Hujan mengguyur kota.
Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.
Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.
Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.
“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.
Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.
Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.
Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”
Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.
Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”
Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol tubuh Naina hingga wanita itu tersungkur.
Naina mengepalkan tangannya di karpet basah itu, giginya gemeretak menahan amarah.
“Jake, Evelyn. Aku akan membalaskan dendamku. Jika ayahku mati, aku tak akan membiarkan hidup bebas!!!” Gumamnya dengan bibir gemetar.
Tapi dia sadar, jika dia langsung melawan dia akan kalah. Dia hanya wanita lemah sekarang, tak punya kuasa untuk membalas Jake.
Tapi sekelebatan ingatan membuat matanya berkilat.
Kartu nama itu.
Dia kemudian bangkit, langkahnya yang lemah mulai pergi ke kamarnya. Dia harus mencari kartu nama itu.
“Aku harus mencari pria itu. Yaa.. aku yakin dia bisa membantuku.”
********
“Makanan kalian sudah siap, apa aku boleh pergi?” Pertanyaan itu muncul kala Naina selesai membuatkan sarapan.
Wajahnya tampak tak sabar, dia ingin segera pergi untuk menemui seseorang pagi ini.
Jake yang melihat tampilan Naina sedikit rapi pagi ini langsung tak tahan untuk bertanya, “Kemana kau pergi?”
“Aku ingin menjaga ayah, kondisinya semakin memburuk jadi aku ingin merawatnya.” Kata Naina berbohong.
Jika tidak seperti itu tentu dia tak akan diizinkan pergi.
Jake akhirnya mengangguk, “Oke, jam empat sudah harus dirumah. Makan malam ini Evelyn ingin makan seafood buatanmu.”
Naina segera mengangguk, dan tanpa pikir panjang dia segera melepaskan apronnya dan mengambil tasnya lalu pergi.
Dia tak peduli tatapan Jake yang terlihat mencurigainya, yang terpenting dia harus menemui pria itu.
Dia berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus selanjutnya datang. Perjalanannya cukup panjang hari ini terlebih dia tak mampu menyewa taxi karena seluruh tabungannya dia berikan untuk pengobatan ayahnya.
Tapi tak masalah, asal dia punya sedikit saja bantuan dari pria yang bernama Marven Tuner itu, dia bisa melalui ini dengan mudah.
Perjalanan yang harus dia tepuh adalah dua jam, dan selama itu dia harus berganti bus sebanyak empat kali. Cukup melelahkan tapi tak ada pilihan.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dia akhirnya tiba di depan gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan Tuner Group. Bangunan itu tampak megah dan mendominasi cakrawala kota, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari dan memberikan kesan elegan serta modern.
Dia berdiri di depan pintu masuk, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Begitu pintu otomatis terbuka, dia disambut oleh suasana sibuk. Lobi besar itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal yang berjalan cepat, membawa dokumen, atau berbicara melalui ponsel mereka.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“S-selamat pagi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Marven Tuner? Menurut kartu nama ini beliau bekerja disini.” Kata Naina dengan sopan, namun terasa kikuk.
Dia juga tak tahu sebagai apa Marven Tuner di gedung besar ini, tapi melihat kartu nama mewah itu seharusnya paling tidak menjabat sebagai orang penting seperti manajer atau direktur.
“Mohon maaf, apakah anda sudah membuat janji temu?” Resepsionis itu sedikit curiga, terlebih Naina seperti bukan orang penting yang bisa bertemu dengan Marven Tuner dijalan.
“Belum, apakah harus membuat janji temu, ?”
Resepsionis itu tersenyum profesional"Ya, biasanya untuk bertemu dengan Tuan Tuner diperlukan janji temu sebelumnya, terutama karena beliau adalah pribadi yang sangat sibuk," jelasnya dengan nada profesional.
Naina mendengar itu mengerti jika Marven Tuner tidak mungkin sembarangan bisa ia temui, segera dia mengeluarkan kartu nama yang dia simpan dengan baik. Tatapannya berharap bisa bertemu dengan kartu ini. "Ini, kartu nama yang beliau berikan. Sepertinya beliau juga ingin saya menemuinya. Apakah saya boleh bertemu dengan beliau?"
Resepsionis itu mengangkat alis dengan sikap yang perlahan berubah dingin. Senyum profesionalnya memudar, tergantikan dengan ekspresi sinis. "Kartu nama?" tanyanya sambil melirik Naina dari atas ke bawah, seolah meragukan keabsahan ucapannya. "Biasanya, hanya orang-orang penting yang menerima kartu nama langsung dari Tuan Tuner."
Naina menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tetap mengulurkan kartu nama itu kepada resepsionis. "Iya, ini kartu namanya. Beliau sendiri yang memberikannya," ucapnya dengan nada rendah, mencoba terdengar meyakinkan meskipun merasa terintimidasi.
“Maaf saya tak bisa membawa anda masuk. Silahkan pergi atau saya panggilkan satpam.” Kata Resepsionis itu dengan dingin lalu melemparkan kartu nama itu ke Naina.
Naina tersentak, apa dia terlihat tak meyakinkan untuk bertemu dengan Marven Tuner?
Tapi dia tak menyerah, dia tetap kekeh disana. “Maaf, tapi saya punya kepentingan dengan beliau.”
Perdebatan antara Naina dan resepsionis itu memancing para karyawan lain untuk melihat, mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba karyawan yang sibuk mendengar perdebatan itu langsung terkejut kala Ben, asisten tuan Marven berada di belakang mereka.
“I-itu Pak Ben, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan Marven.”
Mendengar perkataan itu, Ben langsung melihat ke arah meja resepsionis lalu mendekati mereka.
“Ini ada apa?”
Resepsionis yang sebelumnya bersikap sinis langsung berubah canggung ketika melihat Ben mendekat. Wajahnya memucat, jelas tidak menyangka bahwa asistennya Marven akan mendengar seluruh percakapan itu.
Ben melirik sekilas ke arah Naina yang terlihat memegang kartu nama dengan tangan gemetar, lalu pandangannya beralih ke resepsionis. "Ada masalah?" tanyanya dengan nada rendah, namun cukup tajam untuk membuat resepsionis itu gelagapan.
"N-nona ini... ingin bertemu dengan Tuan Tuner, tapi tidak memiliki janji temu," jawab resepsionis itu sambil berusaha mengontrol nada suaranya. "Saya hanya menjalankan prosedur, Pak Ben."
Ben mendengus pelan, lalu mendekati Naina. "Siapa nama anda?”
“N-naina Rosely, apakah anda tuan Marven Tuner?” Tanya Naina dengan ragu, karena ingatannya tak begitu jelas dengan wajah Marven yang menolongnya.
Ben menggeleng, “Saya asisten beliau. Boleh saya lihat kartu nama di tangan anda?” Tanya Ben.
Naina yang mendengar itu segera memberikan kartu nama itu dan Ben langsung mengeceknya.
Asli. Itu yang dipikiran Ben setelah mengeceknya
“Tunggu disini, saya akan mengkonfirmasi pada tuan.” Katanya dengan sopan lalu berbalik pergi.
Naina sedikit mendapat pencerahan, namun sang resepsionis tersenyum sinis. “Lihat wajah pak Ben berubah, pasti kartu nama itu palsu.” Katanya sambil melipat kedua tangannya.
Naina hanya diam, dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. Tapi setelah lima belas menit berlalu, Ben juga tak kunjung kembali.
Resepsionis itu kembali mencemoohnya, “Sudah saya bilang, lebih baik anda pergi! Anda mengotori kantor kami!”
Naina merasa tubuhnya menegang mendengar cemoohan itu, namun dia menahan diri untuk tidak membalas. Baginya, tujuan utamanya adalah bertemu dengan Marven Tuner, bukan berdebat dengan resepsionis yang tampaknya sangat ingin merendahkannya.
"Kalau kartu itu palsu, kenapa Pak Ben repot-repot memeriksanya?" Naina berkata pelan, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit gemetar. Ia menatap resepsionis itu dengan tajam, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan.
“Dasar tak tahu diri! Pasti kau sama dengan wanita jalang rendahan yang ingin menggoda tuan kami. Satpam! Seret dia keluar!!” Resepsionis itu langsung memerintahkan satpam untuk membawa Naina kelar karena sudah kesal dengan wanita kurus dan tampak menyedihkan itu.
Satpam yang mendengar itu bergegas mendekat dan memegang tangan Naina untuk membawanya keluar. Naina berusaha memberontak.
“Anda tak bisa melakukan ini, Pak Ben tadi menyuruh saya menunggu!”
Karena geram, resepsionis itu menatap tajam dan mendekati Naina. “Jalang kurang ajar!” Tangan resepsionis itu hampir menampar Naina.
Namun, sebuah tangan besar menahan tangan kecil resepsionis itu. “Siapa yang kamu sebut jalang tadi?” Suara dingin penuh otoritas itu terdengar marah.
Semua orang di lobi membeku ketika suara itu menggema. Resepsionis yang tadi penuh amarah mendongak dengan wajah kaget, dan tangannya yang tertahan mulai gemetar. Tuan Marven Tuner berdiri di sana, tinggi, berwibawa, dan dengan ekspresi yang begitu dingin hingga membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.
"T-tuan Tuner... saya... saya tidak bermaksud..." Resepsionis itu tergagap, wajahnya langsung pucat pasi.
Marven perlahan melepaskan cengkeramannya dari tangan resepsionis, namun tatapannya tetap tajam. "Jadi ini cara kamu memperlakukan tamu yang datang ke sini, ya?" katanya dengan nada rendah, tapi berbahaya.
Resepsionis itu langsung menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Marven. "Saya... saya pikir dia hanya wanita rendahan yang ingin mencari masalah, Tuan," katanya dengan suara kecil, mencoba membela diri.
Marven mendengus, lalu menoleh ke arah Naina yang terlihat shock namun tetap berdiri tegak. "Nona ini tamu saya. Apa kamu tahu apa artinya itu?" tanyanya, matanya kembali tertuju pada resepsionis.
Resepsionis itu menggeleng cepat. "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan... saya hanya..."
Marven tak ingin dengar alasan, “Ben, pindahkan resepsionis tak punya sopan santun ini ke kantor cabang kita. Dia tak pantas berada disini!”
“Baik, tuan.” Ben mengangguk patuh.
“T-tuan.. S-saya mohon ampuni saya. Saya salah, tolong jangan pindahkan saya,” Resepsionis itu bersimpuh dihadapan Marven, tapi Marven segera melirik Ben untuk membereskan wanita itu dan kemudian dia menatap kembali ke arah Karina yang sedikit bingung.
“Na- Nona Naina, mari ikut saya.” Kata Marven dengan ramah.
Naina yang tadinya menatap resepsionis itu yang diseret oleh satpam dan Ben terkejut kala mendengar suara rendah itu.
“A-anda berbicara dengan saya?” Tanya Naina karena tidak terlalu mendengar ucapan pria itu.
Marven tersenyum tipis, hal itu membuat Karyawan lain kembali terkejut. Senyum yang tak pernah ditampilkan didepan publik kini muncul di hadapan wanita biasa itu.
“Saya akan membawa ke tempat yang lebih nyaman, mari.”
Naina merasa canggung karena sikap pria itu terlalu baik padanya, “B-baik.”
Marven memimpin langkah ke arah lift khusus yang hanya bisa diakses oleh staf eksekutif. Naina mengikuti dengan langkah ragu, masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapan karyawan lain mengikuti mereka, penuh rasa penasaran dan bisik-bisik.
Siapa wanita itu? Apa dia kekasih tuan Marven Tuner???
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem
“Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya
“Tuan, ada kabar buruk. Nyonya Naina koma.” Suara Ben yang menggelegar memecah keheningan, langsung membuat suasana di ruang kerja Marven berubah tegang.“Apa?!” Marven langsung berdiri dari kursinya, tatapannya tajam menusuk ke arah Ben.Ben mengangguk cepat, wajahnya menunjukkan rasa cemas. “Tim belum memberikan informasi detail tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisi Nyonya Naina saat ini kritis.”Marven mengepalkan tangannya dengan geram, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meluap. Matanya tajam, penuh determinasi.“Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.********Di kamarnya, Evelyn menatap Jake dengan mata berkaca-kaca, ekspresi wajahnya penuh kepura-puraan. "Jake... Kau tidak marah padaku, kan? Aku tidak bermaksud membuat Naina koma. Aku hanya... aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku hanya ingin hidup," ucapnya dengan suara lemah, seolah-olah dia adalah korban dalam situasi ini.Jake menghela napas pa
Peringatan hari kelahiran tuan besar Tuner diadakan secara mewah namun tetap tertutup.Mobil mewah sudah berjejer rapi di halaman mansion, para tamu yang diundang juga bukan kalangan sosial sembarangan.Bahkan seorang presiden dengan rela mengatur waktunya untuk datang mengucapkan selamat pada tuan besar Tuner itu.Di dalam ballroom utama mansion Tuner, cahaya kristal dari lampu gantung mewah memantul pada lantai marmer, menciptakan kilau elegan di setiap sudut ruangan. Lantunan musik orkestra mengalun lembut, menambah kesan anggun dan sakral dari peringatan ulang tahun Tuan Besar Antony Tuner—sosok legendaris di dunia bisnis dan aristokrasi.Para tamu mengenakan busana terbaik mereka—gaun malam berkilau dan setelan jas yang dijahit oleh desainer papan atas dunia. Semua berdiri dengan penuh penghormatan saat Tuan Besar Tuner akhirnya muncul, berjalan perlahan dengan bantuan tongkatnya, namun tetap memancarkan wibawa yang tak tergoyahkan.“Selamat ulang tahun, Tuan Tuner” ucap salah sat
“M-marven, kamu sudah pulang?”Suara Naina terlihat sangat gugup, dia ingin menyembunyikan gaun itu tapi tak tahu dimana dia harus menyembunyikannya karena Marven sudah berjalan mendekatinya.Marven mendekat dengan langkah pelan, alisnya sedikit mengernyit saat melihat kegugupan di wajah Naina. “Kamu sembunyikan sesuatu ya?” tanyanya dengan nada tenang, namun penuh rasa ingin tahu.Naina berdiri cepat, tubuhnya refleks menutupi gantungan tempat gaun itu digantung. “Bukan apa-apa… aku cuma… cuma beres-beres sedikit.”Tatapan Marven mengarah ke belakang tubuh Naina. Dia bisa melihat ujung gaun yang tergantung, sedikit lecek dan benangnya tampak dijahit ulang.“Gaunnya…” gumamnya, sebelum akhirnya menatap Naina dalam-dalam. “Siapa yang merusaknya?”Naina menggeleng cepat, mencoba menghindari pembicaraan itu. “Tidak penting, aku sudah memperbaikinya. Lagipula, aku tahu kamu memesannya… dan aku sangat menghargainya.”Marven mendekat, kini jaraknya hanya sejengkal dari Naina. “Naina, siapa
Suasana mansion yang biasanya tenang, kini ricuh saat Naina baru kembali ke mansion.Dia dengan penasaran langsung segera masuk dan melihat. Disana ia melihat para pelayan yang tampak menunduk ketakutan dan Rosana yang berdiri di sana sambil menginjak-injak gaun.Naina yang penasaran langsung mendekat, “Rosana, apa yang terjadi? Dan kenapa kamu merusak gaun itu?” tanya Naina yang tak tahu jika gaun itu adalah miliknya.Rosana menoleh cepat, mata merahnya dipenuhi amarah dan kegetiran. Melihat Naina berdiri di hadapannya, amarah yang tadi sudah hampir reda justru kembali membara.“Jadi akhirnya kau datang juga,” katanya dengan suara dingin.Naina mengernyit, matanya tertuju pada gaun yang sudah tak berbentuk lagi. Warna lembutnya kini ternoda oleh kotoran sepatu dan sobekan kasar. “Itu... gaun siapa?”Rosana tersenyum miring, tatapannya menusuk. “Oh, jadi kau pura-pura tidak tahu? Ini gaun untukmu, Naina. Dari kak Marven. Biar semua orang tahu betapa spesialnya kau—sampai-sampai dia me
“Kak, jawab! Apa aku pernah ada di hidupmu?”Marven yang mendengar itu hanya menatap datar, seolah perkataan Rosana adalah angin lalu yang ingin dia hilangkan.Satu kata. Tegas. Tanpa ragu.“Tidak.”Rosana terpaku di tempatnya. Seolah seluruh dunia berhenti berputar hanya untuk menyerap satu kata itu—dan menghancurkannya perlahan dari dalam.Matanya membelalak sesaat, sebelum akhirnya pandangannya mulai kabur oleh air mata. Bibirnya bergetar, ingin tertawa, ingin marah, ingin berteriak—tapi semuanya mengendap jadi sunyi.“Jadi… selama ini… aku cuma bayangan?” tanyanya nyaris berbisik, seolah bertanya pada dirinya sendiri, bukan pada Marven.Marven menghela nafas, “jujur, bahkan saya kakek mengadopsimu saya tidak pernah menganggapmu adik bahkan seorang wanita. Saya hanya menganggapmu sebagai anak paman Bass, tidak lebih.”Kata-kata Marven itu seperti palu godam yang menghantam dinding pertahanan Rosana.Rosana terdiam. Bahkan napasnya tercekat. Mata yang sebelumnya berair kini membulat
“Biasanya tuan besar menyukai apa, bibi?” Tanya Naina saat bingung harus membeli hadiah apa untuk tuan Antony.Nyonya Sisca melirik Naina sejenak sebelum kembali menyesap tehnya. “Ayah itu orang yang rumit… tapi kalau soal selera, dia cukup klasik.”“Seperti barang antik?” tanya Naina pelan, mencoba menebak.Nyonya Sisca mengangguk pelan. “Betul. Dia suka barang yang punya nilai sejarah. Tapi bukan yang murahan atau hanya sekadar pajangan. Sesuatu yang punya cerita, makna, atau sulit didapat.”Naina mengangguk-angguk pelan, mulai berpikir. “Jadi… benda langka, atau mungkin buku tua?”“Buku tua bisa,” sahut Nyonya Sisca, lalu menambahkan dengan senyum kecil, “asalkan bukan novel percintaan.”Naina tertawa kecil. “Baiklah, saya akan cari sesuatu yang unik tapi tetap pantas.”“Dan jangan lupa,” Nyonya Sisca menatap Naina serius, “apapun yang kau berikan, itu juga akan menjadi cerminan dirimu di mata Tuan Antony. Jangan sampai dia merasa kamu asal memilih.”Naina mengangguk mantap. “Saya
“Kakak!” Suara Rosana tampak bersemangat kala melihat Marven datang.Marven hanya melirik sekilas dan mengabaikan sepenuhnya.“Kakek, apa kakek bicarakan di media hari ini?”Tuan Antony menatap dengan tenang, bahkan masih sempat menyeduh tehnya dengan nikmat.“Tidak ada yang salah, aku hanya bilang pada media jika kau masih sendiri dan di ulang tahunku kau akan bersedia menerima lamaran masuk ke keluarga ini.”Marven menghela napas panjang, ekspresi wajahnya tampak gelap. “Kakek bicara seolah-olah hidup saya mainan, bisa diatur dan ditawarkan semaunya.”Tuan Antony tersenyum kecil, matanya tajam menatap cucunya. “Itu namanya strategi keluarga. Banyak yang ingin bergabung dengan Tuner, dan kakek bisa perlihatkan wanita cantik dan yang lebih bermartabat dari simpananmu itu.”Rosana yang berdiri di samping langsung menyambung dengan nada lembut, “Kakek, benar kak. Naina tidak cocok dengan keluarga kita.”Marven yang mendengar itu menggeram marah, “jaga bicara kalian! Dia bukan simpanan.”
“Bagaimana? Apakah dia hamil?”Marven langsung menembak pertanyaan saat dokter keluarga memeriksa Naina setelah kembali ke mansion.“Hamil?” Dokter keluarga itu mengerutkan dahi, menatap Marven sejenak sebelum kembali memeriksa hasil catatannya.“Tidak, dia tidak hamil,” jawabnya dengan nada datar namun meyakinkan. “Tekanan darahnya sedikit rendah dan lambungnya iritasi, mungkin karena kelelahan dan pola makan yang tidak teratur. Itu saja.”Marven menarik napas lega, namun tak sempat menyembunyikan ekspresi lega yang langsung terlihat oleh Naina yang duduk di sisi ranjang.“Kenapa kamu curiga aku hamil?” tanya Naina dengan bingung.Marven menatap Naina beberapa detik, seolah memilih kata-kata yang tepat. Ia lalu duduk di tepi ranjang, tak mengalihkan pandangannya darinya.“Karena kamu tiba-tiba mual, pucat… dan kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ujarnya dengan tenang. “Dan… bibi Sisca juga langsung menebaknya.”Naina mengerutkan kening, “Jadi kamu percaya omongan bibi Sisca?”Marv
Brak!Suara ponsel yang hancur ke lantai menggema di ruangan kamar itu. Rosana yang melihat sosial media bibinya langsung mendidih karena melihat kemesraan Naina dan Marven.Dia menggigit kuku jarinya dengan gelisah, hingga suara ketukan kaca dari arah balkon membuatnya menoleh.Dengan cepat dia bangkit dan menghampiri orang itu dengan semangat, “Bagaimana? kau sudah menemukan rahasia wanita itu?”Pria dengan masker hitam itu mengangguk, “ternyata dia wanita yang sudah menikah, dan baru saja bercerai.”Mendengar itu Rosana menyeringai, “licik juga dia, pasti kakak tidak tahu jika dia seorang janda!’Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini salinan surat perceraiannya. Lengkap dengan data mantan suaminya.”Rosana membuka map itu dengan antusias, matanya berbinar saat membaca setiap lembarannya. “Ini... ini sempurna,” gumamnya. “Dengan ini, aku bisa membuat kakak membencinya. Seorang Tuner tak mungkin bersama janda!”Dia terkekeh pelan, namun nada tawanya dipenuhi kebencian.
“Awas, hati-hati,” kata Marven saat membantu Naina turun dari mobil.Nyonya Sisca yang melihat itu tersenyum tipis,”Kalian membuatku iri saja.”“Terlambat, bibi sudah tidak laku di pasaran,” kata Marven dengan tenang sambil menggandeng tangan Naina.Nyonya Sisca langsung melotot tajam. “Hei, kurang ajar! Aku ini masih laku, tahu!” Marven hanya mengangkat bahu dengan santai. “Oh ya? Mana buktinya?” Naina menahan tawa melihat interaksi keduanya. “Bibi masih sangat cantik, pasti banyak yang tertarik,” katanya mencoba menenangkan suasana. Nyonya Sisca tersenyum bangga sambil melirik Marven. “Lihat? Naina saja tahu.” Marven mendengus pelan lalu kembali fokus menggandeng tangan Naina. “Baiklah, kalau bibi merasa masih laku, cepat cari pasangan supaya tidak mengganggu kami.” Nyonya Sisca terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak semudah itu, Nak. Aku masih ingin melihat bagaimana kau menangani hubunganmu sendiri.” Naina tersenyum canggung, sementara Marven hanya mendesah pasrah. Perjalana