanyak empat kali. Cukup melelahkan tapi tak ada pilihan.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dia akhirnya tiba di depan gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan Tuner Group. Bangunan itu tampak megah dan mendominasi cakrawala kota, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari dan memberikan kesan elegan serta modern.

Dia berdiri di depan pintu masuk, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Begitu pintu otomatis terbuka, dia disambut oleh suasana sibuk. Lobi besar itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal yang berjalan cepat, membawa dokumen, atau berbicara melalui ponsel mereka.

Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”

“S-selamat pagi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Marven Tuner? Menurut kartu nama ini beliau bekerja disini.” Kata Naina dengan sopan, namun terasa kikuk.

Dia juga tak tahu sebagai apa Marven Tuner di gedung besar ini, tapi melihat kartu nama mewah itu seharusnya paling tidak menjabat sebagai orang penting seperti manajer atau direktur.

“Mohon maaf, apakah anda sudah membuat janji temu?” Resepsionis itu sedikit curiga, terlebih Naina seperti bukan orang penting yang bisa bertemu dengan Marven Tuner dijalan.

“Belum, apakah harus membuat janji temu, ?”

Resepsionis itu tersenyum profesional"Ya, biasanya untuk bertemu dengan Tuan Tuner diperlukan janji temu sebelumnya, terutama karena beliau adalah pribadi yang sangat sibuk," jelasnya dengan nada profesional. 

Naina mendengar itu mengerti jika Marven Tuner tidak mungkin sembarangan bisa ia temui, segera dia mengeluarkan kartu nama yang dia simpan dengan baik. Tatapannya berharap bisa bertemu dengan kartu ini. "Ini, kartu nama yang beliau berikan. Sepertinya beliau juga ingin saya menemuinya. Apakah saya boleh bertemu dengan beliau?"

Resepsionis itu mengangkat alis dengan sikap yang perlahan berubah dingin. Senyum profesionalnya memudar, tergantikan dengan ekspresi sinis. "Kartu nama?" tanyanya sambil melirik Naina dari atas ke bawah, seolah meragukan keabsahan ucapannya. "Biasanya, hanya orang-orang penting yang menerima kartu nama langsung dari Tuan Tuner."

Naina menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tetap mengulurkan kartu nama itu kepada resepsionis. "Iya, ini kartu namanya. Beliau sendiri yang memberikannya," ucapnya dengan nada rendah, mencoba terdengar meyakinkan meskipun merasa terintimidasi.

“Maaf saya tak bisa membawa anda masuk. Silahkan pergi atau saya panggilkan satpam.” Kata Resepsionis itu dengan dingin lalu melemparkan kartu nama itu ke Naina.

Naina tersentak, apa dia terlihat tak meyakinkan untuk bertemu dengan Marven Tuner?

Tapi dia tak menyerah, dia tetap kekeh disana. “Maaf, tapi saya punya kepentingan dengan beliau.”

Perdebatan antara Naina dan resepsionis itu memancing para karyawan lain untuk melihat, mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

“Ada apa ini?” Tiba-tiba karyawan yang sibuk mendengar perdebatan itu langsung terkejut kala Ben, asisten tuan Marven berada di belakang mereka.

“I-itu Pak Ben, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan Marven.”

Mendengar perkataan itu, Ben langsung melihat ke arah meja resepsionis lalu mendekati mereka.

“Ini ada apa?”

Resepsionis yang sebelumnya bersikap sinis langsung berubah canggung ketika melihat Ben mendekat. Wajahnya memucat, jelas tidak menyangka bahwa asistennya Marven akan mendengar seluruh percakapan itu.

Ben melirik sekilas ke arah Naina yang terlihat memegang kartu nama dengan tangan gemetar, lalu pandangannya beralih ke resepsionis. "Ada masalah?" tanyanya dengan nada rendah, namun cukup tajam untuk membuat resepsionis itu gelagapan.

"N-nona ini... ingin bertemu dengan Tuan Tuner, tapi tidak memiliki janji temu," jawab resepsionis itu sambil berusaha mengontrol nada suaranya. "Saya hanya menjalankan prosedur, Pak Ben."

Ben mendengus pelan, lalu mendekati Naina. "Siapa nama anda?” 

“N-naina Rosely, apakah anda tuan Marven Tuner?” Tanya Naina dengan ragu, karena ingatannya tak begitu jelas dengan wajah Marven yang menolongnya.

Ben menggeleng, “Saya asisten beliau. Boleh saya lihat kartu nama di tangan anda?” Tanya Ben.

Naina yang mendengar itu segera memberikan kartu nama itu dan Ben langsung mengeceknya.

Asli. Itu yang dipikiran Ben setelah mengeceknya

“Tunggu disini, saya akan mengkonfirmasi pada tuan.” Katanya dengan sopan lalu berbalik pergi.

Naina sedikit mendapat pencerahan, namun sang resepsionis tersenyum sinis. “Lihat wajah pak Ben berubah, pasti kartu nama itu palsu.” Katanya sambil melipat kedua tangannya.

Naina hanya diam, dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. Tapi setelah lima belas menit berlalu, Ben juga tak kunjung kembali.

Resepsionis itu kembali mencemoohnya, “Sudah saya bilang, lebih baik anda pergi! Anda mengotori kantor kami!”

Naina merasa tubuhnya menegang mendengar cemoohan itu, namun dia menahan diri untuk tidak membalas. Baginya, tujuan utamanya adalah bertemu dengan Marven Tuner, bukan berdebat dengan resepsionis yang tampaknya sangat ingin merendahkannya.

"Kalau kartu itu palsu, kenapa Pak Ben repot-repot memeriksanya?" Naina berkata pelan, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit gemetar. Ia menatap resepsionis itu dengan tajam, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan.

“Dasar tak tahu diri! Pasti kau sama dengan wanita jalang rendahan yang ingin menggoda tuan kami. Satpam! Seret dia keluar!!” Resepsionis itu langsung memerintahkan satpam untuk membawa Naina kelar karena sudah kesal dengan wanita kurus dan tampak menyedihkan itu.

Satpam yang mendengar itu bergegas mendekat dan memegang tangan Naina untuk membawanya keluar. Naina berusaha memberontak.

“Anda tak bisa melakukan ini, Pak Ben tadi menyuruh saya menunggu!”

Karena geram, resepsionis itu menatap tajam dan mendekati Naina. “Jalang kurang ajar!” Tangan resepsionis itu hampir menampar Naina.

Namun, sebuah tangan besar menahan tangan kecil resepsionis itu. “Siapa yang kamu sebut jalang tadi?” Suara dingin penuh otoritas itu terdengar marah.

Semua orang di lobi membeku ketika suara itu menggema. Resepsionis yang tadi penuh amarah mendongak dengan wajah kaget, dan tangannya yang tertahan mulai gemetar. Tuan Marven Tuner berdiri di sana, tinggi, berwibawa, dan dengan ekspresi yang begitu dingin hingga membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.

"T-tuan Tuner... saya... saya tidak bermaksud..." Resepsionis itu tergagap, wajahnya langsung pucat pasi.

Marven perlahan melepaskan cengkeramannya dari tangan resepsionis, namun tatapannya tetap tajam. "Jadi ini cara kamu memperlakukan tamu yang datang ke sini, ya?" katanya dengan nada rendah, tapi berbahaya.

Resepsionis itu langsung menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Marven. "Saya... saya pikir dia hanya wanita rendahan yang ingin mencari masalah, Tuan," katanya dengan suara kecil, mencoba membela diri.

Marven mendengus, lalu menoleh ke arah Naina yang terlihat shock namun tetap berdiri tegak. "Nona ini tamu saya. Apa kamu tahu apa artinya itu?" tanyanya, matanya kembali tertuju pada resepsionis.

Resepsionis itu menggeleng cepat. "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan... saya hanya..."

Marven tak ingin dengar alasan, “Ben, pindahkan resepsionis tak punya sopan santun ini ke kantor cabang kita. Dia tak pantas berada disini!”

“Baik, tuan.” Ben mengangguk patuh.

“T-tuan.. S-saya mohon ampuni saya. Saya salah, tolong jangan pindahkan saya,” Resepsionis itu bersimpuh dihadapan Marven, tapi Marven segera melirik Ben untuk membereskan wanita itu dan kemudian dia menatap kembali ke arah Karina yang sedikit bingung.

“Na-  Nona Naina, mari ikut saya.” Kata Marven dengan ramah.

Naina yang tadinya menatap resepsionis itu yang diseret oleh satpam dan Ben terkejut kala mendengar suara rendah itu.

“A-anda berbicara dengan saya?” Tanya Naina karena tidak terlalu mendengar ucapan pria itu.

Marven tersenyum tipis, hal itu membuat Karyawan lain kembali terkejut. Senyum yang tak pernah ditampilkan didepan publik kini muncul di hadapan wanita biasa itu.

“Saya akan membawa ke tempat yang lebih nyaman, mari.”

Naina merasa canggung karena sikap pria itu terlalu baik padanya, “B-baik.”

Marven memimpin langkah ke arah lift khusus yang hanya bisa diakses oleh staf eksekutif. Naina mengikuti dengan langkah ragu, masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapan karyawan lain mengikuti mereka, penuh rasa penasaran dan bisik-bisik.

Siapa wanita itu? Apa dia kekasih tuan Marven Tuner???

Bab terkait

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 7

    Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 8

    “Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 9

    Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 10

    Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 11

    “Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 12

    Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 13

    “Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 14

    “Tuan, ada kabar buruk. Nyonya Naina koma.” Suara Ben yang menggelegar memecah keheningan, langsung membuat suasana di ruang kerja Marven berubah tegang.“Apa?!” Marven langsung berdiri dari kursinya, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben.Ben mengangguk cepat, wajahnya menunjukkan rasa cemas. “Tim belum memberikan informasi detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisi Nyonya Naina saat ini kritis.”Marven mengepalkan tangannya dengan geram, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meluap. Matanya tajam, penuh determinasi.“Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.********Di kamarnya, Evelyn menatap Jake dengan mata berkaca-kaca, ekspresi wajahnya penuh kepura-puraan. "Jake... Kau tidak marah padaku, kan? Aku tidak bermaksud membuat Naina koma. Aku hanya... aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku hanya ingin hidup," ucapnya dengan suara lemah, seolah-olah dia adalah korban dalam situasi ini.Jake menghela napas pa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09

Bab terbaru

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 61

    “Aku ada perjalanan dinas selama tiga hari.” Kata Naina sambil meletakkan kopi pagi di depan Jake. Hal itu membuat Jake yang sedang bekerja di depan laptopnya langsung mengalihkan perhatiannya, “Aku rasa kau baru saja bekerja, kenapa sudah diajak perjalanan dinas?” Tanyanya dengan curiga.Naina masih bersikap tenang, seolah dia tak membohongi Jake. “Ada karyawan lama yang sedang cuti melahirkan, jadi atasan menyuruhku untuk ikut sambil belajar.” Jake yang mendengar itu ragu, “Oke, hanya tiga hari kan?” Tanya Jake dengan santai.Naina yang mendengar itu langsung mengangguk, dia sedikit bersemangat kala melihat Jake tak mempersulitnya.Jake menyesap kopi yang disajikan Naina sambil tetap menatapnya penuh selidik. "Kau pergi dengan siapa saja?" tanyanya lagi.Naina tersenyum tipis. "Dengan tim kantor, tentu saja," jawabnya ringan, menghindari menyebut nama Marven secara langsung.Jake mengangguk, seolah menerima jawaban itu. Namun, sorot matanya tetap tajam, seakan ingin mencari celah

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 60

    BRAK!!Suara pintu yang terbanting membuat Naina sedikit tersentak, setelah mereka kembali ke apartemen amarah Jake masih belum mereda.Naina menghela nafasnya kemudian masuk ke dalam kamar, lalu mulai melepaskan semua perhiasan yang dia pakai.Dan pada saat itu juga Jake ikut masuk ke dalam kamar, namun hal yang tak Naina duga, pria itu langsung mencekiknya.Naina terkejut, tangannya secara refleks mencengkram pergelangan tangan Jake, mencoba melepaskan cekikannya. Matanya membelalak, dada terasa sesak, sementara napasnya mulai tersengal. "Ka—kau gila...!" desisnya dengan suara tercekik, berusaha keras untuk melepaskan diri. Mata Jake merah penuh amarah. "Kau mempermalukanku, Naina! Di depan semua orang! Kau menamparku demi pria lain!" suaranya dipenuhi kebencian, cengkeramannya semakin erat. Naina mulai kehilangan tenaga. Kepalanya terasa pusing, pandangannya mulai buram. Jika ini terus berlanjut, dia bisa kehabisan napas. Namun, di saat kesadarannya hampir hilang, tiba-tiba

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 59

    “Selamat datang tuan Marven Tuner!”Semua orang membungkuk dengan hormat kecuali Jake yang terpaku pada sosok yang berjalan dengan langkah tegas memasuki ballroom.Tuan Dasman yang melihat itu buru-buru menarik tangan Jake untuk segera membungkuk, Jake yang masih linglung langsung membungkuk namun tatapannya masih tetap berada pada pria itu.“Marven Tuner?” Gumamnya bingung.Bukankah pria itu….Jake langsung menatap ke arah Naina yang ikut membungkuk disana, namun raut wajah istrinya itu tampak biasa seolah sudah mengetahui hal ini.Jake masih tidak ingin menerima hal ini, apa mungkin dia palsu? Tidak mungkin pria sepertinya adalah Marven Tuner yang merupakan elite di ibukota.Jake merasa dadanya sesak. Matanya terus menatap ke arah Marven, mencari-cari sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Namun, semakin lama dia memperhatikan, semakin jelas baginya bahwa pria yang berdiri dengan penuh wibawa di tengah ballroom itu memang benar Marven Tuner—tokoh berpeng

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 58

    “Sudah siap?” Tanya Jake dengan lembut kala menghampiri Naina di kamarnya yang tengah bersiap.Naina yang selesai berdandan langsung berbalik, “sebentar aku ingin memakai anting.” Katanya dengan tenang.Jake mengangguk kemudian menunggu di ruang tamu.Naina yang melihat Jake keluar langsung mengeluarkan anting berlian yang diberikan oleh Marven kemarin.“Sangat indah, cocok dengan gaun ini.” Gumam Naina dan memutuskan untuk mengenakan anting itu hari ini.Begitu Naina keluar dari kamar, langkahnya anggun dengan gaun yang membalut tubuhnya sempurna. Setiap detail dari penampilannya terlihat memukau, membuat siapapun yang melihatnya terpikat, termasuk Jake. Jake yang tengah menyesap minuman di ruang tamu refleks berhenti. Matanya membesar sedikit, terpesona oleh sosok istrinya yang begitu memesona malam itu. Gaun itu memang indah, tapi yang lebih mencuri perhatiannya adalah aura percaya diri yang terpancar dari Naina. Ditambah dengan kilauan anting berlian di telinganya, wanita itu ta

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 57

    “Kamu ingin pulang, Naina?” Suara Marven mengejutkan Naina yang tengah merapikan barang-barangnya. “Eh, benar, Tuan. Apakah Anda ada perlu dengan saya?” tanyanya sopan. Marven menggeleng. “Kita searah, ayo saya antar pulang,” katanya dengan tenang. Namun, Naina tersenyum sopan dan menolak. “Saya tidak langsung pergi ke apartemen, Tuan, tapi ke butik. Suami saya meminta saya untuk ke sana hari ini,” ujarnya halus. “Butik?” Marven mengernyit. Naina mengangguk. “Katanya besok ada acara penting, jadi saya harus ikut.” Mendengar itu, Marven langsung menyadari acara penting yang dimaksud Naina. Sudah pasti itu adalah makan malam pebisnis ibu kota yang akan diadakan besok. “Baiklah kalau begitu,” katanya dengan senyum ramah, tak memaksa Naina untuk pulang bersamanya. Naina mengangguk, tersenyum sopan, lalu meminta izin pergi. Marven hanya bisa menatap punggung kecil itu dengan tatapan dalam, seolah memikirkan sesuatu. Sesampainya di butik, Naina tampak menghela nafas kala

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 56

    “Kopi anda, tuan.” Kata Naina sambil menyajikan kopi hitam untuk Marven.“Hm.” Jawab Marven sambil mengangguk kemudian fokus pada pekerjaannya.Naina hanya diam berdiri disana sambil menunggu instruksi selanjutnya, meskipun dia bingung kenapa tuannya kembali begitu cepat saat pekerjaannya menumpuk.“Nyonya Naina, boleh saya minta kopi juga?” Tanya Ben yang sebelumnya tidak ada di ruangan itu, namun saat Naina kembali ternyata Ben sudah duduk disana.Naina langsung mengangguk, “Baik.”Namun Marven langsung menatap Ben dengan tajam, “Kamu punya kaki untuk membuatnya sendiri.” Katanya dengan datar.Ben langsung terdiam, lalu tertawa kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Tuan, saya hanya bercanda. Tidak perlu menatap saya seperti ingin membunuh.” Naina menahan senyum, sedikit bingung dengan suasana ini. Biasanya, Marven selalu tenang dan serius, tapi kali ini dia terlihat lebih... protektif? Marven kembali menyesap kopinya tanpa menanggapi lebih lanjut. Namun, sesekali matanya mel

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 55

    “Aku mengijinkan kau bekerja, terserah kau mau bekerja apa. Ini ijazahmu yang aku bawa.” Kata Jake dengan datar pada Naina yang tengah sibuk menata buku di rak.Tangan Naina berhenti di udara, lalu menatap ijazah sarjananya yang ada di tangan Jake.Lalu dengan wajah datar dia kembali menyusun buku yang ada di tangannya, “Kenapa tiba-tiba?” Katanya dengan datar seolah tak peduli.Jake menghela napas, meletakkan ijazah itu di meja. “Aku hanya berpikir ini yang terbaik untuk kita berdua,” katanya, berusaha terdengar tenang. Naina hanya tersenyum sinis tanpa menoleh ke arah Jake. “Terbaik untuk siapa? Untukku, atau untukmu?” Jake terdiam, tidak langsung menjawab. Naina akhirnya menatapnya, tatapannya tajam. “Kenapa? Apakah uangmu sudah habis membiayai seseorang sampai akhirnya kau sadar aku bisa menghasilkan uang sendiri?” Jake menggeram pelan. “Naina, aku memberimu kebebasan. Kenapa kau malah mencurigai niatku?” Naina tertawa kecil, tapi dingin. “Kebebasan?” Dia berjalan mende

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 54

    “Bulan ini kebutuhan rumah hanya ada sepuluh juta.” Kata Jake dengan santai saat mereka makan malam bersama.Naina yang mendengar itu langsung menghentikan sendoknya di udara dan kembali menaruhnya di piring, “Apa kau tahu listrik bulanan kita berapa? biaya makan kita berapa? Bahkan mobil ibumu masih belum lunas dan harus dibayar bulan ini. Kau pikir sepuluh juta cukup?” Kata Naina.Jake menghela napas panjang, meletakkan sendoknya dengan sedikit kesal. “Naina, aku bukan mesin pencetak uang. Aku sudah berusaha sekeras mungkin, dan aku rasa sepuluh juta cukup kalau kau bisa mengatur pengeluaran dengan lebih baik.”Naina tertawa kecil, tapi tawanya penuh dengan sindiran. “Oh, jadi sekarang aku yang harus belajar mengatur keuangan, ya? Sementara kau dengan mudahnya menghamburkan uang entah ke mana? Mungkin untuk membelikan seseorang dress merah, ya?”Jake langsung menegang, ekspresinya berubah. “Naina, jangan mulai,” katanya dengan nada memperingatkan. “Ibu sudah menghabiskan uang hampir

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 53

    “Terima kasih untuk hari ini,” Kata Marven dengan lembut pada Naina.Naina tersenyum tipis, “Sama-sama, tuan. Senang bisa membantu anda. Apa anda langsung kembali ke ibukota?” Tanya Naina basa-basi.Marven melihat ke arah jam di tangannya, kemudian kembali menatap Naina. “Sepertinya saya menginap di hotel saja. Besok juga tak ada rapat pagi.” Katanya dengan tenang.Naina hanya mengangguk, “Jika begitu saya akan masuk ke dalam.” Kata Naina dengan sopan.“Tunggu Naina.” Tiba-tiba Marven mencegah Naina.Naina akhirnya berhenti dan menatap Marven yang seperti mengambil sesuatu dari sakunya.Marven mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari sakunya. Dengan perlahan, dia membukanya, memperlihatkan sepasang anting berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. "Ini untukmu," kata Marven, suaranya tenang namun dalam. Naina terkejut, matanya membesar saat melihat hadiah itu. "Tuan... ini terlalu berlebihan. Saya tidak bisa menerimanya," katanya dengan ragu, menatap Marven de

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status