“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.
Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.
“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.
Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.
“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.
Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”
Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”
Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.
“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdua saja.”
Evelyn langsung tersenyum lebar, memeluk lengan Jake dengan manja. “Tentu saja, sayang. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.”
Namun, di lantai atas, Naina yang baru saja menutup pintu kamarnya tidak bisa menghindar dari suara percakapan mereka. Meski samar, ia tahu bahwa Evelyn sedang mengatur rencana untuk pergi bersama Jake. Lagi-lagi, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Naina mendekati jendela kamarnya, membuka tirai sedikit, dan melihat Jake berjalan ke mobil bersama Evelyn. Mereka tampak seperti pasangan bahagia, sementara dirinya hanya seperti bayangan di pinggiran hidup Jake.
“Apa gunanya aku disini? Aku seperti istri pajangan yang tak berguna.” Gumamnya dengan tertawa miris.
Namun tiba-tiba dia mendengar suara dering dari ponselnya, dia menoleh dan mengangkat telepon dari rumah sakit dimana ayahnya dirawat.
“Halo?” Suara Naina terdengar pelan, seolah merasakan firasat buruk yang akan menghampirinya.
“Apakah ini wali dari tuan Arman? Di administrasi nomor ini yang menjadi kontak darurat jika terjadi sesuatu.” Kata perawat yang ada disana.
“Ya sus, saya anaknya. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada ayah saya?” Tanya Naina dengan cepat.
“Maaf, Nyonya Naina,” kata suara di ujung telepon dengan nada hati-hati. “Kondisi ayah Anda memburuk pagi ini. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi sebaiknya Anda segera ke rumah sakit.”
Dunia Naina seolah berhenti sejenak. Tangannya gemetar memegang ponsel. “Baik, saya akan segera ke sana,” katanya sambil mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar.
Setelah menutup telepon, Naina berdiri dengan linglung. Ia memandang sekilas ke luar jendela, melihat Jake dan Evelyn yang baru saja masuk ke mobil. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil tas dan jaket, lalu melangkah cepat menuju pintu depan.
Namun, saat ia membuka pintu, Evelyn memutar kepala ke arahnya dengan senyum sinis. “Kau mau kemana, Naina? Kau bahkan belum menyapa kami.”
Jake menatap Naina dengan kening berkerut. “Apa yang terjadi?”
“Ayahku...” Suaranya serak, matanya berkaca-kaca. “Ayahku sedang kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang.”
Jake menghela nafas panjang, terlihat kesal. “Kau selalu datang dengan drama. Mobilmu ada di bengkel sekarang, kalau mau ke rumah sakit pakai taxi.”
Naina yang mendengar itu langsung memegang tangan Jake sambil memohon, “Tolong antarkan aku, sekali ini saja.” Kata Naina sambil menangis.
Namun tangannya langsung ditepis oleh Jake, “Aku sudah berjanji pada Evelyn mengajaknya beli es krim. Pesan taxi saja!” Katanya dengan tak berperasaan.
Naina menatap Jake dengan mata yang penuh air mata, namun pria itu tetap tak bergeming. Evelyn yang berada di sebelahnya hanya tersenyum kecil, seolah menikmati kehancuran hati Naina.
Dengan nafas yang terisak, Naina mengangguk pelan, mencoba menelan rasa sakit yang menghimpit hatinya. “Baik, aku akan pesan taksi,” katanya lemah, lalu berbalik menuju dalam rumah untuk mengambil ponselnya.
Saat ia berjalan ke dalam, langkahnya terasa berat, seolah tubuhnya enggan bergerak. Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan. Ayahnya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, dan ia tidak bisa membiarkan siapapun menghalanginya untuk berada di sisi pria itu.
Naina segera memesan taksi, lalu menunggu di depan rumah dengan tubuh yang gemetar. Di kejauhan, ia mendengar suara tawa Jake dan Evelyn yang sedang bercanda di dalam mobil sebelum mereka pergi.
Ketika taksi tiba, Naina masuk tanpa berkata apa-apa. Selama perjalanan ke rumah sakit, ia menggenggam erat tas kecilnya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus kembali ke Jake dan betapa kejamnya pria itu. Apa yang telah terjadi pada lelaki yang dulu berjanji akan melindunginya dari segala hal?
Sesampainya di rumah sakit, Naina berlari menuju kamar ayahnya dengan langkah tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah saat ia membuka pintu dan melihat ayahnya terbaring lemah, dikelilingi oleh alat-alat medis.
“Ayah…” Suaranya pecah saat ia mendekati ranjang dan menggenggam tangan ayahnya yang dingin.
Dokter sudah menangani ayahnya tapi sepertinya kondisi ayahnya sangat parah.
“Nyonya Naina, bisa bicara di ruangan saya?” Tanya dokter itu pada Naina.
Naina mengangguk lalu menghapus air matanya, kemudian berjalan ke arah ruangan dokter yang beberapa tahun ini menangani ayah-nya.
“Dok bagaimana kondisi ayah saya?” Tanya Naina begitu dia sampai dan duduk di depan meja dokter tersebut.
Helaan nafas berat terdengar dari dokter itu, lalu memandang Naina. “Sebenarnya saya tidak ingin mengatakannya, tapi kondisi ayah anda sangat buruk. Bahkan bertahan satu bulan pun rasanya sulit.” Kata dokter tersebut.
Naina terkejut, “Bagaimana bisa dok? Bukankah ayah saya selalu mendapatkan perawatan terbaik? Apakah pengobatan kanker otaknya tak mempan lagi untuk ayah saya?” Tanya Naina.
“Nyonya, apakah anda tahu selama dua tahun ini bagaimana perawatan ayah anda?” Tanya dokter dengan ragu.
Naina mengangguk, “Kata suami saya, dia telah memberikan banyak uang untuk pengobatan ayah saya. Saya tahu biaya pengobatan kanker otak tidak sedikit tapi setiap bulan suami saya mengirim uang ke rumah sakit.”
Dokter itu menatap Naina dengan raut prihatin yang sulit disembunyikan. Ia menghela nafas panjang sebelum berbicara. “Nyonya Naina, selama dua tahun terakhir ini, pengobatan ayah Anda telah mengalami banyak hambatan. Beberapa kali pembayaran terlambat, sehingga kami hanya bisa memberikan pengobatan standar, bukan yang terbaik sesuai kebutuhan ayah Anda.”
Naina terkejut, matanya melebar. “Terlambat? Bagaimana mungkin? Jake selalu mengatakan bahwa ia mengirimkan uang tepat waktu. Dia bahkan mengatakan itu biaya yang sangat besar!”
Dokter itu mengangguk pelan. “Saya tidak tahu detail keuangannya, tetapi data kami menunjukkan bahwa ada banyak pembayaran yang tertunda. Bahkan beberapa kali kami harus menghentikan pengobatan karena dana tidak tersedia.”
Kepala Naina mulai berdenyut, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Jika Jake tidak benar-benar membayar pengobatan ayahnya tepat waktu, ke mana uang itu pergi?
“Apakah ini sebabnya kondisi ayah saya semakin buruk, Dok?” tanya Naina dengan suara serak, berusaha menahan tangisnya.
“Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, tetapi pengobatan kanker otak seperti ini sangat tergantung pada konsistensi perawatan dan terapi. Tanpa itu, perkembangan penyakit bisa menjadi sangat cepat.”
Naina merasa tubuhnya melemas. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Ia merasa marah, sedih, dan kecewa. Selama ini, ia menahan semua perlakuan buruk Jake dengan keyakinan bahwa suaminya setidaknya menjaga ayahnya dengan baik. Namun kenyataan ini membuat keyakinannya hancur berkeping-keping.
“Dokter, apa yang bisa saya lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Yang terbaik adalah mempersiapkan diri untuk yang terburuk, tetapi jika Anda bisa menemukan cara untuk mendapatkan dana tambahan, mungkin kita bisa mencoba perawatan eksperimental atau setidaknya memperpanjang waktu ayah Anda sedikit lebih lama.”
Naina mengangguk, “Saya baru punya seratus juta di rekening saya, apakah itu cukup?”
Dokter mengangguk, “Untuk sementara cukup, saya akan berusaha yang terbaik.”
Naina mengangguk lalu pergi ke administrasi untuk membayar perawatan yang dibutuhkan ayah-nya.
“Jake, apa selama ini aku terus ditipu olehmu?” Gumam Naina sambil meremas bukti pembayaran.
“Aku bersumpah! bahkan sampai mati, aku akan membalaskan setiap darah yang aku keluarkan demi pengkhianatanmu!!”
Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
Ini adalah hari kedua Naina bekerja di mansion Tuner.Dan hari kedua ini, Naina bisa mulai bekerja setelah kemarin baru acara pengenalan dan juga memahami sistem kerja di mansion Tuner.Sebagai asisten rumah tangga, ternyata pekerjaannya tidak terlalu banyak seperti yang dia pikir. Dia hanya perlu mengawasi kinerja pelayan dan juga mengecek rasa masakan yang akan dihidangkan untuk Marven sekaligus melayani pria itu dari dekat.Naina pikir, itu adalah hal yang mudah.Dia bahkan dijemput oleh pak Johan, supir pribadi Marven sendiri. Dalam perjalanan Naina tak berhenti untuk tidak tersenyum, apalagi Jake tak ada dirumah karena sedang liburan dengan Evelyn.“Naina, ini sudah sampai di toko roti yang anda maksud. Apakah saya saja yang memesannya?” Tanya pak Johan, meskipun pria paruh baya itu sedikit canggung memanggil Naina dengan nama langsung, tapi bagi Naina itu lebih baik daripada dipanggil dengan nyonya ataupun nona.“Biar saya saja Pak. Pak Johan tunggu disini sebentar ya.” Kata Nai
“Naina? Hei..”Naina yang tadi melamun langsung menyadarkan diri dari lamunannya, tangannya masih gemetar memegang kontrak kerja itu.“Saya bisa menambahkan gaji kamu jika itu kurang. Asuransi kesehatan itu tidak hanya kamu yang dapat, tapi ayahmu. Jadi, Kamu tidak perlu memikirkan uang lagi untuk pengobatan ayahmu.” Kata Marven dengan nada suara rendah.Naina menatap ke arah Marven dengan mata bergetar, jelas dia sangat bingung sekaligus senang. Tanpa sadar dia langsung turun dari sofa itu dan berlutut di hadapan pria itu.“T-tuan, saya sangat berterima kasih. Anda sangat baik, terima kasih, terima kasih.” Kata Naina yang terus menundukkan kepalanya hampir bersujud di kaki Marven.Marven segera berdiri dan langsung memegang bahu Naina dan menyuruhnya bangkit.Marven tampak sedikit tidak nyaman dengan sikap Naina yang begitu rendah hati hingga berlutut. Dengan cepat, dia membungkuk sedikit dan memegang bahu Naina, membantunya berdiri. "Naina, berdirilah. Tidak perlu seperti ini," kata
Keluar dari ruang kerja Marven, Naina tampak bingung harus mengerjakan apalagi. Melihat para pekerja lain yang melakukan tugasnya dengan baik, membuat dia tak memiliki banyak hal yang harus dia urus.Tanpa sadar, dia berjalan ke arah taman bunga di belakang mansion. Bunga-bunga yang mekar dengan cantik itu membuat Naina tersenyum.“Ruangan tuan Marven terlihat suram, apa aku harus memetik beberapa tangkai dan menaruhnya di beberapa sudut ruang kerja itu?” Gumam Naina, hingga setelah berpikir lama dia akhirnya memetik berbagai macam bunga disana dan membawanya masuk ke dalam mansion.“Apakah ada vas bunga disini?” Tanya Naina pada pelayan lain yang ada di belakang.Pelayan yang ditanya Naina tampak sedikit terkejut sebelum segera mengangguk. "Ada, Bu Naina. Saya bisa mengambilkan untuk Anda. Vas bunga biasanya disimpan di pantry dekat dapur.""Baik, terima kasih. Kalau begitu, tolong ambilkan satu yang ukurannya sedang," kata Naina dengan senyum hangat.Pelayan itu segera bergegas, sem
“Ambil dua kantong darahnya!” perintah Jake dengan senyum puas, sambil mendorong tubuh Naina ke ranjang rumah sakit.Suster yang mendengar itu segera mengangguk. “Baik, Tuan,” jawabnya sopan sebelum mulai menyiapkan alat-alat untuk mengambil darah.Naina hanya bisa terdiam, pasrah. Ketika jarum mulai menusuk kulitnya, ia merasakan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di lengannya.Melihat air mata itu, suster tampak salah paham. “Apakah terasa sakit, Nyonya?” tanyanya lembut, dengan nada penuh perhatian.“Sakit,” jawab Naina dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Namun, bukan jarum itu yang menyakitinya. Luka yang ia rasakan berasal dari kenyataan pahit yang tak bisa ia ubah.Dia pikir, jika dia bisa melepaskan diri dari Jake, maka akan menjadi akhir dari penderitaannya. Tapi kenyataannya, Jake masih memiliki cengkeraman kuat dalam hidupnya. Jika bukan karena ayahnya, Naina tidak akan pernah sudi mendonorkan darahnya untuk wanita ya
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N