Hujan mengguyur kota.
Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.
Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.
Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.
“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.
Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.
Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.
Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”
Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.
Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”
Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol tubuh Naina hingga wanita itu tersungkur.
Naina mengepalkan tangannya di karpet basah itu, giginya gemeretak menahan amarah.
“Jake, Evelyn. Aku akan membalaskan dendamku. Jika ayahku mati, aku tak akan membiarkan hidup bebas!!!” Gumamnya dengan bibir gemetar.
Tapi dia sadar, jika dia langsung melawan dia akan kalah. Dia hanya wanita lemah sekarang, tak punya kuasa untuk membalas Jake.
Tapi sekelebatan ingatan membuat matanya berkilat.
Kartu nama itu.
Dia kemudian bangkit, langkahnya yang lemah mulai pergi ke kamarnya. Dia harus mencari kartu nama itu.
“Aku harus mencari pria itu. Yaa.. aku yakin dia bisa membantuku.”
********
“Makanan kalian sudah siap, apa aku boleh pergi?” Pertanyaan itu muncul kala Naina selesai membuatkan sarapan.
Wajahnya tampak tak sabar, dia ingin segera pergi untuk menemui seseorang pagi ini.
Jake yang melihat tampilan Naina sedikit rapi pagi ini langsung tak tahan untuk bertanya, “Kemana kau pergi?”
“Aku ingin menjaga ayah, kondisinya semakin memburuk jadi aku ingin merawatnya.” Kata Naina berbohong.
Jika tidak seperti itu tentu dia tak akan diizinkan pergi.
Jake akhirnya mengangguk, “Oke, jam empat sudah harus dirumah. Makan malam ini Evelyn ingin makan seafood buatanmu.”
Naina segera mengangguk, dan tanpa pikir panjang dia segera melepaskan apronnya dan mengambil tasnya lalu pergi.
Dia tak peduli tatapan Jake yang terlihat mencurigainya, yang terpenting dia harus menemui pria itu.
Dia berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus selanjutnya datang. Perjalanannya cukup panjang hari ini terlebih dia tak mampu menyewa taxi karena seluruh tabungannya dia berikan untuk pengobatan ayahnya.
Tapi tak masalah, asal dia punya sedikit saja bantuan dari pria yang bernama Marven Tuner itu, dia bisa melalui ini dengan mudah.
Perjalanan yang harus dia tepuh adalah dua jam, dan selama itu dia harus berganti bus sebanyak empat kali. Cukup melelahkan tapi tak ada pilihan.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dia akhirnya tiba di depan gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan Tuner Group. Bangunan itu tampak megah dan mendominasi cakrawala kota, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari dan memberikan kesan elegan serta modern.
Dia berdiri di depan pintu masuk, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Begitu pintu otomatis terbuka, dia disambut oleh suasana sibuk. Lobi besar itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal yang berjalan cepat, membawa dokumen, atau berbicara melalui ponsel mereka.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“S-selamat pagi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Marven Tuner? Menurut kartu nama ini beliau bekerja disini.” Kata Naina dengan sopan, namun terasa kikuk.
Dia juga tak tahu sebagai apa Marven Tuner di gedung besar ini, tapi melihat kartu nama mewah itu seharusnya paling tidak menjabat sebagai orang penting seperti manajer atau direktur.
“Mohon maaf, apakah anda sudah membuat janji temu?” Resepsionis itu sedikit curiga, terlebih Naina seperti bukan orang penting yang bisa bertemu dengan Marven Tuner dijalan.
“Belum, apakah harus membuat janji temu, ?”
Resepsionis itu tersenyum profesional"Ya, biasanya untuk bertemu dengan Tuan Tuner diperlukan janji temu sebelumnya, terutama karena beliau adalah pribadi yang sangat sibuk," jelasnya dengan nada profesional.
Naina mendengar itu mengerti jika Marven Tuner tidak mungkin sembarangan bisa ia temui, segera dia mengeluarkan kartu nama yang dia simpan dengan baik. Tatapannya berharap bisa bertemu dengan kartu ini. "Ini, kartu nama yang beliau berikan. Sepertinya beliau juga ingin saya menemuinya. Apakah saya boleh bertemu dengan beliau?"
Resepsionis itu mengangkat alis dengan sikap yang perlahan berubah dingin. Senyum profesionalnya memudar, tergantikan dengan ekspresi sinis. "Kartu nama?" tanyanya sambil melirik Naina dari atas ke bawah, seolah meragukan keabsahan ucapannya. "Biasanya, hanya orang-orang penting yang menerima kartu nama langsung dari Tuan Tuner."
Naina menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tetap mengulurkan kartu nama itu kepada resepsionis. "Iya, ini kartu namanya. Beliau sendiri yang memberikannya," ucapnya dengan nada rendah, mencoba terdengar meyakinkan meskipun merasa terintimidasi.
“Maaf saya tak bisa membawa anda masuk. Silahkan pergi atau saya panggilkan satpam.” Kata Resepsionis itu dengan dingin lalu melemparkan kartu nama itu ke Naina.
Naina tersentak, apa dia terlihat tak meyakinkan untuk bertemu dengan Marven Tuner?
Tapi dia tak menyerah, dia tetap kekeh disana. “Maaf, tapi saya punya kepentingan dengan beliau.”
Perdebatan antara Naina dan resepsionis itu memancing para karyawan lain untuk melihat, mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba karyawan yang sibuk mendengar perdebatan itu langsung terkejut kala Ben, asisten tuan Marven berada di belakang mereka.
“I-itu Pak Ben, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan Marven.”
Mendengar perkataan itu, Ben langsung melihat ke arah meja resepsionis lalu mendekati mereka.
“Ini ada apa?”
Resepsionis yang sebelumnya bersikap sinis langsung berubah canggung ketika melihat Ben mendekat. Wajahnya memucat, jelas tidak menyangka bahwa asistennya Marven akan mendengar seluruh percakapan itu.
Ben melirik sekilas ke arah Naina yang terlihat memegang kartu nama dengan tangan gemetar, lalu pandangannya beralih ke resepsionis. "Ada masalah?" tanyanya dengan nada rendah, namun cukup tajam untuk membuat resepsionis itu gelagapan.
"N-nona ini... ingin bertemu dengan Tuan Tuner, tapi tidak memiliki janji temu," jawab resepsionis itu sambil berusaha mengontrol nada suaranya. "Saya hanya menjalankan prosedur, Pak Ben."
Ben mendengus pelan, lalu mendekati Naina. "Siapa nama anda?”
“N-naina Rosely, apakah anda tuan Marven Tuner?” Tanya Naina dengan ragu, karena ingatannya tak begitu jelas dengan wajah Marven yang menolongnya.
Ben menggeleng, “Saya asisten beliau. Boleh saya lihat kartu nama di tangan anda?” Tanya Ben.
Naina yang mendengar itu segera memberikan kartu nama itu dan Ben langsung mengeceknya.
Asli. Itu yang dipikiran Ben setelah mengeceknya
“Tunggu disini, saya akan mengkonfirmasi pada tuan.” Katanya dengan sopan lalu berbalik pergi.
Naina sedikit mendapat pencerahan, namun sang resepsionis tersenyum sinis. “Lihat wajah pak Ben berubah, pasti kartu nama itu palsu.” Katanya sambil melipat kedua tangannya.
Naina hanya diam, dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. Tapi setelah lima belas menit berlalu, Ben juga tak kunjung kembali.
Resepsionis itu kembali mencemoohnya, “Sudah saya bilang, lebih baik anda pergi! Anda mengotori kantor kami!”
Naina merasa tubuhnya menegang mendengar cemoohan itu, namun dia menahan diri untuk tidak membalas. Baginya, tujuan utamanya adalah bertemu dengan Marven Tuner, bukan berdebat dengan resepsionis yang tampaknya sangat ingin merendahkannya.
"Kalau kartu itu palsu, kenapa Pak Ben repot-repot memeriksanya?" Naina berkata pelan, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit gemetar. Ia menatap resepsionis itu dengan tajam, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan.
“Dasar tak tahu diri! Pasti kau sama dengan wanita jalang rendahan yang ingin menggoda tuan kami. Satpam! Seret dia keluar!!” Resepsionis itu langsung memerintahkan satpam untuk membawa Naina kelar karena sudah kesal dengan wanita kurus dan tampak menyedihkan itu.
Satpam yang mendengar itu bergegas mendekat dan memegang tangan Naina untuk membawanya keluar. Naina berusaha memberontak.
“Anda tak bisa melakukan ini, Pak Ben tadi menyuruh saya menunggu!”
Karena geram, resepsionis itu menatap tajam dan mendekati Naina. “Jalang kurang ajar!” Tangan resepsionis itu hampir menampar Naina.
Namun, sebuah tangan besar menahan tangan kecil resepsionis itu. “Siapa yang kamu sebut jalang tadi?” Suara dingin penuh otoritas itu terdengar marah.
Semua orang di lobi membeku ketika suara itu menggema. Resepsionis yang tadi penuh amarah mendongak dengan wajah kaget, dan tangannya yang tertahan mulai gemetar. Tuan Marven Tuner berdiri di sana, tinggi, berwibawa, dan dengan ekspresi yang begitu dingin hingga membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.
"T-tuan Tuner... saya... saya tidak bermaksud..." Resepsionis itu tergagap, wajahnya langsung pucat pasi.
Marven perlahan melepaskan cengkeramannya dari tangan resepsionis, namun tatapannya tetap tajam. "Jadi ini cara kamu memperlakukan tamu yang datang ke sini, ya?" katanya dengan nada rendah, tapi berbahaya.
Resepsionis itu langsung menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Marven. "Saya... saya pikir dia hanya wanita rendahan yang ingin mencari masalah, Tuan," katanya dengan suara kecil, mencoba membela diri.
Marven mendengus, lalu menoleh ke arah Naina yang terlihat shock namun tetap berdiri tegak. "Nona ini tamu saya. Apa kamu tahu apa artinya itu?" tanyanya, matanya kembali tertuju pada resepsionis.
Resepsionis itu menggeleng cepat. "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan... saya hanya..."
Marven tak ingin dengar alasan, “Ben, pindahkan resepsionis tak punya sopan santun ini ke kantor cabang kita. Dia tak pantas berada disini!”
“Baik, tuan.” Ben mengangguk patuh.
“T-tuan.. S-saya mohon ampuni saya. Saya salah, tolong jangan pindahkan saya,” Resepsionis itu bersimpuh dihadapan Marven, tapi Marven segera melirik Ben untuk membereskan wanita itu dan kemudian dia menatap kembali ke arah Karina yang sedikit bingung.
“Na- Nona Naina, mari ikut saya.” Kata Marven dengan ramah.
Naina yang tadinya menatap resepsionis itu yang diseret oleh satpam dan Ben terkejut kala mendengar suara rendah itu.
“A-anda berbicara dengan saya?” Tanya Naina karena tidak terlalu mendengar ucapan pria itu.
Marven tersenyum tipis, hal itu membuat Karyawan lain kembali terkejut. Senyum yang tak pernah ditampilkan didepan publik kini muncul di hadapan wanita biasa itu.
“Saya akan membawa ke tempat yang lebih nyaman, mari.”
Naina merasa canggung karena sikap pria itu terlalu baik padanya, “B-baik.”
Marven memimpin langkah ke arah lift khusus yang hanya bisa diakses oleh staf eksekutif. Naina mengikuti dengan langkah ragu, masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapan karyawan lain mengikuti mereka, penuh rasa penasaran dan bisik-bisik.
Siapa wanita itu? Apa dia kekasih tuan Marven Tuner???
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem
“Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya
“Tuan, ada kabar buruk. Nyonya Naina koma.” Suara Ben yang menggelegar memecah keheningan, langsung membuat suasana di ruang kerja Marven berubah tegang.“Apa?!” Marven langsung berdiri dari kursinya, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben.Ben mengangguk cepat, wajahnya menunjukkan rasa cemas. “Tim belum memberikan informasi detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisi Nyonya Naina saat ini kritis.”Marven mengepalkan tangannya dengan geram, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meluap. Matanya tajam, penuh determinasi.“Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.********Di kamarnya, Evelyn menatap Jake dengan mata berkaca-kaca, ekspresi wajahnya penuh kepura-puraan. "Jake... Kau tidak marah padaku, kan? Aku tidak bermaksud membuat Naina koma. Aku hanya... aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku hanya ingin hidup," ucapnya dengan suara lemah, seolah-olah dia adalah korban dalam situasi ini.Jake menghela napas pa
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalan
“Kenapa?” tanya Nyonya Sisca dengan santai, “lihat, Naina tampak tak keberatan jika menginap.”Marven mendengus, “Tidak boleh, dia harus pulang!”Rosana yang mendengar itu semakin kesal karena dua orang sedang memperebutkan wanita itu sedangkan dia diabaikan begitu saja.“Kak, biarkan saja Naina pergi. Lebih baik kakak temani aku untuk memilih kado untuk ulang tahun kakek yang sebentar lagi diadakan,” kata Rosana dengan lembut.Nyonya Sisca tersenyum miring, “Lihat, adikmu perlu ditemani jadi jangan ganggu bisnisku.”Marven melirik Rosana sekilas sebelum kembali menatap Naina. “Kalau begitu, saya ikut.” Naina mengerjap, sedikit terkejut. “Apa?” Rosana langsung merajuk, “Kak! Aku yang membutuhkanmu sekarang, bukan dia!” Marven tetap tenang, tapi suaranya penuh ketegasan. “Ben bisa menemanimu memilih hadiah. Saya akan pergi dengan Naina.” Rosana menggigit bibirnya, merasa semakin diabaikan. Nyonya Sisca tertawa kecil, menyesap tehnya dengan santai. “Kalau kau ikut, siapa yang
“Sudah satu jam, sepertinya Marven tidur disana,” gumam Naina pelan.Akhirnya dia tak menunggu lagi, dengan cepat dia mematikan lampu kamar dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.Namun, baru saja Naina mencoba memejamkan mata, pintu kamar terbuka dengan pelan. Marven masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintunya kembali. Suara kunci yang diputar membuat Naina yang berpura-pura tidur langsung sadar. Dia merasakan ranjang di sebelahnya sedikit tenggelam ketika Marven duduk di sana. “Kamu pura-pura tidur?” suara beratnya terdengar di kegelapan. Naina tidak menjawab, tetap diam di bawah selimutnya. Marven tersenyum tipis, lalu dengan santai menarik selimut itu hingga wajah Naina terlihat. “Saya tidak tidur di sana. Saya hanya menunggu sampai dia tertidur.” Naina mengerjapkan mata, menatap Marven dalam cahaya redup. “Kamu tidak perlu menjelaskannya,” katanya pelan. “Tapi saya ingin,” balas Marven dengan suara rendah, lalu berbaring di sampingnya. Pria itu langsung ik
“Kamu lupa itu sudah menjadi kamar Rosana?” Tiba-tiba suara Marven terdengar kala Naina ingin masuk ke kamar yang biasa dia gunakan.“Ah– maaf, saya akan tidur di mess pelayan,” kata Naina dengan cepat lalu berbalik.Namun, tangannya langsung di cekal oleh Marven, “Kamu marah?”Naina menatap tangan Marven yang mencengkeram pergelangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah pria itu. Matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekecewaan.“Kenapa saya harus marah?” tanyanya, suaranya terdengar datar.Marven menghela napas, menatapnya dalam. “Kalau kamu tidak marah, kenapa ingin tidur di mess pelayan? Tempatmu di sini, bukan di sana.”Naina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Karena kamar ini sudah ditempati Rosana.”Marven yang mendengar itu langsung menarik Naina ke kamar yang ada di depan kamar tersebut lalu dengan cepat dia menutup dan menguncinya.Tubuh Naina langsung di himpit oleh tubuh besar itu di depan pintu.“Bukankah ini jadi kesempatan kit
“Ini makanan penutup malam ini, tapi hari ini hanya sempat membuat puding saja.” Kata Naina sambil menaruh puding di depan Marven dan tak lupa juga memberikan untuk Rosana.“Puding? Kau tak tahu jika kakak tidak suka makanan manis?” kata Rosana dengan ketus.Naina menatap bingung adik tiri Marven itu, dia tak tahu jika Marven tak menyukai makanan manis. Tapi, dulu Marven sendiri yang bilang dia menyukainya. Yang benar yang mana?Marven menatap puding di depannya, lalu mengangkat sendok dan mengambil sesendok kecil.“Saya tidak suka makanan manis?” Marven mengulang ucapan Rosana sambil melirik ke arahnya. “Sejak kapan kamu tahu selera saya?”Rosana terdiam, wajahnya seketika tegang. “Aku… aku hanya ingat dulu kakak jarang makan makanan manis.”Marven tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makan puding buatan Naina tanpa ragu. “Pudingnya enak,” katanya santai, membuat Naina tersenyum kecil.Rosana mengepalkan tangannya di bawah meja. Keakraban ini membuatnya semakin tidak nyaman.Hingga s
“Aku dengar Rosana kembali.” Suara Nyonya Sisca membuat Naina yang sebelumnya sedang fokus pada dokumen yang diberikan padanya sedikit buyar.“Benar, bibi.” Katanya dengan singkat namun jelas.“Yah, anak itu memang sedikit manja. Tapi, kau harus hati-hati dengannya.” Kata Nyonya Sisca dengan tenang.Naina menatap Nyonya Sisca dengan sedikit bingung. "Kenapa, Bibi?"Nyonya Sisca menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya sulit ditebak. "Rosana itu tidak sebodoh kelihatannya. Dia tahu bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan, dan biasanya dia tidak peduli siapa yang harus disingkirkan untuk itu."Naina terdiam untuk beberapa saat, namun dia sepertinya tak perlu mengurus hal ini.“Terima kasih atas peringatannya, bibi. Tapi sepertinya Rosana tak mungkin menganggap saya saingannya yang harus disingkirkan. Bukankah kita akan menjadi keluarga?”Nyonya Sisca tersenyum kecil, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Keluarga, ya? Ya semoga begitu.” Katanya sambil pergi meninggalkan Nain
“Kakak!”Suara melengking itu membuat mansion yang biasanya tenang langsung pecah, Naina yang tadinya membantu pelayan menyiapkan sarapan seperti biasa langsung menoleh.“Siapa dia?” Tanya Naina pada pelayan di sampingnya.“Oh, itu Nona Rosana. Adik tiri tuan Marven, Nyonya.” Kata pelayan itu dengan ramah.Naina yang mendengar itu mengangguk, dia benar-benar belum tahu anggota keluarga besar Tuner dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu agar bisa menyambut mereka jika datang.Dengan cepat dia langsung menghampiri wanita itu, dan tersenyum ramah.Namun, saat Naina mendekat Rosana langsung menatapnya sinis. “Kau pelayan baru? Dimana kakak, apa masih tidur? Sepertinya aku akan membangunkannya.” Naina terdiam sejenak, tapi senyumnya tidak luntur. Dia bisa merasakan ketidaksukaan dalam nada bicara Rosana, tapi memilih untuk tetap tenang.“Dia masih mandi, mungkin sekarang sudah selesai.” Katanya dengan lembut.Rosana langsung melirik tajam, “Kenapa kau begitu tahu? Dan bagaim
“Marven, dengarkan saya dulu.”“Apa, Naina? Saya benar-benar tak ingin kamu mengikuti jejak bibi. Saya bisa memberikan semua yang kamu butuhkan, harta, status dan juga jabatan yang kamu inginkan. Apalagi yang kurang?” Kata Marven dengan serius.Naina menatap Marven dengan sorot yang sulit diartikan. Hatinya terasa sesak mendengar kata-kata itu.“Marven, saya tidak butuh harta, status, atau jabatan dari kamu,” katanya pelan, tapi tegas.”Tapi saya ingin pantas. Pantas berada disisimu tanpa direndahkan oleh orang lain.”Marven terdiam, tatapannya melembut saat melihat ketulusan di mata Naina. “Kamu tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, Naina,” katanya lirih. Naina menggeleng, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan untuk mereka, Marven. Tapi untuk saya sendiri. Saya ingin berdiri di sampingmu sebagai seseorang yang setara, bukan hanya sebagai wanita yang berlindung di balik namamu.” Marven mengepalkan tangannya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Nyonya Sisca langsung buru-buru mendekati Marven, dia takut jika ponakannya itu mengacaukan semuanya.“Marven, kau datang.” katanya dengan ramah, berusaha meredakan aura kemarahan yang tiba-tiba muncul.Marven mengabaikan Nyonya Sisca begitu saja, tapi wanita itu langsung memegang tangannya dan menggeleng.“Biarkan dia menyelesaikan sambutannya dulu.” katanya penuh permohonan, karena ini juga demi kebaikan mereka.Marven menatap Nyonya Sisca dengan tajam, rahangnya mengeras. Namun, setelah beberapa detik, dia menarik napas dalam dan menoleh ke arah podium. Naina masih berdiri di sana, berbicara dengan percaya diri di hadapan para tamu. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun mewah itu, suaranya tenang namun penuh wibawa. Marven mengepalkan tangannya. ‘Seharusnya dia yang melindungi Naina, bukan membiarkan wanita itu menghadapi semua ini sendirian.’Di sampingnya, Nyonya Sisca berbisik pelan, “Aku tahu kau marah, tapi lihatlah dia, Marven. Naina bukan wanita lemah. Dia bisa menghada